Auto-hide: on
PANGERAN DIPONEGORO :Sebagai Seorang Bangsawan Jawa, Arsitek dan
Sastrawan _
____________________________
Oleh : Drs. Supriyo Priyanto, MAI. Pendahuluan
Banyak tulisan tentang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830 telah
dibuat, baik oleh penulis asing maupun domestik. Namun demikian, ibarat
mata air dia tak ada habis-habisnyauntuk ditimba. Kajian
tentangnya terus mengalir dan nampaknya tidak akan pernah tuntas.Kenyataannya
memang masih banyak aspek yang terkait dengan tokoh tersebut yang belumterungkap.Sebagai putra sulung Sultan Hamengkubuwono (HB) III, raja kasultanan
JogyakartaHadiningrat, Pangeran
Diponegoro memiliki hubungan kekerabatan formal dengan kraton.Meskipun dia dibesarkan di luar tembok kraton,
namun sebagai seorang pangeran dia tetapmendapat didikan ksatria Jawa, mengikuti tradisi kejawen, dan menghayati
berbagai ritualkraton, tata cara, perilaku dan tutur bahasa yang sangat
hierarkhis. Selain itu dia juga mendapat pendidikan
perang seperti ulah kanuragan, olah senjata, menunggang kuda, dan juga ilmu pemerintahan.
Yang tidak kalah pentingnya ialah pendalamannya terhadap kesusasteraan,
filsafatJawa dan kesenian, khususnya seni musik (gamelan, tembang) dan seni
pedalangan.Begitu kompleksnya permasalahan
di seputar kehidupan Diponegoro, tulisan ini akanmencoba menyorotinya sebagai
seorang bangsawan Jawa, yang memiliki bakat dalam duniaarsitektur
sekaligus sastrawan.
II. Figur Diponegoro
Diponegoro
adalah putra sulung Sultan Jogya, Sultan HB III atau Sultan Raja dari seorangselir. Dengan demikian dia adalah cucu Sultan HB
II (Sultan Sepuh) dan cicit Sultan HB I(Sultan Swargi). Ibunya
disebut-sebut bernama R.A. Mangkarawati yang menurut Peter Careyasal-usulnya masih kabur. Dikatakan putri itu
berasal dari Majasta di daerah Pajang, dekatmakam keramat Tembayat (Carey,
1991:2). Dalam naskah lain Carrey mengatakan dia adalahketurunan Ki
Ageng Prampelan dari Pajang (Carey, 1974:74).1
Sagimun MD. memberitakan bahwa dia berasal dari Pacitan, putri seorang
Bupati yangkonon masih berdarah Madura (Sagimun, 1986:36). R. Tanojo dalam
Sadjarah
Pangeran Dipanagara Darah Madura
mengatakan
bahwa darah Madura yang mengalir pada Diponegoro bukan berasal dari pihak
ibu tetapi justeru dari pihak ayah. Menurut silsilah, nenek Diponegoro,yakni Ratu Kedaton (permaisuri HB II) adalah
generasi ke enam keturunan PangeranCakraningrat dari Tunjung Madura
(Tanojo, t.t:4).Nama asli Diponegoro adalah
Raden Mas Mustahar. Dia lahir di keraton Jogyakarta padahari Jum’at Wage, tanggal 7 Muharram Tahun Be atau
11 Nopember 1785 Masehi sebagai putera
sulung Sultan HB III (Carey, 1991:1). 1) Pada tahun 1805 Sultan HB II
menggantinamanya menjadi Raden Mas Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar
pangeran barudisandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.
2) ___________________ 1)Mengenai kelahiran Diponegoro tersebut masih
menjadi tanda tanya, karena jika diteliti,tahun
1785 ternyata berwindu Langkir, sedangkan menurut naskah babad windunya
Kulawu.Bila berdasarkan windu Kulawu, maka kelahirannya jatuh tahun 1704 Jawa
atau 6 Pebruari1787. Ann Kumar bahkan menyebut tahun 1787 dengan tanda tanya
(?) besar (Hardjonagoro,1990:34).
Menurut kepercayaan Jawa, seseorang yang lahir dengan hari dan
pasaran
(Jawa:
neptu
) Jum’at Wage biasanya pandai berbicara, penampilannya menarik, wataknya berbudi (watak pendeta) dan
sering bertengkar. Dalam hidupnya dia akan menghadapi tantangan berat karena sifatnya yang suka terus terang
dan suka berdebat. Dalam pandangan Jawa, bulanMaharram atau Sura
memiliki arti tersendiri, karena bulan pertama dari tahun Jawa itu biasanyadipakai untuk mendirikan kraton baru atau
penobatan raja. Tahun kelahiran Diponegoro yang jatuh pada tahun 1200
Hijrah juga memiliki arti tersendiri, karena menurut Ramalan Jayabayamerupakan
saat-saat munculnya Ratu Adil.2)Nama
Diponegoro mengingatkan orang pada seorang tokoh dalam
Babad
Tanah Jawi
.yakni Raden Mas Sungkawa, putra Sunan Paku Buwono
I (1704-1719) dari Surakarta, yang juga
bergelar Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1718 dia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan di Jawa Timur bersama
Tumenggung Jayapuspita. Setelah berhasil menguasaidaerah di sebelah timur Gunung Lawu sampai
Blambangan, dia lalu mengangkat dirinyamenjadiPanembahan Herucokro
Senopati ing Ngalogo Ngabdur-Rakhman Sahidin Panatagama.Di masa Sunan Amangkurat I (1719-1727) istananya pindah dari Madiun ke
Padonan, dekatSukowati. Ketika ditinggalkan saudara-saudaranya, yakni
Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar,istananya
pindah ke Semanggi, sampai akhirnya pada tahun 1723 dia ditangkap Belanda dandibuang
ke Tanjung Harapan (Olthof, 1941:323-333; Yamin, 1952:22-23). Walaupun Pangeran Diponegoro putra raja, namun dia
dibesarkan di luar tembok kraton, dilingkungan pedesaan Tegalrejo, dibawah
asuhan nenek buyutnya, Kanjeng Ratu Ageng (jandamendiang Sultan HB I). Dalam
naskah babad dikisahkan : beberapa hari setelah Diponegorolahir, Sultan
HB I minta pada isterinya untuk melihat cicitnya tersebut. Sambil mengamati
bayi
di
pangkuannya Sultan HB I berkata : bahwa kelak anak tersebut akan menjadi tokoh
yang jauhlebih besar dari dirinya, dan akan
menimbulkan kerusakan besar pada Belanda SelanjutnyaSultan minta agar
isterinya merawat sendiri bayi tersebut (Carrey, 1991:2).Sepeninggal suaminya,
Ratu Ageng membawa cicitnya ke kediamannya di Tegalrejo, sebuahdesa terpencil beberapa kilometer di arah brat
daya istana Jogyakarta. Di sanalah Diponegorodibesarkan dan dididik sebagai
layaknya bangsawan Jawa, sekaligus seorang santri yang taat beragama.Banyak
penulis mengatakan bahwa kehidupan sehari-hari Diponegoro banyak mencontohdan mengikuti sifat serta perilaku Nabi. Hidupnya
amat bersahaja, baik dalam cara berpakaian,makan maupun pergaulannya dengan orang kecil. Dikisahkan dia sering
menyamar sebagaiorang kebanyakan, mengenakan ikat kepala dan kain wulung dan
berbaju hitam. Dia sering bergabung dengan santri di pondok-pondok
pesantren di pedesaan dengan nama samaran Ngabdurakhim. Di saat samarannya hampir terbongkar, dia segera
pindah ke pondok pesantrenyang lain. Selain itu dia juga suka mengembara, masuk
ke luar hutan dan tinggal di gua-guauntuk bertapa (
chalwat
).Cara
hidup demikian ini nampaknya menjadi pola umum yang berlaku di kalangan
pemudadi masa itu. Dikarenakan sampai dengan masa pemerintahan Sultan HB II
masyarakat Jogyakartamasih diliputi oleh
eforia kemenangan perang Mangukubumi. maka upaya memperdalam ilmukanuragan,
ketrampilan bermain senjata, menunggang kuda, juga landasan laku batin,
sepertitirakat, puasa, bertapa di gua keramat mendapat tempat khusus di
kalangan anak muda. Sesuaidengan situasi dan kondisi jamannya, Diponegoro muda
tentunya juga tidak terlepas darikebiasaan yang berlaku saat itu.
3) _________________ 3)Waktu itu
di kalangan bangsa Jawa masih mementingkan adanya olah (Jawa:
laku
) batin(tapa
brata) yang sifatnya asketis, seperti : menahan lapar, makan seadanya itupun
tidak sampaikenyang, mengurangi tidur, puasa, pantang makan dan lain-lain.
BeberapaMasa-masa selepas perang Mangkubumi dapat dikatakan merupakan jaman
pembangunan.Para alim ulama, kyahi, guru-guru
agama memperoleh kesempatan untuk kembali meluaskan pengajaran agama.
Pondok-pondok pesantren, dan tempat mengaji Al Qur’an dan kitab-kitabagama
bermunculan di berbagai tempat. Ada alim ulama dan kyahi yang hanya mengajarkanilmu-ilmu agama, mulai syariat, tarekat, hakekat
hingga ma’rifat, namun ada pula yang3
melengkapinya
dengan ulah kanuragan dan lain-lain. Anak-anak muda dari berbagai daerahpun berduyun-duyun memasuki pondok-pondok
pesantren untuk memperdalam ilmu agama. Orang banyak yang menjalankan
rukun Islam, walaupun sekedar ikut-ikutan (Jawa:
anut grubyug
).Mereka mengucapkan kalimat syahadat, menjalani
sholat lima waktu, membayar zakat, juga berpuasa
di bulan Romadlon, namun untuk berangkat haji ke Mekah baru sedikit yang
bisamenjalaniya. Nampaknya saat itu di Jawa sedang terjadi kebangkitan dalam
kehidupan beragama dan Diponegoropun tidak terlepas dari
perkembangan situasi dan kondisi jamannya.Dalam
hal agama, Kanjeng Ratu Ageng tentunya tidak akan begitu saja menyerahkanDiponegoro
kecil mengaji kepada sembarang orang. Sewaktu masih kecil dan belum dapat pergi jauh meninggalkan rumah, ada dua kemungkinan
yang bisa terjadi :
pertama
, dia diajar sendirioleh nenek buyutnya atau
kedua
, belajar mengaji pada guru agama setempat. Namun sejalandengan
bertambahnya usia maka diapun diserahkan pada seorang guru (ulama) yangsebenarnya. _____________________ jenis
puasa (Jawa:
pasa
) antara lain : puasa neton (puasa hari kelahiran), pasa Senin dan
Kamis, pasa kudup mlati (makan hanya setiap jam 02.00), pasa mutih (makan
nasi tanpa lauk danminumnya
hanya air tawar), pasa
nglowong
(tidak
makan dan tidak minum),
ngebleng
atau
pati geni
(tinggal dalam kamar gelap, tanpa makan dan minum selama berhari-hari),
ngaluwat
(masuk di lubang galian, di atasnya ditutup dengan dedaunan tanpa makan
dan minum).Beberapa
pantang makan (Jawa:
sesirik
)
diantaranya : pantang makan padi-padian yang di masak dengan cara dikukus
(Jawa:
wohing
dami kinukus
), pantang
garam, pantang ikan yang bernafas,
ngrowot
(hanya
makan umbi-umbian). Amalan lain, misalnya tidak tidur selama sehari semalamatau lebih,
kungkum
(berendam di sungai pada malam hari), memandang lama-lama ke
arahmatahari sedang terbit,
mbisu
(berjalan
tanpa berbicara/bercakap-cakap), berkelana, berjalan- jalan di lumpur atau
batu-batuan, naik gunung turun jurang atau bukit dan lembah,
menyeberangisungai, menahan hujan, panas, angin dan sebagainya.
Laku
yang
terkait dengan tidur antara lain: menahan kantuk, mengurangi waktu tidur, tidur
di sembarang tempat,
naritis
(tidur di
bawahcucuran atap, tidur beralaskan anyaman bambu (Jawa:
kepang
)
berbantalkan sepotong batu bata,tidur tanpa baju, tidur dengan kaki tidak
diselimuti dan lain-lain.Banyak orang meyakini bahwa guru agama Diponegoro
adalah Kyahi Taptajani, ulama besar keturunan
Kyahi Nuriman dari pesantren Mlangi. Yang cukup menarik ialah pernyataanSuwarno Adinoto dalam bukunya
Menyingkap Perlawanan T. Prawiro-digdoyo : Sawung Gagatan.
Dikatakan bahwa Raden Mas Ontowiryo alias Pangeran Diponegoro adalah
saudaraseperguruan Yudo, cucu Ngabehi Prawirosakti dari Gagatan. Mereka
sama-sama pernahmenjadi
murid Syeh Kaliko Jipang, di pondok pesantren Petingan, di sebelah utara
Jogyakarta.Usia Ontowiryo waktu itu baru delapan tahun, sedangkan Yudo lima tahun
lebih tua.
Kalau itu
benar, siapakah sebenarnya tokoh Syeh Kaliko Jipang, sehingga dia dipercaya
olehRatu Ageng untuk mendidik Ontowiryo ? Dalam naskah dikatakan bahwa nama
aslinya adalahSyeh Kholik, namun oleh
Pangeran Mangkubumi namanya diganti menjadi Syekh Kaliko.Karena dia berasal dari Jipang, sehingga nama
Jipang melekat pada namanya.. Baik NgabehiPrawirosakti maupun Syekh Kholik, keduanya merupakan orang kepercayaan
PangeranMangkubumi. Ketika Kasultanan Jogyakarta terbentuk, Syekh Kholik diangkat
menjadiPenghulu Besar kraton. Setelah pensiun kedudukannya digantikan oleh anak
laki-laki satu-satunya, yakni Syeh Rahmanudin. Selanjutnya dia
mendirikan pondok pesantren Petingan. RM.Ontowiryo sempat belajar kepadanya
selama lima tahun, hingga ulama besar itu wafat di usia 80tahun.Apabila Diponegoro baru masuk pondok pesantren di
usia delapan tahun, berarti dia barumulai berguru pada Syekh Kaliko
Jipang pada tahun 1893. Bila dia sempat berguru ______________ 4)Menurut silsilah trah gagatan, Yudo adalah putra
Raden Surotaruno III, cucu NgabehiPrawirosakti (Adimenggolo) dari
Gagatan, Boyolali. Ibunya, Raden Ayu Surotaruna adalah putriAdipati Notokusumo (Pangeran Juru), patih kerajaan
Surakarta yang dibuang Belanda keCeylon.
Sejak kecil Yudo diasuh oleh kakeknya, yakni Ngabehi Prawirosakti. Setelah
berusiatiga belas tahun dia dikirim ke pondok pesantren Petingan
Jogyakarta. Dua saudara seperguruanitu
ternyata memiliki keistimewaan yang berbeda. Yudo mewarisi pengetahuan Islam
dan puncak ilmu kesaktian,
sedangkan Diponegoro lebih menguasai ilmu kepemimpinan, ilmuhukum,
tarikh Islam dan filsafat secara mendalam. Yudo, nantinya menjadi Bupati
Pamajegan diGagatan, bergelar Tumenggung
Prawirodigdoyo. Walaupun daerahnya termasuk wilayahSurakarta, namun dia berjuang di pihak Diponegoro
hingga gugur dalam peperangan. JenasahSyekh Kaliko dan Tumenggung
Prawirodigdoyo dimakamkan di Blunyah Gedhe, di sebelahutara Jogyakarta
(Suwarno Adinoto, 1985:12-14).selama lima tahun, maka Syekh Kaliko wafat di
tahun 1898. Selanjutnya Ratu Ageng mengirimdia
ke Pondok Pesantren Mlangi, di bawah asuhan Kyahi Taptajani. Di sini dia juga
hanyasempat belajar selama kurang lebih lima tahun, karena pada tahun 1803 Ratu
Ageng wafat.Sebagai pewaris tanah lungguh Tegalrejo, dalam usia delapan
belas dia harus melanjutkan tugasnenek buyutnya mengatur daerahnya. Tahun 1805
Kyahi Taptajani pindah ke Surakarta, namunagaknya hubungan antara guru dan
murid itu terus berlanjut. 5)Di masa-masa
berikutnya Diponegoro tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi dengan perbincangan
agama. Selain keluar masuk berbagai pondok pesantren dengan cara menyamar,dia juga banyak berjumpa dengan sejumlah ulama
terkemuka di Jogya-karta, sepertiMuhammad
Bahwi, penghulu utama kraton, Haji Baharudin, komandan pasukan Suronatan,5
Kyahi Kasongan, Kyahi Papringan, bahkan dengan Kyahi Baderan, ayah Kyahi
Mojo, dariKlaten dan
lain-lain.
III. Bangsawan Jawa yang seorang arsitek
Sebagai seorang aristokrat Jawa yang hidup di masa feodal, maka gaya
hidup PangeranDiponegoro tidak terlepas dari situasi jamannya. Dalam pandangan
masyarakat Jawa masa ituseorang laki-laki baru dikatakan sebagai laki-laki
sejati apabila berhasil memenuhi kriteriatertentu, yang terwujud pada adanya
lima kepemilikan, yaitu :
wisma
(rumah),
wanodya
(wanita),
curiga
(keris),
turangga
(kuda) dan
kukila
(burung,
yang dimaksud adalah perkutut).Tidak adanya salah satu unsur membuat orang
belim dapat dikatakan sebagai laki-laki Jawa yangsebenarnya. Pandangan itu
benar-benar ____________________ 5)Kyahi Bagus Taptajani adalah
ulama yang dekat dengan bangsawan kraton Surakarta danJogyakarta. Dia adalah keturunan Kyahi Mlangi, Kyahi Nur Iman, pemilik
tanah perdikanMlangi. Perdikan Mlangi merupakan salah satu pathok negara
kasultanan Jogyakarta, di sampingmasjid Ploso Kuning, Dongkelan dan Babadan.
Kyahi Mlangi adalah putra Sunan AmangkuratIV (Amangkurat Jawi) dari ibu, putri
Kyahi Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur. Menjelang pecahPerang Jawa, Kyahi ini datang menemui Diponegoro di Tegalrejo dan
mewartakan mengenaisaat munculnya Ratu Adil dan perang sabil. Kedekatan dengan
ulama besar tersebut menjadi jaminan bagi Diponegoro saat dia minta
dukungan dari kalangan ulama dan santri kerabat KyahiMaja dan Badheran, Pulo Kadang, ulama-ulama Pajang, Madiun, Kedu,
Bagelen dan Pacitan(Carrey, 1991:6).merasuki dunia kehidupan bangsa Jawa
kala itu, dalam aspek tertentu bahkan amat berlebihan.Misalnya pemahaman
tentang
wanodya
(wanita) bukan dalam pengertian ”satu” isteri, tetapilebih dari itu.
Dari sini kemudian muncul istilah ”
klangenan
” yang konotasinya adalah ”selir”atau bahkan ”gundik”. Akibatnya
poligami dan pergundikan bukan lagi sesuatu yang tabu.Sebaliknya justeru menjadi ukuran
keberhasilan ataupun prestise bagi seorang laki-laki.Sepanjang hidupnya, tercatat ada tujuh wanita yang pernah dinikahi oleh
PangeranDiponegoro. Pernikahan
pertama
, terjadi tahun 1894 dengan Raden Ayu (RA) RetnaMadubrongto,
putri Kyahi Gedhe Dadapan, dari desa Dadapan, sub distrik Tempel,
dekat perbatasan Kedu dan Jogyakarta.
Kedua
, tanggal 27 Pebruari 1807 dengan Raden AjengSupadmi (R.A.
Retnakusuma), putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan,Jipang.
Ketiga
, tahun
1808 dengan R.A. Retnodewati. Baik Madubrongto maupun Retnodewatiwafat sewaktu
Diponegoro masih berada di Tegalrejo.
Isteri Keempat
, dinikahi pada tanggal 28 September 1814, yakni R.A. Maduretno, putriRaden Rangga
Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi saudara seayahdengan
Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Ketika Diponegoro dinobatkan sebagai SultanAbdulhamid,
dia diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton.l 18 Pebruari1828.
Kelima
, bulan Januari 1828 Diponegoro menikahi R.A. Retnaningrum, putri
PangeranPenengah atau Dipawiyana II.
Keenam
, R.A. Retnaningsih, putri Raden TumenggungSumoprawiro,
bupati Jipang Kepadhangan, dan
ketujuh
, R.A. Retnakumala, putri Kyahi GuruKasongan (
Babad
, P. XIX,
b. 21-26; Lihat juga Carey, 2007:767-769).
6) _____________________ 6)Mengenai isteri-isteri Diponegoro ada
beberapa versi. Babad versi biografi menyebut isteriDiponegoro ada tujuh, sama dengan versi Carey, sementara R. Tanojo
menyebut ada delapanorang. Apabila Carey mengatakan bahwa isteri terakhir RA.
Retnakumala adalah putri GuruKasongan, maka Tanojo berpendapat bahwa putri Guru
Kasongan tersebut adalah tokoh yanglain dan itu merupakan isteri ke
delapan, tetapi dia tidak menyebut namanya. R.A. Retnaningrumdinikahi Diponegoro atas saran isterinya, yakni
Kanjeng Ratu Kedaton, yang waktu itu tengahhamil muda dan sakit-sakitan.
Sedangkan RA Retnaningsih dan Retnakumala dinikahi dua bulansetelah Kanjeng Ratu Kedaton wafat pada tanggal 28
Pebruari 1828. Dari perkawinan tersebutlahir beberapa putra dan putri, yaitu
Raden Antawirya II (1803) yang nantinya dikenal sebagaiRaden Adipati, Raden Suryaatmaja (1807), R.M.
Joned (1815), R.A. Basah (isteri BasahMertonegoro), Raden Dipaatmaja
(1805), R.A. Jayakusuma, R.A. Impun, R.A. MunthengDalam hal
wisma
, sebagai pewaris seluruh kekayaan Kanjeng Ratu Ageng, makaDiponegoro
mewarisi rumah peninggalan nenek buyutnya di Tegalrejo. Gambaran
tentang”istana” Tegalrejo tersirat dari kesaksian pendeta H.A. Brumund, yang
datang di sana selang beberapa hari setelah invasi tentara Belanda bulan
Juli 1825. Begitu melihat puing-puingreruntuhan bangunan, dengan nada kagum diapun
berkata :”Saya tidak tahu suatu rumah pangeran di Jogya yang cukup untuk
dibandingkandengan rumah Diponegoro di Tegalrejo. Rumah pangeran-pangeran di
Jogya seka-rang dibuat dari kayu dan kelihatan kecil dan pendek. Rumah
Diponegoro adalahluas, besar dan seluruhnya dibangun dari bata. Di kedua
sisinya ada deretan bangun-an rumah yang tidak kalah besarnya. Di sana
teman-teman Diponegoro ditampungdan para ulama yang datang mengunjungi beliau.
Juga ada gudang-gudang untuk beras dan hasil-hasil tanah Tegalrejo,
dan ada perumahan dimana anak buahnyatinggal” (Carey, 1991:5). Dari
pernyataan tersebut terkesan bahwa ”istana” Tegalrejo tergolong mewah dibanding
rumahkediaman para pangeran Jogya yang lain
waktu itu. Selain rumah induk, di sana ada rumah-rumah khusus untuk para tamu
yang bermalam, juga lumbung padi, gudang istal dan dikitarirumah para
magersari.
7
Di bawah
kepemimpinan Diponegoro, Tegalrejo berkembang pesat, jauh melebihi jamannyaKanjeng Ratu Ageng. Jumlah penduduk terus
bertambah, begitu pula orang yang menjalankanibadah agamanya. Banyak
gedung dibuat, sementara bangunan yang lama telah berganti bentuk (R. Tanojo, t.t:45). Dalam Babad versi biografi
dikatakan bahwa Diponegoro sangatmemperhatikan
pengaturan pohon-pohon dan kolam, juga banyak memelihara binatangkesayangan, yakni kuda dan burung perkutut. Dalam
skala lebih kecil nampaknya Diponegoromewarisi bakat kakek buyutnya, yakni
Sultan HB I yang merencanakan sendiri tata ruang sertarancang bangun
untuk istananya.Dari pengamatan di lapangan
dapat diperkirakan bahwa luas seluruh kompleks istanaTegalrejo termasuk
alun-alun kecil di depannya ada sekitar 2 Ha. Rumah
induk ___________________ (R.A. Gusti), R.M. Kindar (1833),
R.M. Sarkuma (1834), R.M. Mutawaridin (1835), R.A. PutriMunadima (1836), R.M. Dulkabli (1836), R.M. Rajab dan R.M. Ramaji. Di
kalangan tradisi bangsawan Jawa, panggilan ”ibu” hanya berlaku bagi
permaisuri (Jawa:
garwa
padmi
) sebutanibu, sedangkan untuk para selir, walaupun kepada ibu kandungnya sendiri
anak-anak memangggilnya
dengan sebutan ”bibi”.menghadap ke selatan, dan di depannya terdapat alun-alun
kecil yang tepinya ditumbuhi jajaran pohon
beringin. Kompleks istana dilindungi dengan tembok (Jawa:
pagar bumi
) yang cukuptebal,
setinggi hampir 3 meter. Pagar bumi bagian depan lebih rendah sehingga bangunan
induk dan lain-lain terlihat dari luar.
Di tengahnya terdapat pintu gerbang (Jawa:
regol
) yang diberiatap, yang
nampaknya hanya dibuka pada saat-saat khusus, sementara untuk kegiatan
sehari-haritersedia pintu masuk berukuran
kecil di samping kanan dan kiri gerbang utama. Antara pintugerbang dengan
pendopo terdapat jalan lurus, yang kanan kirinya ditumbuhi tanaman pohonsawo
kecik. Di depan pendopo, agak ke menyamping kiri dan kanan, masing-masing tumbuhsebatang
pohon manggis. Halaman belakang juga cukup luas dan ditumbuhi oleh pepohonanyang
rindang, sehingga suasana terasa sejuk dan nyaman.Menurut kesaksian penjaga
Museum Sasana Wiratama, Tegalrejo, bangunan pendo-po yangada sekarang, bukanlah
bangunan asli. Bangunan aslinya, selain ukurannya lebih kecil, letaknya juga agak mundur ke belakang. Adanya hiasan
berupa batu yoni yang ditempatkan berjajar disamping kiri dan kanan
pendopo, keberadaannya menjadi tanda tanya besar. Apakah batu-batuitu sudah ada
sejak dulu atau baru ditempatkan kemudian ketika monumen dipugar,
sayangnyatidak ada penjelasan yang pasti (Slamet, wawancara tanggal 23
September 2009). 6)
Dari tatanan bangunan dan taman di ”istana” Tegalrejo membuktikan bahwa
Diponegorocukup memiliki
bakat sebagai seorang ”arsitek”. Selain Tegalrejo masih ada beberapa situs
lainyang semuanya merupakan hasil rancang bangunnya.Dalam Babad versi biografi disebutkan bahwa tidak jauh dari istana
Tegalrejo, yakni diSeloharjo yang letaknya ada di tepi Sungai Winongo,
Diponegoro juga membangun sebuah
panepen
tempat
untuk bersamadi (berchalwat). Di sana terdapat gedung
indah ______________________ 6)Yoni,
yang biasanya dipasangkan dengan lingga dalam konteks budaya Hindu, denganmotif
dan ukuran yang serupa juga terdapat di Selarong, yakni di dekat Gua Kakung danlokasi bekas masjid. Masyarakat setempat
menganggapnya sebagai batu umpak masjid.Mungkinkah Diponegoro membawa
pulang sebagian yoni yang ada di Selarong untuk menghiashalaman rumahnya di
Tegalrejo ? Kemungkinan itu bisa saja terjadi mengingat dia pemilik tanahSelarong, sehingga dia memiliki otoritas penuh
atasnya. Namun semua itu baru merupakandugaan, yang tentunya perlu
penelitian lebih lanjut, yang lebih mendalam.yang
dilengkapi dengan serambi depan, tempat dia menerima tamu. Selain itu ada pulau
surau(Jawa:
langgar
) kecil, kolam dan taman. Di depan gedung ada sebuah batu datar (Jawa:
sela gilang
) yang dinaungi oleh pohon kemuning yang daunnya begitu rembun. Di
tempat inilahDiponegoro biasa duduk bertafakur di malam hari. Gedung tersebut
dikelilingi oleh kolam. Ditengah kolam dibuat semacam ”pulau” kecil yang
ditumbuhi sebatang pohon beringin putih. Dikolam besar yang airnya jernih itu banyak terdapat
ikan dari berbagai jenis (
Babad
, P.VII:b.
40-42).Karya besar Diponegoro dalam dunia arsitektur terlihat pada situs
Selarong, yang lokasinyaada di barat daya
kraton, di sebelah selatan pesanggrahan Ambarketawang (kraton sementaraSultan
HB I, saat menunggu istananya selesai dibangun).Mengapa Diponegoro tertarik
untuk membangun pesanggrahan di sana ? Selain tanahnyatandus, pemandangan di
sekitarnya juga kurang menarik, dari Tegalrejo jaraknyapun cukup jauh,kurang lebih ada 15 kilometer ke arah Bantul.
Tidak terbayangkan bagaimana dia dan orang-orangnya harus bersusah payah,
menempuh perjalanan yang cukup jauh dan sulit, melewati jalan-jalan
desa yang kondisinya waktu itu belum begitu baik. Padahal sebagai seorang
pangeranyang kaya raya, dia bisa saja
memilih lokasi lain yang letaknya lebih strategis dan kondisinya jauh lebih baik. Tetapi mengapa dia memilih
Selarong ? Ada apa dengan Selarong ?Kenyataannya di sanalah dia
mendirikan pesanggrahan 7)9
Dalam
Babad Diponegoro versi Kraton Surakarta
dikatakan
: bukit Selarong diatur denganindah. Puncak bukit diratakan dan parit-parit
dibuat di lereng-lerengnya. Dua parit dibuat berjajar lurus untuk mengalirkan air ke sawah-sawah petani.
Situasinya seperti kota. Pintu gerbang pesanggrahan
ada tiga lapis, di depannya terdapat alun-alun . Di sebelah timur laut bukitSelarong terdapat gua yang cukup besar, namanya
Gua Secang. Di depan mulut gua dibangunsebuah taman, ditanami pohon
durian, manggis, ___________________ 7)Berdasarkan pengamatan di
lapangan, nampaknya Selarong merupakan pemukiman kuno.Di sana banyak dijumpai peninggalan Hindu berupa yoni, bekas batu
fondasi berornamen dan juga batu datar (Jawa:
sela
gilang
) yang saat ini dijadikan landasan saat orang mengambil air disendang.
Mungkinkah dengan kemampuan mata batinnya Diponegoro melihat ada suatu halyang istimewa dari Selarong,
sehingga dia berkeras hati membangun pesanggrahan di sana. buah krian,
duku, langsep, kokosan, jambu, jeruk, kepundung, mundu, cerme, sentul dan
jambe,yang saat itu sedang berbuah lebat.
Pohon kelapa gading, diletakkan di tempat yang agak jauh.Dekat mulut gua ditanam pohon biji-bijian (Jawa:
pala kasimpar
), seperti jagung, cantel, juwawut, jarak dan jagung jali, nanas lumut
dan nanas merah. Cabai dan terong buahnya begitulebat. Buncis, kecipir, kara pendek, kara loke, kapri, kacang cinde
(hijau), kacang mas dankacang lutung
daunnya rimbun rimbun dan buahnya begitulebat. Kemangi, bunga telasih, diseling gandarusa, keladi, bentul,
talas, uwi, gembili, dankentang di tanam di pinggir. Pohon singkong
ditanam di tepi, sebagai pagar. Pintu masuk kebunada empat, di sebelah timur, barat, utara dan selatan, dan masing-masing
diberi pintu ruji-ruji.Keempatnya dihubungkan dengan jalan lurus (Jawa:
maju
pat
) dansaling memotong di tengah sehingga membentuk
perempatan. Luas kebun ada sekitar seratustombak persegi. Kesanalah sekali
waktu Diponegoro pergi bercengkerama bersama para isteri,anak-anak,
diikuti para abdi dan kerabatnya (Carey, 1981:.6-8) 8).Kenyataan di atas membuyarkan gambaran salah tentang Selarong. Semula
banyak orangmenyangka bahwa Selarong waktu itu masih berupa daerah terpencil,
yang dipenuhi hutan belukar dan sulit dijangkau, sehingga menjadi daerah
pengungsian dan benteng pertahanansetelah
Tegalrejo jatuh ke tangan Belanda. Ternyata anggapan itu keliru. Selarong telahmerupakan
sebuah kota kecil, ada pesanggrahan yang indah, dilengkapi dengan alun-alun,
kebundan taman, mesjid dan berbagai fasilitas yang lain.Kemampuan menyulap daerah yang semula hutan belukar dengan tanahnya yang
tandus
menjadi sebuah
”kota” dengan fasilitas miniatur sebuah kraton, membuktikan bahwa perancangnya adalah seorang yang
luar biasa. Selain berwawasan luas, memiliki cita rasaestetika yang tinggi, berjiwa kuat sehingga mampu mewujudkan
idenya, juga memiliki pengaruhyang cukup besar. Orang itu ternyata tidak lain
adalah Diponegoro. ______________________ 8)
Babad Dipanagara : An Account
of the Outbreak of the Java War (1825-1830)
dikenal sebagai Babad Dipanegara
versi Surakarta. Naskah ini ditulis kira-kira hanya dua bulan berselang
setelah serangan tentara Belanda ke Tegalrejo yang berlangsung tanggal 21 Juli
1825.Sayangnya di situ tidak disebut kapan pesanggrahan Selarong itu dibangun.
Namun menginggattempat tersebut sering
dikunjungi Diponegoro bersama para isteri, anak dan kerabatnya, maka bisa diduga bahwa tempat itu baru dibangun
sepeninggal Ratu Ageng, setidaknya di saatDiponegoro telah menginjak
usia tigapuluhan.Nampaknya api peperangan
tidak menyurutkan semangat Diponegoro untuk berkreasi didunia arsitektur.
Sewaktu bermarkas di Banyumeneng, untuk mengisi kekosongan jiwanya diamembangun
semacam
panepen
di dusun
Mataraman. Bangunan itu letaknya ada di lerengsebuah bukit, dikitari oleh sebuah sungai dan dirancang
sebagai layaknya pertapaan seorang pendeta.
Selain dilengkapi dengan sebuah surau kecil, kolam, dan berbagai jenis
pepohonan, jugadipelihara beberapa binatang
piaraan, terutama burung perkutut. Di tempat itulah Diponegoro banyak menghabiskan waktu bersama sejumlah
abdi
(Jawa:
punakawan
) yang melayanikebutuhannya sehari-hari. Menjelang sholat Jum’at, biasanya
dia pergi ke Banyumeneng untuk melaksanakan
sholat berjamaah. Selesai sholat diapun kembali ke padepokannya (Babad,P.XVII,
b.78-83).Fakta-fakta sejarah di atas membuktikan bahwa kreativitas dan cita
rasa estetika PangeranDiponegoro cukup
tinggi. Bakat arsiteknya terlihat dalam rancang bangun dan tata ruangkawasan
di Tegalrejo, Seloharjo, pesanggrahan Selarong dan Mataraman.IV. Sebagai
Seorang SastrawanDi awal Abad 19 banyak
orang dari kalangan bangsawan Jawa yang mulai belajar danmemperdalam sastra
Jawa. Tujuannya agar bisa membaca dan mengerti naskah-naskah yangumumnya ditulis dengan huruf Jawa ataupun Arab
Pegon. Semangat itu tidak terbatas dikalangan laki-laki, bahkan para
putripun banyak yang bisa membaca. Hanya untuk tulis menulis,masih jarang yang bisa karena ada anggapan bahwa
masalah tulis menulis adalah pekerjaan11
seorang juru tulis (Jawa:carik ). Untuk membuat surat misalnya, mereka cukup memerintahkancarik
mencatat apa yang dikatakan. Begitu pula bila ingin mengerti isi sebuah naskah,
merekacukup menyuruh seorang juru baca untuk membacakan dan mereka
mendengarkan. Naskah-naskah Jawa yang
sudah ada di masa itu umumnya berupa tulisan tangan, huruf Jawa, bahasanya
Kawi atau Jawa. Akan halnya kitab-kitab terjemahan dari bahasa Arab,
adasementara yang ditulis dengan huruf Arab Pegon, bahasanya Jawa campur Arab.
Isinya selain pengetahuan agama Islam ada yang berisi cerita atau dongeng,
misalnya Kitab Anbiya yangmengisahkan tentang para nabi dan
lain-lain.Untuk naskah-naskah Jawa antara lain tercatat adanya Kakawin
Ramayana, Arjuna Wiwahadan Bharatayuda.
Selain itu juga ada naskah-naskah Suluk karangan para wali di jaman kratonDemak,
Serat Pepali Ki Ageng Sela, Serat Angger Surya Alam, Serat Angger Jugul Muda,
jugaSerat Nitisruti karangan Pangeran Sujanapura di Karanggayam dari jaman
kraton Mataram, Darimasa kraton Kartasura terdapat Serat Nitipraja, Serat
Nitisastra, Tajus’salatina, Serat Iskandar,Serat Menak karangan Kyahi Sutaprana
dan Serat Katuranggan karangan Raden Manyura, lurahPanegar di kraton Kartasura, juga Serat Jayalengkara Wulang karangan
Pangeran Pekik dariSurabaya.Mengenai naskah babad, tercatat ada Babad
Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak danBabad
Pajang. Ada pula Babad Mataram dan Jangka Jayabaya yang keduanya dikarang
olehPanembahan Wijil di Kadilangu di masa Kartasura, Babad Kartasura karangan
Carik Bajra,dan Kitab Musarar dari masa kraton Surakarta awal dan lain-lain.
Umumnya naskah-naskahtersebut hanya dimiliki oleh kalangan bangsa-wan
atau para pujangga (Tanojo, t.t:38).Sebagai bangsawan Jawa, yang sekaligus
seorang santri Diponegoro selain memper-dalam
Al Qur’an
dan kitab-kitab
agama yang lain, dia juga membaca banyak naskah sastra Jawa berupasuluk,
kekawin dan babad. Di masa kecilnya konon dia sering dipanggil oleh kakek
buyutnyauntuk membacakan naskah-naskah
tersebut.Suatu hal yang perlu mendapat perhatian di sini ialah adanya pengakuan
Diponegoro bahwadia tidak bisa membaca dan
menulis. Pengakuan itu sering muncul saat dia berurusan dengan pihak
Belanda, misalnya saat di sebagai Wali Sultan disodori sebuah Surat Perjanjian
yangdibuat Belanda. Dalam naskah Babad versi biografi dikisahkan : ” . .
.
kangjeng Pangeran tanapti, kinen maos kewala mapan tan bisa, jinalukan
tanda-asma, ngandika tan bisa nulis
. . . ”(Kanjeng Pageran (nampaknya) kurang
berkenan, disuruh membaca saja tidak bisa, (ketika)
dimintai tanda tangan mengatakan
tidak bisa menulis) (
Babad
Diponegoro
, hal. 91).Dalam kasus tersebut jelas bahwa pengakuan itu hanya dipakai sebagai
alasan untuk tidak menyangkutkan diri pada perjanjian tersebut. Bagaimana
dengan pengakuan yang sama dalamkasus lain ? Banyak orang menduga bahwa itu
dilakukan karena terdorong oleh sifatnya yangmerendahkan diri, sebagaimana ciri
umum kalangan bangsa Jawa di masa itu. Kemungkinanyang lain ialah keinginannya untuk sedapat mungkin
meniru jejak Nabi Muhammad SAW.Seperti dikatahui saat Nabi didatangi
Malaikat Jibril di gua Hira dan berkata ”Bacalah”, maka Nabi menjawab
”Saya tak tahu membaca” (Soewito Santosa, 1990:72).Pengakuan Diponegoro itu ditepis oleh pernyataan Louw yang mengatakan :
”. . .
Hij schrijft de
Javaansche taal, doch zeer slecht
” (Dia dapat menulis dalam bahasa
Jawa, tetapi jelek sekali). Kesaksian lain muncul dari Letnan Knoerle yang
mengantarkannya dalam perjalanan keMenado. Dalam laporannya Knoerle antara lain
menuliskan : ”. . .
In de
eerste dagen van onzereis verzekerde mij de Prins, dat hij het schrijven
onkundig was; later echter zich op den tooneener meer vertrouwelijke
mededeeling gevestigd hebbende, dat mij Diepo Negoro te kennen,dat hij de Javaansche taal gebrekkig schreef
” (Pada hari-hari pertama dari
perjalanan kami, sangPangeran memberitahu
saya bahwa dia tak dapat menulis, tetapi beberapa waktu kemudian,ketika kami sudah saling mengenal satu sama lain
dengan lebih baik, Diponegoromemberitahukan bahwa dia dapat menulis
bahasa Jawa, tetapi tidak pandai) (Louw, I, 1893:131,135).Terlepas dari pengakuan tersebut, setelah
Diponegoro berada di tempat pengasingan diMenado dan Makasar ternyata dia berhasil menyusun naskah babad, dalam
bentuk tulisantangan tidak kurang
dari 800 halaman. Naskah dalam bentuk tembang itu ternyata sangat susahditerjemahkan
ke dalam bahasa Belanda.Mengenai sulitnya penerjemahan Van Praag mengatakan :
”. . . Calon (penter-jemah) amat banyak. Kontrolir-kontrolir dari
pendapatan negara dan perkebunan-perkebunan, seorang komisdari salah satu departemen pemerintahan umum,
seorang guru, memajukan lamaran. Masing-masing dikirimi suatu bagian untuk
diterjemahkan. Beberapa orang mengirimkannya kembali,tanpa berbuat suatu
apapun, yang lain mengirimkan hasil kerjanya, yang membuat ahli bahasaJawa
Cohen Stuart ngeri melihatnya . . . ”(Praag, 1947:23).Kenyataannya naskah babad
yang nantinya dikenal sebagai Babad Diponegoro versi biografiitu memang luar biasa. Seluruhnya terdiri dari
2.439 bait. yang terbagi menjadi 17 pupuh13
(stanza)
sebagai berikut : 1). Sinom (46 bait), 2). Asmaradana (160), 3). Pangkur (134),
4).Mijil (168), 5). Kinanti (140), 6). Sinom (100), 7). Dandanggula (80), 8).
Durma (150), 9).Asmaradana
(109), 10). Girisa (133), 11). Maskumambang (109), 12). Pangkur (247),
13).Megatruh (160), 14). Pocung (218), 15). Sinom (116), 16). Dandanggula (100)
dan 17).Asmaradana
(149). Isinya dimulai dari situasi Jogyakarta di masa Sultan HB II
termasuk adanya Perang Sepehi di masa
Inggris, juga permusuhan dengan Daendels hingga dengan PerangJawa sampai dengan
penangkapan dan pembuangan dirinya ke Menado dan Makasar.Dari cara dia mengungkapkan perasaan serta
kesaksiannya terhadap berbagai peristiwaataupun kasus menunjukkan ketajaman
pikiran dan kuatnya daya ingat. Selain sebagai karyasastra, karya tersebut juga
bisa dianggap sebagai naskah sejarah. Penguasaan terhadap sastraJawa terlihat
cukup kuat, ini terbukti dari digunakannya sebelas jenis tembang macapat, mulaidari Maskumambang, Sinom, Asmaradana, Pangkur,
Mijil, Kinanti, Dandanggula, Durma.Girisa,
Megatruh, hingga Pocung. Artinya, hampir seluruh tembang macapat dipakai
untuk mengungkap perasaan yang tersembunyi dalam kalbunya. Bagi peneliti
sejarah, karya tersebutmemiliki nilai tersendiri karena memberi banyak
informasi yang tidak bakal dijumpai dalamarsimaupun dokumen resmi
pemerintah kolonial, walaupun untuk menggunakannya diperlukansikap ekstra
hati-hati.
V. Penutup
Dari paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa Diponegoro, figur sentral Sejarah Perang Jawa1825-1830 ternyata memiliki faset kehidupan yang
cukup menarik. Dalam kaitannya dengan perang orang melihat dia
sebagai sosok ksatria Jawa atau prajurit, panglima perang yang pilihtanding.Pada sisi lain ternyata dia memiliki kemampuan
berimaginasi, kreativitas dan cita rasaestetis yang cukup tinggi,
khususnya dalam bidang arsitektur. Hal itu tercermin dari adanya tataruang kawasan dan rancang bangun arsitektur di situs
Tegalrejo, Seloharjo, Selarong danMataraman. Dari karya biografinya
terlihat bahwa bakatnya yang lain, yang membuktikan bahwa pada dirinya
mengalir darah sastrawan, sekaligus juga sejarawan yang baik.Semarang, Oktober
2009-09-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar