Tiga Legenda Segaris Keturunan
KOTA tujuan
wisata ziarah tidak pernah sepi dari kisah klasik. Senang sekali menyebut
legenda-legenda yang ada dengan kisah klasik. Sebab, adanya cuma pada zaman
dulu, baik zaman kolonial atau zaman kerajaan islam tanah jawa. Pada zaman itu,
banyak sekali para ulama yang mempunyai karomah dan kesaktian. Buktinya, ya
cerita-cerita yang lestari dari mulut ke mulut di basis wali songo.
tanpa flash: pose agak gelap, takut
bikin para ahli kubur silau kena kilatan.[slideshow
Bukti lain tersebut adalah di Batuampar, Pamekasan, sebagai
basis penyebaran islam madura tengah. Di sana pernah tinggal syekh abdul manan
bin sayyid husein yang masih cicit Sunan Ampel. Syekh abdul manan banyak
dikenal dengan legenda bujuk kasambi.
Begini ceritanya. Bapaknya, sayyid
husein merupakan tokoh penting di Bangkalan karena mempunyai banyak pengikut.
Hingga kemudian, sayyid husein ditumpas habis oleh raja karena difitnah hendak
melakukan makar. Dalam keadaan itu, syekh abdul manan mengasingkan diri di
tengah perbukitan Batuampar. Di hutan tersebut, syekh manan bertapa di bawah
pohon kasambi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Nggak tanggung-tanggung,
pertapaan itu dilakukan selama 41 tahun. Dia memulai pertapaan itu saat berumur
21 tahun.
Hingga akhirnya dia ditemukan
seorang penduduk desa yang sedang mencari kayu dihutan. Setelah dibawa kerumahnya,
timbullah jalinan kekeluargaan hingga terjadi kesepakan dengan keluarga
tersebut. Syekh manan lalu dijodohkan dan memilih sendiri perjodohan itu dengan
seorang putri sulungnya yang menderita penyakit kulit.
Namanya orang yang mempunyai
karomah, di hari ke 41 pernikahan mereka, penyakit kulit si istri sembuh
seketika. Karena karomah tersebut, syekh manan lalu banyak dikenal sebagai
bujuk kasambi di darah tersebut.
Dilanjut dengan anaknya, bujuk
tumpeng
Syekh manan dikarunia dua putra dari
pernikahan tersebut. Yakni, taqihul muqadam dan basyaniah. Rupanya, kegemaran
bertapa syekh manan atau bujuk kasambi tersebut menular kepada putra keduanya,
syekh basyaniah. Dia juga selalu menutupi karomahnya dengan menjauhi pergaulan
dengan orang banyak.
Dalam melakoni pertapaan tersebut,
syekh basyaniah memilih suatu bukit yang terkenal dengan nama Gunung Tumpeng
yang terletak kurang lebih 500 m arah barat daya dari Desa Batuampar. Karena
banyaknya waktu yang dihabiskan syekh basyaniah di gunung tumpeng itu, maka dia
juga dikenal dengan bujuk tumpeng. Banyak orang yang disampaikan dari mulut ke
mulut meyakini syekh basyaniah mempunyai banyak karomah seperti bapaknya.
Sayang, tidak banyak yang bisa diceritakan karena sedikitnya sumber yang
menyebut.
Berputra tunggal bergelar syekh
bujuk latong
Syekh basyaniah selama hidupnya
hanya meninggalkan seorang putra yang bernama syekh syamsudin. Dia dikenal
dengan sebutan bujuk latong. Sifatnya juga suka bertapa sama halnya dengan
bapak dan kakeknya. Bahkan, dia selalu berpindah-pindah dalam melakukan
pertapaannya. Misal, salah satu tempat pertapaanya yang ditemukan didekat
kampung Aeng Nyono’. Wilayah tempat tersebut ada ditengah hutan yang lebat.
Karena seringnya tempat tersebut dipergunakan sebagai lokasi bertapa, oleh penduduk
setempat dinamakan Kampung Pertapaan.
Begitu juga bukit yang ada dikampung
Aeng Nyono’ yang menjadi tempat bertapanya Syekh syamsudin. Disana terdapat
sebuah kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada manusia sampai sekarang. Tepat
di sebelah barat tempat beliau bertapa terdapat sumber mata air yang mengalir
ke atas Bukit Pertapaan. Konon, syekh syamsudin mencelupkan tongkatnya sampai
akhirnya mengalir ke atas bukit hingga kini. Karena itu, kampung itu dinamakan
Kampung Aeng Nyono’ yang berarti air yang mengalir ke atas. Dan konon dengan
air inilah beliau berwudhu dan bersuci. Sayang, karena malam dan memadatkan
waktu, tidak sempat ke sana.
Sebutan latong itu muncul karena
dari dadanya keluar sinar. Konon, jika dilihat oleh orang yang berdosa, maka
orang tersebut akan pingsan atau tewas. Kisah lain menceritakan sarabe yang
preman ingin menghabisinya. Banyak sudah korban penduduk desa yang dibunuh.
Tapi, ketika sarabe akan membunuh syekh syamsudin dengan sebilah senjata,
tiba-tiba senjata itu lenyap dan tinggal warangkannya. Sarabe lalu memelas dan
memohon agar senjatanya dikembalikan. Syekh syamsudin menunjuk letak senjata
tersebut berada dalam Latong (kotoran sapi).
Maka, karena kerendahan hatinya,
syekh syamsudin menutupi jati dirinya. Dia menutupi karomahnya itu dengan cara
mengoleskan latong disekitar dadanya. Dia wafat dengan meninggalkan tiga orang
putra dan dikebumikan di Batuampar, madura. Cerita ini merupakan salah satu
versi saja. Masih banyak versi lain yang berkembang karena tidak adanya dokumen
tertulis. (ditulis atas keterangan berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar