Identitas Buku
Judul
: Babad Demak I
Pengarang
: R.T. Suryadi
Alih Aksara :
Slamet Riyadi
Alih Bahasa :
Suwaji
Penerbit
: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Tahun
: 1981
Tebal
: 407 halaman
Ringkasan
Cerita babad Demak ini dimulai setelah Prabu
Brawijaya menghilang di hutan Parangerit beserta patihnya yaitu Patih Banteng.
Setelah itu Raden Angka Wijaya dinobatkan sebagai raja sebagai pengganti
ayahnya dan memakai nama yang sama seperti ayahnya, yaitu Prabu Brawijaya.
Sedangkan Raden Gajah diangkat menjadi Patih sebagai pegganti ayahnya menjadi
patih dengan nama Patih Gajahmada yang membuat Majapahit semakin maju.
Prabu Brawijaya menikah dengan putri Cempa, yang
mendapat gelar Ratu Darawati. Mereka kedatangan tamu dari Arab yang bernama
Ibrahim dengan tujuan akan mengislamkan seluruh Jawa, yang kemudian berganti
nama Syeh Wali Lanang yang kemudian menikah dengan adik Ratu Darawati. Prabu
Brawijaya juga menikah dengan Rara Endang yang semula adalah seorang raksasa,
mereka memiliki anak bernama Raden Dilah. Prabu Brawijaya berkeinginan
memeanfaatkan kesaktian Jaka Dilah untuk memperkuat negara Majapahit. Jaka
Dilah kemudian diangkat menjadi adipati di Negara Palembang dengan nama adipati
Arya Damar. Dia menikah dengan putri Cina (istri dari Prabu Brawijaya, yang
sedang hamil) yang diberi oleh prabu Brawijaya dengan perantara patih Gajah
Mada. Maulana Ibrahim yang menikah dengan putri Cempa mempunyai dua anak laki-laki
yang bernama Raden Rahmat dan Raden Alip. Keduanya pergi ke Majapahit menempuh
jalur laut. Sesampainya di Majapahit mereka disambut baik oleh Prabu Brawijaya
dan bibinya yaitu Ratu Darawati. Di sana mereka juga menyebarkan Agama Islam.
Raden Rahmat menikah dengan Dyah Manila. Dia
ditempatkan di Ampelgading dengan nama sunan Ampel. Raden Alip menikah dengan
putri prabu Brawijaya. Dia ditempatkan di Gresik banyak orang Majapahit yang
sudah memeluk Islam.
Manyanasekar putri dari prabu Dayaningrat yang
bersuamikan seekor buaya putih. Mereka mempunyai anak yang bernama Jaka
Sengara. Jaka Sengara mengabdikan diri kepada raja Majapahit dia kemudian
diangkat menjadi adipati Pengging dengan nama Dayaningrat dan menikah dengan
putri prabu Brawijaya Dyah Mandayaresmi.
Syeh Maulana Magribi dan Rasawulan memiliki anak
yang kemudian dirawat oleh seorang janda di desa Tarub. Anak itu kemudian
terkenal dengan nama Jaka Tarub. Kemudian menikah dengan seorang Bidadari
bernama Nawangwulan. Mereka mempunyai anak bernama Nawangsih.
Prabu Brawijaya mengutus Bondangejawan ke Tarub
untuk berguru kepada Ki Ageng Tarub (Jaka Tarub). Nama Bondangejawan diganti
dengan nama Lampupeteng. Kemudian Bondangejawan menikah dengan Nawangsih, putri
Ki Ageng Tarub. Sementara itu. Adipati Arya Damar yang dahulu menerima istri
pemberian prabu Brawijaya, hidup di Palembang. Mereka memiliki putra yaitu
Raden Patah (yang sebenarnya anak dari Prabu Brawijaya) dan Raden Timbal.
Raden Patah dan Raden Timbal berangkat berlayar
menuju Majapahit. Dan singgah di Cirebon, tempat pangeran Modang. Dalam
perjalanan Raden Patah bertemu dengan Warapala. Raden Timbal dengan keduapuluh
temanya pergi ke Majapahit sedangakan Raden Patah dan Warapal pergi ke Ampel
Gading. Raden Patah diambil sebagai menantu Sunan Ampel. Atas petunjuk Sunan
Ampel, Raden Patah dan istrinya pergi ke hutan bintara untuk membabat
hutan. Pembabatan hutan tersebut akhirnya disetujui oleh prabu Brawijaya atas
penjelasan dari Raden Usen (Raden Timbal). Nama Raden Patah diganti dengan Adipati
Natapraja.
Syeh Melaya yang merupakan murid dari sunan
Bonang melakukan perjalanan keliling dunia. Dia diberi gelar sunan Kalijaga.
Dengan kekuatan ghaib, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga sebentar sampai Mekah
langsung menuju Demak. Mereka disambut baik oleh Adipati Natapraja. Atas
anjuran sunan Giri kepada Adipati Natapraja yang juga disepakati oleh para
Wali, maka di bangunlah di Demak sebuah masjid besar seperti masjid Mekah. Baik
Adipati Natapraja maupun para Wali ikut mengumpulkan bahan-bahan bangunanya,
mereka pergi ke hutan mencari kayu.
Rasawulan merupakan adik dari Sunan Kalijaga
dinikahkan dengan Jaka Supa. Dengan hadirnya Sunan Kalijaga di Tuban, seluruh
rakyat Tuban memeluk Islam. Sunan Kalijaga menolak perintah ayahnya untuk
memerintah di Tuban. Dan mengusulkan adik iparnya yaitu Supa yang seorang ahli
membuat keris.
Sunan Kalijaga pergi ke Demak. Dari sana Sunan
Kalijaga, Sunan Giri, Adipati Natapraja, sunan Ampel, sunan Gunung Jati,
Pangeran Siti Jenar dan sunan Bonang membuat sebuah Masjid. Berdirinya masjid
di Demak ditandai dengan angka tahun 1399 (Lawang trus gunaning jalma).
Supa dan istrinya melakukan perjalanan ke
Majapahit, di Majapahit ternyata sedang terjadi wabah penyakit yang disebabkan
oleh sebuah keris pusaka Majapahit yang bernama Kiai Condongcampur. Tapi
akhirnya bisa diatasi. Kurang dari setahun Majapahit jatuh sebab pusaka
kerajaan telah berpindah ke Tuban, yaitu berupa keris yang bernama Kiai
Sengkelat. Namun ternyata keris itu telah hilang.
Adipati Siyunglaut meminta Pitrang untuk membuat
keris yang sama dengan Kiai Sengkelat, dan didukung oleh Adipati Caluring. Atas
keberhasilan Pitrang dalam membuat keris, Adipati Siyunglaut mengangkatnya
sebagai pangeran di Sendang Sedayu dengan gelar pangeran Sendang dan
menikahkanya dengan putrid Adipati Siyunglaut sendiri.
Adipati Natapraja pergi ke Majapahit dan meminta
supaya Prabu Brawijaya dan seluruh orang Majapahit untuk melaksanakan syariat
Islam. Prabu Brawijaya tidak melarang siapapun yang akan memeluk Islam, tetapi
dia sendiri tidak akan berganti agama. Prabu Brawijaya adalah pemeluk Budha.
Prabu Brawijaya memerintahkan Raden Anom (putra
dari Supa) untuk membuat keris, keris tersebut di beri nama Magasastra atau
Segara Wedang. Selain keris Nagasastra juga ada keris Kiai Senkelat. Sunan
Kalijaga menyerahkan Kiai Sengkelat kepada Adipati Natapraja. Jika Kiai
Sengkelat kerasan tinggal di tempat Adipati Natapraja selama satu tahun berarti
Adipati Natapraja akan menjadi raja dan menguasai seluruh pulau Jawa.
Menurut Ywang Mahadewa, Prabu Brawijaya adalah
raja Budha yang terakhir yang menggantikanya adalah raja Islam, yang akan
menguasai pulau Jawa yaitu anaknya sendiri. Sepeniggal kedua orang patihnya
(Gajahmada dan patih Wahan), Majapahit mengalami kemunduran karena terjadi
bencana gunung meletus, sekitar tahun 1400. Prabu Brawijaya meminta bantuan
kepada Jakasura anak dari pangeran Sendang, maka dari itu selain mempunyai
keris Kiai Mangkurat buatan Jakasura. Kemudian Jakasura dinikahkan dengan Rasa
Sekar dan diserahi daerah Jenu.
Prabu Brawijaya berniat menyerang Adipati
Natapraja karena putranya itu menolak panggilanya dan menginginginkan Brawijaya
memeluk agama Islam, Adipati Natapraja dibantu oleh para Sunan. Pada perlawanan
tersebut Senopati dari kubu Adipati Natapraja yaitu Sunan Ngudung tewas,
kemudian digantikan oleh putra Sunan Ngudung atau pangeran Kudus. Sedangkan
dari kubu Brawijaya dipimpin oleh Adipati Pecattanda yang pada akhirnya memihak
demak. Peperangan antara Majapahit melawan Demak Bintara awalnya dimenangkan
oleh prajurit Majapahit tetapi pada akhirnya kekenangan jatuh ke tangan
prajurit Bintara. Setelah Majapahit ditaklukkan oleh Sultan Bintara, Prabu
Brawijaya menghilang bersama istananya.
Sementara itu Adipati Natapraja atau Sultan
Bintara (gelar yang diberikan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1401) meminta
Tohjiwo dan Tumenggung Artadaya beserta prajuritnya pergi mengambil dua keris
Kiai Sengkelat milik Adipati Siyunglaut untuk menghadapi Adipati Blambangan.
Tapi di tengah perjalanan mereka bertemu dengan bala tentara Blambangan
sehingga terjadi perang yang menewaskan Tumenggung Toh joyo dan Tumenggung
Artadaya.Setelah terbukti bahwa Adipati Siyunglaut berani melawan Sultan
Bintara, maka Sultan Bintarapun selanjutnya menyuruh Adipati Pecattand supaya
menaklukkanya Setelah berpamitan, ia dan para Adipati lainya berangkat ke
Blambangan. Setelah sampai dalam pura Blambangan mereka tidak mendapat
perlawanan karena di sana terjadi konflik antara Raja Siyunglaut dan patih
Caluring yang kemudian saling tikam sehingga keduanya tewas. Adipati Pecattanda
kembali ke Demak dengan membawa barang rampasan dan dua buah keris kembar yang
serupa dengan Kiai Sengkelat serta menaklukkan Blambangan.
Putri Adipati Pecattanda oleh Sultan Bintara
dinikahkan dengan pangeran Kudus yang kemudian bergelar sunan Kudus. Pangeran
Kudus sebelumnya telah menikah dengan Ratu Darawati, janda dari Prabu
Brawijaya. Sultan Bintara ditetapkan menjadi raja dan di beri gelar Senopati
Jimbun Panembahan Palembang. Putranya Ki Wanapada diangkat menjadi Patih dengan
gelar Patih Mangkurat. Iman Semantri di beri hak atas daerah Tarub dan Sela.
Sunan Kalijaga memiliki putra bernama Raden Mas
Adi yang kemudian di beri nama pangeran Hadikesuma oleh Sunan Bonang. Sunan
Bonang mempertemukan Sunan Kalijaga dengan putranya, di malam itu Sunan Bonang
menggelar pertunjukan wayang semalam suntuk dengan lakon “Mintaraga”. Setelah
pertunjukan tersebut Sunan Bonang terlibat pembicaraan dengan Sunan Kalijaga,
dia menceritakan tentang makna dari pertunjukan wayang tersebut. Menurutnya nanti
pada akhirnya akan banyak orang mukmin dan pendeta yang berhati jahat,
sedangakan orang-orang besar akan mengumbar hawa nafsunya.
Menantu Prabu Brawijaya di Pengging, Adipati
Dayaningrat, yang telah meninggal dunia, meninggalkan dua orang anak laki-laki
yaitu Kebokanigara dan Kebokenanga. Setelah Majapahit jatuh, Raden Kebokenanga
berguru kepada Syeh Sitijenar (yang dinilai sesat tapi bisa di tumpas oleh Syeh
Maulana) dan Ki Ageng Tingkir mengenai Islam. Raden Kebokenanga (Ki Ageng
Pengging) memerintah Negara Pengging yang banyak dari masyarakatnya memeluk
Agama Islam dan menjadikan Negara itu makin berkembang Ki Ageng Pengging
mempunyai putra bernama Mas Karebet.
Sultan Bintara tidak senang terhadap Ki Ageng
Pengging karena mengangggapnya sebagai penghalang Sultan Bintara menjadi Raja.
Maka dari itu Ki Ageng Pengging di panggil ke Demak tetapi ia menolak panggilan
dari Sultan Bintara. Hal itu membuat Sultan Bintara marah dengan kembali
mengutus Ki Ageng Wanapala untuk menanyakan kehendak Ki Ageng Pengging, Ki
Ageng Wanapala mengemukakan dua hal dari Sultan Bintara yang harus di pilih
salah satu oleh Ki Ageng Pengging. Kedua pilihan tersebut berlawanan sehingga
Ki Ageng Pengging tidak dapat memilih salah satunya tetapi ia mau menerima
semuanya dan tetap tidak mau datang menghadap ke Demak. Patih meminta Sultan
Bintara supaya tetap sabar dan memberi batasan tiga tahun untuk mengambil
tindakan terhadap Ki Ageng Pengging.
Ki Ageng Sela adalah anak dari alm. Ki Ageng
Getas Pandawa yang telah diangkat menjadi putra sultan Bintara. Karena sakit
hati kepada Sultan Bintara, Ki Ageng Sela menyiapkan prajuritnya untuk
menyerang Sultan Bintara. Namun Ki Ageng Sela menderita kekalahan. Hal tersebut
membuatnya menjadi prihatin. Ketika bertafakur di tepi telaga Madirda, ia
bermimpi di jumpai ayahnya. Di katakan ayahnya bahwa di dalam telaga tersebut
terdapat sebuah canang yang dulu bernama Pancajanya. Dan canang itu dapat
mendatangkan kebahagiaan. Ki Ageng Sela merampas canang itu dari dalang Bicak,
yang dibunuhnya.
Sunan Kalijaga singgah ke Sela dengan tujuan
melihat canang yang baru di peroleh Ki Ageng Sela. Menurut Sunan Kalijaga,
canag itu kelak akan menjadi tengara perang bagi anak cucu Ki Ageng Sela yang
menjadi raja di tanah Jawa. Sunan Kalijaga mengganti nama canang itu dengan
nama si Bicak dan menerima keris Kiai Kopek dari Sunan Kalijaga. Setelah Ki
Ageng Sela meninggal, desa Sela dipimpin oleh putranya Raden Jaka Enis.
Sampai batas waktu yang ditentukan, Ki Ageng
Pengging tetap tidak mau datang ke Demak kemudian Sultan Bintara meminta Sunan
Kudus supaya pergi ke Pengging. Ketika itu Ki Ageng Pengging sedang prihatin
karena Ki Ageng Tingkir baru saja meninggal. Sunan Kudus menawarkan dua pilihan
kepada Ki Ageng Pengging tapi ia tetap tidak dapat memilih atau menolak salah
satu diantaranya.
Setelah itu Ki Ageng Pengging meninggal dunia.
Berselang tujuh hari kemudian Nyi Ageng Pengging meninggal dunia pula. Mereka
di makamkan berdampingan di barat laut rumahnya. Mas Karebet, putra Ki Ageng
Pengging, diharapkan dapat menggantikan ayahnya. Mas Karebet diajak ke Tingkir
oleh Nyi Ageng Tingkir. Disana ia terkenal dengan nama Jaka Tingkir.
Sekembalinya Sunan Kudus dari Pengging, nama
Sultan Bintara sebagai seorang raja makin terkenal. Sultan Bintara mempunyai
enam orang putra. Pangeran Sabranglor, putranya yang sulung menggantikan
kedudukanya sebagai raja setelah ia meninggal. Akan tetapi, tidak lama kemudian
Pangeran Sabranglor meninggal dunia. Kedudukanya digantikan oleh adiknya, yaitu
Raden Trenggana yang kemudian bergelar Sultan Demak. Yang menjadi patihnya
adalah Patih Wanasalam, putra Patih Mangkurat.
Analisis
Di dalam buku Babad Demak I ini menceritakan
mengenai peristiwa yang berhubungan dengan kerajaan Demak, yang di mulai dari
kepemimpinan Prabu Brawijaya yang merupakan ayah dari Raden Patah, di Majapahit
hingga berakhirnya kepemimpinan Sultan Bintara (Raden Patah) di Demak. Urutan
ceritanya disesuaikan dengan urutan naskah aslinya. Naskah aslinya berbentuk
tembang macapat sehingga ceritanya seolah-olah meloncat-loncat.
Babad Demak ini mulai di tulis pada hari kamis,
tanggal 8 zulkaedah, wuku wugu, windu adi, tahun Alip 1835 atau 1323 Hijrah,
dan bertepatan pula dengan tanggal 5 januari 1906 dan selesai di tulis pada
hari kamis pon tanggal 11 Zulkaedah tahun Ehe 1836 atau tahun 1324 hijrah atau
27 Desember 1906. penulisan Babad ini atas kehendak Sultan Yogyakarta yang ke
tujuh. Pemimipin pelaksanaan penulisan ini adalah Raden Tumenggung Suryadi
putra dari KGP Adipati Mangkubumi.
Babad Demak ini tidak hanya memuat mengenai
peristiwa sejarah saja namun juga memuat mengenai legenda. Peristiwa sejarah
adalah peristiwa yang benar-benar terjadi dan dapat diketahui berdasarkan
penelitian Metodologi sejarah serta dapat dibuktikan dengan fakta sejarah dan
sumber yang valid. Sedangkan legenda adalah prosa rakyat yang dianggap
benar-benar terjadi, yang dialami manusia maupun makhluk-makhluk lain, serta
mempunyai sifat yang luar biasa yang kadang di luar akal manusia, tempat
terjadinyapun di dunia yang telah kita kenal kini, karena waktu terjadinya
belum terlalu lampau.
Beberapa legenda yang termuat dalam Babad Demak
ini, contoh ceritanya, antara lain : pada bagian XI, (Sinom), XIV dan XV
(Kinanti), XVI (Mijil), pada bagian ini diceritakan mengenai putra dari Syeh
Maulana Magribi dan Rasawulan yang dititipkan dan diasuh oleh Nyai Randa Tarub
di desa Tarub. Anak itu memiliki banyak keistimewaan dan terkenal dengan nama
Jaka Tarub
Suatu hari Jaka Tarub pergi ke hutan dengan
membawa sumpitan sangkur. Sampailah ia di sebuah telaga. Di sana ia melihat
lima Bidadari kayangan yang sedang mandi, mereka adalah Gagarmayang,
Mayangsari, Surendra, Sukarsih dan Nawangwulan. Tujuan sebenarnya Jaka Tarub ke
tempat itu adalah mengejar burung namun kemudian ia melihat Bidadari yang
sedang mandi di telaga dari balik pohon dia mengambil salah satu pakaian para
Bidadari yang menumpuk di tepi telaga. Kebetulan yang diambil adalah pakaian
Nawangwulan. Pakaian tersebut di bawa pulang dan di sembunyikan di lumbung.
Segera Jaka Tarub kembali ke telaga dan membawa pakaian lain dari rumahnya.
Para Bidadari segera terbang ke angkasa, kecuali
Nawangwulan karena pakaianya hilang. Jaka Tarub pun datang menghampirinya
dengan maksud memperistri Nawangwulan. Mereka membangun rumah tangga di dalam
kerukunan dan kedamaian. Nyai Randa ibu Jaka Tarub menerima baik menantunya
itu. Beberapa waktu kemudian Jaka Tarub dan Nawangwulan dikaruniai seorang anak
perempuan yang di beri nama Nawangsih.
Pada suatu hari Jaka Tarub melanggar pesan dari
istrinya untu tidak membuka tutup kukusan. Maka dari itu beras yang di butuhkan
menanak nasi menjadi banyak sekali. Saat akan mengambil beras di lumbung,
Nawangwulan menemukan kembali baju Antakesumanya di lumbung itu. Dia pun
kembali ke kayangan dan meninggalkan suami dan anaknya yang masih kecil namun
setelah tiba di kayangan, para Bidadari menolaknya karena telah menikah dengan
manusia. Dia pun tak mungkin pula kembali ke dunia. Sedangkan Nawangsih diasuh
baik-baik oleh Jaka Tarub atau yang dikenal dengan nama Ki Ageng Tarub.
Nawangsih tumbuh menjadi gadis yang cantik seperti ibunya.
Selain cerita Jaka Tarub diatas. Dalam buku Babad
Demak 1 ini, juga terdapat kisah yang termasuk legenda yaitu ketika pembangunan
Masjid Demak, Sunan Kalijaga sebuah tiang yang terbuat dari tatal. Sunan
kalijaga meletakkan beliungnya muncullah seekor anjing tanah tepat di bawah
beliung itu. Leher anjing tanah terpotong karenanya. Ia meminta Sunan Kalijaga
untuk menyambung kembali lehernya. Sunan Kalijaga memegang anjing tanah itu
kemudian di sambung kembali leher anjing tersebut dan di beri tatal di atas
tengkuknya. Anjing tanah itu kembali seperti keadaan semula.
Dari kedua contoh cerita diatas dapat digolongkan
sebagai legenda karena peristiwanya sulit di terima dengan akal sehat dan tidak
ada bukti sejarah yang menguatkanya. Misalnya cerita Jaka Tarub, keberadaan
telaga yang di gunakan untuk mandi para Bidadari belum diketahui kepastianya
dan tidak ada bukti yang valid tentang pernikahan Jaka Tarub dan Nawangwulan
sedangkan pada cerita tentang Sunan Kalijaga yang tersebut diatas, dapat
diketahui dengan pasti keberadaan tiang tersebut di Masjid Demak tetapi akan
sulit mempercayai keberhasilanya dalam menyambung kembali leher anjing tanah
yang terputus dengan memberi tatal. Di dalam legenda memang banyak di temui kejadian-kejadian
luar biasa bersifat mistis dan di luar rasio manusia.
Peristiwa sejarah yang di tulis dalam Babad Demak
ini juga cukup banyak tapi bila tidak teliti membacanya akan cukup
membingungkan pula, karena didalamnya dipengaruhi oleh unsure legenda.
Misalnya, mengenai silsilah raja di tanah jawa. Di sini diceritakan bahwa Raden
Patah, raja Demak adalah anak dari Prabu Brawijaya , raja Majapahit. Kesultanan
Demak didirikan oleh Raden Patah yang kemudian bergelar Sultan Bintara dengan
cara membabat hutan. Dengan di Bantu oleh para Sunan, dia memimpin Demak dan
mendirikan Masjid Demak pada tahun 1399.
Cerita tersebut di atas dapat di golongkan dari
dalam peristiwa sejarah karena kerajaan Demak benar-benar ada dan Masjid Demak
masih berdiri kokoh hingga sekarang. Kebenaran cerita dapat di buktikan dengan
fakta sejarah. Selain bukti material berupa bangunan juga terdapat
sumber-sumber sejarah yang lain yang mampu menguatkan kebenaranya.
Seperti hitoriografi tradisional lainnya Babad
Demak I ini juga bersifat kosentris, menonjolkan kepemimpinan para raja di
zamannya ( dalam hal ini Prabu Brawijaya dari Majapahit dan Sultan Bintara dari
Demak), banyak kisah-kisah yang bersifat magis dan religius yang melibatkan
para Sunan, memfokuskan pada daerah Jawa, urutan critanya yang meloncat-loncat
serta tokoh-tokoh yang saling berkaitan. Banyaknya kesamaan nama tokoh dan
gelar-gelarnya mendorong pembacanya untuk bias lebih teliti dalam mambaca
sehingga dapat mengerti isi ceritanya.
Babad Demak 1 ini, mengisahkan mengenai Demak dan
hal-hal lain yang terlibat di dalamnya. Selain itu menceritakan tentang
tokoh-tokoh yang terkait baik itu Raja, Adipati, para Sunan dan orang-orang
pendukungnya. Di dalam menggambarkan jalan ceritanya penulis tidak hanya
menggunakan sumber-sumber dan data sejarah saja tetapi juga menggunakan
cerita-cerita legenda yang berkembang dalam masyarakat. Walaupun penerjemahan
Babad Demak 1 ini sesuai dengan naskah alinya tapi ada yang di buat tidak
sesuai supaya penafsiranya lebih bisa di pahami oleh pembaca.
By : Memik Zunainingsih
Sastra Sejarah
FSSR / UNS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar