Pati UnusDalam tradisi Jawa, Pati Unus atau Adipati Unus
atau Yat Sun[1] (1480?–1521) adalah raja Demak kedua, yang memerintah dari tahun 1518
hingga 1521. Ia adalah anak sulung Raden Patah, pendiri Demak. Pada tahun 1521, Pati
Unus memimpin penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan Portugis. Pati Unus
gugur dalam pertempuran ini, dan digantikan oleh adik kandungnya, raja Trenggana.[1]
Pati Unus
dikenal juga dengan julukan Pangeran Sabrang Lor (sabrang=menyeberang,
lor=utara), karena pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk
melawan Portugis.
Nama aslinya
adalah Raden Surya. Dalam Hikayat Banjar, raja Demak yaitu Sultan Surya Alam
telah membantu Pangeran Samudera, penguasa Banjarmasin untuk mengalahkan
pamannya penguasa kerajaan Negara Daha yang berada di pedalaman Kalimantan
Selatan.
Dalam Suma
Oriental-nya, Tomé
Pires menyebut
seorang bernama "Pate Onus" atau "Pate Unus", ipar Pate Rodim,
"penguasa Demak". Mengikuti pakar Belanda Pigeaud dan De Graaf,
sejarahwan Australia M. C. Ricklefs
menulis bahwa pendiri Demak adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po. Ricklefs memperkirakan bahwa anaknya
adalah orang yang dijuluki "Pate Rodim", mungkin maksudnya
"Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun
1504). Putera atau adik Rodim dikenal dengan nama Trenggana (bertahta 1505-1518 dan 1521-1546),
pembangun keunggulan Demak atas Jawa.
Kenyataan tokoh
Pati Unus berbenturan dengan tokoh Trenggana, raja Demak ketiga, yang memerintah
tahun 1505-1518, kemudian tahun 1521-1546.
Menurut sebuah
riwayat, ia adalah menantu Raden
Patah. Nama asli
beliau Raden Abdul Qadir putra Raden Muhammad Yunus dari Jepara. Raden
Muhammad Yunus adalah putra seorang Muballigh pendatang dari Parsi yang dikenal
dengan sebutan Syekh Khaliqul Idrus. Muballigh dan Musafir besar ini
datang dari Parsi ke tanah Jawa mendarat dan menetap di Jepara di awal 1400-an
masehi. Silsilah Syekh ini yang bernama lengkap Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh
Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di
Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madina) bin Syekh Abdul
Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al Mukhrowi (wafat di Parsi) merupakan
keturunan cucu Nabi
Muhammad generasi
ke 19, beliau memiliki ibu Syarifah Ummu Banin Al-Hasani (keturunan Imam Hasan
bin Fathimah binti Nabi Muhammad) dari Parsi (dari Catatan Sayyid Bahruddin
Ba'alawi tentang ASYRAF DI TANAH PERSIA, di tulis pada tanggal 9 September
1979), Sayyidus Syuhada Imam
Husayn (Qaddasallohu
Sirruhu) putra Imam Besar Sayyidina Ali
bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu
dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.
Setelah menetap
di Jepara, Syekh Khaliqul Idrus menikah dengan putri seorang Muballigh asal Gujarat yang lebih
dulu datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh Mawlana Akbar, seorang Ulama, Muballigh dan
Musafir besar asal Gujarat, India yang mempelopori dakwah diAsia
Tenggara. Seorang putra
beliau adalah Syekh Ibrahim Akbar yang menjadi
Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai
Mekong, Kamboja) yang sekarang
masih ada perkampungan Muslim. Seorang putra
beliau dikirim ke tanah Jawa untuk berdakwah yang dipanggil dengan Raden Rahmat
atau terkenal sebagai Sunan
Ampel. Seorang adik
perempuan beliau dari lain Ibu (asal Campa) ikut dibawa ke Pulau Jawa untuk
ditawarkan kepada Raja Brawijaya sebagai istri
untuk langkah awal meng-Islam-kan tanah
Jawa.
Raja Brawijaya
berkenan menikah tapi enggan terang-terangan masuk Islam. Putra yang lahir dari
pernikahan ini dipanggil dengan nama Raden Patah. Setelah menjadi Raja Islam
yang pertama di beri gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah. Disini terbukalah
rahasia kenapa beliau Raden Patah diberi gelar Alam Akbar karena ibu beliau
adalah cucu Ulama Besar Gujarat Syekh Mawlana Akbar yang hampir semua
keturunannya menggunakan nama Akbar seperti Ibrahim Akbar, Nurul Alam Akbar,
Zainal Akbar dan banyak lagi lainnya.
Kembali ke
kisah Syekh Khaliqul Idrus, setelah menikah dengan putri Ulama Gujarat
keturunan Syekh Mawlana Akbar lahirlah seorang putra beliau yang bernama Raden Muhammad Yunus yang setelah
menikah dengan seorang putri pembesar Majapahit di Jepara
dipanggil dengan gelar Wong Agung Jepara. Dari pernikahan ini lahirlah seorang
putra yang kemudian terkenal sangat cerdas dan pemberani bernama Abdul Qadir
yang setelah menjadi menantu Sultan Demak I Raden
Patah diberi gelar
Adipati bin Yunus atau terkenal lagi sebagai Pati Unus yang kelak setelah gugur
di Malaka di kenal masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor.
Setelah Raden
Abdul Qadir beranjak dewasa di awal 1500-an beliau diambil mantu oleh Raden
Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden
Patah, Abdul Qadir resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat
kelahiran beliau sendiri). Karena ayah beliau (Raden Yunus) lebih dulu dikenal
masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati
bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari banyak orang memanggil beliau
dengan yang lebih mudah Pati Unus.
Dari pernikahan
ini beliau diketahui memiliki 2 putra. Ke 2 putra beliau yang merupakan
cucu-cucu Raden Patah ini kelak dibawa serta dalam expedisi besar yang fatal
yang segera mengubah nasib Kerajaan
Demak.
Sehubungan
dengan intensitas persaingan dakwah dan niaga di Asia Tenggara meningkat sangat
cepat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis di tahun 1511, maka Demak
mempererat hubungan dengan kesultanan Banten-Cirebon yang juga
masih keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat. Karena Sunan
Gunung Jati atau Syekh
Syarif Hidayatullah adalah putra Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Mawlana
Akbar, sedangkan Raden Patah seperti yang disebut dimuka adalah ibunya cucu
Syekh Mawlana Akbar yang lahir di Campa. Sedangkan Pati Unus neneknya dari
pihak ayah adalah juga keturunan Syekh Mawlana Akbar.
Hubungan yang
semakin erat adalah ditandai dengan pernikahan ke 2 Pati Unus, yaitu dengan Ratu Ayu putri Sunan
Gunung Jati tahun 1511.
Tak hanya itu, Pati Unus kemudian diangkat sebagai Panglima Gabungan Armada
Islam membawahi armada Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya
sendiri yang merupakan Pembina umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif
Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Gelar beliau yang baru adalah Senapati
Sarjawala dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh
ke tangan Portugis. Gentingnya situasi ini dikisahkan lebih rinci oleh
Sejarawan Sunda Saleh Danasasmita di dalam Pajajaran bab Sri Baduga Maharaja sub bab Pustaka Negara Kretabhumi.
Tahun 1512 giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis. Hal ini
membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin
mendesak untuk segera dilaksanakan. Maka tahun 1513 dikirim armada kecil,
ekspedisi Jihad I yang mencoba
mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan balik kembali ke tanah
Jawa. Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk
membuat persiapan yang lebih baik. Maka direncanakanlah pembangunan armada
besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang
masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal.
Pada tahun 1518
Raden Patah, Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah mangkat, beliau
berwasiat supaya mantu beliau Pati Unus diangkat menjadi raja Demak berikutnya.
Maka diangkatlah Pati Unus atau Raden Abdul Qadir bin Yunus, Adipati wilayah
Jepara yang garis nasab (Patrilineal)-nya adalah
keturunan Arab dan Parsi
menjadi Sultan Demak II bergelar Alam Akbar At-Tsaniy.
Memasuki tahun
1521, ke 375 kapal telah selesai dibangun, maka walaupun baru menjabat Sultan
selama 3 tahun Pati Unus tidak sungkan meninggalkan segala kemudahan dan
kehormatan dari kehidupan keraton bahkan ikut pula 2 putra beliau (yang masih
sangat remaja) dari pernikahan dengan putri Raden Patah dan seorang putra lagi
(yang juga masih sangat remaja) dari seorang seorang isteri,anak kepada Syeikh
Al Sultan Saiyid ISMAIL, PULAU BESAR, dengan risiko kehilangan segalanya
termasuk putus nasab keturunan, tapi sungguh Allah membalas kebaikan orang-orang
yang berjuang di jalannya.
Armada perang
Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan dari Para
Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar
untuk ukuran dulu bahkan sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar
Senapati Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini sejarah
keluarga beliau akan berubah, sejarah kesultanan Demak akan berubah dan sejarah
tanah Jawa akan berubah.
Armada perang
Islam yang sangat besar berangkat ke Malaka dan Portugis pun sudah
mempersiapkan pertahanan menyambut Armada besar ini dengan puluhan meriam besar
pula yang mencuat dari benteng Malaka.
Kapal yang
ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan perahu untuk
merapat ke pantai. Ia gugur sebagai Syahid karena kewajiban membela sesama
Muslim yang tertindas penjajah (Portugis) yang bernafsu memonopoli perdagangan
rempah-rempah.
Sebagian
pasukan Islam yang berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat hampir 3 hari 3
malam lamanya dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis,
karena itu sampai sekarang Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran
dahsyat di tahun 1521 ini . Melalui situs keturunan Portugis di Malaka (kaum Papia Kristang) hanya terdapat kegagahan Portugis
dalam mengusir armada tanah jawa (expedisi I) 1513 dan armada Johor dalam banyak
pertempuran kecil.
Armada Islam
gabungan tanah Jawa yang juga menderita banyak korban kemudian memutuskan
mundur dibawah pimpinan Raden Hidayat, orang kedua dalam komando setelah Pati
Unus gugur. Satu riwayat yang belum jelas siapa Raden Hidayat ini, kemungkinan
ke-2 yang lebih kuat komando setelah Pati Unus gugur diambil alih oleh Fadhlulah Khan (Tubagus Pasai) karena sekembalinya
sisa dari Armada Gabungan ini ke Pulau Jawa , Fadhlullah Khan alias Falathehan
alias Fatahillah alias Tubagus
Pasai-lah yang diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai
Panglima Armada Gabungan yang baru menggantikan Pati Unus yang syahid di
Malaka.
Kegagalan
expedisi jihad yang ke II ke Malaka ini sebagian disebabkan oleh faktor - faktor
internal, terutama masalah harmoni hubungan kesultanan
- kesultanan Indonesia
Putra pertama
dan ketiga Pati Unus ikut gugur, sedangkan putra kedua, Raden Abdullah dengan takdir Allah untuk meneruskan
keturunan Pati Unus, selamat dan bergabung dengan armada yang tersisa
untuk kembali ke tanah Jawa. Turut pula dalam armada yang balik ke Jawa,
sebagian tentara Kesultanan Malaka yang memutuskan hijrah ke tanah Jawa karena
negerinya gagal direbut kembali dari tangan penjajah Portugis. Mereka orang
Melayu Malaka ini keturunannya kemudian membantu keturunan Raden Abdullah putra
Pati Unus dalam meng-Islam-kan tanah Pasundan hingga dinamai
satu tempat singgah mereka dalam penaklukan itu di Jawa
Barat dengan Tasikmalaya yang berarti
Danau nya orang Malaya (Melayu).
Sedangkan Pati
Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut masyarakat dengan gelar
Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di seberang utara. Pimpinan
Armada Gabungan Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon segera diambil alih oleh
Fadhlullah Khan yang oleh Portugis disebut Falthehan, dan belakangan disebut Fatahillah setelah
mengusir Portugis dari Sunda Kelapa 1527. Di ambil alih oleh Fadhlullah Khan
adalah atas inisiatif Sunan Gunung Jati yang sekaligus menjadi mertua karena
putri beliau yang menjadi janda Sabrang Lor dinikahkan dengan Fadhlullah Khan.
Dengan
selamatnya putra Pati Unus yang kedua yaitu Raden Abdullah, maka sungguh Allah hendak
melestarikan keturunan para Syahid, seperti yang terjadi pada pembantaian cucu
nabi Muhammad, Imam Husain dan keluarganya ternyata keturunan
beliau justru menjadi berkembang besar dengan selamatnya putra beliau Imam Zaynal Abidin. Bukan
kebetulan pula bila Pati Unus pun seperti yang disebut di atas adalah keturunan
Imam Husayn cucu Nabi Muhammad SAW, karena hanya Pahlawan besar yang melahirkan
Pahlawan besar.
Ketika armada
Islam mendaratkan pasukan Banten di teluk Banten, Raden Abdullah diajak pula
untuk turun di Banten untuk tidak melanjutkan perjalanan pulang ke Demak. Para
komandan dan penasehat armada yang masih saling berkerabat satu sama lain
sangat khawatir kalau Raden Abdullah akan dibunuh dalam perebutan tahta
mengingat sepeninggal Pati Unus, sebagian orang di Demak merasa lebih berhak
untuk mewarisi Kesultanan Demak karena Pati Unus hanya menantu Raden Patah dan
keturunan Pati Unus (secara patrilineal) adalah keturunan Arab seperti keluarga
Kesultanan Banten dan Cirebon, sementara Raden Patah adalah keturunan Arab hanya
dari pihak Ibu sedangkan secara patrilineal (garis laki-laki terus menerus dari
pihak ayah, Brawijaya) adalah murni keturunan Jawa (Majapahit).
Kebanggaan
Orang Jawa sebagai orang Jawa walaupun sudah menerima Islam berbeda dengan
sikap orang Pasundan setelah menerima Islam berkenan menerima Raja mereka dari
keturunan Arab seperti Sultan Cirebon Sunan Gunung jati dan putranya Sultan
Banten Mawlana Hasanuddin. Kebanggaan
orang Jawa sebagai bangsa yang punya identitas sendiri, dengan gugurnya Pati
Unus, membuka kembali konflik lama yang terpendam dibawah kewibawaan dan
keadilan yang bersinar dari Pati Unus. Kisah ini nyaris mirip dengan gugurnya Khalifah umat Islam
ketiga di Madinah, Umar
bin Khattab yang segera
membuka kembali konflik lama antara banyak kelompok yang sudah lama saling
bertikai di Mekah dan Madinah.
Sedangkan di
tanah Jawa, sejak Islam merata masuk hingga pelosok dibawah kepeloporan
kesultanan Demak pada akhirnya timbul persaingan antara kaum Muslim Santri di pesisir dengan Muslim Abangan di pedalaman yang berakibat fatal
dengan perang saudara berkelanjutan antara Demak, Pajang dan Mataram.
Sebagian
riwayat turun temurun menyebutkan Pangeran Yunus (Raden Abdullah putra Pati
Unus) ini kemudian dinikahkan oleh Mawlana Hasanuddin dengan putri yang ke III,
Fatimah. Tidak mengherankan, karena Kesultanan Demak telah lama mengikat
kekerabatan dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Selanjutnya
pangeran Yunus yang juga banyak disebut sebagai Pangeran Arya Jepara dalam sejarah
Banten, banyak berperan dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf
(adik ipar beliau) sebagai penasehat resmi Kesultanan . Dari titik ini
keturunan beliau selalu mendapat pos Penasehat Kesultanan Banten , seperti
seorang putra beliau Raden Aryawangsa yang menjadi Penasehat bagi Sultan
Banten ke III Mawlana Muhammad dan Sultan Banten ke IV Mawlana Abdul Qadir.
Ketika
penaklukan Kota Pakuan terakhir 1579, Raden Aryawangsa yang masih menjadi Panglima dalam
pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (yang juga paman beliau sendiri
karena Ibu beliau adalah kakak dari Mawlana Yusuf yang dinikahi Raden Abdullah
putra Pati Unus) mempunyai jasa besar, sehingga diberikan wilayah kekuasaan
Pakuan dan bermukim hingga wafat di desa Lengkong (sekarang dekat Serpong). Raden
Aryawangsa menikahi seorang putri Istana Pakuan dan
keturunannya menjadi Adipati Pakuan dengan gelar Sultan Muhammad Wangsa yang
secara budaya menjadi panutan wilayah Pakuan yang telah masuk Islam (Bogor dan
sekitarnya), tapi tetap tunduk dibawah hukum Kesultanan Banten.
Seperti yang
disebut di atas, Raden Aryawangsa kemudian lebih banyak berperan di Kesultanan
Banten sebagai Penasehat Sultan, setelah
beliau wafat kiprah keluarga Pati Unus kemudian diteruskan oleh putra dan cucu
beliau para Sultan Pakuan Islam hingga Belanda menghancurkan
keraton Surosoan di zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1683), dan membuat
keraton Pakuan Islam, sebagai cabang dari Keraton Banten, ikut lenyap dari
percaturan politik dengan Sultan yang terakhir Sultan Muhammad Wangsa II bin
Sultan Muhammad Wangsa I bin Raden Aryawangsa bin Raden Abdullah bin Pangeran
Sabrang Lor bin Raden Muhammad Yunus Jepara ikut menyingkir ke pedalaman Bogor
sekitar Ciampea.
Selain Raden
Aryawangsa, Raden Abdullah putra Pati Unus juga memiliki anak lelaki lainnya
yaitu yang dikenal sebagai Raden Suryadiwangsa yang
belakangan lebih dikenal dengan gelar Raden Suryadiningrat yang diberikan
Panembahan Senopati ketika Mataram resmi menguasai
Priangan Timur pada tahun 1595.
Kehadiran putra
Pati Unus di wilayah Priangan Timur ini tidak terlepas dari kerjasama dakwah
antara Kesultanan Banten dan Cirebon dalam usaha meng islam kan sisa-sisa
kerajaan Galuh di wilayah Ciamis hingga Sukapura (sekarang
Tasikmalaya).
Raden Surya
dikirim ayahnya, Raden Abdullah putra Pati Unus yang telah menjadi Penasehat
Kesultanan Banten untuk membantu laskar Islam Cirebon dalam usaha peng Islaman
Priangan Timur. Raden Surya memimpin dakwah (karena hampir tanpa pertempuran)
hingga mencapai daerah Sukapura dibantu
keturunan tentara Malaka yang hijrah ketika Pati Unus gagal merebut kembali
Malaka dari penjajah Portugis. Beristirahatlah mereka di suatu tempat dan
dinamakan Tasikmalaya yang berarti danaunya orang Malaya (Melayu) karena di
dalam pasukan beliau banyak terdapat keturunan Melayu Malaka.
Raden Surya di
tahun 1580 ini di angkat oleh Sultan Cirebon II Pangeran Arya Kemuning atau dipanggil
juga Pangeran Kuningan (putra angkat Sunan Gunung Jati,
karena putra kandung Pangeran Muhammad Arifin telah wafat)
sebagai Adipati Galuh Islam. Akan tetapi seiring dengan makin melemahnya
kesultanan Cirebon sejak wafatnya Sunan Gunung Jati pada tahun 1579, maka
wilayah Galuh Islam berganti-ganti kiblat
Kesultanan. Pada saat 1585-1595 wilayah Sumedang maju pesat dengan Prabu Geusan
Ulun memaklumkan diri jadi Raja memisahkan diri dari Kesultanan Cirebon.
Sehingga seluruh wilyah Priangan taklukan Cirebon termasuk Galuh Islam
bergabung ke dalam Kesultanan Sumedang
Larang. Inilah zaman
keemasan Sumedang yang masih
sering di dengungkan oleh keturunan Prabu Geusan Ulun dari dinasti Kusumahdinata.
Sekitar tahun
1595 Panembahan Senopati dari Mataram mengirim expedisi hingga Priangan,
Sumedang yang telah lemah sepeninggal Prabu Geusan Ulun kehilangan banyak
wilayah termasuk Galuh Islam. Maka Kadipaten Galuh Islam yang meliputi wilayah
Ciamis hingga Sukapura jatuh ke
tangan Panembahan Senopati. Raden Suryadiwangsa cucu Pati Unus segera diangkat
Panembahan Senopati sebagai Penasehat beliau untuk perluasan wilayah Priangan
dan diberi gelar baru Raden Suryadiningrat.
Di sekitar
tahun 1620 salah seorang putra Raden Suryadiningrat menjadi kepala daerah
Sukapura beribukota di Sukakerta bernama Raden Wirawangsa setelah menikah dengan putri bangsawan
setempat. Raden Wirawangsa kelak di tahun 1635 resmi menjadi Bupati Sukapura
diangkat oleh Sultan Agung Mataram karena berjasa memadamkan pemberontakan
Dipati Ukur. Raden Wirawangsa diberi gelar Tumenggung Wiradadaha I yang menjadi
cikal bakal dinasti Wiradadaha di Sukapura (Tasikmalaya). Gelar Wiradadaha
mencapai yang ke VIII dan dimasa ini dipindahkanlah ibukota Sukapura ke Manonjaya. Bupati
Sukapura terakhir berkedudukan di Manonjaya adalah kakek dari kakek kami
bergelar Raden Tumenggung Wirahadiningrat memerintah 1875-1901. Setelah beliau
pensiun maka ibukota Sukapura resmi pindah ke kota Tasikmalaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar