19/08/2008
Purworejo, CyberNews. Sedikitnya 25.000 orang memadati komplek Pondok Pesantren An Nawawi Berjan, Gebang, Purworejo, Selasa. Mereka yang berasal dari wali santri, alumni, dan jamaah tariqah ini datang untuk menghadiri laucing buku biografi almarhum KH Nawawi.
KH Nawawi merupakan salah satu tokoh penting di balik berdirinya Jam'iyyah Thariqah Mu'tabarah yang juga pendiri pesantren tersebut. Laucing buku biografi itu dilakukan bersamaan dengan haul dan khataman santri sebelum memasuki bulan Ramadan.
Buku setebal 183 halaman itu disusun oleh penulis yang tergabung tim Pondok Pesantren An Nawawi. Tim itu terdiri dari Wakil Bupati Drs Mahsun Zain, Sahlan SAg MSi, dan Muhammad Ali Rosidin SPd I.
Biografi yang diberi judul 'Mengenal KH Nawawi Berjan Purworejo, Tokoh di Balik Berdirinya Jam'iyyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah itu diberi pengantar oleh dua orang kiai yang sudah sangat terkenal. Yakni KH Ahmad Idris Marzuqi, pengasuh pondok Lirboyo, Kediri, Jawa Timur dan pengasuh pondok Sarang, Rembang, Jawa Tengah, KH Maemoen Zubair.
Dalam kata pengantarnya, KH Ahmad Idris Marzuqi mengungkapkan, KH Nawawi merupakah mursyid Thariqat Qadiriyah/Naqsyabandiyah yang mengawali karir pengabdiannya dengan menimba ilmu di sejumlah pesantren di Jateng dan Jatim. "Almarhum adalah sosok yang sederhana. Sebuah sikap yang diwarisi dari ayahnya KH Shiddiq bin Zarkasi," katanya.
Disebutkan, KH Nawawi merupakah salah satu kiai yang memprakarsai terselenggarakan Kongres I Alim Ulama Thariqat Qadiriyah/Naqsyabandiyah pada tahun 1957. Kongres itulah yang menandai berdirinya Jam'iyyah Thariqah Mu'tabarah.
Sementara itu, KH Maemoen Zubair mengatakan, buku biografi tersebut sangat perlu untuk menjadi bacaan para muslim dan muslimat ahli sunnah wal jama'ah. "Utamanya para ahli thariqah al-mu'tabarah," katanya.
Pengasuh Pondok An Nawawi Berjan, KH Chalwani mengungkapkan, ditulisnya buku tersebut dimaksudkan untuk memberikan pelajaran kepada jama'ah thariqah. "Dalam buku ini banyak diuraikan ajaran-ajaran KH Nawawi yang harus kita teladani. Juga menguraikan kiprahnya di balik berdirinya Jam'iyyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah," katanya.
Salah satu penulis, Muhammad Ali Rosidin mengungkapkan, buku tersebut pertama kali cetak sebanyak 10.000 eksemplar. "Setiap eksemplarnya dijual dengan harga Rp 25.000. Hasil penjualan buku ini akan digunakan untuk melanjutkan pembangunan masjid," katanya. Makam Mbah Dur Dipadati Manusia
Purworejo, CyberNews. Sedikitnya 25.000 orang memadati komplek Pondok Pesantren An Nawawi Berjan, Gebang, Purworejo, Selasa. Mereka yang berasal dari wali santri, alumni, dan jamaah tariqah ini datang untuk menghadiri laucing buku biografi almarhum KH Nawawi.
KH Nawawi merupakan salah satu tokoh penting di balik berdirinya Jam'iyyah Thariqah Mu'tabarah yang juga pendiri pesantren tersebut. Laucing buku biografi itu dilakukan bersamaan dengan haul dan khataman santri sebelum memasuki bulan Ramadan.
Buku setebal 183 halaman itu disusun oleh penulis yang tergabung tim Pondok Pesantren An Nawawi. Tim itu terdiri dari Wakil Bupati Drs Mahsun Zain, Sahlan SAg MSi, dan Muhammad Ali Rosidin SPd I.
Biografi yang diberi judul 'Mengenal KH Nawawi Berjan Purworejo, Tokoh di Balik Berdirinya Jam'iyyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah itu diberi pengantar oleh dua orang kiai yang sudah sangat terkenal. Yakni KH Ahmad Idris Marzuqi, pengasuh pondok Lirboyo, Kediri, Jawa Timur dan pengasuh pondok Sarang, Rembang, Jawa Tengah, KH Maemoen Zubair.
Dalam kata pengantarnya, KH Ahmad Idris Marzuqi mengungkapkan, KH Nawawi merupakah mursyid Thariqat Qadiriyah/Naqsyabandiyah yang mengawali karir pengabdiannya dengan menimba ilmu di sejumlah pesantren di Jateng dan Jatim. "Almarhum adalah sosok yang sederhana. Sebuah sikap yang diwarisi dari ayahnya KH Shiddiq bin Zarkasi," katanya.
Disebutkan, KH Nawawi merupakah salah satu kiai yang memprakarsai terselenggarakan Kongres I Alim Ulama Thariqat Qadiriyah/Naqsyabandiyah pada tahun 1957. Kongres itulah yang menandai berdirinya Jam'iyyah Thariqah Mu'tabarah.
Sementara itu, KH Maemoen Zubair mengatakan, buku biografi tersebut sangat perlu untuk menjadi bacaan para muslim dan muslimat ahli sunnah wal jama'ah. "Utamanya para ahli thariqah al-mu'tabarah," katanya.
Pengasuh Pondok An Nawawi Berjan, KH Chalwani mengungkapkan, ditulisnya buku tersebut dimaksudkan untuk memberikan pelajaran kepada jama'ah thariqah. "Dalam buku ini banyak diuraikan ajaran-ajaran KH Nawawi yang harus kita teladani. Juga menguraikan kiprahnya di balik berdirinya Jam'iyyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah," katanya.
Salah satu penulis, Muhammad Ali Rosidin mengungkapkan, buku tersebut pertama kali cetak sebanyak 10.000 eksemplar. "Setiap eksemplarnya dijual dengan harga Rp 25.000. Hasil penjualan buku ini akan digunakan untuk melanjutkan pembangunan masjid," katanya. Makam Mbah Dur Dipadati Manusia
PAGI-PAGI sekali masyarakat dari berbagai daerah sudah berduyun-duyun
ke pesarean Mbah Dur (KH Abdurrahman bin Qasidil Haq). Di tempat itu
juga terdapat makam KH Ahmad Muthohar, KHMS Lutfil Hakim dan KH Abdurrahman, KH
Mohammad Ridlwan dan lain-lain.
Mereka yang kebanyakan mursyid dan
santri thoriqoh Qadiriyah Naqsabandiyah secara bersama-sama langsung menggelar
tahlil dan yasin. Seolah-olah batu nisan di tempat itu tidak terlihat lagi
saking padatnya oleh kerumunan manusia yang berkirim doa.
Mendekati azan zuhur, upacara haul Mbah Dur baru dimulai. Diawali dengan laporan Ketua Alumni KH Abdullah Adib Masrukhan Lc dan sambutan pengasuh pondok KH Hanif Muslih Lc. Sedang tausiyah disampaikan KH Tefur Mawardi dari Purworejo.
Gubernur Ali Mufiz pada kesempatan itu mengingatkan pentingnya keberadaan pondok pesantren dijaga. ''Pesantren ini sebagai benteng penjaga akhlak dan moral,'' tegas Ali Mufiz. Pendidikan agama yang diberikan di lembaga pendidikan menurutnya, porsinya sangat terbatas. Di pondok pesantrenlah penempaan akhlak dan kepribadian maksimal bisa dilakukan.
Menurut Gus Adib, Mbah Dur lahir di Kampung Suburan, Mranggen Demak tahun 1872M. Dialah yang melahirkan ulama besar KH Muslih yang tidak lain ayah KH Hanif Muslih. Mbah Dur pernah menjadi santri Kiai Sholeh Darat Semarang, KH Ibrahim Brumbung Mranggen.
Dari kiai inilah Mbah Dur mengaji ilmu Thoriqoh Qadiriyah Naqsabandiyah. Bahkan ia diwisuda menjadi khalifah thoriqoh setelah lulus ujian.
Dalam buku sejarah Futuhiyyah disebutkan, suatu hari Kiai Ibrahim berkata, ''Barang siapa yang nanti tidak batal shalatnya maka dialah yang berhak menyandang khalifah''. Benar juga, pada saat shalat jamaah berlangsung, para santri melihat ular besar merayap dari simbah KH Ibrahim menuju para santri yang jadi ma'mum.
Mereka lari tunggang-langgang dan otomatis batal shalatnya. Kecuali Mbah Dur yang tetap khusyuk meneruskan shalat sampai selesai. Akhirnya dialah yang diwisuda menjadi khalifah thoriqoh. Ia meninggal pada 20 zulhijjah 1360H (tahun 1941M) dalam usia 70 tahun.
Orang Mranggen
Pada kesempatan itu Kiai Hanif mengumumkan pengurus alumni Futuhiyyah masa hidmah 2007-2012 (Ittihadu Khirriji Futuhiyyah). Sayangnya pada jajaran pengurus inti (harian) diisi orang-orang Mranggen. Sedang alumni yang jauh tempat tinggalnya seperti di Samarinda, Pontianak, Jakarta, Lamongan, Sidoarjo, Ciamis, Sumatra dan lain-lain ditempatkan sebagai koordinator wilayah dan bidang-bidang.
Nama-nama alumni seperti Dr KH Taufiq Prabowo Lc DEA Malang, Prof Dr Muhibbin Noor MA, Dr KH Ahmad Munif MA, Prof Dr Qodry Azizy MA, Prof Dr Masykuri Abdillah MA dan lain-lain berada di posisi Dewan Pakar. Menurut Gus Munif pertimbangan rapat formatur menempatkan orang-orang Mranggen di pengurus harian karena latar belakang kepraktisan saja dan tidak membebani tugas alumnus yang punya kesibukan masing-masing. ''Sumbang pikiran dan komunikasi tetap kami butuhkan dan kami harapkan,'' tuturnya.
Karena Futuhiyyah sebagai peninggalan KH Abdurrahman bin Qasidil Haq dan KH Muslih Abdurrahman telah berkembang pesat menjadi lembaga pendidikan yang bermanfaat bagi masyarakat, para alumni diharapkan terus memberikan kontibusi untuk pengembangan Futuhiyyah ke depan. (Agus Fathuddin Yusuf-16)
Mendekati azan zuhur, upacara haul Mbah Dur baru dimulai. Diawali dengan laporan Ketua Alumni KH Abdullah Adib Masrukhan Lc dan sambutan pengasuh pondok KH Hanif Muslih Lc. Sedang tausiyah disampaikan KH Tefur Mawardi dari Purworejo.
Gubernur Ali Mufiz pada kesempatan itu mengingatkan pentingnya keberadaan pondok pesantren dijaga. ''Pesantren ini sebagai benteng penjaga akhlak dan moral,'' tegas Ali Mufiz. Pendidikan agama yang diberikan di lembaga pendidikan menurutnya, porsinya sangat terbatas. Di pondok pesantrenlah penempaan akhlak dan kepribadian maksimal bisa dilakukan.
Menurut Gus Adib, Mbah Dur lahir di Kampung Suburan, Mranggen Demak tahun 1872M. Dialah yang melahirkan ulama besar KH Muslih yang tidak lain ayah KH Hanif Muslih. Mbah Dur pernah menjadi santri Kiai Sholeh Darat Semarang, KH Ibrahim Brumbung Mranggen.
Dari kiai inilah Mbah Dur mengaji ilmu Thoriqoh Qadiriyah Naqsabandiyah. Bahkan ia diwisuda menjadi khalifah thoriqoh setelah lulus ujian.
Dalam buku sejarah Futuhiyyah disebutkan, suatu hari Kiai Ibrahim berkata, ''Barang siapa yang nanti tidak batal shalatnya maka dialah yang berhak menyandang khalifah''. Benar juga, pada saat shalat jamaah berlangsung, para santri melihat ular besar merayap dari simbah KH Ibrahim menuju para santri yang jadi ma'mum.
Mereka lari tunggang-langgang dan otomatis batal shalatnya. Kecuali Mbah Dur yang tetap khusyuk meneruskan shalat sampai selesai. Akhirnya dialah yang diwisuda menjadi khalifah thoriqoh. Ia meninggal pada 20 zulhijjah 1360H (tahun 1941M) dalam usia 70 tahun.
Orang Mranggen
Pada kesempatan itu Kiai Hanif mengumumkan pengurus alumni Futuhiyyah masa hidmah 2007-2012 (Ittihadu Khirriji Futuhiyyah). Sayangnya pada jajaran pengurus inti (harian) diisi orang-orang Mranggen. Sedang alumni yang jauh tempat tinggalnya seperti di Samarinda, Pontianak, Jakarta, Lamongan, Sidoarjo, Ciamis, Sumatra dan lain-lain ditempatkan sebagai koordinator wilayah dan bidang-bidang.
Nama-nama alumni seperti Dr KH Taufiq Prabowo Lc DEA Malang, Prof Dr Muhibbin Noor MA, Dr KH Ahmad Munif MA, Prof Dr Qodry Azizy MA, Prof Dr Masykuri Abdillah MA dan lain-lain berada di posisi Dewan Pakar. Menurut Gus Munif pertimbangan rapat formatur menempatkan orang-orang Mranggen di pengurus harian karena latar belakang kepraktisan saja dan tidak membebani tugas alumnus yang punya kesibukan masing-masing. ''Sumbang pikiran dan komunikasi tetap kami butuhkan dan kami harapkan,'' tuturnya.
Karena Futuhiyyah sebagai peninggalan KH Abdurrahman bin Qasidil Haq dan KH Muslih Abdurrahman telah berkembang pesat menjadi lembaga pendidikan yang bermanfaat bagi masyarakat, para alumni diharapkan terus memberikan kontibusi untuk pengembangan Futuhiyyah ke depan. (Agus Fathuddin Yusuf-16)
Oleh
: Muhibuddin | 15-Jan-2008, 03:43:50 WIB
KabarIndonesia - Tulungagung, Sudah 38 tahun silam, KH Mustaqiem bin Hussain berpulang. Sudah tiga tahun pula, putranya, KH Abdul Djalil Mustaqiem yang meneruskan perjuangannya wafat. Namun begitu, ketokohan dan keteladanan dua kiai kharismatik dari pondok pesantren Pesulukan Tareqot Agung (Peta) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, ini seakan tak pernah terputus.
Santri yang menjadi pengikut ajarannya masih saja terus mengalir ke Pondok Tareqot yang berlokasi di Jl. KH. Wakhid Hasyim, Kelurahan Kauman, Kecamatan Kota Tulungagung ini. Faktanya, setiap setahun sekali dihelat peringatan haul, santri yang berdatangan ke pondok Peta benar-benar luar biasa. Pondok yang kini diasuh putra Kiai Abdul Djalil Mustaqiem, Charir Mohamad Sholahudin Al Ayyubi (Gus Saladien) itu sama sekali tak kehilangan daya magnetik-nya. Dalam haul yang digelar, Minggu (13/1/2007) kemarin, misalnya, puluhan ribu santri jamaah Pondok Peta dari berbagai pelosok Indonesia tumplek blek membanjiri Kota Tulungagung.
Ketokohan dan keteladanan KH Mustaqiem yang masih keturunan dari Mbah Penjalu itu agaknya tetap meninggalkan ‘goresan' tersendiri di kalangan santri tareqot yang menjadi pengikutnya. ‘'Setiap haul, keluarga kami pasti ke Pondok Kiai Mustaqim dan Abdul Djalil ini,'' tutur beberapa santri Peta dari Blora, Jawa Tengah. Tak tanggung-tanggung. Para santri dari luar propinsi itu datang ke Tulungagung sampai harus mencarter beberapa buah bus bersama jamaah Pondok Peta lainnya. Demikian pula santri dari luar Pulau Jawa, saat haul, mereka juga banyak yang datang ke Pondok Peta dengan berombongan.
‘'Kami datang dari Lampung. Setiap haul, kami mesti datang ke Pondok,'' kata serombongan santri dari luar Pulau Jawa itu menuturkan. Di kalangan santrinya, KH. Mustaqim maupun Kiai Djalil diakui sebagai sosok yang banyak memberikan keteladanan dalam mengajarkan ilmunya. Karena itulah, santri-santrinya juga tersebar luas ke seantero negeri.
Di sisi lain, kiai yang menjadi tokoh tareqot assadziliyah itu dalam perjalanan hidupnya memang memiliki banyak kelebihan sebagaimana sering diungkap dalam manakib-nya yang dibacakan setiap peringatan haul. ‘'Sejak kecil, KH Mustaqiem sudah punya sirri. Beliau juga punya khizib kahfi,'' kata KH Mudhofir Sukhaimi yang biasa membacakan manakib KH Mustaqiem bin Hussain dalam setiap peringatan haul.
Diceritakan pula, suatu ketika, kiai Mustaqiem menerima nasib tak menyenangkan saat penjajahan Jepang. Bersama warga masyarakat yang lain, kiai kelahiran Keras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tahun 1901 itu, harus menghadapi penyiksaan sadis yang dilakukan penjajah Jepang. ‘'Saat itu, Mbah Mustaqiem disiksa dengan cara ditutup semua lubang yang ada di tubuhnya kecuali dua lubang hidungnya. Lalu, lubang hidung itu dimasuki selang dan dipompa. Setelah perutnya membesar, Jepang menginjak-injak dengan sepatu perangnya. Banyak rakyat kita yang akhirnya mati disiksa seperti ini,'' katanya.
Namun, tidak demikian yang terjadi pada diri Kiai Mustaqiem. Entah bagaimana ceritanya, Jepang memasukkan selang tidak ke lubang hidung Kiai Mustaqiem. Tapi, selang itu justru dimasukkan ke lubang ‘sabuk othok' (ikat pinggang khas orang Jawa). Maka, selamatlah kiai Mustaqiem dari penyiksaan sadis yang dilakukan penjajah Jepang. ‘'Begitulah Kiai Mustaqiem mempunyai kelebihan,'' kata KH Mudhofir.
Keistimewaan lainnya, Kiai Mustaqiem juga punya ilmu bela diri yang hebat. Kemampuan bela diri ini diketahui ketika Kiai ini ditantang silat seorang pendekar ulung. KH. Mustaqiem, ternyata, mampu meladeni tantangan itu dengan bersilat di atas empat tombak. ‘'Beliau juga menguasai sedikitnya 40 bahasa asing,'' terang KH Mudhofir.
Tak pelak, santri-santrinya saat itu sampai dibuat heran karena tak pernah tahu kapan kiai yang wafat pada 1970 itu belajar bahasa asing. ‘'Saat kedatangan tamu dari India, Mbah Mustaqiem juga bisa meladeni pembicaraan menggunakan bahasa India,'' ujarnya. Yang patut diteladani lagi, dalam setiap acara haul diungkapkan, meski tergolong Kiai berilmu tinggi, KH. Mustaqiem punya sikap tak suka menyombongkan diri. Faktanya, suatu hari, ada Kiai besar (Syekh Abdul Rozaq) yang akan berguru kepadanya. Namun, KH Mustaqiem justru bersikap sebaliknya. Beliau malah akan berguru kepada Syekh Abdul Rozaq. ‘'Akhirnya, kedua Kiai besar itu rebutan untuk menjadi murid,'' ungkapnya.
Sepeninggal Kiai Mustaqiem, perjuangan Pondok Peta diwariskan kepada salah seorang putranya, KH Abdul Djalil Mustaqiem. Sayang, Kiai Abdul Djalil yang tak kalah kharismatik dengan sang ayah itu, Jumat (7/1/2005) lalu sudah keburu dipanggil Allah SWT. Sebagai penerus perjuangannya, kini Pondok Peta diasuh Gus Salladien, salah seorang putra Kiai Abdul Djalil Mustaqiem yang usianya baru sekitar 29 tahun.
Sebagai kiai kharismatik, kediaman Kiai Djalil hampir tak pernah sepi dari kunjungan tokoh-tokoh politik lokal maupun nasional. Menjelang Pemilu legislatif dan Pemilu presiden 2004 lalu, misalnya, kediaman Kiai Djalil banyak menjadi singgahan tokoh-tokoh politik nasional.
Saat itu, beberapa tokoh nasional yang berkunjung ke kediaman Kiai Djalil, di antaranya, Nurcholis Madjid (Cak Nur), mantan Wapres, Try Soetrisno, Amien Rais, Yusuf Kalla dan tentu saja KH Abdurrohman Wahid (Gus Dur) yang sudah tak terbilang jumlahnya mendatangi pondok Kiai Djalil.
Keterangan foto : Kiai Abdul Djalil saat menerima kunjungan mantan Wapres Try Soetrisno bersama istrinya, sebelum Pemilu 2004 lalu. Saat itu, Try Soetrisno juga merayakan ulang tahunnya di kediaman Kiai Djalil.
SYEIKH MUHAMMAD ABDUL MALIK: Mursyid Sederhana dan Penyayang Santri Miskin
KabarIndonesia - Tulungagung, Sudah 38 tahun silam, KH Mustaqiem bin Hussain berpulang. Sudah tiga tahun pula, putranya, KH Abdul Djalil Mustaqiem yang meneruskan perjuangannya wafat. Namun begitu, ketokohan dan keteladanan dua kiai kharismatik dari pondok pesantren Pesulukan Tareqot Agung (Peta) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, ini seakan tak pernah terputus.
Santri yang menjadi pengikut ajarannya masih saja terus mengalir ke Pondok Tareqot yang berlokasi di Jl. KH. Wakhid Hasyim, Kelurahan Kauman, Kecamatan Kota Tulungagung ini. Faktanya, setiap setahun sekali dihelat peringatan haul, santri yang berdatangan ke pondok Peta benar-benar luar biasa. Pondok yang kini diasuh putra Kiai Abdul Djalil Mustaqiem, Charir Mohamad Sholahudin Al Ayyubi (Gus Saladien) itu sama sekali tak kehilangan daya magnetik-nya. Dalam haul yang digelar, Minggu (13/1/2007) kemarin, misalnya, puluhan ribu santri jamaah Pondok Peta dari berbagai pelosok Indonesia tumplek blek membanjiri Kota Tulungagung.
Ketokohan dan keteladanan KH Mustaqiem yang masih keturunan dari Mbah Penjalu itu agaknya tetap meninggalkan ‘goresan' tersendiri di kalangan santri tareqot yang menjadi pengikutnya. ‘'Setiap haul, keluarga kami pasti ke Pondok Kiai Mustaqim dan Abdul Djalil ini,'' tutur beberapa santri Peta dari Blora, Jawa Tengah. Tak tanggung-tanggung. Para santri dari luar propinsi itu datang ke Tulungagung sampai harus mencarter beberapa buah bus bersama jamaah Pondok Peta lainnya. Demikian pula santri dari luar Pulau Jawa, saat haul, mereka juga banyak yang datang ke Pondok Peta dengan berombongan.
‘'Kami datang dari Lampung. Setiap haul, kami mesti datang ke Pondok,'' kata serombongan santri dari luar Pulau Jawa itu menuturkan. Di kalangan santrinya, KH. Mustaqim maupun Kiai Djalil diakui sebagai sosok yang banyak memberikan keteladanan dalam mengajarkan ilmunya. Karena itulah, santri-santrinya juga tersebar luas ke seantero negeri.
Di sisi lain, kiai yang menjadi tokoh tareqot assadziliyah itu dalam perjalanan hidupnya memang memiliki banyak kelebihan sebagaimana sering diungkap dalam manakib-nya yang dibacakan setiap peringatan haul. ‘'Sejak kecil, KH Mustaqiem sudah punya sirri. Beliau juga punya khizib kahfi,'' kata KH Mudhofir Sukhaimi yang biasa membacakan manakib KH Mustaqiem bin Hussain dalam setiap peringatan haul.
Diceritakan pula, suatu ketika, kiai Mustaqiem menerima nasib tak menyenangkan saat penjajahan Jepang. Bersama warga masyarakat yang lain, kiai kelahiran Keras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tahun 1901 itu, harus menghadapi penyiksaan sadis yang dilakukan penjajah Jepang. ‘'Saat itu, Mbah Mustaqiem disiksa dengan cara ditutup semua lubang yang ada di tubuhnya kecuali dua lubang hidungnya. Lalu, lubang hidung itu dimasuki selang dan dipompa. Setelah perutnya membesar, Jepang menginjak-injak dengan sepatu perangnya. Banyak rakyat kita yang akhirnya mati disiksa seperti ini,'' katanya.
Namun, tidak demikian yang terjadi pada diri Kiai Mustaqiem. Entah bagaimana ceritanya, Jepang memasukkan selang tidak ke lubang hidung Kiai Mustaqiem. Tapi, selang itu justru dimasukkan ke lubang ‘sabuk othok' (ikat pinggang khas orang Jawa). Maka, selamatlah kiai Mustaqiem dari penyiksaan sadis yang dilakukan penjajah Jepang. ‘'Begitulah Kiai Mustaqiem mempunyai kelebihan,'' kata KH Mudhofir.
Keistimewaan lainnya, Kiai Mustaqiem juga punya ilmu bela diri yang hebat. Kemampuan bela diri ini diketahui ketika Kiai ini ditantang silat seorang pendekar ulung. KH. Mustaqiem, ternyata, mampu meladeni tantangan itu dengan bersilat di atas empat tombak. ‘'Beliau juga menguasai sedikitnya 40 bahasa asing,'' terang KH Mudhofir.
Tak pelak, santri-santrinya saat itu sampai dibuat heran karena tak pernah tahu kapan kiai yang wafat pada 1970 itu belajar bahasa asing. ‘'Saat kedatangan tamu dari India, Mbah Mustaqiem juga bisa meladeni pembicaraan menggunakan bahasa India,'' ujarnya. Yang patut diteladani lagi, dalam setiap acara haul diungkapkan, meski tergolong Kiai berilmu tinggi, KH. Mustaqiem punya sikap tak suka menyombongkan diri. Faktanya, suatu hari, ada Kiai besar (Syekh Abdul Rozaq) yang akan berguru kepadanya. Namun, KH Mustaqiem justru bersikap sebaliknya. Beliau malah akan berguru kepada Syekh Abdul Rozaq. ‘'Akhirnya, kedua Kiai besar itu rebutan untuk menjadi murid,'' ungkapnya.
Sepeninggal Kiai Mustaqiem, perjuangan Pondok Peta diwariskan kepada salah seorang putranya, KH Abdul Djalil Mustaqiem. Sayang, Kiai Abdul Djalil yang tak kalah kharismatik dengan sang ayah itu, Jumat (7/1/2005) lalu sudah keburu dipanggil Allah SWT. Sebagai penerus perjuangannya, kini Pondok Peta diasuh Gus Salladien, salah seorang putra Kiai Abdul Djalil Mustaqiem yang usianya baru sekitar 29 tahun.
Sebagai kiai kharismatik, kediaman Kiai Djalil hampir tak pernah sepi dari kunjungan tokoh-tokoh politik lokal maupun nasional. Menjelang Pemilu legislatif dan Pemilu presiden 2004 lalu, misalnya, kediaman Kiai Djalil banyak menjadi singgahan tokoh-tokoh politik nasional.
Saat itu, beberapa tokoh nasional yang berkunjung ke kediaman Kiai Djalil, di antaranya, Nurcholis Madjid (Cak Nur), mantan Wapres, Try Soetrisno, Amien Rais, Yusuf Kalla dan tentu saja KH Abdurrohman Wahid (Gus Dur) yang sudah tak terbilang jumlahnya mendatangi pondok Kiai Djalil.
Keterangan foto : Kiai Abdul Djalil saat menerima kunjungan mantan Wapres Try Soetrisno bersama istrinya, sebelum Pemilu 2004 lalu. Saat itu, Try Soetrisno juga merayakan ulang tahunnya di kediaman Kiai Djalil.
SYEIKH MUHAMMAD ABDUL MALIK: Mursyid Sederhana dan Penyayang Santri Miskin
Purwokerto adalah ibukota kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah yang terletak di selatan Gunung Slamet, salah satu gunung
berapi yang masih aktif di pulau Jawa. Purwokerto merupakan salah satu pusat
perdagangan dan pendidikan di kawasan selatan Jawa Tengah.
Sementara kabupaten Banyumas sendiri merupakan sebuah kawasan kebudayaan yang memiliki ciri khas tertentu di antara keanekaragaman budaya Jawa yang disebut sebagai budaya Banyumasan. Ciri khas ini ditandai dengan kekhasan dialek bahasa, citra seni dan tipologi masyarakatnya.
Bentang alam wilayah banyumasan berupa dataran tinggi dan pegunungan serta lembah-lembah dengan bentangan sungai-sungai yang menjamin kelangsungan pertanian dengan irigasi tradisional. kondisi yang demikian membenarkan kenyataan kesuburan wilayah ini (gemah ripah loh jinawi).
Dulunya, kawasan ini adalah tempat penyingkiran para pengikut Pangeran Diponegoro setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak aneh, bila hingga masa kini masih terdapat banyak sekali keluarga-keluarga yang memiliki silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya.
Keluarga-keluarga keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-tokohnya yang telah menyingkir dari pusat kerajaan Matararam waktu itu, kemudian menurunkan para pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh ulama hingga saat ini.
Salah satu dari sekian banyak tokoh ulama keturunan Pangeran Diponegoro di kawasan Banyumas ini adalah Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas, Mursyid Thariqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah dan Thariqoh Syadzaliyah di Jawa Tengah.
Silsilah dan Pendidikan
Sudah menjadi tradisi di kawasan Banyumasan kala itu, apabila ada seorang ibu hendak melahirkan, maka dihamparkanlah tikar di atas lantai sebagai tempat bersalin. Suatu saat ada seorang ibu yang telah mempersiapkan persalinannya sesuai tradisi tersebut, namun rupanya sang bayi tidak juga kunjung terlahir. Melihat hal ini, maka sang suami segera memerintahkan istrinya untuk pindah ke tempat tidur dan menjalani persalinan di atas ranjang saja. Tak berapa lama terlahirlah seorang bayi mungil yang kemudian dinamakan Muhammad Ash'ad, artinya Muhammad yang naik (dari tikar ke tempat tidur). Peristiwa ini terjadi di Kedung Paruk Purwokerto, pada hari Jum'at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H. (1881 M.) Nama lengkapnya adalah Muhammad Ash'ad bin Muhammad Ilyas. Kelak bayi mungil ini lebih dikenal sebagai Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk Purwokerto.
Beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan "Surat Kekancingan" (semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash'ad, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.
Sejak kecil, Abdul Malik memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya. Setelah belajar al-Qur'an kepada ayahnya, Abdul Malik diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kyai Abu bakar bin Haji Yahya Ngasinan, Kebasen, Banyumas.
Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja,sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini terdapat saudara Abdul Malik yang bernama Kyai Muhammad Affandi, seorang ulama sekaligus saudagar kaya raya. Memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci.
Ketika menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur'an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1327 H. Abdul Malik pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram. Selanjutnya ia berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya (Muhammad Ilyas) meninggal dalam usia 170 tahun dan dimakamkan di Sokaraja.
Sepeninggal ayahnya, Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan kaki. Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah. Abdul Malik kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Sejak saat ini, ia kemudian lebih dikenal sebagai Syeikh Abdul Malik Kedung Paruk.
Guru-Guru Syeikh Abdul Malik mempunyai banyak guru, baik selama belajar di Tanah Air maupun di Tanah Suci. Di antara guru-gurunya adalah Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha' dan Sayyid Muhammad Syatha', keduanya merupakan ulama besar Makkah dan Imam Masjidil Haram dan Sayyid Alwi Syihab bin Shalih bin Aqil bin Yahya.
Sebelum berangkat ke tanah Suci, Syeikh Abdul Malik sempat berguru kepada Kyai Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad Fad'aq (seorang ulama besar yang berusia cukup panjang, wafat dalam usia 141 tahun), Habib 'Aththas Abu Bakar al-Atthas; Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya; Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas Bogor.
Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah, Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi Al-Makki (Mekkah).
Selama bermukim di Makkah, Syeikh Abdul Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi'i, diberi kesempatan untuk mengajar berbagai ilmu agama termasuk, tafsir dan qira'ah sab'ah. Sempat menerima kehormatan berupa rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes.
Menurut beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam suatu waktu. Di samping belajar di tanah Suci selama 15 tahun, ia juga seringkali membimbing jamaah haji Indonesia asal Banyumas, bekerjasama dengan Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini dilakukan dalam waktu yang relatif lama, jadi sebenarnya, masa 35 tahun itu tidaklah mutlak.
Perjuangan Fisik
Adalah tidak benar, jika para ulama ahli tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh, kumal dan mengabaikan urusan-urusan duniawi. Meski tidak berpakaian Necis, namun mereka senantiasa tanggap terhadap berbagai kejadian yang ada di sekitarnya. Ketika zaman bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing, para ulama ahli Thoriqoh senyatanya juga turut berjuang dalam satu tarikan nafas demi memerdekakan bangsanya.
Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syeikh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, ia justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka ia pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.
Pada masa Gestapu, Syeikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.
Kepribadian Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca al-Qur'an dan Shalawat. Dikenal sebagai ulama yang mempunyai berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian akhlakul karimah. Maka amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.
Syeikh Abdul Malik adalah pribadi yang sangat sederhana, santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya, terutama kepada mereka yang miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup. Santri-santri yang biasa dikunjunginya ini, selain mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuh waluh, Bojong, juga sanri-santri lain yang tinggal di tempat jauh.
Setiap hari Selasa pagi, dengan bersepeda, naik becak atau dokar, Syeikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian, sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan. Acara ini merupakan forum silaturrahim bagi para pengikut Thoriqah Naqsyabandiyah Kholidiyah Kedung paruk yang diisi dengan pengajian dan tawajjuhan.
Syeikh Abdul Malik juga dikenal memiliki hubungan baik dengan para ulama dan habaib, Bahkan dianggap sebagai guru bagi mereka, seperti KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Soleh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi (Brani, Probolinggo), dan lain-lain.
Termasuk di antara para ulama yang sering berkunjung ke kediaman Syeikh Abdul Malik ini adalah Syeikh Ma'shum (Lasem, Rembang) yang sering mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik sebagai tabarruk (meminta barakah) kepadanya. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Kholil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas). Para ulama ini merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur'an, namun tetap belajar ilmu al-Qur'an kepada Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk.
Sementara itu, murid-murid langsung dari Syeikh Abdul Malik di antaranya adalah KH Abdul Qadir, Kiai Sa'id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah), KH Sahlan (Pekalongan), Drs. Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma'shum (Purwokerto) dan lain-lain.
Selain, menularkan ilmunya kepada santri-santi yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin umat, Syeikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kyai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.
Keluarga
Syeikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di antaranya dikaruniai keturunan. Istri pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri gurunya, K Abu Bakar bin H Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun).
Ada sebuah cerita unik tentang putera pertamanya ini. Ahmad Busyairi adalah seorang pemuda yang meninggal dunia sebelum sempat menikah. Suatu hari Syeikh Abdul Malik berkata padanya, "Nak, besok kamu menikah di surga saja ya?" Mendengar ayahnya bertutur demikian, muka Busyairi terlihat ceria dan hatinya merasa sangat gembira. Beberapa waktu kemudian, ia meninggal sebelum berkesempatan menikah.
Istri kedua Syeikh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari Syeikh Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, "Pak Kyai, meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan ceraikan saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat." Mendengar permintaan ini, Syeikh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya.
Sedangkan istri ketiga-nya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan bernama Hj. Siti Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal Syekh Abdul Malik. Dari puterinya inilah nasab Syeikh Abdul Malik diteruskan.
Pesan dan Berpulang
Salah seorang cucu Syeikh Abdul Malik mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang disampaikan Beliau kepada cucu-cucunya. Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan shalat sebagaimana telah dicontohkan Rasululah SAW. Lakukan shalat fardhu pada waktunya secara berjama'ah. Perbanyak shalat sunnah serta ajarkan kepada para generasi penerus sedini mungkin.
Kedua, jangan tinggalkan membaca al-Qur'an. Baca dan pelajari setiap hari serta ajarkan sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan al-Qur'an di mana pun berada. Jadikan sebagai pedoman hidup dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati orang-orang yang hafal al-Qur'an dan qari'-qari'ah serta muliakan tempat-tempat pelestariannya.
Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat, baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan teladani kehidupan Rasulullah SAW serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.
Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M. sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum'at), Syekh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan shalat Isya' dan masuk ke dalam kamar khalwat-nya. Tiga puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun berhembus. Syeikh Abdul Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum'at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto.
Tradisi pemikiran pesantren mencapai puncaknya dengan munculnya berbagai ulama tangguh secara internasional oleh dunia Islam di masanya.
'Islam Indonesia hanya konsumer. Bukan produser pemikiran.'' Pernyataan ini ditegaskan seorang dosen Universitas Indonesia lulusan Australia, beberapa tahun lalu, tepatnya sebelum pemilu 2004. Tak jelas apa motif dan dasar argumentasinya dia mengatakan seperti itu. Namun, yang pasti karena acara itu sifatnya forum internasional, apalagi pidato itu diucapkan dalam bahasa Inggris, para hadirin yang sebagian pesertanya adalah orang asing, hanya terlihat mengangguk mengiyakan saja. Tak jelas apa mereka paham atau tidak akan substansinya.
Namun, beberapa waktu kemudian ketika soal ini ditanyakan kepada Guru Besar dan Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN), Prof DR Azyumardi Azra, dia menjawabnya dengan pernyataan pendek yang disertai senyuman ringan.''Ya mungkin dia terlalu bersemangat saja,'' kata Azyumardi.
Pernyataan ini semakin menggelitik ketika membaca kembali tulisan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 18 September 1982. Dalam tulisan itu Gus secara panjang lebar menulis berbagai kazanah pemikiran Islam hasil karya anak negeri sendiri. Warisan kekayaan intelektual ini merupakan karya para kai kondang yang tersebar di berbagai pesantren, baik itu dari pesantren Jawa maupun luar Jawa.
Gus Dur mengatakan melihat berbagai karya itu, maka dapat disimpulkan bahwa para kyai dan santri yang tersebar di berbagai pondok pesantren itu ternyata tak hanya menggantungkan diri pada teks-teks pemikiran Islam yang dianggap `berasal dari negeri Arab' (padahal pemikiran Islam ini sebenarnya datang dari berbagai penjuru dunia, seperti Afrika Barat, Asia Tengah, dan India.
Dari tradisi pemikiran pesantren itu kemudian mencapai puncaknya dengan munculnya berbagai `ulama tangguh' yang diakui secara internasional oleh dunia Islam di massanya. Sebut saja misalnya, Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Mahfudz Termas (Pacitan), Kiai Muhtaram (Banyumas), dan Kiai Ahmad Khatib (Padang), serta Kiai Abdussamad asal Palembang.
Kiprah dan integritas para kiai ini sungguh luar biasa. Mereka itu menguasai dunia keilmuan agama Islam di Makkah selama puluhan tahun, tepatnya disekitar peralihan abad keseimbilan belas hingga ke abad dua puluh.
Gus Dur menulis, pengakuan kepada kedalaman keilmuan para `kiai besar' itu masih terasa hingga kini. Syekh Yassin asal Padang misalnya, mendapat kehormatan untuk menaturalisasi (tajannus) status kewarganegaraannya sebagai warga negara Arab Saudi. Sampai sekarang karya tulis Syekh Yasin ini tersebar dan dijadikan rujukan di seluruh penjuru dunia Islam.
Senasib dengan berbagai karya Syekh Yasin, karya Kiai atau Syekh Nawawi asal Banten juga mendunia. Kitab yang ditulisnya yang membahas mengenai persoalan tauhid (teologi), Nur Al-Dhalam, digunakan sebagai teks dasar pesantren hingga saat ini. Bahkan, sebagai bukti pengakuan akan ketinggian ilmunya, Kiai Nawawi diberi gelar prestisius sebagai `pemuka ulama Makkah dan Madinah (sayid ulama Al-Hijaz). Karya tulis Nawawi yang terkenal lainnya adalah berupa kumpulan pilihan`hadits empat puluh' (Hadits Al-Arba'in). Karya ini dipergunakan sebagai teks dasar bagi siapa pun yang ingin belajar ilmu hadits.
Pemikir Islam `made in' Indonesia yang tak kalah penting lainnya adalah Kiai Ihsan dari Pesantren Jampes (Kediri). Dia menulis kitab Siraj Al Talibin, yang merupakan komentar atas karya klasik Al Ghazali yang ditulis pada periode awal tahun 1000 M: Minhaj Al-`Abidin. Mutu karya yang terdiri dari dua jilid ini bernilai tinggi, sehingga dijadikan buku wajib untuk kajian mahasiswa post-graduate di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Buku ini menjadi buku penting dengan materi berisi pembahasan mengenai tasawuf dan akhlak.
Namun, di antara figur tersebut ada sebuah nama pemikir penting Islam Indonesia yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, yakni KH Bisri Mustofa dari Rembang (Bisyri Musthafa Al-Rambani). Kiai ini menulis lebih dari dua puluh karya, termasuk sebuah tafsir Alquran yang berjumlah tiga jilid. Sosok pemikir pesantren berikutnya adalah Kiai Misbah b Zain AL-Musfata dari Bangilan, Ahmad Subki Masyhadi dari Pekalongan, dan Asrofi dari Wonosari yang menerjemahkan beberapa teks Islam klasik dan menulis berjilid-jilid tafsir Alquran berbahasa Jawa.
Sedangkan penulis kondang beretnis Sunda yang terkenal sebagai penulis Kiai Ahmad Sanusi dari Sukabumi yang juga menjadi pendiri organisasi Al-Ittihadiyyatul Islamiyah. Dia menulis tafir Alquran. Sedangkan pemikir Islam asal Sumatera diantaranya adalah Akhmad Khatib. Pemikiran dia bahkan sempat menjadi polemik yang menarik pada awal abad ke 20 di mana Indonesai mulai menyemai semangat kemerdekaan secara lebih sistematis.
Selain itu, pemikir Islam asal etnis Minangkabau lainnya adalah Mahmud Yunus dan Abdul Hakim. Keduanya telah menulis sejumlah buku teks dalam bahasa Melayu dan Arab. Beberapa karyanya dijadikan bahan pelajaran di madrasah dan pesantren dan dipelajari secara luas oleh masyarakat.
Geneologi Sejarah Pesantren
Asal usul dan kapan persisnya munculnya pesantren di Indonesia sendiri belum bisa diketahui dengan pasti. Bahkan, peneliti tarekat dan tradisi Islam asal Belanda, Martin Van Bruinessen, menyatakan tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Namun, memang banyak pihak yang menyebut dengan berpijak pada pendapat sejarawan yang banyak mengamati kondisi masyarakata Jawa, Pigeud dan de Graaf pesantren sudah ada semenjak abad ke 16.
'Namun tidak jelas, apakah semua itu merupakan lembaga pendidikan tempat pengajaran langsung. Karena sebutan `pesantren' (sebuah istilah yang menurut saya baru muncul belakangan), patut dipertanyakan,''tulis Martin dengan mengutip pendapat pakar sejarah, Hoesien Djajadingrat, yang menulis buku mengenai sejarah Banten.
Disamping itu, menurut Martin, banyak penulis yang cenderung mengatakan bahwa keberadaan pesantren sebagai sarana kesenimbanguan dengan lembaga pendidikan pra-Islam, yang muncul dalam desa Perdikan. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya tetap, karena dengan status sebagai wilayah `bebas pajak kerja rodi' keterkaitan pesantren dengan desa Perdikan itu tampaknya tidak ada sangkut pautnya.
Apalagi, melalui survei pemerintahan kolonial Belanda yang dilakukan pada akhir abad ke-19, ternyata dari 211 desa Perdikan yang ada, ternyata hanya empat desa saja yang penghasilannya diberikan untuk membiayai pesantren. Inilah yang kemudian menguatakan argumenatsi bahwa pesantren berdiri tersendiri dan tidak ada sangkut pautnya dengan adanya desa Perdikan itu.
Dari catatan sejarah, lembaga pendidikan pesantren tertua dadalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo, yang didirikan pada tahun 1724. Namun sekitar seabad kemudian, yakni melalui survei Belanda tahun 1819, tampak sekali bahwa pesantren tumbuh dan berkembang secara sangat pesat, terutama di seluruh pelosok Pulau Jawa. Survei itu melaporkan lembaga pendidikan ini sudah terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo.
Melihat data itu Martin Van Bruinessen yakin bahwa sebelum abad ke 18 atau sebelum berdirinya Pesntren Karang, belum ada lembaga yang layak disebut pesantren. Yang ada hanyalah tempat pengajaran perorangan atau perorangan biasa atau tidak terstruktur.
Pada fakta lain, dalam Serat Centhini, memang sempat disebutkan bahwa tokoh Jayengresmi yanh hidup sezaman dengan Sultan Agung Mataram, yaitu pada paruh Abad ke-17, mempunyai lembaga pendidikan pesantren. Tapi ini diragukan karena serat Centhini baru disusun pada awal abad ke-19. Sedangkan, `klaim' lain bahwa pesantren sudah berdiri sejak ke-16 atau seiring masuknya Islam di Banten sudah ada pesantren yang disebut Perguruan Karang, juga diragukan.
Kisah Tiga Super Star
Dari sekian banyak kiai pemikir itu ternyata ada tiga sosok yang masuk dalam kategori super star. Mereka adalah Syech Nawawi Banten (wafat sekitar 1896-1897 M), Ahmad Khatib dari Minangkabau (wafat 1915), Kiai Mahfuzh dari Termas (wafat sekitar 1919-1920). Semasa hidupnya mereka mampu menjadi intelektual terkemuka di Makkah yang saat itu menjadi salah satu pusat pemikiran agama Islam.
Snouck Hugronye yang pernah cukup lama tinggal di Makkah untuk menyelidiki pengaruh pemikiran Islam di Indonesia, pernah menyebut Syechk Nawawi Banten (lengkapnya Muhammad bin' Umar Nawawi Al Bantani) sebagai orang yang paling dalam pengetahuanya di Makkah namun mempunyai sifat rendah hati. Nawawi juga penulis produktif. Muridnya datang dari berbagai penjuru dunia. Dan karya Nawawi pun hingga kini masih dikaji di seluruh pesantren. Bahkan semua kiai zaman sekarang menganggap dia sebagai nenek moyang intelektual mereka.
Sosok `kiai super' kedua adalah Ahmad Khatib yang berasal dari Sumatera Barat. Dia adalah salah seorang dari Indonesia yang pertama kali mendapatkan izin mengajar di Masjidil Haram dan dijadikan sebagai salah seorang imam di sana. Kehormatan menjadi imam sungguh besar artinya karena jabatan ini biasanya hanya diperuntukan bagi ulama kelahiran Makkah saja.
Sosok Ahmad Khatib juga dikenal sebagai bapak reformasi keagamaan di Indonesia. Dia terkenal menjadi figure pemikir yang berani berpolemik melawan adat suku asalnya (Minangkabau) dan `melawan' pemikiran tarekat Naqsabandiyah (sebuah tarekat yang punya pengikut yang paling banyak di Sumatera Barat). Beberapa kitab hasil pemikirannya masih dipakai di beberapa pesantren hingga sekarang.
Tokoh besar ketiga adalah Kiai Mahfuzh asal Termas. Posisi dia cukup strategis teruama bagi para kiai yang tinggal di Pulau Jawa. Bahkan, sosok Mahfuzh bagi para kiai yang tinggal Jawa lebih dihormati, misalnya bila dibandingkan dengan posisi penghormatan kepada Syech Nawawi dari Banten itu. Figur istimewa dari Mahfuzh semakin dapat dimengerti karena dia merupakan guru pendiri Jamiah Nahdlatul Ulama, yakni KH Hasyim Asy'ari dari Jombang. Posisi inilah yang kemudian dipahami sebagai penyebab tingginya reputasi Kiai Mahfuzh itu.
Mahfuzh sendiri menyelesaikan pendidikannya di bawah bimbingan guru-guru Arab terkenal yang mengajar di Masjidil Haram. Karya dia yang penting adalah berupa empat jilid kitab fiqih yang merupakan komentar atas sebuah kitab saat itu banyak dipakai di Indonesia: kitab Mauhibah Dzawai Al Fadhl yang dicetak di Mesir pada 1315 H/1897-9 M.
Selain itu, Mahfuzh, juga merupakan ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kita hadis Shahih Bukhari. Dan setelah tiga ulama ini, hingga kini belum ada ada orang Indonesia yang setara dengannya, misalnya mampu menjadi pengajar agama atau imam di Masjid Al Haram, di Makkah.
Sementara kabupaten Banyumas sendiri merupakan sebuah kawasan kebudayaan yang memiliki ciri khas tertentu di antara keanekaragaman budaya Jawa yang disebut sebagai budaya Banyumasan. Ciri khas ini ditandai dengan kekhasan dialek bahasa, citra seni dan tipologi masyarakatnya.
Bentang alam wilayah banyumasan berupa dataran tinggi dan pegunungan serta lembah-lembah dengan bentangan sungai-sungai yang menjamin kelangsungan pertanian dengan irigasi tradisional. kondisi yang demikian membenarkan kenyataan kesuburan wilayah ini (gemah ripah loh jinawi).
Dulunya, kawasan ini adalah tempat penyingkiran para pengikut Pangeran Diponegoro setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak aneh, bila hingga masa kini masih terdapat banyak sekali keluarga-keluarga yang memiliki silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya.
Keluarga-keluarga keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-tokohnya yang telah menyingkir dari pusat kerajaan Matararam waktu itu, kemudian menurunkan para pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh ulama hingga saat ini.
Salah satu dari sekian banyak tokoh ulama keturunan Pangeran Diponegoro di kawasan Banyumas ini adalah Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas, Mursyid Thariqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah dan Thariqoh Syadzaliyah di Jawa Tengah.
Silsilah dan Pendidikan
Sudah menjadi tradisi di kawasan Banyumasan kala itu, apabila ada seorang ibu hendak melahirkan, maka dihamparkanlah tikar di atas lantai sebagai tempat bersalin. Suatu saat ada seorang ibu yang telah mempersiapkan persalinannya sesuai tradisi tersebut, namun rupanya sang bayi tidak juga kunjung terlahir. Melihat hal ini, maka sang suami segera memerintahkan istrinya untuk pindah ke tempat tidur dan menjalani persalinan di atas ranjang saja. Tak berapa lama terlahirlah seorang bayi mungil yang kemudian dinamakan Muhammad Ash'ad, artinya Muhammad yang naik (dari tikar ke tempat tidur). Peristiwa ini terjadi di Kedung Paruk Purwokerto, pada hari Jum'at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H. (1881 M.) Nama lengkapnya adalah Muhammad Ash'ad bin Muhammad Ilyas. Kelak bayi mungil ini lebih dikenal sebagai Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk Purwokerto.
Beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan "Surat Kekancingan" (semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash'ad, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.
Sejak kecil, Abdul Malik memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya. Setelah belajar al-Qur'an kepada ayahnya, Abdul Malik diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kyai Abu bakar bin Haji Yahya Ngasinan, Kebasen, Banyumas.
Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja,sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini terdapat saudara Abdul Malik yang bernama Kyai Muhammad Affandi, seorang ulama sekaligus saudagar kaya raya. Memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci.
Ketika menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur'an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1327 H. Abdul Malik pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram. Selanjutnya ia berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya (Muhammad Ilyas) meninggal dalam usia 170 tahun dan dimakamkan di Sokaraja.
Sepeninggal ayahnya, Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan kaki. Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah. Abdul Malik kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Sejak saat ini, ia kemudian lebih dikenal sebagai Syeikh Abdul Malik Kedung Paruk.
Guru-Guru Syeikh Abdul Malik mempunyai banyak guru, baik selama belajar di Tanah Air maupun di Tanah Suci. Di antara guru-gurunya adalah Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha' dan Sayyid Muhammad Syatha', keduanya merupakan ulama besar Makkah dan Imam Masjidil Haram dan Sayyid Alwi Syihab bin Shalih bin Aqil bin Yahya.
Sebelum berangkat ke tanah Suci, Syeikh Abdul Malik sempat berguru kepada Kyai Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad Fad'aq (seorang ulama besar yang berusia cukup panjang, wafat dalam usia 141 tahun), Habib 'Aththas Abu Bakar al-Atthas; Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya; Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas Bogor.
Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah, Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi Al-Makki (Mekkah).
Selama bermukim di Makkah, Syeikh Abdul Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi'i, diberi kesempatan untuk mengajar berbagai ilmu agama termasuk, tafsir dan qira'ah sab'ah. Sempat menerima kehormatan berupa rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes.
Menurut beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam suatu waktu. Di samping belajar di tanah Suci selama 15 tahun, ia juga seringkali membimbing jamaah haji Indonesia asal Banyumas, bekerjasama dengan Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini dilakukan dalam waktu yang relatif lama, jadi sebenarnya, masa 35 tahun itu tidaklah mutlak.
Perjuangan Fisik
Adalah tidak benar, jika para ulama ahli tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh, kumal dan mengabaikan urusan-urusan duniawi. Meski tidak berpakaian Necis, namun mereka senantiasa tanggap terhadap berbagai kejadian yang ada di sekitarnya. Ketika zaman bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing, para ulama ahli Thoriqoh senyatanya juga turut berjuang dalam satu tarikan nafas demi memerdekakan bangsanya.
Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syeikh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, ia justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka ia pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.
Pada masa Gestapu, Syeikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock dan akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.
Kepribadian Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca al-Qur'an dan Shalawat. Dikenal sebagai ulama yang mempunyai berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian akhlakul karimah. Maka amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.
Syeikh Abdul Malik adalah pribadi yang sangat sederhana, santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya, terutama kepada mereka yang miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup. Santri-santri yang biasa dikunjunginya ini, selain mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuh waluh, Bojong, juga sanri-santri lain yang tinggal di tempat jauh.
Setiap hari Selasa pagi, dengan bersepeda, naik becak atau dokar, Syeikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian, sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan. Acara ini merupakan forum silaturrahim bagi para pengikut Thoriqah Naqsyabandiyah Kholidiyah Kedung paruk yang diisi dengan pengajian dan tawajjuhan.
Syeikh Abdul Malik juga dikenal memiliki hubungan baik dengan para ulama dan habaib, Bahkan dianggap sebagai guru bagi mereka, seperti KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Soleh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi (Brani, Probolinggo), dan lain-lain.
Termasuk di antara para ulama yang sering berkunjung ke kediaman Syeikh Abdul Malik ini adalah Syeikh Ma'shum (Lasem, Rembang) yang sering mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik sebagai tabarruk (meminta barakah) kepadanya. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Kholil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas). Para ulama ini merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur'an, namun tetap belajar ilmu al-Qur'an kepada Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk.
Sementara itu, murid-murid langsung dari Syeikh Abdul Malik di antaranya adalah KH Abdul Qadir, Kiai Sa'id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah), KH Sahlan (Pekalongan), Drs. Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma'shum (Purwokerto) dan lain-lain.
Selain, menularkan ilmunya kepada santri-santi yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin umat, Syeikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kyai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.
Keluarga
Syeikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di antaranya dikaruniai keturunan. Istri pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri gurunya, K Abu Bakar bin H Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun).
Ada sebuah cerita unik tentang putera pertamanya ini. Ahmad Busyairi adalah seorang pemuda yang meninggal dunia sebelum sempat menikah. Suatu hari Syeikh Abdul Malik berkata padanya, "Nak, besok kamu menikah di surga saja ya?" Mendengar ayahnya bertutur demikian, muka Busyairi terlihat ceria dan hatinya merasa sangat gembira. Beberapa waktu kemudian, ia meninggal sebelum berkesempatan menikah.
Istri kedua Syeikh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari Syeikh Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, "Pak Kyai, meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan ceraikan saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat." Mendengar permintaan ini, Syeikh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya.
Sedangkan istri ketiga-nya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan bernama Hj. Siti Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal Syekh Abdul Malik. Dari puterinya inilah nasab Syeikh Abdul Malik diteruskan.
Pesan dan Berpulang
Salah seorang cucu Syeikh Abdul Malik mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang disampaikan Beliau kepada cucu-cucunya. Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan shalat sebagaimana telah dicontohkan Rasululah SAW. Lakukan shalat fardhu pada waktunya secara berjama'ah. Perbanyak shalat sunnah serta ajarkan kepada para generasi penerus sedini mungkin.
Kedua, jangan tinggalkan membaca al-Qur'an. Baca dan pelajari setiap hari serta ajarkan sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan al-Qur'an di mana pun berada. Jadikan sebagai pedoman hidup dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati orang-orang yang hafal al-Qur'an dan qari'-qari'ah serta muliakan tempat-tempat pelestariannya.
Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat, baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan teladani kehidupan Rasulullah SAW serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.
Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M. sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum'at), Syekh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan shalat Isya' dan masuk ke dalam kamar khalwat-nya. Tiga puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun berhembus. Syeikh Abdul Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum'at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto.
Tradisi pemikiran pesantren mencapai puncaknya dengan munculnya berbagai ulama tangguh secara internasional oleh dunia Islam di masanya.
'Islam Indonesia hanya konsumer. Bukan produser pemikiran.'' Pernyataan ini ditegaskan seorang dosen Universitas Indonesia lulusan Australia, beberapa tahun lalu, tepatnya sebelum pemilu 2004. Tak jelas apa motif dan dasar argumentasinya dia mengatakan seperti itu. Namun, yang pasti karena acara itu sifatnya forum internasional, apalagi pidato itu diucapkan dalam bahasa Inggris, para hadirin yang sebagian pesertanya adalah orang asing, hanya terlihat mengangguk mengiyakan saja. Tak jelas apa mereka paham atau tidak akan substansinya.
Namun, beberapa waktu kemudian ketika soal ini ditanyakan kepada Guru Besar dan Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN), Prof DR Azyumardi Azra, dia menjawabnya dengan pernyataan pendek yang disertai senyuman ringan.''Ya mungkin dia terlalu bersemangat saja,'' kata Azyumardi.
Pernyataan ini semakin menggelitik ketika membaca kembali tulisan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 18 September 1982. Dalam tulisan itu Gus secara panjang lebar menulis berbagai kazanah pemikiran Islam hasil karya anak negeri sendiri. Warisan kekayaan intelektual ini merupakan karya para kai kondang yang tersebar di berbagai pesantren, baik itu dari pesantren Jawa maupun luar Jawa.
Gus Dur mengatakan melihat berbagai karya itu, maka dapat disimpulkan bahwa para kyai dan santri yang tersebar di berbagai pondok pesantren itu ternyata tak hanya menggantungkan diri pada teks-teks pemikiran Islam yang dianggap `berasal dari negeri Arab' (padahal pemikiran Islam ini sebenarnya datang dari berbagai penjuru dunia, seperti Afrika Barat, Asia Tengah, dan India.
Dari tradisi pemikiran pesantren itu kemudian mencapai puncaknya dengan munculnya berbagai `ulama tangguh' yang diakui secara internasional oleh dunia Islam di massanya. Sebut saja misalnya, Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Mahfudz Termas (Pacitan), Kiai Muhtaram (Banyumas), dan Kiai Ahmad Khatib (Padang), serta Kiai Abdussamad asal Palembang.
Kiprah dan integritas para kiai ini sungguh luar biasa. Mereka itu menguasai dunia keilmuan agama Islam di Makkah selama puluhan tahun, tepatnya disekitar peralihan abad keseimbilan belas hingga ke abad dua puluh.
Gus Dur menulis, pengakuan kepada kedalaman keilmuan para `kiai besar' itu masih terasa hingga kini. Syekh Yassin asal Padang misalnya, mendapat kehormatan untuk menaturalisasi (tajannus) status kewarganegaraannya sebagai warga negara Arab Saudi. Sampai sekarang karya tulis Syekh Yasin ini tersebar dan dijadikan rujukan di seluruh penjuru dunia Islam.
Senasib dengan berbagai karya Syekh Yasin, karya Kiai atau Syekh Nawawi asal Banten juga mendunia. Kitab yang ditulisnya yang membahas mengenai persoalan tauhid (teologi), Nur Al-Dhalam, digunakan sebagai teks dasar pesantren hingga saat ini. Bahkan, sebagai bukti pengakuan akan ketinggian ilmunya, Kiai Nawawi diberi gelar prestisius sebagai `pemuka ulama Makkah dan Madinah (sayid ulama Al-Hijaz). Karya tulis Nawawi yang terkenal lainnya adalah berupa kumpulan pilihan`hadits empat puluh' (Hadits Al-Arba'in). Karya ini dipergunakan sebagai teks dasar bagi siapa pun yang ingin belajar ilmu hadits.
Pemikir Islam `made in' Indonesia yang tak kalah penting lainnya adalah Kiai Ihsan dari Pesantren Jampes (Kediri). Dia menulis kitab Siraj Al Talibin, yang merupakan komentar atas karya klasik Al Ghazali yang ditulis pada periode awal tahun 1000 M: Minhaj Al-`Abidin. Mutu karya yang terdiri dari dua jilid ini bernilai tinggi, sehingga dijadikan buku wajib untuk kajian mahasiswa post-graduate di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Buku ini menjadi buku penting dengan materi berisi pembahasan mengenai tasawuf dan akhlak.
Namun, di antara figur tersebut ada sebuah nama pemikir penting Islam Indonesia yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, yakni KH Bisri Mustofa dari Rembang (Bisyri Musthafa Al-Rambani). Kiai ini menulis lebih dari dua puluh karya, termasuk sebuah tafsir Alquran yang berjumlah tiga jilid. Sosok pemikir pesantren berikutnya adalah Kiai Misbah b Zain AL-Musfata dari Bangilan, Ahmad Subki Masyhadi dari Pekalongan, dan Asrofi dari Wonosari yang menerjemahkan beberapa teks Islam klasik dan menulis berjilid-jilid tafsir Alquran berbahasa Jawa.
Sedangkan penulis kondang beretnis Sunda yang terkenal sebagai penulis Kiai Ahmad Sanusi dari Sukabumi yang juga menjadi pendiri organisasi Al-Ittihadiyyatul Islamiyah. Dia menulis tafir Alquran. Sedangkan pemikir Islam asal Sumatera diantaranya adalah Akhmad Khatib. Pemikiran dia bahkan sempat menjadi polemik yang menarik pada awal abad ke 20 di mana Indonesai mulai menyemai semangat kemerdekaan secara lebih sistematis.
Selain itu, pemikir Islam asal etnis Minangkabau lainnya adalah Mahmud Yunus dan Abdul Hakim. Keduanya telah menulis sejumlah buku teks dalam bahasa Melayu dan Arab. Beberapa karyanya dijadikan bahan pelajaran di madrasah dan pesantren dan dipelajari secara luas oleh masyarakat.
Geneologi Sejarah Pesantren
Asal usul dan kapan persisnya munculnya pesantren di Indonesia sendiri belum bisa diketahui dengan pasti. Bahkan, peneliti tarekat dan tradisi Islam asal Belanda, Martin Van Bruinessen, menyatakan tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Namun, memang banyak pihak yang menyebut dengan berpijak pada pendapat sejarawan yang banyak mengamati kondisi masyarakata Jawa, Pigeud dan de Graaf pesantren sudah ada semenjak abad ke 16.
'Namun tidak jelas, apakah semua itu merupakan lembaga pendidikan tempat pengajaran langsung. Karena sebutan `pesantren' (sebuah istilah yang menurut saya baru muncul belakangan), patut dipertanyakan,''tulis Martin dengan mengutip pendapat pakar sejarah, Hoesien Djajadingrat, yang menulis buku mengenai sejarah Banten.
Disamping itu, menurut Martin, banyak penulis yang cenderung mengatakan bahwa keberadaan pesantren sebagai sarana kesenimbanguan dengan lembaga pendidikan pra-Islam, yang muncul dalam desa Perdikan. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya tetap, karena dengan status sebagai wilayah `bebas pajak kerja rodi' keterkaitan pesantren dengan desa Perdikan itu tampaknya tidak ada sangkut pautnya.
Apalagi, melalui survei pemerintahan kolonial Belanda yang dilakukan pada akhir abad ke-19, ternyata dari 211 desa Perdikan yang ada, ternyata hanya empat desa saja yang penghasilannya diberikan untuk membiayai pesantren. Inilah yang kemudian menguatakan argumenatsi bahwa pesantren berdiri tersendiri dan tidak ada sangkut pautnya dengan adanya desa Perdikan itu.
Dari catatan sejarah, lembaga pendidikan pesantren tertua dadalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo, yang didirikan pada tahun 1724. Namun sekitar seabad kemudian, yakni melalui survei Belanda tahun 1819, tampak sekali bahwa pesantren tumbuh dan berkembang secara sangat pesat, terutama di seluruh pelosok Pulau Jawa. Survei itu melaporkan lembaga pendidikan ini sudah terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo.
Melihat data itu Martin Van Bruinessen yakin bahwa sebelum abad ke 18 atau sebelum berdirinya Pesntren Karang, belum ada lembaga yang layak disebut pesantren. Yang ada hanyalah tempat pengajaran perorangan atau perorangan biasa atau tidak terstruktur.
Pada fakta lain, dalam Serat Centhini, memang sempat disebutkan bahwa tokoh Jayengresmi yanh hidup sezaman dengan Sultan Agung Mataram, yaitu pada paruh Abad ke-17, mempunyai lembaga pendidikan pesantren. Tapi ini diragukan karena serat Centhini baru disusun pada awal abad ke-19. Sedangkan, `klaim' lain bahwa pesantren sudah berdiri sejak ke-16 atau seiring masuknya Islam di Banten sudah ada pesantren yang disebut Perguruan Karang, juga diragukan.
Kisah Tiga Super Star
Dari sekian banyak kiai pemikir itu ternyata ada tiga sosok yang masuk dalam kategori super star. Mereka adalah Syech Nawawi Banten (wafat sekitar 1896-1897 M), Ahmad Khatib dari Minangkabau (wafat 1915), Kiai Mahfuzh dari Termas (wafat sekitar 1919-1920). Semasa hidupnya mereka mampu menjadi intelektual terkemuka di Makkah yang saat itu menjadi salah satu pusat pemikiran agama Islam.
Snouck Hugronye yang pernah cukup lama tinggal di Makkah untuk menyelidiki pengaruh pemikiran Islam di Indonesia, pernah menyebut Syechk Nawawi Banten (lengkapnya Muhammad bin' Umar Nawawi Al Bantani) sebagai orang yang paling dalam pengetahuanya di Makkah namun mempunyai sifat rendah hati. Nawawi juga penulis produktif. Muridnya datang dari berbagai penjuru dunia. Dan karya Nawawi pun hingga kini masih dikaji di seluruh pesantren. Bahkan semua kiai zaman sekarang menganggap dia sebagai nenek moyang intelektual mereka.
Sosok `kiai super' kedua adalah Ahmad Khatib yang berasal dari Sumatera Barat. Dia adalah salah seorang dari Indonesia yang pertama kali mendapatkan izin mengajar di Masjidil Haram dan dijadikan sebagai salah seorang imam di sana. Kehormatan menjadi imam sungguh besar artinya karena jabatan ini biasanya hanya diperuntukan bagi ulama kelahiran Makkah saja.
Sosok Ahmad Khatib juga dikenal sebagai bapak reformasi keagamaan di Indonesia. Dia terkenal menjadi figure pemikir yang berani berpolemik melawan adat suku asalnya (Minangkabau) dan `melawan' pemikiran tarekat Naqsabandiyah (sebuah tarekat yang punya pengikut yang paling banyak di Sumatera Barat). Beberapa kitab hasil pemikirannya masih dipakai di beberapa pesantren hingga sekarang.
Tokoh besar ketiga adalah Kiai Mahfuzh asal Termas. Posisi dia cukup strategis teruama bagi para kiai yang tinggal di Pulau Jawa. Bahkan, sosok Mahfuzh bagi para kiai yang tinggal Jawa lebih dihormati, misalnya bila dibandingkan dengan posisi penghormatan kepada Syech Nawawi dari Banten itu. Figur istimewa dari Mahfuzh semakin dapat dimengerti karena dia merupakan guru pendiri Jamiah Nahdlatul Ulama, yakni KH Hasyim Asy'ari dari Jombang. Posisi inilah yang kemudian dipahami sebagai penyebab tingginya reputasi Kiai Mahfuzh itu.
Mahfuzh sendiri menyelesaikan pendidikannya di bawah bimbingan guru-guru Arab terkenal yang mengajar di Masjidil Haram. Karya dia yang penting adalah berupa empat jilid kitab fiqih yang merupakan komentar atas sebuah kitab saat itu banyak dipakai di Indonesia: kitab Mauhibah Dzawai Al Fadhl yang dicetak di Mesir pada 1315 H/1897-9 M.
Selain itu, Mahfuzh, juga merupakan ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kita hadis Shahih Bukhari. Dan setelah tiga ulama ini, hingga kini belum ada ada orang Indonesia yang setara dengannya, misalnya mampu menjadi pengajar agama atau imam di Masjid Al Haram, di Makkah.
(28 Apr 2008, Fajar Makassar) MAKASSAR--Keluarga besar (KB) Tarekat Khalwatiyah Samman Pattene, Maros kemarin bersilaturahmi di rumah pribadi Iriantosyah Kasim DM. Mereka memberikan motivasi pada Iriantosyah Kasim untuk maju di Pilkada Kota Makassar.Ketua Tarekat Khalwatiyah Samman Pattene, HA Sahabuddin Puang Rapi, mengakui kedatangannya ke rumah Anto, panggilan akrab Iriantosyah, karena mendengar kabar sahabat dan kerabatnya itu akan maju di Pilkada Makassar.
“Kami sangat gembira ada keluarga yang ingin maju sebagai pemimpin Kota Makassar,” kata Sahabuddin Puang Rapi. Ditambahkan, kedatangannya bersama rombongan hanya silaturahmi biasa untuk menindaklanjuti kedatangan pertamanya beberapa waktu lalu.
Ia juga mengakui bahwa keluarga besar Tarekat Khalwatiyah Pattene, sangat dekat dengan keluarga Anto.
“Orangtua kami sudah seperti saudara dengan orangtua Pak Anto. Dan kami generasinya, melanjutkan kekerabatan itu dalam berbagai bentuk kegiatan,” terangnya.
Anggota Tarekat Khalwatiyah Samman Pattene lainnya yang hadir, antara lain; HA Abd Karim Puang Nippi, Puang Rewa, Puang Sese, Puang Sau, dan Andi Muhammad AM.
Karena Anto ada keinginan untuk maju, kata Puang Rapi, maka sebagai kerabat dan sahabat dekat pihaknya berkewajiban ikut membantu.
“Kami tidak terlibat dalam politik, tetapi kami memiliki kewajiban moral untuk mendukung calon yang kami anggap mampu,” terangnya. HAM Nasir Puang Sila menambahkan, bila Anto maju maka pihaknya akan memberikan dukungan maksimal. Mulai dari pemasangan baliho, posko pemenangan, hingga penggalangan kekuatan di basis-basis Khalwatiyah Samman Pattene.
“Jumlah jemaah kami kira-kira 30 ribu di Makassar dan tersebar di 14 kecamatan. Mereka rata-rata memiliki pengaruh yang kuat di lingkungannya masing-masing,” katanya. Ia memperkirakan, anggotanya bisa menghasilkan sampai 100 ribu suara untuk Anto.
Sementara HA Sirajuddin Puang Ngile menyatakan apa pun posisi Iriantosyah Kasim, wakil atau walikota, pihaknya siap memberikan dukungan. “Dan, dengan siapa pun Pak Anto berpasangan kami siap mendukung,” tegasnya.
Anto sendiri menyatakan sangat berterima kasih atas dukungan sahabat dan kerabatnya itu. “Sebetulnya pertemuan ini silaturahmi rutin yang kami lakukan sebagai sahabat dan kerabat. Tetapi, karena kebetulan saya punya niat mencalonkan diri sebagai wakil walikota Makassar, mereka datang memberikan motivasi kepada saya,” tandasnya.
Pendamping Ilham
Kandidat Walikota Makassar, Ilham Arif Sirajuddin hampir dipastikan akan menggandeng Supomo Guntur dalam pilkada Makassar, Oktober mendatang. Tetapi Sekretaris DPD Golkar Makassar, Farouk M Betta mengatakan, pihaknya tetap akan mengusulkan tiga nama calon wakil walikota ke DPD Golkar Sulsel.
Tiga nama yang akan diusul itu berdasarkan rating popularitas sesuai hasil survei. Selain Supomo, figur lain yang akan diusulkan adalah Wakil Walikota Makassar Andi Herry Iskandar, dan Kepala Dinas Prasarana Wilayah Sulsel Iriantosyah Kasim.
“Mungkin akan dikirim tiga nama ini ke DPD I. Jika nama-nama tersebut sudah diterima DPD I dan disetujui, maka akan dikembalikan ke Pak Ilham untuk menentukannya sendiri,” jelas Farouk.
Ilham akan menentukan pasangannya 8 Mei mendatang. Walikota Makassar itu mengaku masih membicarakan siapa yang akan menjadi wakilnya. “Syarat calon wakil saya ada dua. Mereka bisa diajak kerja sama dan mampu berpikir untuk kepentingan masyarakat. Jika keduanya dipenuhi, akan saya tunjuk jadi wakil,” kata Ilham.
Untuk pilkada Makassar, Ketua Bappilu DPP Golkar, Andi Mattalatta mewanti-wanti kader beringin di daerah ini untuk solid mengampanyekan Ilham. “Ini merupakan pertarungan partai.
Kalau calon yang diusung partai menang, maka partai yang menikmati. Begitu juga kalau calon yang diusung kalah maka dampaknya akan dirasakan partai,” kata Mattalatta saat menghadiri konvensi Golkar Makassar, Sabtu, 26 April.
Ia pun menguraikan bahwa keran demokrasi internal Partai Golkar yang dibuka beberapa tahun lalu, terbukti tidak membuahkan hasil maksimal. Calon kepala daerah misalnya, tidak mencapai target Partai Golkar. Karena itu, strategi diubah dengan memperketat pencalonan dan mengerahkan seluruh kader untuk memenangkan calon yang diusung partai.
Mattalatta juga menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah ini adalah tangga menuju Pilpres 2009. “Jadi kita harus membuat tangga-tangganya menuju tujuan utama kita memenangkan calon yang diusung pada Pilpres 2009,” jelasnya.
“Pasanglah baliho mendukung Pak Ilham dengan mengikutkan foto. Jadi sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui,” jelas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu. (upi-die)
Said Aqil: Tarekat Diharapkan Kembangkan Upaya Sosial Ekonomi
Rabu, 23 Maret 2005
15:07
Jakarta, NU Online
Ketua PBNU KH Said Agil Siradj mengungkapkan bahwa untuk lebih mensejahterakan jamaahnya, terekat diharapkan lebih meningkatkan upaya sosial disamping mengurusi dzikir, wirid dan spiritualitas.
Tokoh-tokoh sufi zaman dahulu hidup dalam berbagai profesi dan mereka menjalaninya dengan serius. Ada seorang sufi yang menjadi kepala negara, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Ada sufi yang ahli matematik yang malah menciptakan ilmu al Jabar, yaitu Jabar bin Hayyam.
“Ini menunjukkan bahwa aktifitas wirid dan spiritual tidak bertentangan dengan aktifitas ilmu pengetahuan. Dan juga kesan bahwa tarekat sasma dengan kumpulannya orang yang tidak berpendidikan bisa juga terhapus,” tandasnya.
Said Agil mencontohkan ada juga seorang sufi yang kaya. Imam al Junaid mendapat tambahan nama al Qowariri dibelakang namnya karena ia memiliki perusahaan pabrik botol, demikian juga Abu Said al Qorros merupakan pengusaha sutra, serta Fariduddin al Attor sebagai pengusaha parfum,
“Jadi dari ini saja diketahui bahwa para sufi juga pengusaha. Syeikh Abu Hasan as Syadzili, pendiri tarekat syadziliyah merupakan orang kaya. Ia bahkan menanggung muridnya yang sebanyak 6000,” tandasnya.
“Ini menunjukkan bahwa tidak benar tasawuf bertentangan dengan aktifitas duniawiyah. Yang penting bagaimana dunia tidak mempengaruhi hatinya, tidak mempengaruhi sikap moralnya, tegasnya.
Kyai-kyai NU zaman dahulu bisa dikatakan sebagai orang yang, Kyai Hasyim As’yari berprofesi sebagai petani yang kaya, Kyai Wahab dari Surabaya, Kyai Ali Maksum dari Jogja, Kyai Ahmad Siddiq dari Jember, semuanya merupakan kyai yang cukup.
Pada tanggal 27-30 Maret Jam’iyyah Ahlut Thariqat al Mu’tabarah An Nahdliyyah akan mengadakan muktamar ke 10 di Pekalongan. Said Aqil mengungkapkan bahwa sebenarnya tarekat merupakan jaringan yang sangat kokoh dan luas di dalam lingkup Nahdlatul Ulama, malah boleh dibilang jaringan ini lebih kokoh dan lebih luas dari pesantren, tetapi tarekat lebih merakyat, lebih egaliter, lebih mengakar dan lebih kokoh.(mkf)
Jakarta, NU Online
Ketua PBNU KH Said Agil Siradj mengungkapkan bahwa untuk lebih mensejahterakan jamaahnya, terekat diharapkan lebih meningkatkan upaya sosial disamping mengurusi dzikir, wirid dan spiritualitas.
Tokoh-tokoh sufi zaman dahulu hidup dalam berbagai profesi dan mereka menjalaninya dengan serius. Ada seorang sufi yang menjadi kepala negara, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Ada sufi yang ahli matematik yang malah menciptakan ilmu al Jabar, yaitu Jabar bin Hayyam.
“Ini menunjukkan bahwa aktifitas wirid dan spiritual tidak bertentangan dengan aktifitas ilmu pengetahuan. Dan juga kesan bahwa tarekat sasma dengan kumpulannya orang yang tidak berpendidikan bisa juga terhapus,” tandasnya.
Said Agil mencontohkan ada juga seorang sufi yang kaya. Imam al Junaid mendapat tambahan nama al Qowariri dibelakang namnya karena ia memiliki perusahaan pabrik botol, demikian juga Abu Said al Qorros merupakan pengusaha sutra, serta Fariduddin al Attor sebagai pengusaha parfum,
“Jadi dari ini saja diketahui bahwa para sufi juga pengusaha. Syeikh Abu Hasan as Syadzili, pendiri tarekat syadziliyah merupakan orang kaya. Ia bahkan menanggung muridnya yang sebanyak 6000,” tandasnya.
“Ini menunjukkan bahwa tidak benar tasawuf bertentangan dengan aktifitas duniawiyah. Yang penting bagaimana dunia tidak mempengaruhi hatinya, tidak mempengaruhi sikap moralnya, tegasnya.
Kyai-kyai NU zaman dahulu bisa dikatakan sebagai orang yang, Kyai Hasyim As’yari berprofesi sebagai petani yang kaya, Kyai Wahab dari Surabaya, Kyai Ali Maksum dari Jogja, Kyai Ahmad Siddiq dari Jember, semuanya merupakan kyai yang cukup.
Pada tanggal 27-30 Maret Jam’iyyah Ahlut Thariqat al Mu’tabarah An Nahdliyyah akan mengadakan muktamar ke 10 di Pekalongan. Said Aqil mengungkapkan bahwa sebenarnya tarekat merupakan jaringan yang sangat kokoh dan luas di dalam lingkup Nahdlatul Ulama, malah boleh dibilang jaringan ini lebih kokoh dan lebih luas dari pesantren, tetapi tarekat lebih merakyat, lebih egaliter, lebih mengakar dan lebih kokoh.(mkf)
Rabu, 16 Maret 2005
13:57
Jakarta, NU Online
Sebanyak sembilan menteri dan beberapa pejabat tinggi lainnya yang meliputi Kapolri dan jaksa agung dijadwalkan akan mengisi acara dialog dan seminar dalam muktamar Jam’iyyah Ahlith Tarekat al Muktabarah an Nahdliyyah yang ke 10 di Pekalongan Jateng 27 – 30 Maret 2005.
Muktamar dijadwalkan akan dibuka oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bertempat di depan pendopo rumah dinas pejabat bupati Pekalongan di Kajen pada tanggal 27 Maret sedangkan penutupan pada tanggal 30 Maret akan ditutup oleh Wapres Jusuf Kalla di Pendopo Lama. Jl. Nusantara Pekalongan.
Walaupun kegiatan muktamar dimulai pada tanggal 27 Maret, tetapi pada tanggal 25 sudah terdapat kegiatan yang meliputi pawai taaruf muktamar yang pesertanya terdiri dari pelajar NU, umum dan masyarakat kota Pekalongan berangkat dari Lapangan Jetayu dan finish di alun-alun kota. Selain itu pada hari yang sama juga dibuka dengan pameran dan bazaar di lapangan Mataram.
Selanjutnya pada hari Sabtu, 26 Maret dimulai daftar ulang peserta di pendopo kabupaten Pekalongan Jl Nusantara dan di Gedung Kanzun Sholawat Jl. Dr. Wahidin. Pada malam harinya dilakukan malam taaruf dan istighotsah qubro bagi peserta muktamar bertempat di masjid jami’ Kauman Pekalongan.
Beberapa menteri yang akan turut mengisi dialog dan seminar adalah Menkopolhukam Widodo AS dengan tema “Peran Tarekat dalam Pembinaan Persatuan dan Kesatuan Ummat untuk Tetap Tegaknya NKRI,” yang akan berbicara pada tanggal 27 Maret pukul 19.30 – 21.00
Selanjutnya pada hari Senin, 28 Maret terdapat 4 orang menteri yang akan mengisi seminar yaitu Menteri Agama Maftuh Basuni dengan tema “Optimalisasi Peran Agama dalam Mengatasi Permasalahan Kebangsaan,” Menteri Sosial Bachtiar Chamzah dengan tema “Kebijakan Pemerintah dalam Upaya Pemerataan Kesejahtaraan Masyarakat,” Mendagri M. Ma’ruf dengan tema “Pembinaan Aparatur Pemerintah yang Bersih, Berwibawa, Profesional dan Berakhlakul Karimah,” dan Menteri BUMN Soegiharto dengan tema “Amanat Menyampaikan/Pelayanan hajat Hidup Orang Banyak dalam Pemberdayaan Ekonomi Ummat.”
Pada hari Selasa, 29 Maret, sebanyak empat menteri dijadwalkan mengisi seminar lanjutan yang meliputi Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dengan tema “Pendekatan Keagamaan dalam Menciptakan Perdamaian Dunia,” Menteri Pertambangan dan Energi Purnomo Yusgiantoro dengan tema “Pendekatan keagamaan dalam Upaya Melestarikan Lingkungan dan Sumberdaya Alam,” Menko Kesra Alwi Shihab dengan tema “Ahlith Thariqat dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Ummat” dan Mendiknas Bambang Sudibyo dengan tema “Kebijakan Pemerintah dalam Pemberdayaan Pendidikan Nasional yang Berbasis Pada Keimanan, Ketaqwaan dan Akhlaqul Karimah.”
Pada hari Rabu, 30 Maret diadakan dialog dengan Kapolri Dai Bachtiar dengan peran “Peran Ahlith Thariqat dalam Penanggulangan PEKAT” serta dialog dengan Kepala Kejaksaan Agung RI Abdurrahman Saleh dengan tema “Peran Ahlith Thariqat dalam Menegakkan Hukum dan Keadilan di Indonesia.”
Persidangan dalam muktamar akan dibagi dalam lima komisi yang meliputi Komisi Diniyah Thariqiyah, Komisi Fiqhiyah, Komisi Organisasi dan AD/ART, Komisi LPJ dan Program Kerja serta Komisi Rekomendasi dan Tausiyah. Jadual lengkap kegiatan muktamar dapat dilihat di bagian Agenda NU Online.(mkfPanitia Muktamar Jam’iyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah diterima Wapres
Jakarta, NU Online
Sebanyak sembilan menteri dan beberapa pejabat tinggi lainnya yang meliputi Kapolri dan jaksa agung dijadwalkan akan mengisi acara dialog dan seminar dalam muktamar Jam’iyyah Ahlith Tarekat al Muktabarah an Nahdliyyah yang ke 10 di Pekalongan Jateng 27 – 30 Maret 2005.
Muktamar dijadwalkan akan dibuka oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bertempat di depan pendopo rumah dinas pejabat bupati Pekalongan di Kajen pada tanggal 27 Maret sedangkan penutupan pada tanggal 30 Maret akan ditutup oleh Wapres Jusuf Kalla di Pendopo Lama. Jl. Nusantara Pekalongan.
Walaupun kegiatan muktamar dimulai pada tanggal 27 Maret, tetapi pada tanggal 25 sudah terdapat kegiatan yang meliputi pawai taaruf muktamar yang pesertanya terdiri dari pelajar NU, umum dan masyarakat kota Pekalongan berangkat dari Lapangan Jetayu dan finish di alun-alun kota. Selain itu pada hari yang sama juga dibuka dengan pameran dan bazaar di lapangan Mataram.
Selanjutnya pada hari Sabtu, 26 Maret dimulai daftar ulang peserta di pendopo kabupaten Pekalongan Jl Nusantara dan di Gedung Kanzun Sholawat Jl. Dr. Wahidin. Pada malam harinya dilakukan malam taaruf dan istighotsah qubro bagi peserta muktamar bertempat di masjid jami’ Kauman Pekalongan.
Beberapa menteri yang akan turut mengisi dialog dan seminar adalah Menkopolhukam Widodo AS dengan tema “Peran Tarekat dalam Pembinaan Persatuan dan Kesatuan Ummat untuk Tetap Tegaknya NKRI,” yang akan berbicara pada tanggal 27 Maret pukul 19.30 – 21.00
Selanjutnya pada hari Senin, 28 Maret terdapat 4 orang menteri yang akan mengisi seminar yaitu Menteri Agama Maftuh Basuni dengan tema “Optimalisasi Peran Agama dalam Mengatasi Permasalahan Kebangsaan,” Menteri Sosial Bachtiar Chamzah dengan tema “Kebijakan Pemerintah dalam Upaya Pemerataan Kesejahtaraan Masyarakat,” Mendagri M. Ma’ruf dengan tema “Pembinaan Aparatur Pemerintah yang Bersih, Berwibawa, Profesional dan Berakhlakul Karimah,” dan Menteri BUMN Soegiharto dengan tema “Amanat Menyampaikan/Pelayanan hajat Hidup Orang Banyak dalam Pemberdayaan Ekonomi Ummat.”
Pada hari Selasa, 29 Maret, sebanyak empat menteri dijadwalkan mengisi seminar lanjutan yang meliputi Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dengan tema “Pendekatan Keagamaan dalam Menciptakan Perdamaian Dunia,” Menteri Pertambangan dan Energi Purnomo Yusgiantoro dengan tema “Pendekatan keagamaan dalam Upaya Melestarikan Lingkungan dan Sumberdaya Alam,” Menko Kesra Alwi Shihab dengan tema “Ahlith Thariqat dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Ummat” dan Mendiknas Bambang Sudibyo dengan tema “Kebijakan Pemerintah dalam Pemberdayaan Pendidikan Nasional yang Berbasis Pada Keimanan, Ketaqwaan dan Akhlaqul Karimah.”
Pada hari Rabu, 30 Maret diadakan dialog dengan Kapolri Dai Bachtiar dengan peran “Peran Ahlith Thariqat dalam Penanggulangan PEKAT” serta dialog dengan Kepala Kejaksaan Agung RI Abdurrahman Saleh dengan tema “Peran Ahlith Thariqat dalam Menegakkan Hukum dan Keadilan di Indonesia.”
Persidangan dalam muktamar akan dibagi dalam lima komisi yang meliputi Komisi Diniyah Thariqiyah, Komisi Fiqhiyah, Komisi Organisasi dan AD/ART, Komisi LPJ dan Program Kerja serta Komisi Rekomendasi dan Tausiyah. Jadual lengkap kegiatan muktamar dapat dilihat di bagian Agenda NU Online.(mkfPanitia Muktamar Jam’iyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah diterima Wapres
Jumat, 25 Februari
2005 11:25
Jakarta, NU Online
Rombongan Panitia Pelaksana Muktamar Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah ke 10 yang terdiri dari KH Habib Mohammad Lutfi Ali Yahya Pekalongan dan Drs. HM. Chabib Thoha, MA melakukan audiensi dengan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla untuk melaporkan persiapan pelaksanaan muktamar semalam (24/02) di rumah dinas wapres Jl. Diponegoro.
Pertemuan tersebut sekaligus untuk mengundang wapres dalam acara penutupan muktamar yang akan diselenggarakan mulai tanggal 27 Maret – 2 April 2005 yang bertempat di kota Pekalongan Jawa Tengah. Ketua Panitia HM Chabib Thoha mengungkapkan bahwa presiden SBY direncanakan akan membuka pelaksanaan muktamar tersebut.
Kakanwil Depag Jateng tersebut juga mengungkapkan bahwa muktamar kali ini tidak ditempatkan di pesantren dan menyatu dengan masyarakat langsung. Para muktamirin akan ditempatkan di rumah-rumah penduduk. “Sudah 1500 rumah yang bersedia menampung muktamirin dan setiap rumah rata-rata bersedia menampung 5 orang serta 700 mobil yang siap dipinjamkan untuk kepentingan muktamar dari warga Pekalongan dan sekitarnya. Ini merupakan pesta rakyat untuk tarekat” ungkapnya.
Untuk acara-acara persidangan kegiatan resmi muktamar lainnya akan ditempatkan di gedung pemerintahan di Kota Pekalongan, Kab. Pekalongan dan Kab. Batang.
Beberapa kegiatan penunjang juga dilakukan seperti seminar di STAIN Pekalongan dengan tema “Peranan Tarekat dalam Mengatasi Persoalan Bangsa dan Negara.” Untuk memeriahkan acara tersebut juga dilakukan bazaar yang diikuti oleh 35 kabupaten dan kota di Jawa Tengah serta para pengusaha.
“Dalam bazaar ini, panitia tak mengambil keuntungan, tetapi mereka diwajibkan memberikan souvenir tentang tarekat, terserah bentuknya sebagai salah satu bentuk sosialisasi tarekat,” tambahnya.
Selain itu juga terdapat kuis yang bisa diikuti oleh peserta mulai dari SD/MI, SMP/Madrasah Tsanawiyah, SMU/Madrasah Aliyah dan umum.
Peserta muktamar terdiri dari idarah syu’biyah (pengurus cabang), idarah wustho (pengurus wilayah) dan idaroh aliyah (pengurus besar). Saat ini sudah terdapat 170 cabang dan 17 pengurus wilayah yang sudah memiliki SK. “ini menunjukkan bahwa masih banyak warga NU yang belum mengikuti tarekat,” tandasnya.(mkf) Muktamar Tarekat NU Mungkin akan Bentuk Majelis Iftaq
Jakarta, NU Online
Rombongan Panitia Pelaksana Muktamar Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah ke 10 yang terdiri dari KH Habib Mohammad Lutfi Ali Yahya Pekalongan dan Drs. HM. Chabib Thoha, MA melakukan audiensi dengan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla untuk melaporkan persiapan pelaksanaan muktamar semalam (24/02) di rumah dinas wapres Jl. Diponegoro.
Pertemuan tersebut sekaligus untuk mengundang wapres dalam acara penutupan muktamar yang akan diselenggarakan mulai tanggal 27 Maret – 2 April 2005 yang bertempat di kota Pekalongan Jawa Tengah. Ketua Panitia HM Chabib Thoha mengungkapkan bahwa presiden SBY direncanakan akan membuka pelaksanaan muktamar tersebut.
Kakanwil Depag Jateng tersebut juga mengungkapkan bahwa muktamar kali ini tidak ditempatkan di pesantren dan menyatu dengan masyarakat langsung. Para muktamirin akan ditempatkan di rumah-rumah penduduk. “Sudah 1500 rumah yang bersedia menampung muktamirin dan setiap rumah rata-rata bersedia menampung 5 orang serta 700 mobil yang siap dipinjamkan untuk kepentingan muktamar dari warga Pekalongan dan sekitarnya. Ini merupakan pesta rakyat untuk tarekat” ungkapnya.
Untuk acara-acara persidangan kegiatan resmi muktamar lainnya akan ditempatkan di gedung pemerintahan di Kota Pekalongan, Kab. Pekalongan dan Kab. Batang.
Beberapa kegiatan penunjang juga dilakukan seperti seminar di STAIN Pekalongan dengan tema “Peranan Tarekat dalam Mengatasi Persoalan Bangsa dan Negara.” Untuk memeriahkan acara tersebut juga dilakukan bazaar yang diikuti oleh 35 kabupaten dan kota di Jawa Tengah serta para pengusaha.
“Dalam bazaar ini, panitia tak mengambil keuntungan, tetapi mereka diwajibkan memberikan souvenir tentang tarekat, terserah bentuknya sebagai salah satu bentuk sosialisasi tarekat,” tambahnya.
Selain itu juga terdapat kuis yang bisa diikuti oleh peserta mulai dari SD/MI, SMP/Madrasah Tsanawiyah, SMU/Madrasah Aliyah dan umum.
Peserta muktamar terdiri dari idarah syu’biyah (pengurus cabang), idarah wustho (pengurus wilayah) dan idaroh aliyah (pengurus besar). Saat ini sudah terdapat 170 cabang dan 17 pengurus wilayah yang sudah memiliki SK. “ini menunjukkan bahwa masih banyak warga NU yang belum mengikuti tarekat,” tandasnya.(mkf) Muktamar Tarekat NU Mungkin akan Bentuk Majelis Iftaq
Jumat, 4 Maret 2005
14:21
Jakarta, NU Online
Muktamar Jam’iyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah ke 10 yang akan dilaksanakan pada 27 Maret –2 April 2005 di Pekalongan Jateng akan membahas berbagai persoalan penting dalam komunitas tarekat.
“Salah satu hal penting adalah kemungkinan dibentuknya majelis iftaq untuk menampung musyid dari berbagai aliran tarekat dalam satu cabang karena selama ini dengan hanya melibatkan pengurus struktural, keterlibatan mursyid tersebut kurang maksimal,” tandas Ketua Panitia Muktamar Chabib Thoha kepada NU Online beberapa waktu lalu.
Ditambahkannya bahwa saat ini hubungan antar negara Islam lebih didominasi dengan hubungan yang bersifat politik. Karena itu, ke depan tarekat diharapkan dapat membina hubungan persaudaraan Islam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama.
“Aspek penting lainnya yang mungkin dibicarakan adalah bagaimana menilai kelayakan seorang mursyid, bagaimana silsilahnya, dan faktor lainnya. Hal ini termasuk menyangkut apakah buku-buku tentang tarekat yang dibaca oleh para jamaah sudah benar, bagaimana dengan buku terjemahannya,” tandasnya
Karena sistem hubungan antara guru dan murid yang berbeda dengan organisasi biasanya dimana murid tarekat sangat mematuhi perintah mursyidnya, Chabib Thoha mengungkapkan adanya usulan perubahan Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT) sebelumnya yang mana anggota lebih banyak menentukan.
Selanjutnya dalam rancangan tata tertib pemilihan ketua, direncanakan tidak dilaksanakan secara langsung oleh cabang, tetapi menggunakan sistem formatur. Terdapat 7 formatur yang dibagi berdasarkan wilayah, yaitu 1 orang mewakili Sumatra, 1 orang untuk Kalimantan, Sulawesi, dan Irian, 1 orang untuk Bali, NTT dan NTB, 1 orang Jawa Timur, 1 orang Jateng dan DIY, 1 orang Jawa Barat, dan 1 orang Banten dan DKI. (mkf)
Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah Berupaya Mempersatukan Kembali Warga NU Sumbar
Jakarta, NU Online
Muktamar Jam’iyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah ke 10 yang akan dilaksanakan pada 27 Maret –2 April 2005 di Pekalongan Jateng akan membahas berbagai persoalan penting dalam komunitas tarekat.
“Salah satu hal penting adalah kemungkinan dibentuknya majelis iftaq untuk menampung musyid dari berbagai aliran tarekat dalam satu cabang karena selama ini dengan hanya melibatkan pengurus struktural, keterlibatan mursyid tersebut kurang maksimal,” tandas Ketua Panitia Muktamar Chabib Thoha kepada NU Online beberapa waktu lalu.
Ditambahkannya bahwa saat ini hubungan antar negara Islam lebih didominasi dengan hubungan yang bersifat politik. Karena itu, ke depan tarekat diharapkan dapat membina hubungan persaudaraan Islam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama.
“Aspek penting lainnya yang mungkin dibicarakan adalah bagaimana menilai kelayakan seorang mursyid, bagaimana silsilahnya, dan faktor lainnya. Hal ini termasuk menyangkut apakah buku-buku tentang tarekat yang dibaca oleh para jamaah sudah benar, bagaimana dengan buku terjemahannya,” tandasnya
Karena sistem hubungan antara guru dan murid yang berbeda dengan organisasi biasanya dimana murid tarekat sangat mematuhi perintah mursyidnya, Chabib Thoha mengungkapkan adanya usulan perubahan Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT) sebelumnya yang mana anggota lebih banyak menentukan.
Selanjutnya dalam rancangan tata tertib pemilihan ketua, direncanakan tidak dilaksanakan secara langsung oleh cabang, tetapi menggunakan sistem formatur. Terdapat 7 formatur yang dibagi berdasarkan wilayah, yaitu 1 orang mewakili Sumatra, 1 orang untuk Kalimantan, Sulawesi, dan Irian, 1 orang untuk Bali, NTT dan NTB, 1 orang Jawa Timur, 1 orang Jateng dan DIY, 1 orang Jawa Barat, dan 1 orang Banten dan DKI. (mkf)
Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah Berupaya Mempersatukan Kembali Warga NU Sumbar
Selasa, 22 November
2005 19:47
Jakarta, NU Online
Di antara sekian organisasi keislaman hanya NU yang paling gigih menghidupkan amalan tarekat, karena itu sampai saat ini gerakan tarekat menjadi sangat luas, yang itu kemudian dihimpun dalam Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah. Organisasi yang dipimpin KH Habib Luthfi itu kemarin melantik Pengurus Wilayah Thariqah NU Sumatera Barat (Sumbar) periode 2005-2009 yang baru terbentuk.
Pelantikan itu sangat bersejarah karena ditempatkan di makam Syeh Burhanuddin di Ulakan, ulama penyebar Islam Minangkabau abad ke 17, murid dari Syah Kuala dari Aceh. Pemilihan tempat itu ditentukan sendiri oleh Habib Luthfi yang berupaya menyambungkan Tarekat NU dengan guru awalnya yakni Syeh Burhanuddin yang adalah seorang guru besar tarekat yang pengaruhnya menyebar hingga ke Jawa.
Dalam sambutannya Habib Luthfi mengatakan bahwa pengembangan tarekat saat ini disamping memiliki tujuan spiritual, tetapi juga harus dikaitkan dengan upaya membangun mental bangsa. Bangsa ini hanya akan aman dan sejahtera bila dikembangkan melalui perspektif tarekat atau tasawuf, sebagaimana yang pernah dilakukan syekh Burhanudin di masa lalu.
Saat ini tarekat berkembang sangat besar di kalangan masyarakat Sumatera Barat, walaupun paham Wahabi pernah menghancurkan gerakan ini karena dianggap sesat dan khurafat. Ttetapi karena telah melekat di hati masyarakat, maka terus berkembang. Jama'ah tarekat terbesar adalah Naqshabandiyah dan Sattariya, sedangkat tarekat yang lain seperti samaniyah, tijaniah ada tetapi pengikutnya sedikit.
Upaya Nahdlatul ulama yang gigih dalam memperjuangkan eksistensi tarekat itu mendapat simpati dari kelompok lain sehingga tarekat memiliki posisi yang sangat terhormat. Mengingat jasa NU dalam mengelola kelompok tasawuf itu, maka banyak kalangan tarekat dari kelompok lain termasuk dari Perti yang menggabungkan diri dalam thariqat Annahdliyah ini. Mereka yang bergabung bukan awamnya malah dimulai dari para mursyidnya, yang selama ini berafiliasi ke Perti, sehingga sekarang banyak yang menjadi pengurus Thariqah Nahdliyah. Demikian menurut keterangan Bagindo Muhammad Letter Rais Am Idarah Wustho Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah Sumbar kepada NU Online.
Bahkan kegiatan Thariqat itu juga dilanjutkan dengan ziarah ke beberapa makan para wali yang ada di sana seperti ke makam Syeh Abdurrahman Batu hampar, ke makan Syeh Sulaiman Arrasuli dan sebagainya. Mereka itu menurut Habib Luthfi yang memimpin rombongan itu, ibarat Walisongo yang ada di Jawa yang jasanya sangat besar dalam menyebarkan Islam di tanah Sumatera, karena itu selayaknya mereka diziarahi, sebagai bentuk rasa hormat atas jasa mereka.
Selanjutnya dikatakan Bagindo Letter dalam sambutannya bahwa penempatan kegiatan Thariqot NU di Makam Syeh Burhanuddin Ulakan itu, di samping untuk mengenang jasa beliau, juga memang dimaksudkan untuk menjamiyahkan masyarakat thariqat, memang secara kultural mereka adalah ahlussunnah-Nahdliyah, tetapi mereka tidak berorganisasi NU, maka melalui jamiyah thoriqah NU ini mereka secara institusional di NU kan. Dan diluar dugaan mereka secara terbuka menerima ajakan itu, karena mereka merasa difasilitasi dan dilindungi oleh NU. (ltn) Ribuan Jamaah Ikuti Dzikir Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Jakarta
Jakarta, NU Online
Di antara sekian organisasi keislaman hanya NU yang paling gigih menghidupkan amalan tarekat, karena itu sampai saat ini gerakan tarekat menjadi sangat luas, yang itu kemudian dihimpun dalam Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah. Organisasi yang dipimpin KH Habib Luthfi itu kemarin melantik Pengurus Wilayah Thariqah NU Sumatera Barat (Sumbar) periode 2005-2009 yang baru terbentuk.
Pelantikan itu sangat bersejarah karena ditempatkan di makam Syeh Burhanuddin di Ulakan, ulama penyebar Islam Minangkabau abad ke 17, murid dari Syah Kuala dari Aceh. Pemilihan tempat itu ditentukan sendiri oleh Habib Luthfi yang berupaya menyambungkan Tarekat NU dengan guru awalnya yakni Syeh Burhanuddin yang adalah seorang guru besar tarekat yang pengaruhnya menyebar hingga ke Jawa.
Dalam sambutannya Habib Luthfi mengatakan bahwa pengembangan tarekat saat ini disamping memiliki tujuan spiritual, tetapi juga harus dikaitkan dengan upaya membangun mental bangsa. Bangsa ini hanya akan aman dan sejahtera bila dikembangkan melalui perspektif tarekat atau tasawuf, sebagaimana yang pernah dilakukan syekh Burhanudin di masa lalu.
Saat ini tarekat berkembang sangat besar di kalangan masyarakat Sumatera Barat, walaupun paham Wahabi pernah menghancurkan gerakan ini karena dianggap sesat dan khurafat. Ttetapi karena telah melekat di hati masyarakat, maka terus berkembang. Jama'ah tarekat terbesar adalah Naqshabandiyah dan Sattariya, sedangkat tarekat yang lain seperti samaniyah, tijaniah ada tetapi pengikutnya sedikit.
Upaya Nahdlatul ulama yang gigih dalam memperjuangkan eksistensi tarekat itu mendapat simpati dari kelompok lain sehingga tarekat memiliki posisi yang sangat terhormat. Mengingat jasa NU dalam mengelola kelompok tasawuf itu, maka banyak kalangan tarekat dari kelompok lain termasuk dari Perti yang menggabungkan diri dalam thariqat Annahdliyah ini. Mereka yang bergabung bukan awamnya malah dimulai dari para mursyidnya, yang selama ini berafiliasi ke Perti, sehingga sekarang banyak yang menjadi pengurus Thariqah Nahdliyah. Demikian menurut keterangan Bagindo Muhammad Letter Rais Am Idarah Wustho Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah Sumbar kepada NU Online.
Bahkan kegiatan Thariqat itu juga dilanjutkan dengan ziarah ke beberapa makan para wali yang ada di sana seperti ke makam Syeh Abdurrahman Batu hampar, ke makan Syeh Sulaiman Arrasuli dan sebagainya. Mereka itu menurut Habib Luthfi yang memimpin rombongan itu, ibarat Walisongo yang ada di Jawa yang jasanya sangat besar dalam menyebarkan Islam di tanah Sumatera, karena itu selayaknya mereka diziarahi, sebagai bentuk rasa hormat atas jasa mereka.
Selanjutnya dikatakan Bagindo Letter dalam sambutannya bahwa penempatan kegiatan Thariqot NU di Makam Syeh Burhanuddin Ulakan itu, di samping untuk mengenang jasa beliau, juga memang dimaksudkan untuk menjamiyahkan masyarakat thariqat, memang secara kultural mereka adalah ahlussunnah-Nahdliyah, tetapi mereka tidak berorganisasi NU, maka melalui jamiyah thoriqah NU ini mereka secara institusional di NU kan. Dan diluar dugaan mereka secara terbuka menerima ajakan itu, karena mereka merasa difasilitasi dan dilindungi oleh NU. (ltn) Ribuan Jamaah Ikuti Dzikir Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Jakarta
Senin, 11 Agustus 2008 08:21
Jakarta, NU Online
Ribuan Jamaah Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah mengikuti acara dzikir akbar di halaman gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Ahad (10/8) kemarin.
Para jamaah berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) ditambah jamaah ziarah Wali Songo dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, serta jamaah tarekat dari Malaysia dan Singapura.
Acara dzikir akbar dimulai dengan doa istighotsah dan kemudian diteruskan dengan membaca surat Yasin. Puncak acara dzikir adalah pembacaan kitab Manaqib Syeikh Abdul Qadir Jailani yang dibacakan dengan indah, lalu dilanjutkan tahlil dan pembacaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Sedianya acara dzikir akbar Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah di Jakarta selalu dipimpin oleh Syeikh KH Asrori Al-Ishaqi namun karena mursyid (guru besar) tarikat ini ini sedang sakit dan dirawat di Surabaya maka pimpinan dzikir diwakilkan kepada KH Hilmi Basaiban.
Ketua Jamaah Alkhidmah Jakarta Yaumi Azhar SH, LLM, mengatakan pada acara dzikir akbar kali ini panitia mengumpulkan 16.000 nasi bungkus dan 600 dus air kemasan dari jamaah Jabodetabek.
Jamaah Alkhidmah adalah organisasi yang menyelenggarakan kegiatan Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah di berbagai tempat di Indonesia, Malaysia dan Singapura.
”Kita datang ke sini untuk memanjatkan doa kepada Allah SWT agar dilindungi dan diselamatkan dari segala musibah. Kita di sini tidak berkumpul tanpa membeda-bedakan status sosial,” kata Yaumi Azhar.
Jamaah Alhidmah Jabodetabek tersebarat di 18 wilayah daerah kota dan selalu menyelenggarakan kegiatan dzikir rutin. Di gedung LIPI dan sekitarnya kegiatan dipimpin langsung oleh Prof. DR. Sofyan Tsauri, mantan direktur lembaga ilmu pengetahuan paling bergengsi di Indonesia itu.
Pada kesempatatan itu kepala biro Askesnas Dr. Sukanta mewakili Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyatakan, pembangunan yang dilakukan di Jakarta tidak hanya meliputi bangunan fisik dan material, tetapi juga mental dan spiritual.
”Warga DKI hendaknya memahami program yang dicanangkan oleh pemerintah DKI dengan mengikuti kegiatan-kegiatan dzikir seperti ini,” katanya. (nam) Jamaah Tarekat Naqsabandiyah Dukung JK-Wiranto
Selasa, 9 Juni 2009 17:43
Jakarta, NU Online
Jamaah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah mendoakan agar calon presiden Jusuf Kalla memenangkan Pemilu Presiden 2009.
"Kami tadi mendukung dan mendoakan agar JK terpilih pada Pilpres 2009 mendatang," ujar Ketua Umum Yayasan Attarbiyah sekaligus Juru Bicara jemaah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah, Helmi Basyaiban, usai bertemu JK di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin (8/6/2009).
Helmi optimis jika jamaahnya yang beranggotakan 500 ribu orang akan mendukung pasangan nomer tiga ini.
"Karena dalam jamaah Tarekat hanya ada satu komando, kalau pimpinan kami sudah bilang pilih pasangan ini, maka secara otomatis semua akan pilih," terangnya.
Mengenai dukungan ini, Helmi mengaku JK tidak memberikan janji apa-apa. "JK hanya bilang, doakan saja," pungkasnya. (okz)
Jumat, 19 Juni 2009 07:46
Jakarta, NU Online
Pemimpin Tarekat Syattariyah KH M Sofyan al-Mursyid menyatakan ketertarikannya kepada pasangan Megawati-Prabowo Subianto. Menurutnya pasangan ini selalu mengedepankan ekonomi kerakyatan.
Sebagai wujud dukungannya, dikatakannya, 270 kiai di dalamnya bergabung dengan Front Persatuan Pendukung Prabowo (F-PPP). Mereka juga siap menggalang dukungan massa untuk Prabowo.
"Pembelaannya kepada nasib petani dan nelayan membuat kami tertarik. Komitmennya membela rakyat miskin, membuat kami tidak ragu memberikan dukungan," kata Sofyan kepada wartawan di Jakarta seperti dilansir okezone.com, Jum’at (18/6).
Sofyan menambahkan, pemihakan Prabowo kepada rakyat kecil sudah terlihat ketika memimpin Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) maupun Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia (APPI).
Dia menegaskan, anggota Tarekat Syattariyah tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan anggota terbanyak ada di Provinsi Jawa Timur yang menjadi basis NU. Untuk Jawa Timur, pihaknya mengaku sudah didukung 400 khalifah (tingkat kabupaten) dan muqoddam (tingkat kecamatan). "Nah, yang tergabung dalam tarekat ini mulai dari kiai khos hingga kiai kampung," ujarnya.
Menurut Sofyan Tarekat Syattariyah merupakan bagian dari NU. Karena itu, pihaknya tidak akan kesulitan untuk mendapat dukungan dari warga NU. Mengenai sosok Megawati, Sofyan tak mempersoalkan kepemimpinan perempuan. Sebab, kepemipinan tidak dilihat dari jenis kelamin melainkan dari kemampuan.
"Jadi tidak ada masalah dengan Ibu Megawati. Pada Pilpres 2004 lalu, Ibu Megawati berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi yang saat itu menjabat Ketua Umum PBNU," ungkapnya. (sam) Sekilas Sosok Kiai Marogan
KIAI Marogan sebenarnya bernama
lengkap Masagus H. Abdul Hamid bin Masagus H. Mahmud. Namun bagi masyarakat
Palembang, julukan “Kiai Marogan” lebih terkenal dibanding nama lengkapnya.
Julukan Kiai Marogan dikarenakan lokasi masjid dan makamnya terletak di Muara
sungai Ogan, anak sungai Musi, Kertapati Palembang. Mengenai waktu
kelahirannya, tidak ditemukan catatan yang pasti. Ada yang mengatakan, ia lahir
sekitar tahun 1811, dan ada pula tahun 1802.
Namun menurut sumber lisan dari zuriatnya, dan dihitung dari tahun wafatnya dalam usia 89 tahun, maka yang tepat adalah ia lahir tahun 1802, dan meninggal dunia pada 17 Rajab 1319 H yang bertepatan dengan 31 Oktober 1901.
Pada waktu Kiai Marogan lahir, kesultanan Palembang sedang dalam peperangan yang sengit dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dilahirkan oleh seorang ibu bernama Perawati yang keturunan Cina, dan Ayah yang bernama Masagus H. Mahmud alias Kanang, keturunan priyayi atau ningrat. Dari surat panjang hasil keputusan Mahkamah Agama Saudi Arabia, diketahui silsilah keturunan Masagus H. Mahmud berasal dari sultan-sultan Palembang yang bernama susuhunan Abdurrahman Candi Walang.
Sultan Palembang memiliki garis keturunan dari Wali Songo—melalui Sunan Giri Ainul Yakin—dan merupakan keturunan Nabi Muhammad saw melalui jalur Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Dari kedua orang tuanya, Kiai Marogan hanya memiliki seorang adik yang bernama Masagus KH. Abdul Aziz, yang juga menjadi seorang ulama dengan sebutan Kiai Mudo. Sebutan ini dikarenakan ia lebih muda dari Kiai Marogan. Kiai Mudo lebih dikenal di daerah Muara Enim seperti Gumay, Kertomulyo, Betung, Sukarame, Gelumbang, Lembak dan sekitarnya. Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan dari keluarga bangsawan, Kiai Marogan memperoleh pendidikan agama dengan istimewa.
Hal ini dikarenakan di dalam lingkungan kesultanan Palembang, agama Islam mempunyai tempat yang terhormat, di mana hubungan antara negara dan agama sangat erat, sebagaimana dibuktikan oleh birokrasi agama di istana Palembang. Birokrasi ini dipimpin oleh seorang pegawai dengan gelar Pangeran Penghulu Naga Agama. Di samping itu, Kiai Marogan memperoleh pendidikan langsung dari orang tuanya yang ternyata merupakan seorang ulama besar yang lama belajar di Mekah dibawah bimbingan ulama besar seperti Syekh Abdush Shomad al-Falimbani. Setelah wafat, ayah Kiai Marogan dimakamkan di negeri Aden, Yaman Selatan. Melihat kecerdasan Kiai Marogan dalam menyerap ilmu agama kemudian orang tuanya mengirimkannya ke Mekah untuk belajar mendalami ilmu-ilmu agama.
Kiai Marogan tercatat pernah belajar ilmu-ilmu agama seperti ilmu fiqih, hadits dan tasawuf. Hal ini dapat diperoleh dari isnad-isnad yang ditulis oleh Syekh Yasin al-Fadani, mudir (pimpinan) Madrasah Darul Ulum Mekah.
Kiai Marogan memiliki dua orang isteri yang bernama Masayu Maznah dan Raden Ayu salmah. Dari pernikahannya ia dikarunia tiga putra putri yaitu Masagus H. Abu Mansyur, Masagus H. Usman, dan Masayu Zuhro. Pada masa mudanya Kiai Marogan dikenal giat berbisnis di bidang saw-mill atau perkayuan. Ia memiliki dua buah pabrik penggergajian kayu. Bakat bisnis mungkin diperoleh dari ibunya yang merupakan keturunan Cina. Berkat sukses dalam bisnis kayu ini memungkinkan Kiai Marogan untuk pulang pergi ke tanah suci dan menjalankan kegiatan penyebaran dakwah di pedalaman Sumatra Selatan. Dari hasil usaha kayu ini juga Kiai Marogan mampu mendirikan sejumlah masjid yang diperuntukkan sebagai pusat pengajian dan dakwah.
Banyak ajaran Kiai Marogan yang masih melekat di sebagian penduduk Palembang, di antaranya adalah sebuah zikir yang hebat: “La ilaha Illallahul Malikul Haqqul Mubin Muhammadur Rasulullah Shadiqul Wa’dul Amin”, yang berarti “Tiada Tuhan Selain Allah, Raja Yang Benar dan Nyata, Muhammad adalah Rasulullah Yang Jujur dan Amanah.”
Zikir yang diamalkan oleh Kiai Marogan di atas, ternyata sumbernya di dalam hadits. Dari Sayyidina Ali Ra Karramallahu wajhahu berkata, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa setiap hari membaca 100 x Lailahaillah al-Maliku al-Haqqu al-Mubin, maka ia akan aman dari kefakiran, jadi kaya, tenang di alam kubur, dan mengetuk pintu surga.
Menurut kesimpulan penulis, selain berniaga kayu dengan mengamalkan zikir ini Kiai Marogan dianugerahi dan dibanjiri rezeki yang melimpah baik semasa hidup maupun setelah wafat hatta setelah 1 abad yang lalu dengan meninggalkan warisan untuk anak cucunya yang belum habis-habis hingga sekarang.
Konon, amalan zikir ini dibaca oleh Kiai Marogan dan murid-muridnya dalam perjalanan di atas perahu. Sambil mengayuh perahu, beliau menyuruh murid-muridnya mengucapkan zikir tersebut berulang-ulang sepanjang perjalanan dengan suara lantang. Zikir ini dapat menjadi tanda dan ciri khas penduduk apabila ingin mengetahui Kiai Marogan melewati daerahnya.Amalan zikir ini ternyata sampai sekarang masih dibaca oleh Wong Palembang, khususnya kaum Ibu-ibu ketika menggendong anak bayi untuk menimang atau menidurkan anaknya dengan irama yang khas dan berulang-ulang.
Dalam berdakwah Kiai Marogan menitikberatkan pada sikap zuhud dan kesufian dengan memperkuat keimanan. Hal ini dikarenakan pengaruh dari ajaran tarekat yang ia amalkan.Di dalam buku, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Martin van Bruinessen memasukkan nama Kyai Marogan (Masagus H. Abdul Hamid) sebagai salah seorang guru dari tarekat Sammaniyah. Ia mempelajari tarekat Sammaniyah dari orang tuanya sendiri, yang berguru kepada Syekh Muhammad Aqib dan Syekh Abdush Shomad Al-Falimbani.Menurut istilah di dalam ilmu tasawuf, tarekat ialah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan menuju Allah swt.
Perjalanan mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk beluknya. Dan tujuan dari tarekat adalah menciptakan moral yang mulia.Sebagaimana diketahui bahwa di daerah Palembang sejak masa kesultanan Palembang tarekat Sammaniyah telah menyebar secara luas dibawa oleh Syekh Abdush Shomad Al-Falimbani murid dari pendirinya Syekh Muhammad Abdul Karim Samman. Hampir seluruh masjid tua di Palembang, membaca ratib Samman yaitu bacaan yang meliputi syahadat, surah al-Qur’an dan bacaan zikir yang disertai gerak dan sikap yang khas tarekat Samman.Tidak ditemukan kitab yang dapat diidentifikasi sebagai karya Kiai Marogan. Meskipun menurut penuturan dari zuriyatnya bahwa Kiai Marogan pernah menulis kitab tasawuf. Akan tetapi, yang dapat diketahui adalah Kiai Marogan meninggalkan beberapa bangunan masjid yang besar dan bersejarah. Yaitu masjid Jami’ Muara Ogan di Kertapati Palembang dan masjid Lawang Kidul di 5 Ilir Palembang.
Menurut cicitnya, Masagus H. Abdul Karim Dung, selain kedua masjid di atas, Kiai Marogan juga membangun beberapa masjid lagi seperti masjid di dusun Pedu Pedalaman OKI, masjid di dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir OKI, Mushalla di 5 Ulu Laut Palembang, masjid Sungai Rotan Jejawi, masjid Talang Pangeran Pemulutan. Namun, pernyataan dari cicitnya ini belum dapat dibuktikan secara empiris, perlu dilakukan penelitian dan peninjauan lebih lanjut. Sedangkan kedua masjid yaitu masjid Jami’ Muara Ogan dan masjid Lawang Kidul yang berada di kota Palembang, dapat dibuktikan melalui surat Nazar Munjaz atau surat Wakaf yang ditandatangani oleh Kiai Marogan langsung. Suluak, Tradisi Unik Naqsabandiyah di Padang
Namun menurut sumber lisan dari zuriatnya, dan dihitung dari tahun wafatnya dalam usia 89 tahun, maka yang tepat adalah ia lahir tahun 1802, dan meninggal dunia pada 17 Rajab 1319 H yang bertepatan dengan 31 Oktober 1901.
Pada waktu Kiai Marogan lahir, kesultanan Palembang sedang dalam peperangan yang sengit dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dilahirkan oleh seorang ibu bernama Perawati yang keturunan Cina, dan Ayah yang bernama Masagus H. Mahmud alias Kanang, keturunan priyayi atau ningrat. Dari surat panjang hasil keputusan Mahkamah Agama Saudi Arabia, diketahui silsilah keturunan Masagus H. Mahmud berasal dari sultan-sultan Palembang yang bernama susuhunan Abdurrahman Candi Walang.
Sultan Palembang memiliki garis keturunan dari Wali Songo—melalui Sunan Giri Ainul Yakin—dan merupakan keturunan Nabi Muhammad saw melalui jalur Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Dari kedua orang tuanya, Kiai Marogan hanya memiliki seorang adik yang bernama Masagus KH. Abdul Aziz, yang juga menjadi seorang ulama dengan sebutan Kiai Mudo. Sebutan ini dikarenakan ia lebih muda dari Kiai Marogan. Kiai Mudo lebih dikenal di daerah Muara Enim seperti Gumay, Kertomulyo, Betung, Sukarame, Gelumbang, Lembak dan sekitarnya. Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan dari keluarga bangsawan, Kiai Marogan memperoleh pendidikan agama dengan istimewa.
Hal ini dikarenakan di dalam lingkungan kesultanan Palembang, agama Islam mempunyai tempat yang terhormat, di mana hubungan antara negara dan agama sangat erat, sebagaimana dibuktikan oleh birokrasi agama di istana Palembang. Birokrasi ini dipimpin oleh seorang pegawai dengan gelar Pangeran Penghulu Naga Agama. Di samping itu, Kiai Marogan memperoleh pendidikan langsung dari orang tuanya yang ternyata merupakan seorang ulama besar yang lama belajar di Mekah dibawah bimbingan ulama besar seperti Syekh Abdush Shomad al-Falimbani. Setelah wafat, ayah Kiai Marogan dimakamkan di negeri Aden, Yaman Selatan. Melihat kecerdasan Kiai Marogan dalam menyerap ilmu agama kemudian orang tuanya mengirimkannya ke Mekah untuk belajar mendalami ilmu-ilmu agama.
Kiai Marogan tercatat pernah belajar ilmu-ilmu agama seperti ilmu fiqih, hadits dan tasawuf. Hal ini dapat diperoleh dari isnad-isnad yang ditulis oleh Syekh Yasin al-Fadani, mudir (pimpinan) Madrasah Darul Ulum Mekah.
Kiai Marogan memiliki dua orang isteri yang bernama Masayu Maznah dan Raden Ayu salmah. Dari pernikahannya ia dikarunia tiga putra putri yaitu Masagus H. Abu Mansyur, Masagus H. Usman, dan Masayu Zuhro. Pada masa mudanya Kiai Marogan dikenal giat berbisnis di bidang saw-mill atau perkayuan. Ia memiliki dua buah pabrik penggergajian kayu. Bakat bisnis mungkin diperoleh dari ibunya yang merupakan keturunan Cina. Berkat sukses dalam bisnis kayu ini memungkinkan Kiai Marogan untuk pulang pergi ke tanah suci dan menjalankan kegiatan penyebaran dakwah di pedalaman Sumatra Selatan. Dari hasil usaha kayu ini juga Kiai Marogan mampu mendirikan sejumlah masjid yang diperuntukkan sebagai pusat pengajian dan dakwah.
Banyak ajaran Kiai Marogan yang masih melekat di sebagian penduduk Palembang, di antaranya adalah sebuah zikir yang hebat: “La ilaha Illallahul Malikul Haqqul Mubin Muhammadur Rasulullah Shadiqul Wa’dul Amin”, yang berarti “Tiada Tuhan Selain Allah, Raja Yang Benar dan Nyata, Muhammad adalah Rasulullah Yang Jujur dan Amanah.”
Zikir yang diamalkan oleh Kiai Marogan di atas, ternyata sumbernya di dalam hadits. Dari Sayyidina Ali Ra Karramallahu wajhahu berkata, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa setiap hari membaca 100 x Lailahaillah al-Maliku al-Haqqu al-Mubin, maka ia akan aman dari kefakiran, jadi kaya, tenang di alam kubur, dan mengetuk pintu surga.
Menurut kesimpulan penulis, selain berniaga kayu dengan mengamalkan zikir ini Kiai Marogan dianugerahi dan dibanjiri rezeki yang melimpah baik semasa hidup maupun setelah wafat hatta setelah 1 abad yang lalu dengan meninggalkan warisan untuk anak cucunya yang belum habis-habis hingga sekarang.
Konon, amalan zikir ini dibaca oleh Kiai Marogan dan murid-muridnya dalam perjalanan di atas perahu. Sambil mengayuh perahu, beliau menyuruh murid-muridnya mengucapkan zikir tersebut berulang-ulang sepanjang perjalanan dengan suara lantang. Zikir ini dapat menjadi tanda dan ciri khas penduduk apabila ingin mengetahui Kiai Marogan melewati daerahnya.Amalan zikir ini ternyata sampai sekarang masih dibaca oleh Wong Palembang, khususnya kaum Ibu-ibu ketika menggendong anak bayi untuk menimang atau menidurkan anaknya dengan irama yang khas dan berulang-ulang.
Dalam berdakwah Kiai Marogan menitikberatkan pada sikap zuhud dan kesufian dengan memperkuat keimanan. Hal ini dikarenakan pengaruh dari ajaran tarekat yang ia amalkan.Di dalam buku, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Martin van Bruinessen memasukkan nama Kyai Marogan (Masagus H. Abdul Hamid) sebagai salah seorang guru dari tarekat Sammaniyah. Ia mempelajari tarekat Sammaniyah dari orang tuanya sendiri, yang berguru kepada Syekh Muhammad Aqib dan Syekh Abdush Shomad Al-Falimbani.Menurut istilah di dalam ilmu tasawuf, tarekat ialah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan menuju Allah swt.
Perjalanan mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk beluknya. Dan tujuan dari tarekat adalah menciptakan moral yang mulia.Sebagaimana diketahui bahwa di daerah Palembang sejak masa kesultanan Palembang tarekat Sammaniyah telah menyebar secara luas dibawa oleh Syekh Abdush Shomad Al-Falimbani murid dari pendirinya Syekh Muhammad Abdul Karim Samman. Hampir seluruh masjid tua di Palembang, membaca ratib Samman yaitu bacaan yang meliputi syahadat, surah al-Qur’an dan bacaan zikir yang disertai gerak dan sikap yang khas tarekat Samman.Tidak ditemukan kitab yang dapat diidentifikasi sebagai karya Kiai Marogan. Meskipun menurut penuturan dari zuriyatnya bahwa Kiai Marogan pernah menulis kitab tasawuf. Akan tetapi, yang dapat diketahui adalah Kiai Marogan meninggalkan beberapa bangunan masjid yang besar dan bersejarah. Yaitu masjid Jami’ Muara Ogan di Kertapati Palembang dan masjid Lawang Kidul di 5 Ilir Palembang.
Menurut cicitnya, Masagus H. Abdul Karim Dung, selain kedua masjid di atas, Kiai Marogan juga membangun beberapa masjid lagi seperti masjid di dusun Pedu Pedalaman OKI, masjid di dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir OKI, Mushalla di 5 Ulu Laut Palembang, masjid Sungai Rotan Jejawi, masjid Talang Pangeran Pemulutan. Namun, pernyataan dari cicitnya ini belum dapat dibuktikan secara empiris, perlu dilakukan penelitian dan peninjauan lebih lanjut. Sedangkan kedua masjid yaitu masjid Jami’ Muara Ogan dan masjid Lawang Kidul yang berada di kota Palembang, dapat dibuktikan melalui surat Nazar Munjaz atau surat Wakaf yang ditandatangani oleh Kiai Marogan langsung. Suluak, Tradisi Unik Naqsabandiyah di Padang
Sejak awal Ramadhan, mereka makan,
minum dan tidur di Masjid. Inilah tradisi Suluak.
Kamis, 10 September 2009, 09:59 WIB
Arfi Bambani Amri
|
VIVAnews - Bulan puasa menjadi bulan penuh rahmat bagi setiap ummat
muslim untuk meningkatkan keimanan. Itikaf (berdiam diri di masjid)
menjadi salah satu cara yang dilakukan untuk mendapatkan hidayah.
Bagi penganut Islam Naqsabandiyah di Padang, itikaf dilakukan dalam waktu yang panjang. Bagi penganut Islam Naqsabandi, mereka menyebutnya dengan istilah 'suluak'. "Suluak merupakan cara mendekatkan diri dengan Allah serta mengkaji sifat-sifat pencipta," kata Zahar (53) jamaah Naqsabandiyah yang ditemui VIVAnews di Surau Baru, Kecamatan Pauh, Padang, Rabu 9 September 2009.
Suluak dilakukan dalam waktu 10 hari hingga 30 hari selama bulan Ramadhan. Selama mengikuti suluak, para jamaah membawa sejumlah perlengkapan seperti beras, bahan-bahan untuk dimakan, pakaian ganti, dan sejumlah perlengkapan tidur.
Perlengkapan keseharian ini disesuaikan dengan lamanya waktu suluak yang diikuti. Selama bersuluak, jemaah menghabiskan waktunya di masjid dan melakukan segala aktivitasnya di dalam rumah ibadah.
Rata-rata peserta suluak didominasi kalangan tua. "Selama bersuluak jemaah mengikuti pengajian-pengajian yang diberikan buya pada waktu-waktu sehabis shalat fardhu," kata Zahar. Saat VIVAnews berkunjung ke Surau Buluh, sedkitnya terlihat empat perempuan tua yang sedang mengikuti kegiatan tersebut.
Di surau tua yang berukuran kecil ini, para peserta suluak menghabiskan waktunya sehari-hari. Masjid tua ini memang terkesan berbeda dengan bangunan yang berada di sekitarnya. Di dalam masjid juga terlihat beragam perlengkapan tidur mereka yang mengikuti suluak.
"Setelah mengikuti suluak diharapkan keimanan kita akan bertambah dan semakin dekat dengan pencipta," kata Zahar. Suluak tak ubahnya seperti menyepi dan menjauhkan diri dari segala kegiatan dunia.
Ajaran Tarekat Naqsabandiyah dibawa Maulana Syaikh H Muhammad Thaib Bin Ismail (Angku Surau Baru). Aliran Naqsabandiyah diyakini berasal dari Makkah yang dikembangkan murid sekaligus sahabat Rasul Muhammad SAW, Abubakar As Shiddiq.
Angku Syarief Thaeb mengembangkan aliran ini pertama di Sumbar. Hingga saat ini, aliran Tarekat Naqsabandiyah berkembang hampir ke seluruh daerah di Sumbar.
Naqsabandiyah memiliki sistem penanggalan sendiri sehingga Ramadhan dilakukan 30 hari penuh setiap tahunnya. Sesuai kepercayaan aliran ini, Ramadhan bagi jamaah naqsabandiyah dua hari lebih awal dari pemerintah.
Laporan Eri Naldi | Padang
Bagi penganut Islam Naqsabandiyah di Padang, itikaf dilakukan dalam waktu yang panjang. Bagi penganut Islam Naqsabandi, mereka menyebutnya dengan istilah 'suluak'. "Suluak merupakan cara mendekatkan diri dengan Allah serta mengkaji sifat-sifat pencipta," kata Zahar (53) jamaah Naqsabandiyah yang ditemui VIVAnews di Surau Baru, Kecamatan Pauh, Padang, Rabu 9 September 2009.
Suluak dilakukan dalam waktu 10 hari hingga 30 hari selama bulan Ramadhan. Selama mengikuti suluak, para jamaah membawa sejumlah perlengkapan seperti beras, bahan-bahan untuk dimakan, pakaian ganti, dan sejumlah perlengkapan tidur.
Perlengkapan keseharian ini disesuaikan dengan lamanya waktu suluak yang diikuti. Selama bersuluak, jemaah menghabiskan waktunya di masjid dan melakukan segala aktivitasnya di dalam rumah ibadah.
Rata-rata peserta suluak didominasi kalangan tua. "Selama bersuluak jemaah mengikuti pengajian-pengajian yang diberikan buya pada waktu-waktu sehabis shalat fardhu," kata Zahar. Saat VIVAnews berkunjung ke Surau Buluh, sedkitnya terlihat empat perempuan tua yang sedang mengikuti kegiatan tersebut.
Di surau tua yang berukuran kecil ini, para peserta suluak menghabiskan waktunya sehari-hari. Masjid tua ini memang terkesan berbeda dengan bangunan yang berada di sekitarnya. Di dalam masjid juga terlihat beragam perlengkapan tidur mereka yang mengikuti suluak.
"Setelah mengikuti suluak diharapkan keimanan kita akan bertambah dan semakin dekat dengan pencipta," kata Zahar. Suluak tak ubahnya seperti menyepi dan menjauhkan diri dari segala kegiatan dunia.
Ajaran Tarekat Naqsabandiyah dibawa Maulana Syaikh H Muhammad Thaib Bin Ismail (Angku Surau Baru). Aliran Naqsabandiyah diyakini berasal dari Makkah yang dikembangkan murid sekaligus sahabat Rasul Muhammad SAW, Abubakar As Shiddiq.
Angku Syarief Thaeb mengembangkan aliran ini pertama di Sumbar. Hingga saat ini, aliran Tarekat Naqsabandiyah berkembang hampir ke seluruh daerah di Sumbar.
Naqsabandiyah memiliki sistem penanggalan sendiri sehingga Ramadhan dilakukan 30 hari penuh setiap tahunnya. Sesuai kepercayaan aliran ini, Ramadhan bagi jamaah naqsabandiyah dua hari lebih awal dari pemerintah.
Laporan Eri Naldi | Padang
Laporan: Antara
Sabtu, 12 Desember 2009 | 20:43 WITA
Bogor, Tribun - - Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono didampingi Ibu Negara bersilaturahmi dengan keluarga besar
Majelis Dzikir Nurussalam dalam rangka menyambut tahun baru Islam 1431 H di
Padepokan H Harris Thahir, Jalan Raya Sukabumi, Rancamaya, Ciawi, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/12) sore.
Acara yang dihadiri sedikitnya 1.000 anggota Majelis Dzikir Nurussalam itu bertema "Hindarkan fitnah, tebarkan benih-benih kebaikan di antara anak bangsa. Mari kita bersatu membangun negeri dengan akhlak mulia".
Presiden Yudhoyono yang sore itu mengenakan kemeja koko berwarna putih dengan didampingi oleh putra bungsunya Edhie Baskoro, langsung melaksanakan salat Tahyatul Masjid begitu memasuki masjid.
Acara yang berlangsung lebih kurang dua jam itu diawali dengan pembacaan Qisoh Maulid dan siraman rohani oleh KH M Hidayat. Dalam siraman rohaninya Hidayat mengatakan bahwa orang-orang yang mudah memfitnah tidak akan bisa mencium bau surga. Ia menegaskan bahwa mencari kebenaran tidak perlu dilakukan melalui fitnah.
Ia kemudian mengatakan tiga hal yang harus dilakukan seseorang jika ingin dosa fitnahnya diampuni.
"Pertama, yang memfitnah harus datang ke kerumunan orang tempat ia menyebarkan fitnah dan memberikan klarifikasi. Kedua, orang yang memfitnah harus datang kepada korban yang difitnah dan meminta maaf. Ketiga, bertobat kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan fitnah. Memfitnah itu artinya sama seperti memakan daging saudara sendiri," katanya.
Sementara itu Presiden Yudhoyono selaku Ketua Dewan Pembina Mejelis Dzikir Nurussalam, membuka sambutannya dengan menceritakan sejarah singkat pembentukan Majelis Dzikir Nurussalam di Cikeas pada tahun 2004, serta makna nama dari Nurussalam.
"Lima tahun sejak berdirinya Majelis Dzikir telah menjalankan ibadah dan peran yang baik untuk mengajak umat berdzikir, membimbing umat menuju jalan yang benar, dan yang terus mendampingi saya selaku kepala negara di dalam memimpin bangsa dan negara, membangun hari esok yang lebih baik," katanya.
Pada kesempatan itu Presiden juga mengajak seluruh anggota Majelis Dzikir untuk menghindarkan fitnah, melainkan harus terus mampu menebar benih-benih kebaikan di antara anak bangsa dan bersatu membangun negeri dengan akhlak mulia.
"Saya setuju, jangan main-main dengan fitnah, kebohongan dan berita dusta...karena luar biasa azab yang akan diterimakan kepada mereka kecuali mereka bertobat," katanya.
Melalui forum itu, Presiden juga menyeru semua pihak untuk menjalani kehidupan tanpa kekerasan yang jauh dari akhlak dan tata krama.
"Berpolitik pun tidak boleh menjalankan politik kekerasan, kotor, yang tidak bersih ... bukan politik yang mulia. Politik Islami yang ingin sama-sama kita tegakkan," katanya.
Turut mendampingi Kepala Negara antara lain Ketua Majelis Dzikir SBY Nurussalam Harris Thahir, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Mensesneg Sudi Silalahi, Menteri ESDM Darwin S Saleh, Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar, Menteri Negara Koperasi dan UKM Syarief Hassan, Mendiknas M Nuh dan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso.(*)
Acara yang dihadiri sedikitnya 1.000 anggota Majelis Dzikir Nurussalam itu bertema "Hindarkan fitnah, tebarkan benih-benih kebaikan di antara anak bangsa. Mari kita bersatu membangun negeri dengan akhlak mulia".
Presiden Yudhoyono yang sore itu mengenakan kemeja koko berwarna putih dengan didampingi oleh putra bungsunya Edhie Baskoro, langsung melaksanakan salat Tahyatul Masjid begitu memasuki masjid.
Acara yang berlangsung lebih kurang dua jam itu diawali dengan pembacaan Qisoh Maulid dan siraman rohani oleh KH M Hidayat. Dalam siraman rohaninya Hidayat mengatakan bahwa orang-orang yang mudah memfitnah tidak akan bisa mencium bau surga. Ia menegaskan bahwa mencari kebenaran tidak perlu dilakukan melalui fitnah.
Ia kemudian mengatakan tiga hal yang harus dilakukan seseorang jika ingin dosa fitnahnya diampuni.
"Pertama, yang memfitnah harus datang ke kerumunan orang tempat ia menyebarkan fitnah dan memberikan klarifikasi. Kedua, orang yang memfitnah harus datang kepada korban yang difitnah dan meminta maaf. Ketiga, bertobat kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan fitnah. Memfitnah itu artinya sama seperti memakan daging saudara sendiri," katanya.
Sementara itu Presiden Yudhoyono selaku Ketua Dewan Pembina Mejelis Dzikir Nurussalam, membuka sambutannya dengan menceritakan sejarah singkat pembentukan Majelis Dzikir Nurussalam di Cikeas pada tahun 2004, serta makna nama dari Nurussalam.
"Lima tahun sejak berdirinya Majelis Dzikir telah menjalankan ibadah dan peran yang baik untuk mengajak umat berdzikir, membimbing umat menuju jalan yang benar, dan yang terus mendampingi saya selaku kepala negara di dalam memimpin bangsa dan negara, membangun hari esok yang lebih baik," katanya.
Pada kesempatan itu Presiden juga mengajak seluruh anggota Majelis Dzikir untuk menghindarkan fitnah, melainkan harus terus mampu menebar benih-benih kebaikan di antara anak bangsa dan bersatu membangun negeri dengan akhlak mulia.
"Saya setuju, jangan main-main dengan fitnah, kebohongan dan berita dusta...karena luar biasa azab yang akan diterimakan kepada mereka kecuali mereka bertobat," katanya.
Melalui forum itu, Presiden juga menyeru semua pihak untuk menjalani kehidupan tanpa kekerasan yang jauh dari akhlak dan tata krama.
"Berpolitik pun tidak boleh menjalankan politik kekerasan, kotor, yang tidak bersih ... bukan politik yang mulia. Politik Islami yang ingin sama-sama kita tegakkan," katanya.
Turut mendampingi Kepala Negara antara lain Ketua Majelis Dzikir SBY Nurussalam Harris Thahir, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Mensesneg Sudi Silalahi, Menteri ESDM Darwin S Saleh, Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar, Menteri Negara Koperasi dan UKM Syarief Hassan, Mendiknas M Nuh dan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso.(*)
Rabu, 25 Juni 2008 14:31
Jakarta, NU Online
Jamiyyah Ahlut Thariqah al Mu’tabarah an Nahdliyyah atau biasa disingkat Jatman ternyata merupakan satu-satunya organisasi yang bisa menyatukan tarekat di dunia. Di negara-negara lain, tarekat berdiri sendiri-sendiri berdasarkan aliran yang dianutnya.
Demikian dikatakan oleh KH Yusuf Khumaidi kepada NU Online ditengah-tengah persiapan penyelenggaraan Munas Jatman yang akan diselenggarakan pada 26-28 Juni di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.
“Para ulama dari Marokko dan Tunisia pada bertanya, kok bisa menyatukan Naqsabandiyah dan Tijaniyah. Disana semuanya berdiri sendiri-sendiri,” katanya.
Keberadaan Jatman ini menurutnya telah menginspirasi para penganut tarekat di sejumlah negara Timur Tengah untuk membuat organisasi yang sama. Mereka telah bertemu dengan Rais Aam Jatman Habib Lutfi bin Ali bin Yahya untuk mengetahui konsep pengorganisasian jamaah tarekat.
“Kita juga berupaya mengembangkan jaringan ini ke luar negeri yang akan dibahas dalam munas ini,” ujarnya.
Tarekat yang tergabung dalam Jatman meliputi tarekat muktabarah yang mencakup sebanyak 40 aliran tarekat yang para mursyidnya memiliki garis keturunan dengan rasulullah. Tarekat ini dianggap sesuai dengan ajaran Islam, bukan merupakan aliran sinkretisme dengan budaya lokal. (mkf)
Kamis, 31 Maret 2005 10:22
Pekalongan, NU Online
Jika di andaikan sebuah rumah, maka Thariqat adalah pondasi paling bawah yang menjadi dasar bangunan besar Nahdlatul ulama. Kemudian pesantren, di lapis kedua, Nahdlatul ulama di lapis ketiga dan PKB mungkin di lapis paling atas dari struktur bangunan organisasi kemasyarakatan NU. "Karena masuknya Islam ke bumi Nusantara, diawali dengan masuknya thariqat, jadi thariqat adalah peletak dasar bangunan NU. Kekuatan inilah yang menjadikan NU mengakar di tengah-tengah jama'ah dan jamiyyahnya," demikian diungkapkan Ro'is A'am Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'Tabarah An Nahdliyah, KH. Habib Luthfiy Ali bin Yahya kepada NU Online di sela-sela Muktamar X badan otonom NU ini di Pekalongan, Selasa, (29/3) lalu.
Menurutnya, sejarah membuktikan bahwa agama Islam di berbagai belahan dunia berkembang berkat jasa para ulama yang kemudian dikenal sebagai Wali Allah, seperti di India, Afrika Utara dan Afrika Selatan bahkan di Indonesia. Di Aceh terkenal dengan serambi Mekkah, suatu gelar yang diberikan untuk menggambarkan betapa pesatnya kemajuan Ilmu-ilmu Islam di daerah itu, seperti Syekh Nuruddin Ar Raniri, Syekh Abdurrauf Singkly, Syekh Syamsuddin Sumatrani, dan masih banyak lagi; sebagai orang-orang yang sangat berjasa dalam pengembangan Islam di sana. Demikian pula di Jawa, terkenal dengan Walisongonya sebagai ulama yang berjasa dalam pengembangan Islam. Dan masih banyak lagi yang dapat disebutkan hanya untuk menjelaskan bahwa ulama-ulama tasawuflah yang banyak jasa dan pengorbanannya dalam pengembangan Islam di dunia. Karena dimanapun tempat mereka berada, walaupun berbeda adat dan budaya maupun bahasa mereka berbaur dengan masyarakat dengan hati dan jiwa suci sehingga dengan mudahlah ajaran Allah dan RasulNya difahami.
"Jadi sufisme atau dalam Islam diberi nama tasawuf , bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Intisari sufisme, adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniah antara manusia dengan Tuhan lewat jalan kontemplasi. Jalan kontemplasi tersebut, dalam dunia tasawuf dikenal dengan istilah tarekat," urai habib yang memiliki puluhan ribu jama'aah ini.
Tarekat, lanjutnya secara harfiah berarti jalan atau cara untuk mencapai tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tarekat sebagai sebuah jalan, dalam dunia tasawuf, banyak muncul pada abad ke-6 dan ke-7 Hijriyah, yaitu ketika tasawuf menempati posisi penting dalam kehidupan umat Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat menjadi semacam organisasi yang kegiatannya tidak hanya terbatas pada wirid, zikir, tetapi pada masalah-masalah yang bersifat duniawi.
Dalam tasawuf, jumlah tarekat sangat banyak, tetapi kaum sufi mengelompokkan tarekat menjadi dua jenis, yaitu tarekat mu'tabar (thariqah yang mutashil (tersambung) sanadnya kepada Nabi Muhammad SAW), dan tarekat ghairu mu'tabar (thoriqoh yang munfashil (tidak tersambung) sanadnya kepada Nabi Muhammad. Untuk menghindari penyimpangan sufisme dari garis lurus yang diletakkan para sufi terdahulu, maka NU meletakkan dasar-dasar tasawuf sesuai dengan khittah ahlissunnah waljamaah. Dalam hal ini, NU membina keselarasan tasawuf Al-Ghazali dengan tauhid Asy'ariyyah dan Maturidiyyah, serta hukum fikih sesuai dengan salah satu dari empat mazhab sunni.
Dalam kerangka inilah, Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (Jatman) dibentuk, yaitu untuk memberikan sebuah rambu-rambu kepada masyarakat tentang tarekat yang mu'tabar dan ghairu mu'tabar. Dari segi organisasi, Jatman secara de facto berdiri pada bulan Rajab 1399 H, bertepatan dengan Juni 1979 M. Tetapi, sebelum terbentuk Jatman, bibit organisasi tersebut telah lahir, yaitu Jam'iyyah Thariqah Al-Mu'tabarah. Kelahiran Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah tidak dapat dilepaskan dari Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-26 di Semarang. Tetapi, apabila dilihat dari segi ilmu dan amaliahnya, maka tarekat sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW diutus untuk membawa agama Islam ke muka bumi. Nabi Muhammad menerima baiat dari malaikat Jibril, dan Jibril menerima dari Allah SWT.
Lebih jauh di jelaskan Habib Luthfi, sebelum terbentuk Jatman, ulama-ulama Indonesia yang berpaham Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan aktif di dunia tarekat telah membentuk organisasi tarekat, dengan nama Jam'iyyah Thariqah Al Mutabarah. Pembentukan organisasi ini sebagai wadah untuk menetapkan tarekat-tarekat yang mu'tabar dan ghairu mu'tabar, sehingga umat Islam tidak terjebak dan salah dalam mengamalkan tarekat. Pembentukan organisasi ini sebagai langkah untuk menghindari gesekan atau perpecahan di tingkat grass root, akibat sikap fanatik yang berlebih-lebihan terhadap tarekat yang dianutnya. Hal ini dikarenakan kecenderungan pengikut suatu ajaran tarekat, dalam melakukan klaim kebenaran ajaran tarekat yang diikutinya.
Jam'iyyah Thariqah AI Mu'tabarah didirikan oleh beberapa tokoh NU, antara lain KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, Dr KH ldham Chalid, KH Masykur serta KH Muslih. Dengan tujuan awal untuk mengusahakan berlakunya syar'iat Islam dhahir-batin dengan berhaluan ahlussunnah wal jamaah yang berpegang salah satu dari mazhab empat, mempergiat dan meningkatkan amal saleh dhahir-batin menurut ajaran ulama saleh dengan baiah shohihah; serta mengadakan dan menyelenggarakan pengajian khususi/ tawajujuhan (majalasatudzzikri dan nasril ulumunafi'ah).
Jam'iyyah Thariqah Al Mu'tabarah pertama kali melakukan muktamar pada tanggal 20 Rajab 1377 atau bertepatan dengan 10 Oktober 1957 di Pondok Pesantren API Tegalrejo Magelang. Muktamar pertama diprakarsai oleh beberapa ulama dari Magelang dan sekitarnya, seperti KH Chudlori, KH Dalhar, KH Siradj, serta KH Hamid Kajoran. Pada muktamar pertama mengamanatkan kepada KH Muslih Abdurrahman dari Mranggen, Demak, sebagai rais aam. Pada muktamar pertam
Sabtu, 28 Juni 2008 19:21
Jakarta, NU Online
Jamaah tarekat merupakan salah satu kelompok yang dikenal sangat solid dan patuh terhadap perintah dari para pemimpinnya, atau biasa disebut mursyid dalam dunia tarekat. Keadaan ini tentu menjadi godaan para politisi untuk memanfaatkannya sebagai lumbung suara.
Namun demikian, Rais Aam Jam’iyyah Ahlut Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah (Jatman) Habib Lutfi bin Ali bin Yahya menegaskan organisasi ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik.
Kekhawatiran akan intervensi fihak luar tersebut diungkapkannya dihadapan peserta munas Jam’iyyah Ahlut Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah yang berlangsung di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Sabtu (28/6).
“Kita harus menjaga keuntuhan jamaah tarekat dari kepentingan politik. tetapi jam’iyyah tarekat tidak menghalangi hak individu anggotanya untuk memilih aspirasinya, asal tidak membawa nama jamiyyah, wadah ini harus tetap utuh,” katanya
Pentas Pilkada ini, menurutnya harus dimanfaatkan untuk menambah wawasan kebangsaan dan keagamaan bagi para anggota jam’iyyah tarekat, bukan malah menimbulkan kemunduran.
“Kita harus bisa memberikan keteladanan untuk umat dan bangsa yang berada dalam dahaga,” katanya.
Ia juga mengakut tidak setuju dengan golput yang saat ini marak dilakukan oleh masyarakat dalam Pilkada. Masyarakat harus menggunakan hak pilihnya guna menentukan pemimpin yang diharapkan bisa menyelamatkan bangsa dan daerahnya. (mkf)
Rabu, 6 Agustus 2008 07:19
Kudus, NU Online
Senin (4/7) malam kemarin, para jamaah Tarekat Syadziliyah berkumpul di kediaman Kiai Muhammad Thariq di Kudus Jawa Tengah yang merupakan badal (wakil) Syeikh al-Habib Muhammad Lutfi bin Ali bin Yahya Mursyid Thariqah Syadziliyyah sekaligus Rais Aam Jam'iyyah Ahlut Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah. Waktu itu, digelar forum mujahadah dan pengajian Tarekat Syadziliyyah.
Selasanan, begitu dikenal, diawali dengan pembacaan istighatsah bersama yang dipimpin oleh Ustadz Abdul Aziz, setelah itu dilaksanakan pembacaan kitab Mafakhirul 'Ulyah li Thariqil Syadziliyyah karangan Habib Ahmad bin Muhammad yang juga dibacakan ustadz yang sehari-hari mengajar di Madrasah Qudsiyah ini.
Dalam pembacaan kitab tersebut telah sampai pada halaman 126 yang berkenaan dengan suluk kedua yang wajib dijalankan setiap murid Tarikat Syadziliyyah. Tingkatan tersebut mewajibkan murid untuk istiqamah terhadap keta'atan kepada Allah. Baik dikala sempit maupun lapang murid harus melaksanakan perintah Allah.
"Ini sebagaimana Ndoro Syekh Abdul Qadir al Jealani yang mendawamkan (melanggengkan) wudhu dengan sempurna di sepanjang malam. Ketika batal lalu berwudhu begitu seterusnya," katanya.
Ia menambahkan bahwa melaksanakan perintah tersebut bukan hal mudah. Ia mencontohkan hal kecil berupa shalat witir yang mempunyai faedah penting. "Saking pentingnya shalat witir sampai-sampai ketika waktu shalat subuh datang masih diperbolehkan menunaikannya," ujarnya.
Menurut pengalamannya ia pernah menjumpai Habib Lutfi berada pada keadaan demikian. Saat waktu subuh datang ada keinginan untuk berjamaah, tetapi Habib mengisyaratkan masih mempunyai tanggunan shalat witir, sehingga ia harus menunggu terlebih dahulu.
Seperti dilaporkan kontributor NU Online Zakki Amali, ada dua forum Selasanan di Kudus. Selain di kediaman Kiai Thariq, yang kedua di kediaman Muhammad Sukram, biasa dikenal Mbah Datuk.
Forum ini merupakan amanah Habib Lutfi, sementara beliau mendapat amanah dari gurunya Thariqahnya yang mewariskan kedudukan Mursyid Syadziliyyah kepada beliau Syekh Abdul Malik bin Ilyas bin Yahya.
Di Kabupaten Kudus forum ini dilaksanakan setiap malam Selasa ba'da Isya' di kedua kediaman tersebut, dan bagi murid Tarekat Syadziliyah dapat mengikuti sesuai daerah terdekat masing-masing. (zak)
Idul Khotmi atau perayaan
pengangkatan guru (mursyid) Tarekat Tijaniyah menjadi wali Allah yang digelar
di Pamekasan, bisa dibilang merupakan acara massal terbesar pertama di Madura
pada 2009. Acara yang puncaknya akan berlangsung hari ini, Minggu (15/2),
dihadiri oleh pengikut Tijaniyah di Indonesia, yang totalnya puluhan juta jemaah.
Acara puncak Idul Khotmi ke 216 akan digelar di Masjid Agung Asy-Syuhada Pamekasan mulai pukul 08.00 pagi ini dan berakhir pukul 13.00 WIB. Dua hari sebelum acara puncak, telah diadakan acara pendahuluan di Ponpes Tegal Al-Amien, Prenduan, Sumenep.
Menurut sekretaris panitia Idul Khotmi Nasional ke-217 Tarekat Tijaniyah, Drs H M Djatim Makmun, jemaah yang akan hadir pada acara puncak sekitar 200.000 orang. Mereka akan ditampung di 59 penginapan, yang meliputi rumah warga dan ponpes di Pamekasan.
Berdasarkan pengamatan Surya, jumlah bus yang mengangkut mereka sekitar 1.000 armada. Itu belum termasuk yang membawa kendaraan pribadi. Sebagian jemaah sudah ada yang tiba di Pamekasan mulai Kamis (12/2) malam.
Ponpes Al-Amien Prenduan, Sumenep, jadi tujuan pertama karena tempat ini merupakan pusat pengembangan ajaran Tarekat Tijaniyah di wilayah Madura. Di Madura, pengembangan tarekat dirintis oleh pendiri Ponpes Al-Amien Prenduan KH Jauhari Khothib, dan kemudian diteruskan oleh putranya KH Moh Tidjani Djauhari MA. Setelah 10 bulan lalu KH Moh Tidjani wafat, kini putranya KH Fauzi Tijani Lc menjadi penerus.
Secara internasional, Tarekat Tijaniyah dipelopori oleh Syekh Ahmad at-Tijani yang dilahirkan pada tahun 1737 di negara Aljazair (Afrika). Beliau dikenal mempunyai keistimewaan di atas manusia umumnya, karena sejak berumur 7 tahun telah hafal al-Qur’an dan sejak kecil mempelajari berbagai cabang ilmu seperti Usul, Fiqh, dan sastra.
“Bahkan di usia remaja, beliau telah mahir cabang-cabang ilmu agama Islam,” ujar Ahmad Syarif, seorang jemaah Tijaniyah asal Jawa Tengah.
Menurut ketua pelaksana Idul Khotmi, KH Sufyan Nawawi, setiap Idul Khotmi (termasuk yang kini digelar di Madura) selalu dihadiri pula oleh pemimpin Tarekat Tijaniyah dari berbagai negara asing.
“Terutama dari Aljazair dan Maroko yang merupakan cikal bakal lahirnya tarekat Tijaniyah ini,’’ ujar KH Sufyan Nawawi, Sabtu (14/2).
Oleh karena itu, Idul Khotmi akan diisi pula dengan tausiyah oleh Syekh Muhammad Thohir Al-Husaini dari Aljazair dan Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Hafidhz dari Mesir.
Selain itu, juga hadir para wakil tarekat-tarekat lain yang tergabung dalam Tarekat Muktabaroh Indonesia dan Tarekat Muktabaroh An-Nahdliyah, yaitu tarekat yang tergabung dalam wadah Nahdlatul Ulama (NU).
KH Sufyan mengungkapkan, Tarekat Tijaniyah adalah salah satu tarekat dari 43 Tarekat Muktabaroh Indonesia atau tarekat yang diakui keabsahannya. Di Indonesia, pengikut tarekat ini ada sekitar 10 juta jiwa. Sekitar 40 % dari mereka adalah kalangan kyai dan pemimpin ponpes, yang tersebar di 14.657 ponpes.
Sementara itu, Kabag Ops Polres Pamekasan, Kompol Bambang Sulastro, menyatakan, polisi terpaksa menutup seluruh akses jalan kota saat puncak kegiatan Idul Khotmi berlangsung hari ini. Sebab, jemaah yang akan hadir pada kegiatan itu dipastikan akan memenuhi kota Pamekasan.
“Jadi Minggu (15/2) ini, arus lalu lintas di dalam kota Pamekasan dipastikan akan lumpuh total. Makanya, akses lalu lintas yang menuju kota Pamekasan semuanya kami tutup,” kata Bambang. (achmad rivai)
Acara puncak Idul Khotmi ke 216 akan digelar di Masjid Agung Asy-Syuhada Pamekasan mulai pukul 08.00 pagi ini dan berakhir pukul 13.00 WIB. Dua hari sebelum acara puncak, telah diadakan acara pendahuluan di Ponpes Tegal Al-Amien, Prenduan, Sumenep.
Menurut sekretaris panitia Idul Khotmi Nasional ke-217 Tarekat Tijaniyah, Drs H M Djatim Makmun, jemaah yang akan hadir pada acara puncak sekitar 200.000 orang. Mereka akan ditampung di 59 penginapan, yang meliputi rumah warga dan ponpes di Pamekasan.
Berdasarkan pengamatan Surya, jumlah bus yang mengangkut mereka sekitar 1.000 armada. Itu belum termasuk yang membawa kendaraan pribadi. Sebagian jemaah sudah ada yang tiba di Pamekasan mulai Kamis (12/2) malam.
Ponpes Al-Amien Prenduan, Sumenep, jadi tujuan pertama karena tempat ini merupakan pusat pengembangan ajaran Tarekat Tijaniyah di wilayah Madura. Di Madura, pengembangan tarekat dirintis oleh pendiri Ponpes Al-Amien Prenduan KH Jauhari Khothib, dan kemudian diteruskan oleh putranya KH Moh Tidjani Djauhari MA. Setelah 10 bulan lalu KH Moh Tidjani wafat, kini putranya KH Fauzi Tijani Lc menjadi penerus.
Secara internasional, Tarekat Tijaniyah dipelopori oleh Syekh Ahmad at-Tijani yang dilahirkan pada tahun 1737 di negara Aljazair (Afrika). Beliau dikenal mempunyai keistimewaan di atas manusia umumnya, karena sejak berumur 7 tahun telah hafal al-Qur’an dan sejak kecil mempelajari berbagai cabang ilmu seperti Usul, Fiqh, dan sastra.
“Bahkan di usia remaja, beliau telah mahir cabang-cabang ilmu agama Islam,” ujar Ahmad Syarif, seorang jemaah Tijaniyah asal Jawa Tengah.
Menurut ketua pelaksana Idul Khotmi, KH Sufyan Nawawi, setiap Idul Khotmi (termasuk yang kini digelar di Madura) selalu dihadiri pula oleh pemimpin Tarekat Tijaniyah dari berbagai negara asing.
“Terutama dari Aljazair dan Maroko yang merupakan cikal bakal lahirnya tarekat Tijaniyah ini,’’ ujar KH Sufyan Nawawi, Sabtu (14/2).
Oleh karena itu, Idul Khotmi akan diisi pula dengan tausiyah oleh Syekh Muhammad Thohir Al-Husaini dari Aljazair dan Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Hafidhz dari Mesir.
Selain itu, juga hadir para wakil tarekat-tarekat lain yang tergabung dalam Tarekat Muktabaroh Indonesia dan Tarekat Muktabaroh An-Nahdliyah, yaitu tarekat yang tergabung dalam wadah Nahdlatul Ulama (NU).
KH Sufyan mengungkapkan, Tarekat Tijaniyah adalah salah satu tarekat dari 43 Tarekat Muktabaroh Indonesia atau tarekat yang diakui keabsahannya. Di Indonesia, pengikut tarekat ini ada sekitar 10 juta jiwa. Sekitar 40 % dari mereka adalah kalangan kyai dan pemimpin ponpes, yang tersebar di 14.657 ponpes.
Sementara itu, Kabag Ops Polres Pamekasan, Kompol Bambang Sulastro, menyatakan, polisi terpaksa menutup seluruh akses jalan kota saat puncak kegiatan Idul Khotmi berlangsung hari ini. Sebab, jemaah yang akan hadir pada kegiatan itu dipastikan akan memenuhi kota Pamekasan.
“Jadi Minggu (15/2) ini, arus lalu lintas di dalam kota Pamekasan dipastikan akan lumpuh total. Makanya, akses lalu lintas yang menuju kota Pamekasan semuanya kami tutup,” kata Bambang. (achmad rivai)
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar