“Baiat Dan Syahadatain”
ketegori Muslim. Assalamualaikum Ust…1. Saya mau bertanya tentang syahadatain,
bahwa ada yang menyebutkan tidak masuk golongan muslim yang belum melaksanakan
syahadatain, syahadatain di sini artinya bukan dalam ritual shalat namun dalam
artian baiat,benarkah? dan apa dalilnya, kalau tidak begitu tolong disebutkan
juga dalilnya2. Jika umat muslim wajib berbaiat, untuk zaman sekarang ini kita
harus berbaiat kepada siapa?
Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan
jazakallahu khairan katsiro
WAssalamualaikum Warahmatullah
Wabarakatuh
Afwa
Jawaban
Assalamualaikum Warahmatullah
Wabarakatuh,
Berbai’at dan bersyahadat adalah dua
hal yang berbeda. Bahkan anak kecil yang masih duduk di bangku madrasah
ibtidaiyah pun mudah membedakannya. Syahadat merupakan salah satu rukun Islam,
sedangkan bai’at tidak termasuk rukun Islam.
Namun ada segelintir orang yang ikut
dalam aliran sesat telah berupaya menyelewengkan pengertian keduanya sehingga
seolah-olah bai’at itu syahadat dan syahadat itu bai’at. Tentu saja pengertian
salah seperti ini jelas punya tujuan tendensius dan merupakan bentuk kesesatan
yang serius.
Padahal dari segi lafadznya saja
sudah berbeda. Syahadat itu berbunyi asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu
anna Muhammadar rasulullah , sedangkan bai’at itu berbunyi ubayi’ukum ‘alas
sam’i wath-tha’ah fi tha’atillai wa rasulihi .
Syahadat itu adalah ikrar tentang
masalah tuhan dan kenabian, di mana seorang muslim menyatakan tidak ada tuhan
yang patut disembah kecuali Allah, sekaligus ikrar bahwa Muhammad SAW adalah
utusan Allah. Sedangkan ba’iat adalah ikrar untuk mengangkat seseorang menjadi
pemimpin dan pernyataan siap untuk mentaatinya.
Sehingga jelaslah bahwa syahadat itu
bukan bai’at dan bai’at itu bukan syahadat. Syahadat itu sebagai ikrar dari
seorang non muslim untuk masuk Islam, sedangkan bai’at itu adalah sumpah atau
pengangkatan seseorang untuk dijadikan pemimpin.
Orang kafir yang tidak mengucapkan
syahadat berarti dia belum masuk Islam. Statusnya adalah kafir karena memang
aslinya adalah orang kafir. Adapun orang muslim, selain secara nyata dia sudah
menunjukkan dirinya sebagai muslim, secara lafadz pun sudah pasti dia melakukan
syahadat berkali-kali dalam sehari. Dan pengakuan sejak awal bahwa dia adalah
seorang muslim sudah cukup untuk dikatakan bahwa dia memang muslim, sehingga
seorang muslim sama sekali tidak memerlukan syahadat ulang. Dia adalah muslim
karena sejak awal pun memang sudah muslim.
Maka sungguh salah dan sesat kalau
ada pendapat yang mengatakan bahwa seorang yang sudah muslim harus bersyahadat
ulang, kalau tidak maka dia adalah orang kafir. Pendapat seperti ini tidak akan
lahir dari mulut seorang yang mengerti hukum aqidah, kecuali dari kelompok
sesat yang berpaham takfir. Yaitu aliran sesat yang mudah mengkafirkan orang
lain. Bahkan fatalnya paham sesat ini adalah berangkat dari asumsi bahwa semua
orang di dunia ini pada dasarnya kafir, kecuali yang mau setia taqlid buta pada
kelompok sesat itu.
Padahal dalam ilmu aqidah yang
diajarkan oleh Rasulullah SAW, setiap orang itu lahir dalam keadaan muslim.
Barulah kemudian kedua orang tuanya yang akan mengajaknya kepada kekafiran.
Mungkin dijadikan yahudi, nasrani atau majusi. Kalau mereka suatu saat mau
masuk Islam, haruslah membuat pernyataan/ ikrar yang disebut dengan syahadat.
Namun bila seorang bayi lahir dari kedua orang tua yang muslim dan tumbuh dalam
pendidikan Islam, sudah secara otomatis dia menjadi muslim. Dan sama sekali
tidak perlu bersyahadat ulang.
Dan kafirnya seorang muslim itu
harus melewati sebuah proses yang bernama murtad . Namun selama seorang muslim
tidak melakukan hal-hal yang termasuk dalam kategori kemurtadan yang disahkan
oleh pengadilan syariah, maka dia adalah muslim 100%.
Para shahabat Nabi SAW dahulu
awalnya pun masih kafir. Lalu mereka masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat
syahadat. Sejak awal mula turunnya wahyu, sudah banyak shahabat yang masuk
Islam. Hingga menjelang hijrah ke Madinah baru ada bai’at. Ini menunjukkan
bahwa syahadat itu bukan bai’at dan bai’at itu bukan syahadat. Di dalam sirah
nabawiyah, keduanya dipisahkan oleh jarak waktu hampir 10 tahun. Dan para
shahabat nabi SAW yang masuk Islam di awal mula turun wahyu tetap dianggap
muslim, meski mereka tidak ikut berba’ait.
Perlu diketahui bahwa bai’at di
dalam sirah nabawiyah ada beberapa kali. Yang awal pertama terjadi adalah
bai’at Aqabah I dan bai’at Aqabah II. Dua-duanya hanya untuk para anshar dari
Yatsrib . Adapun para shahabat yang lainnya tidak ikut berbai’at. Kalau
dikatakan bahwa yang tidak bai’at itu kafir, seharusnya Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali itu kafir, lantaran tidak ikut bai’at.
Jadi pemahaman seperti yang Anda
kemukakan itu jelas sekali salahnya, bahkan bertentangan dengan realita sejarah
di masa Nabi SAW, juga bertentangan dengan manhaj salafushalih, serta
bertentangan dengan ilmu aqidah dan syariah. Tidaklah ada orang yang mau dicocok
hidungnya dengan doktrin sesat seperti ini kecuali orang-orang yang lemah iman,
kurang ilmu dan jahil terhadap agamanya sendiri.
Kewajiban Berbai’at
Kalau umat Islam sedunia bisa menyatukan aqidah, fikrah dan manhaj hingga sampai ke satu gerakan, insya Allah saat itulah umat Islam akan punya pemimpin. Dan pada saat itulah umat Islam dengan suka rela menyatakan ketaatan kepada pemimpinnya itu dengan sebuah ritual bai’at. Pemimpin itu secara aklamasi diangkat oleh 1,5 milyar umat Islam sedunia untuk menjadi khalifah kepemimpinan Rasulullah SAW.
Kalau umat Islam sedunia bisa menyatukan aqidah, fikrah dan manhaj hingga sampai ke satu gerakan, insya Allah saat itulah umat Islam akan punya pemimpin. Dan pada saat itulah umat Islam dengan suka rela menyatakan ketaatan kepada pemimpinnya itu dengan sebuah ritual bai’at. Pemimpin itu secara aklamasi diangkat oleh 1,5 milyar umat Islam sedunia untuk menjadi khalifah kepemimpinan Rasulullah SAW.
Kalau sekarang ini, di mana wajah
umat Islam masih centang perenang, kusut tidak karuan, saling ejek, saling
caci, saling tonjok bahkan saling adu jotos sesama mereka, khilfah yang
diidamkan itu rasanya masih jauh dari kenyataan. Jelas saat ini kita tidak
punya satu orang yang bisa dibai’at secara international. Kalau pun sekarang
ini ada yang dibai’at, maka bukan bai’at untuk menjadi pemimpin seluruh umat ,
melainkan pemimpin lokal kecil-kecilan saja, mungkin setingkat RT atau RT. Atau
setingkat sebuah ormas, jamaah kecil-kecilan atau jamaah pengajian yasinan dan
sebagainya. Dan sama sekali bukan representasi pemimpin dari seluruh umat Islam
sedunia.
Hukum membai’atnya suka-suka saja.
Kalau rasanya kita setuju untuk mengangkatnya menjadi pemimpin untuk lokal
tertentu, silahkan saja dibai’at. Tapi jangan sampai ada keyakian bahwa siapa
yang tidak ikut membai’atnya, lantas menjadi kafir. Ini adalah sebuah
penyimpangan paham aqidah yang sesat dan menyesatkan.
Maka hukum bai’at berbeda tergantung
orang yang melaksanakannya. Adapun ahlu al-halli wa al-‘aqdi, maka mereka wajib
berbai’at terhadap imam yang telah mereka pilih, jika syarat-syarat keimaman
telah terpenuhi pada imam terpilih tersebut.
Adapun masyarakat umum, pada asalnya
setiap orang wajib melakukan bai’at terhadap imam berdasar bai’at ahlu al-halli
wal ‘aqdi terhadap imam tersebut. Karena Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang mati dan tidak
ada ikatan bai’at di pundaknya maka ia pasti mati seperti mati di jaman
jahiliyah”
Namum begitu, Fuqoha Malikiah
berpendapat, masyarakat umum tidak perlu melakukan bai’at. Tetapi cukup bagi
mereka meyakini bahwa mereka di bawah perintah imam yang dibai’at dan mereka
diharuskan untuk taat terhadap imam tersebut
Sedangkan orang yang terpilih untuk
menjadi imam, ia wajib menerima bai’at tersebut jika memang terpilih dan tidak
ada orang yang memenuhi persyaratan selain dirinya. Akan tetapi jika yang
memenuhi persyaratan jumlahnya lebih dari satu maka kewajiban tersebut berubah
menjadi fardu kifayah.
Pengertian Keliru Tentang ‘Mati
Jahiliyah’ Bila Tidak Berbai’at
Dalam kitab legendaris yang meurpakan kitab penjelasan shahih Bukhari, Fathul Baary, Ibnu Hajar memberikan komentar tentang pengertian “Miitatan Jahiliyyatan” bahwa yang dimaksud dengan kalimat tersebut aadalah sebagai berikut:
Dalam kitab legendaris yang meurpakan kitab penjelasan shahih Bukhari, Fathul Baary, Ibnu Hajar memberikan komentar tentang pengertian “Miitatan Jahiliyyatan” bahwa yang dimaksud dengan kalimat tersebut aadalah sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “mati
Jahilyyah” dengan bacaan mim kasrah “Miitatan bukan Maitatan” adalah keadaan
matinya seperti kematian di jaman Jahiliyyah dalam keadaan sesat tiada imam yang
ditaati karena mereka tidak mengetahui hal itu. Dan bukan yang dimaksud itu
ialah mati kafir tetapi mati dalam keadaan durhaka”
Imam al-Qadhy ‘Iyadh berkata bahwa
yang dimaksud dengan sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang keluar dari
ketaatan imam dan meninggalkan jama’ah maka ia mati miittan jahiliyyatan”
adalah dengan mengkasrah mim “miitatan” yaitu seperti orang yang mati di jaman
Jahiliyyah karena mereka ada dalam kesesatan dan tidak melaksanakan ketaatan
kepada seorang imam pun” 6/258}
Wallahu a’lam bishshawab
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Ahmad Sarwat, Lc
Sumber Baiat Dan Syahadatain
: http://assunnah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar