Kesalahan Sejarah tentang Syeikh Siti Jenar yg menjadi Fitnah 1.
Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini
bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti
referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah
sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ;
Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm.1, cerita yg
masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen
Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen
manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan
kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah.
Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal
di desa Lemah Abang]
2. Ajaran “Manunggaling Kawulo
Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah
Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu
berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar,
beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’”. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda
penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’
merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in
Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa
kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati,
Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
3. Dalam beberapa buku diceritakan
bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at,
Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya,
ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat
dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam
Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih
banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir
“Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa
Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia
meninggalkan sholat Jum’at”.
4. Beberapa penulis telah menulis
bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah
menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah,
seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut
Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis
menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori
Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun. Manusia lahir dari manusia dan akan
wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat
para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka
berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di
Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru
mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.
5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar
dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer.
Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan
dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: Wali Songo
adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus
syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal
Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya
ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan
Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama.” Tidak bisa
diterima akal sehat. Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam
Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah
umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’
Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah
mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera
[Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1. Kelas Santri [diidentikkan dengan
9 Wali]
2. Kelas Priyayi [diidentikkan
dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3. Kelas Abangan [diidentikkan
dengan Syaikh Siti Jenar]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar