Sarjawala
1: Ilang Sirna Kertaning Bhumi
Pada tahun 1478 M, Sunan Ngampel,
Kadi Majapahit dan Rektor Universitas Ampel Denta wafat (77 tahun). Bersamaan
itu, negeri-negeri muslim Andalusia, yang dipimpin Wangsa Umayyah (tepatnya
Bani Hakam dari Subwangsa Marwan) berangsur-angsur menyerahkan diri kepada
Spanyol dan Portugis. Tidak berapa lama Perjanjian Tordesillas ditandatangani
(1494). Semua ulama bersepakat bahwa akan datang era baru yang membutukan
perjuangan yang berat, jaman di mana ketentraman hidup menjadi asing dan mahal.
Mpu Kanwa diperintahkan untuk
menyusun satu traktat/serat yang berisi pemberitahuan umum kepada seluruh
negeri-negeri atau anak negeri persemakmuran Majapahit (Nuswantara) agar
bersiap-siap mempertahankan diri. Sesanti beliau berbunyi “ilang sirna
kertaning bhumi“, yang sekaligus candra sengkala penanda sebagai 1400 tahun
saka atau 1478 M. Mpu Kanwa memberi tajuk yaitu Serat Kandha yang
berarti Berita atau Kabar. Kemudian dibentuklah Dewan Ulama yang disebut Walisongo
dan dibangun bandar laut pertahanan yaitu Demak Bintoro. Tidak berapa
lama kolonialisme merangsek dan tetap meninggalkan bekasnya sampai hari ini.
Kepemimpinan Kesultanan Majapahit dialihtangankan (palihan) dan digeser
kepada Kesultanan-kesultanan yang lebih kecil termasuk Kesultanan Mataram dan
Cirebon.
Perjuangan Walisongo sendiri
berakhir sampai Angkatan ke-10 yang dipimpin Pangeran Diponegoro (Sultan
Abdul Hamid Ba’abud). Perjuangan Pangeran Diponegoro (yang juga
Kesultanan-kesultanan yang lain seperti Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, dll
sampai yang terakhir berhasil dihapus Belanda adalah Sultan Iskandar Muda)
adalah periode akhir perjuangan melawan kolonialisme. Saat itulah Indonesia
diperkenalkan (dan juga Malaysia, Filipina, Thailand, dll). Nuswantara memasuki
era baru yang disebut “modern”.
Secara fisik, kolonialisme berakhir
dengan munculnya negara-negara nasional di Nuswantara seperti Indonesia,
Malaysia, Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, Filipina, dll. Akan tetapi sistem
kehidupan yang berlaku masih meniru kolonial, mulai dari tata pemerintahan dan
politik (demokrasi), pengembangan sains (sains empiris), teknologi (mekanis) dan riset, pendidikan (dan model-model belajar
sekular), relasi sosial kemasyarakatan (pluralisme, dll) dan kebudayaan,
organisasi, hukum dan perundang-undangan, pasar dan ekonomi, dll. Sendi-sendi
peradaban tradisional ditanggalkan dan dirasionalisasi agar relevan dengan apa
yang kemudian disebut ‘modern’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar