(30) NURUL 'A'YUN

43 Karya Tulis/Lagu Nur Amin Bin Abdurrahman:
(1) Kitab Tawassulan Washolatan, (2) Kitab Fawaidurratib Alhaddad, (3) Kitab Wasilatul Fudlola', (4) Kitab Nurul Widad, (5) Kitab Ru'yah Ilal Habib Luthfi bin Yahya, (6) Kitab Manaqib Assayyid Thoyyib Thohir, (7) Kitab Manaqib Assyaikh KH.Syamsuri Menagon, (8) Kitab Sholawat Qur'aniyyah “Annurul Amin”, (9) Kitab al Adillatul Athhar wal Ahyar, (10) Kitab Allu'lu'ul Maknun, (11) Kitab Assirojul Amani, (12) Kitab Nurun Washul, (13) Kitab al Anwarullathifah, (14) Kitab Syajarotul Ashlin Nuroniyyah, (15) Kitab Atthoyyibun Nuroni, (16) Kitab al 'Umdatul Usaro majmu' kitab nikah wal warotsah, (17) Kitab Afdlolul Kholiqotil Insaniyyahala silsilatis sadatil alawiyyah, (18) Kitab al Anwarussathi'ahala silsilatin nasabiyyah, (19) Kitab Nurul Alam ala aqidatil awam (20) Kitab Nurul Muqtafafi washiyyatil musthofa.(21) KITAB QA'IDUL GHURRIL MUCHAJJALIN FI TASHAWWUFIS SHOLIHIN,(22) SHOLAWAT TARBIYAH,(23) TARJAMAH SHOLAWAT ASNAWIYYAH,(24) SYA'IR USTADZ J.ABDURRAHMAN,(25) KITAB NURUSSYAWA'IR(26) KITAB AL IDHOFIYYAH FI TAKALLUMIL ARABIYYAH(27) PENGOBATAN ALTERNATIF(28) KITAB TASHDIRUL MUROD ILAL MURID FI JAUHARUTITTAUHID (29) KITAB NURUL ALIM FI ADABIL ALIM WAL MUTAALLIM (30) NURUL 'A'YUN ALA QURRATIL UYUN (31) NURUL MUQODDAS FI RATIBIL ATTAS (32) INTISARI & HIKMAH RATIB ATTAS (33) NURUL MUMAJJAD fimanaqibi Al Habib Ahmad Al Kaff. (34) MAMLAKAH 1-25 (35) TOMBO TEKO LORO LUNGO. (36) GARAP SARI (37) ALAM GHAIB ( 38 ) PENAGON Menjaga Tradisi Nusantara Menulusuri Ragam Arsitektur Peninggalan Leluhur, Dukuh, Makam AS SAYYID THOYYIB THOHIR Cikal Bakal Dukuh Penagon Nalumsari Penagon (39 ) AS SYIHABUL ALY FI Manaqib Mbah KH. Ma'ruf Asnawi Al Qudusy (40) MACAM-MACAM LAGU SHOLAWAT ASNAWIYYAH (bahar Kamil Majzu' ) ( 41 ) MACAM-MACAM LAGU BAHAR BASITH ( 42 ) KHUTBAH JUM'AT 1998-2016 ( 43 ) Al Jawahirun Naqiyyah Fi Tarjamatil Faroidus Saniyyah Wadduroril Bahiyyah Lis Syaikh M. Sya'roni Ahmadi Al Qudusy.

Sabtu, 30 Januari 2016

SUNAN BONANG, WALI YANG MEMBUJANG DENGAN EMPAT MAKAM :WALISANGA

SUNAN BONANG, WALI YANG MEMBUJANG DENGAN EMPAT MAKAM :WALISANGA, Mereka yang melacak jejak Sunan Bonang setidaknya akan mendapatkan tiga lokasi pemakaman, yang jika para juru kuncinya ditanggapi terlalu serius, tentu akan menjadi bingung - karena tiada cara untuk membuktikan kesahihannya. Kerancuan ini disebabkan antara lain karena sejak awal tidak terbedakan, mana yang makam dan mana yang petilasan: tempat para wali pernah tinggal, mengajar, atau sekadar lewat saja. Meski begitu, petilasan boleh dianggap tak kalah penting dengan makam, karena makam sebetulnya hanyalah tempat para beliau dikubur, sedangkan petilasan justru merupakan atmosfer lingkungan hidup seorang wali ratusan tahun silam. Apabila petilasan yang menjadi ukuran, maka jumlah lokasi yang terhubungkan dengan Sunan Bonang menjadi empat. Kisah empat lokasi Lokasi pertama, dan yang paling populer, adalah makam di belakang Mesjid Agung Tuban. Barang siapa berkunjung ke sana akan melihat suatu kontras, antara Mesjid Agung Tuban yang arsitekturnya megah dan berwarna-warni itu, dengan astana masjid Sunan Bonang di belakangnya yang sederhana. Di dekat astana mesjid yang mungil itulah terletak makam Sunan Bonang. Untuk mencapai tempat itu kita harus menyusuri gang sempit di samping mesjid besar, bagaikan perlambang atas keterpinggiran alam mistik dalam kehidupan pragmatik masa kini. Lokasi kedua adalah petilasan di sebuah bukit di pantai utara Jawa, antara Rembang dan Lasem, tempat yang dikenal sebagai mBonang, dan dari sanalah memang ternisbahkan nama sang sunan. Di kaki bukit itu konon juga terdapat makam Sunan Bonang, tanpa cungkup dan tanpa nisan, hanya tertandai oleh tanaman bunga melati. Namun atraksi utama justru di atas bukit, tempat terdapatnya batu yang digunakan sebagai alas untuk shalat - di batu itu terdapat jejak kaki Sunan Bonang, konon kesaktiannya membuat batu itu melesak. Situs ini berdampingan dengan makam Putri Cempo (Cempa, Campa) dan ini terjelaskan oleh cerita tutur bahwa Sunan Bonang adalah putra Sunan Ngampel Denta yang berasal dari Cempa tersebut - seperti teruraikan dalam Intisari bulan lalu. Sunan Bonang telah memindahkan makam putri Darawati atau Andarawati yang merupakan maktuanya tersebut dari makam lama di Citra Wulan (bertarikh Jawa 1370 alias 1448 Masehi, mungkin maksudnya di wilayah ibukota Majapahit) ke Karang Kemuning, Bonang, tak dijelaskan kenapa. Namun keterangan ini muncul sebagai catatan kaki atas cerita tentang perampasan barang- barang berharga Demak ketika direbut Mataram, dalam Kerajaan- Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974) karya Graaf dan Pigeaud. Lokasi ketiga adalah makam Sunan Bonang di Tambak Kramat, Pulau Bawean. Ketika Intisari melacak ke pulau terpencil antara Jawa dan Kalimantan tersebut, terdapat dua makam Sunan Bonang di tepi pantai - dan tiada cara untuk memastikan mana yang lebih masuk akal, meski untuk sekadar "dikira" sebagai makam Sunan Bonang. Salah satu makam memang tampak lebih terurus, karena dibuatkan "rumah" dan diberi kelambu - sedang makam satunya masih harus bersaing pengakuan dengan spekulasi lain bahwa itu sebenarnya makam seorang pelaut dari Sulawesi yang kapalnya karam di sekitar Bawean. Dengan begitu, sudah terdapat tiga situs yang disebut sebagai makam Sunan Bonang. Tentang makam di Bawean terdapat legenda yang bisa diikuti dari Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad (2000) karya Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri. Konon setelah Sunan Bonang wafat di Bawean, murid-muridnya di Tuban menghendaki agar Sunan Bonang dimakamkan di Tuban, tetapi para santri di Bawean berpendapat sebaiknya dimakamkan di Bawean saja, mengingat lamanya perjalanan menyeberangi laut. Syahdan, para penjaga jenazah di Bawean telah disirep (ditidurkan dengan mantra) oleh mereka yang datang Bawean telah disirep (ditidurkan dengan mantra) oleh mereka yang datangmalam hari dari Tuban. Dikisahkan betapa kuburan dibongkar {versi lain, dalam Misteri Syekh Siti Jenar: Peranan Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (2004) karya Hasanu Simon, jenazah masih di tengah ruangan dan jenazah dibawa berlayar ke Tuban malam itu juga, untuk dimakamkan di dekat astana mesjid Sunan Bonang. Meskipun begitu, menurut para santri Bawean, yang berhasil dibawa ke Tuban sebetulnya hanyalah salah satu kain kafan; sebaliknya menurut para santri Tuban, yang terkubur di Bawean juga hanyalah salah satu kain kafan. Lokasi keempat adalah sebuah tempat bernama Singkal di tepi Sungai Brantas di Kediri. Konon dari tempat itu, seperti dituturkan dalam Babad Kadhiri, Sunan Bonang melancarkan dakwah tetapi gagal mengislamkan Kediri. Ketika laskar Belanda-Jawa pada 1678 menyerang pasukan Trunajaya di daerah itu, mereka menemukan mesjid yang digunakan sebagai gudang mesiu, seperti dilaporkan Antonio Hurdt. Menurut Graaf dan Pigeaud, "Adanya mesjid yang cukup penting di Singkal pada abad ke-17 menyebabkan legenda yang mengisahkan tempat itu sebagai pusat propaganda agama Islam pada permulaan abad ke-16 menjadi agak lebih dapat dipercaya." Tentang Babad Kadhiri itu sendiri, yang disebutkan telah dibicarakan G.W.J. Drewes, dianggap Graaf dan Pigeaud sebagai "kurang penting bagi sejarawan, yang mencari peristiwa-peristiwa yang serba pasti." Meskipun Hasanu Simon meragukan Sunan Bonang pernah pergi ke Bawean, berdasarkan faktor usia dan kesulitan perjalanan masa lalu, tersebutnya Sunan Bonang di berbagai tempat ini membenarkan penemuan Graaf dan Pigeaud. "Menurut cerita, Wali Lanang di Malaka memberikan tugas-tugas berbeda tetapi senada kepada kedua muridnya: Santri Bonang pada umumnya harus menyebarkan (dan memang, kenyataannya kelak Sunan Bonang banyak menjelajahi daerah-daerah), tetapi Raden Paku harus menetap di Giri (dan tentang dia tidak diberitakan perjalanan-perjalanan jauh)." Kedua sejarawan ini juga sama sekali tidak menghubungkan Sunan Bonang dengan Bawean. Siapakah Sunan Bonang? Berdasarkan cerita tutur dari berbagai sumber tersebutkan Sunan Bonang adalah putra Sunan Ngampel Denta dari istrinya yang bernama Nyai Ageng Manila (sumber lain menyebut Dewi Candrawati, putri dari Majapahit), dan kelak ia menjadi imam yang pertama di Mesjid Demak. Diperkirakan lahir antara 1440 atau 1465, dan meninggal 1525, masa pelajaran ditempuh di bawah ayahnya, dengan saudara seperguruan Raden Paku yang kelak menjadi Sunan Giri. Namanya sendiri adalah Makdum Ibrahim dan karena tidak pernah menikah, atau setidaknya tak berputra, ia juga disebut Sunan Wadat Anyakra Wati. Konon ia dan Raden Paku bermaksud naik haji ke Mekah, dan sebelumnya berguru kepada Abdulisbar atau Dulislam di Pasai (versi lain Wali Lanang, kali ini ayah Raden Paku, di Malaka), tetapi yang kemudian diminta kembali ke Jawa oleh gurunya. Menurut Abdul Hadi WM dalam Sunan Bonang, Perintis dan Pendekar Sastra Suluk (1993), "Pada tahun 1503, setelah beberapa tahun jabatan imam mesjid dipegangnya, dia berselisih paham dengan Sultan Demak dan meletakkan jabatan, lalu pindah ke Lasem. Di situ dia memilih Desa Bonang sebagai tempat tinggalnya. Di Bonang dia mendirikan pesantren dan pesujudan (tempat tafakur), sebelum akhirnya kembali ke kampung halamannya, Tuban." Sangat terkenal kisahnya sebagai wali yang memberikan Raden Sahid alias Brandal Lokajaya suatu pencerahan, sehingga kelak menjadi pendakwah sinkretik ulung bernama Sunan Kalijaga. Namun dalam Serat Dermagandul yang baru ditulis tahun 1879, yang bersikap negatif terhadap para wali, seperti diteliti Denys Lombard dalam Nusa Jawa, Silang Budaya 2: Jaringan Asia (1990), Sunan Bonang "digambarkan sebagai tokoh kasar dan tidak tahu malu." Tentu saja ini bagian dari "politik dongeng" yang sering bisa dilacak atas berbagai legenda, mengingat tokoh Sabdopalon dan Nayagenggong dalam karya itu digambarkan menolak masuk Islam. Sementara itu, sejauh cerita yang menyebut Sunan Bonang sebagai putra Sunan Ngampel Denta bisa dipercaya, Sunan Bonang tentu tergolong keturunan orang Cam - tepatnya keturunan orang asing yang menyebarkan Islam di Jawa. Mungkinkah ini yang membuat orang berspekulasi bahwa nama Sunan Bonang berasal dari Lim Bun An bahkan juga Bong Ang atau Bong Bing Nang, sementara Sunan Ngampel Denta tersebut sebagai Bong Swie Hoo? Tentu maksudnya bahwa para wali ini adalah keturunan Tionghoa, seperti disebut tanpa argumentasi meyakinkan dalam Tuanku Rao (1964) oleh Mangaraja Onggang Parlindungan maupun dalam Kalidjaga (1956) oleh Hadiwidjaja. Spekulasi ini hanya meyakinkan sejauh menyangkut Raden Patah, sultan Demak yang pertama, seperti terbahas dalam Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI (2003) karya Sumanto Al Qurtuby. Tentang para wali, jangankan sebagai keturunan Tionghoa, sedangkan keberadaan mereka secara historik saja hanya bisa dibeberkan dengan spekulasi yang sangat hati-hati, melalui analisis teliti terhadap sumber-sumber yang nyaris merupakan dongeng. Para sejarawan lebih cenderung merujukkan cerita tentang ketionghoaan itu, untuk menafsir fakta keberadaan komunitas Muslim Tionghoa, yang sudah bertebaran di berbagai daerah pantai di Jawa Timur sejak abad ke-15. Hilda Soemantri dalam Majapahit Terracotta Art (1997) misalnya menunjuk keramik "orang berturban" di antara keramik "orang Tartar", "Tionghoa tertawa", maupun "Tionghoa bertopi", yang menunjukkan ketertarikan para seniman keramik Majapahit kepada orang- orang asing, termasuk yang beragama Muslim, di daerah pantai. Ini tentu saja mendukung "teori Cina" sebagai salah satu teori tentang kedatangan Islam di Pulau Jawa, terutama melalui Tuban dan Gresik. Pengembara dari Tiongkok, Ma Huan, mencatat adanya Xin Cun (Kampung Baru) di Gresik yang berpenduduk seribu orang Tionghoa asal Guangdong dan Zhangzhou. Sebegitu jauh, pelacakan atas keberadaan Sunan Ngampel Denta, yang disebut sebagai ayah Sunan Bonang, hanya terujuk kepada keberadaan bangsa Cam dan terdapatnya poros Jawa Timur-Campa - dan kitab seperti Serat Dermagandul adalah bentuk "perlawanan" kepercayaan lama setelah Islam menjadi dominan di Jawa pada abad ke-19. Tentang "kitab Bonang" Sarjana Belanda B.Schrieke menulis tesis Het Boek van Bonang pada 1916, seperti mengandaikan bahwa manuskrip yang dibahasnya adalah karya atau ajaran Sunan Bonang. Sayang sekali bahwa penamaan "Kitab Bonang" itu tidak dianggap tepat, juga oleh Graaf dan Pigeaud, karena tidak ada bukti meyakinkan bahwa naskah itu memang ditulis oleh Sunan Bonang. Meski begitu, disetujui bahwa manuskrip tersebut memberi gambaran tentang ajaran Islam macam apa yang dominan didakwahkan pada abad ke-16, jadi mungkin pula diajarkan seorang wali seperti Sunan Bonang, sebagai pengenalan pertama kepada orang- orang yang jika tidak memeluk agama Buddha atau Hindu, tentu memeluk kepercayaan sebelum agama besar yang mana pun tiba di Jawa. Tesis Schrieke itu kemudian dikoreksi oleh Drewes, dan diberi terjemahan bahasa Inggris sebagai The Admonitions of Seh Bari (1969). Manuskrip yang dimaksud, seperti diuraikan Abdul Hadi WM, rupanya terdiri dari sejumlah suluk - suatu genre dalam kesusastraan Jawa, Sunda, dan Madura yang memang muncul pertama kali abad ke-15 bersama penyebaran Islam. Bukan kebetulan agaknya, karena suluk berarti jalan kerohanian, isinya adalah ajaran-ajaran tasawuf. Dalam hal manuskrip terbincangkan ini, khususnya yang berjudul Suluk Wujil (koreksian Purbatjaraka terhadap Schrieke yang menyebutnya Suluk Dulil), disebutkan Purbatjaraka sebagai ajaran rahasia untuk orang- orang tertentu saja. Rahasia artinya tidak begitu saja bisa dipahami, seperti dapat diperiksa dari kutipan-kutipan berikut: "Tak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda hingga tua renta. Mereka tak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi wali. "Apabila seseorang sembahyang di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang yang bersembahyang, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang itu saja. Namun jika terdapat 10.000 orang bersembahyang di sana, maka Ka'bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia akan dimasukkan ke sana, maka seluruh dunia akan tertampung juga." Teks seperti ini, disebutkan Abdul Hadi WM sebagai, "... kerap menimbulkan persoalan. Baik golongan kebatinan maupun ortodoks jarang dapat memberi tafsir yang sesuai dan bermanfaat terhadap hakikat ajaran para sufi." Manuskrip ini disalah tafsirkan Schrieke sebagai karya Sunan Bonang, kemungkinan besar karena tokoh bernama Sunan Bonang muncul dalam Suluk Wujil, sebagai guru tasawuf tokoh Wujil yang berarti cebol. Purbatjaraka dalam Kepustakaan Djawa (1952) menduga karya itu ditulis oleh "sastrawan Jawa yang menjadi murid sang wali". Sementara berdasarkan penelitiannya, menurut Drewes penulisnya adalah Seh Bari dari Karang, daerah Banten. Terutama dalam suluk tersebut, unsur-unsur kerohanian Jawa klasik dan tasawuf Islam terpadukan. Kisahnya sendiri mewadahi gagasan zaman peralihan: Wujil, seorang terpelajar Majapahit yang meninggalkan aga Hindu dan beralih menjadi penganut Islam. Dengan demikian, meski dari sudut ilmu sejarah tidak bisa dipastikan bahwa Sunan Bonang yang menulis Suluk Wujil, dari manuskrip tersebut tergambarkan segi-segi wajd (ekstase mistis) dan kasyf (tersingkapnya mata batin) yang akan membawa seseorang kepada kesadaran supralogis, atau bisa disebut dimensi mistik, yang layak diduga sebagai daya tarik bagi orang-orang Jawa abad ke-15 dan 16 Bermula silsilah wali songo ditemukan oleh sayid Ali bin Ja’far Assegaf pada seorang keturunan bangsawan Palembang. Dalam silsilah tersebut tercatat tuan Fakih Jalaluddin yang dimakamkan di Talang Sura pada tanggal 20 Jumadil Awal 1161 hijriyah, tinggal di istana kerajaan Sultan Muhammad Mansur mengajar ilmu ushuluddin dan alquran. Dalam silsilah tersebut tercatat nasab seorang Alawiyin bernama sayid Jamaluddin Husein bin Ahmad Jalaluddin bin Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi ‘Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath, yang mempunyai tujuh anak laki. Di samping itu tercatat pula nasab keturunan raja-raja Palembang yang bergelar pangeran dan raden, nasab Muhammad Ainul Yaqin yang bergelar Sunan Giri. Sayid Husain (adik Hasan) ini, beliau menikah dengan "SYAHZANAN" yaitu putri dari raja Persia "YAZDAJIR ke III" atau YEZDEGRID III. Dari pernikahan tersebut lahirlah Sayiid Zaenal Abidin Sebagaimana telah diketahui bahwa keturunan Alawiyin yang berada di Indonesia berasal dari Hadramaut. Imam Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath dijuluki Ammu al-Faqih, dikaruniai 4 orang anak lelaki, masing-masing bernama Abdul Malik, Abdullah, Abdurahman dan Ahmad. Dari Abdul Malik Azmatkhan inilah, yang keturunannya dikenal dengan “AZMATKHAN”, menurunkan leluhur wali songo di Indonesia. Abdul Malik bin Alwi lahir di kota Qasam pada 26 Jumadil Akhir 574 hijriyah. Ia meninggalkan Hadramaut pergi ke India bersama para sayid Alawiyin. Di India ia bermukim di Nashrabad. Ia mempunyai beberapa orang anak lelaki, diantaranya sayid Abdullah Amir Khan. Sayid Abdullah Amir Khan mempunyai anak bernama Amir al-Mu’azhom Syah Maulana Ahmad Jalaluddin. Beliau dikarunia anak bernama Jamaluddin Husein yang datang ke pulau Jawa dari Champa (Kamboja)., Jamaluddin Husein hijrah ke Jawa bersama ketiga saudaranya yaitu syarif Qamaruddin, syarif Majduddin dan syarif Tsana’uddin pada akhir abad ke 7 hijriyah. Di Kemboja Jamaluddin Husein menikahi anak seorang raja di negeri itu dan mempunyai anak yang diantaranya bernama Ali Nurul Alam (Maulana Israel) dan Ibrahim al-Ghazi (Ibrahim Zainuddin Akbar Asmaraqandi). Menurut sayid Ahmad bin Abdullah Aseggaf dalam kitabnya Khidmah al-Asyirah, Ali Nurul Alam (Maulana Israel) dikarunia anak bernama Abdullah Umdatuddin. Dari Abdullah inilah dikarunia anak bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sedangkan Ibrahim al-Ghazi (Ibrahim Zainuddin Akbar Asmaraqandi)bersama ayahnya meninggalkan negerinya ke tanah Aceh. Di Aceh beliau menggantikan ayahnya dalam kegiatan menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk. Sedangkan ayahnya Jamaluddin Husein meneruskan perjalanan ke tanah Jawa. Mereka mendarat di pesisir pantai Semarang, kemudian melalui jalan darat tiba di Pajajaran. Saat itu adalah akhir masa raja-raja Pajajaran yang kekuasaannya berpindah ke tangan Majapahit. Dari Pajajaran Jamaluddin Husein melanjutkan perjalanannya ke Jawa Timur dan tiba di Surabaya. Ketika itu Surabaya masih merupakan sebuah desa kecil, tidak banyak penduduknya, dikelilingi oleh hutan dan sungai. Pada masa itu desa tersebut dikenal dengan nama Ampel. Di desa itulah sayid Jamaluddin Husein menetap. Setelah satu setengah tahun di Ampel, bersama para pengikutnya beliau melakukan perjalanan ke Sulawesi dan setibanya di tanah Bugis, beliau wafat di kota Wajo. Ibrahim al-Ghazi (Ibrahim Zainuddin Akbar Asmaraqandi)yang berada di Aceh sering melakukan perjalanan ke negeri Champa (Kamboja) dan menikah di sana. Beliau dikarunia empat orang anak yaitu Fadhal Ali Murtadha (Raja Pandita/Raden Santri), Maulana Ishaq, Maulana Rahmatullah (Sunan Ampel)dan Syarifah Zainab. Fadhal Ali Murtadha kemudian menikah dengan Syarifah Sarah (Putri dari Maulana Malik Ibrahim bin Barakat Zainul Alam dari Istri pertamanya yang bernama Syarifah Fathimah binti Sayyid Ali Nurul Alam) dan dikaruniai 3 orang anak, yaitu: Utsman Haji (Sunan Ngudung), Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Sunan Geseng. Dan Sunan Ngudung memiliki 2 anak yaitu Sayyid Ja’far Shadiq yang bergelar Sunan Kudus. dan Syarifah Dewi Sujinah yang menikah dengan Sunan Muria. Maulana Ishaq kemudian menyebarkan agama Islam di tanah Malaka, Penang dan Riau. Sayid Maulana Ishaq kemudian pindah ke Blambangan (Sekarang daerah Banyuwangi). Beliau dinikahkan oleh salah seorang puteri raja Blambangan. Dari perkawinannya Maulana Ishaq mempunyai seorang anak bernama Sayid Ainul Yaqin (Sunan Giri/Raden Paku). Kemudian Maulana Ishaq meninggalkan bumi Blambangan, dan menuju ke Pasai, di Pasai, ia menikah dengan Syarifah pasai dan dikaruniai 2 anak, yaitu Syarifah Sarah (yang kemudian menikah dengan Sunan Kalijaga), dan Sayyid Abdul Qadir. Silsilah Sunan Giri : Sunan Giri (Muhammad Ainul Yaqin) bin Maulana Ishaq bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Maulana Husin Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin bin ’Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmat Khan bin ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin ‘Ali Khali Qasam bin ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Muhammad Maula Ash-Shaouma’ah bin ‘Alwi al-Mubtakir bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa An-Naqib bin Muhammad An-Naqib bin ‘Ali Al-’Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau lengkapnya Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah adalah salah seorang Sunan yang menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah dimakamkan di daerah Astana Gunung Jati yang letaknya tidak jauh dari pusat kota Cirebon ke arah utara. Sunan Gunung Jati adalah keponakan dari Pangeran Cakra Buana atau mbah Kuwu Cirebon. Adik mbah Kuwu Cirebon ini bernama Nyai Rara Santang atau Syarifah Muda'im ibu dari Sunan Gunung Jati. mbah Kuwu Cirebon dan Nyai Rara Santang adalah anak dari Prabu Siliwangi raja Padjajaran. Silsilah Sunan Gunung Jati Sampai Nabi Muhammad sebagai berikut : Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin Sayyid 'Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin Sayyid 'Ali Nuruddin Al-Khan @ 'Ali Nurul 'Alam bin Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan bin Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin Sayyid Abdullah Al-'Azhomatu Khan bin Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir Azmatkhan (Nasrabad,India) bin Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) bin Sayyid Ali Kholi' Qosim bin Sayyid Alawi Ats-Tsani bin Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah bin Sayyid Alawi Awwal bin Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin Sayyidina Ja'far As-Sodiq bin Sayyidina Muhammad Al Baqir bin Sayyidina 'Ali Zainal 'Abidin bin Al-Imam Sayyidina Hussain Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra binti Muhammad SAW. Sunan Ampel menikah dengan dua isteri, Isteri pertama bernama Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo Al-Abbasyi, memiliki 5 anak yaitu: 1. Maulana Mahdum Ibrahim alias Raden Mahdum Ibrahim alias Sunan Bonang, 2.Syarifuddin alias Raden Qasim alias Sunan Derajat, 3.Siti Syari’ah alias Nyai Ageng Maloka alias Nyai Ageng Manyuran, 4.Siti Muthmainnah, 5. Siti Hafsah. Sedangkan Isteri kedua dari Sunan Ampel bernama Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, dikaruniai 6 orang anak, yaitu:1. Dewi Murtasiyah (Istri Sunan Giri, 2. Dewi Murtasimah alias Asyiqah (Istri Raden Fattah), 3.Raden Husamuddin (Sunan Lamongan, 4. Raden Zainal Abidin (Sunan Demak, 5. Pangeran Tumapel, 6. Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Adapun Syarifah Zainab binti Ibrahim Zainuddin Akbar (adik dari Sunan Ampel) menikah dengan Sayyid Ahmad bin Syekh Subakir yang bergelar Raden Sahur (Tumenggung Wilatikta)dan dikaruniai 2 anak yaitu Raden Syahid (Sunan Kalijaga) dan Syarifah Fathimah. Keturunan Wali Songo sampai sekarang masih ada, mereka menggunakan FAM KESAYYIDAN, Yaitu “AZMATKHAN”. Seorang peneliti Sejarah Wali Songo, yang juga merupakan keturunan Sunan Kudus, yaitu As-Sayyid Al-Habib Bahruddin Azmatkhan mengumpulkan data-data keturunan Wali Songo sampai sekarang, catatannya berisi: Nasab Wali Songo, Nasab Para Raja Islam Nusantara, Nasab Para ‘Alawiyyin Al-Hasani dan al-Husaini. Sekarang catatan itu diwariskan kepada cucunya yang bernama Asy-Syaikh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Ba’alawi Al-Husaini (Sekarang beliau adalah Mursyid Thariqah Wali Songo). Untuk mengawali silsilah para wali di nusantara, maka tidak terlepas dari ke-empat tokoh besar, yaitu : 1). Sayyid Jamaluddin Husain as-Samarqandiy 2). Raden Arya Galuh Pajajaran 3). Raja Kuntara Cempa Kamboja 4). Prabu Brawijaya V Raja Majapahit A. Silsilah dari Asmaraqondiy Sayyid Jamaluddin Husain atau Maulana Muhammad Jumadil Kubro atau Ahmad Syah as-Samarqandiy adalah putra Abdulloh Khon, putra Amir Abdul Malik, putra Sayyid Alwi,, putra Sayyid Ali, putra Sayyid Muhammad, putra Sayyid Alwi, putra Sayyid Muhammad, putra Sayyid Alwi, putra Sayyid Abdulloh, putra Sayyid Ahmad al-Muhajir al-Faqih al-Muqoddam, putra Sayyid Isa al-Bashriy, putra Sayyid Muhammad ar-Rumiy, putra Sayyid Ali al-’Aridhiy, putra Sayyid Ja’far as-Shodiq, putra Sayyid Muhammad al-Baqir, putra Sayyid Ali Zainul Abidin, putra Sayyid Husain, Putra Kholifah Ali bin Abu Tahlib dengan Sayyidah Fathimah binti Nabi Muhammad SAW. Dua orang putra dari Sayyid Jamaluddin Husain yang berdakwah di nusantara adalah Maulana Ishaq dan Maulana Malik Ibrohim Asmaraqandiy. B. Silsilah dari Jawa Raden Arya Galuh putra Arya Randu Kuning, putra Arya Metahun, putra Arya Banjaran, putra Mundi Sari, putra Raden Laliyan (Pajajaran), putra Rawis Renggo (Jenggala), putra Tebu, putra Lembu Amiluhur (Jenggala), putra Resi Kentuyu, putra Gandihawan, putra Serima Punggung, putra Sila Jalu, putra Panca Deriya, putra Citra Suma, putra Suma Wicetra, putra Gendra Yana, putra Jaya Amijaya, putra Jaya Darma, putra Hudayana, putra Parikesit, putra Angka Wijaya, putra Arjuna, putra Pandu, putra Habi Washa, putra Pula Sara, putra Raden Sahri, putra Raden Sekutrem, putra Raden Sutopo, putra Raden Mana Wasa, putra Raden Mari Gena, putra Sang Hyang Trusthili, putra Seri Kati, putra Wisnu, putra Sang Hyang Guru hingga ke Nabi Adam AS. Raden Arya Galuh memiliki dua orang anak, yaitu : Arya Penanggungan dan Ronggolawe. Arya Penanggungan memiliki tiga orang anak, yaitu : 1). Arya Baribin, 2). Arya Teja (Adipati Tuban, dan 3). Ki Ageng Tarub. Arya Baribin memiliki dua orang anak, yaitu : Raden Ayu Maduretno, dan Raden Jakandar (Sunan Bangkalan Madura). Arya Teja (Adipati Tuban) memiliki dua orang anak, yaitu : Dewi Candrawati (Diperistri oleh Sunan Ampel), dan Raden Sahur Tumenggung Wilatikta Tuban (Ayahanda Raden Syahid Sunan Kalijaga). Ki Ageng Tarub memiliki tiga orang anak, yaitu : 1). Dewi Nawang Sih, 2). Dewi Nawang Sasi, dan 3). Dewi Nawang Arum. Dewi Nawang Sasi menikah dengan Raden Jakandar (Sunan Bangkalan) putra Arya Baribin memiliki dua orang anak, yaitu : 1). Dewi Hisah (Istrinya Sayyid Abdul Qodir Sunan Gunung Jati), dan 2). Dewi Hirah (Istrinya Raden Mahdum Ibrohim Sunan Bonang). Dewi Nawang Arum menikah dengan Raden Sahur Tumenggung Wilatikta putra Arya Teja memiliki dua orang anak, yaitu : Raden Syahid (Sunan Kalijaga), dan Dewi Sari (Istrinya Sunan Ngudung) C. Silsilah dari Cempa Raja Kuntara Cempa Kamboja memilki tiga orang anak, yaitu : 1). Dwarawati Murdaningrum (diperistri oleh Prabu Kartawijaya atau Prabu Brawijaya Majapahit), 2). Dewi Candra Wulan (diperistri oleh Maulana Malik Ibrohim Asmaraqandiy), dan 3). Raden Cingkara. D. Keturunan Maulana Malik Ibrohim Asmaraqandiy Maulana Malik Ibrohim dengan Dewi Candra Wulan putrinya Raja Cingkara memiliki tiga orang anak, yaitu : 1). Raja Pendita, 2). Raden Rahmat (Sunan Ampel), dan 3). Siti Zainab. Raja Pendita Menikah dengan Raden Ayu Madu Retno putrinya Arya Baribin memiliki tiga orang anak, yaitu : 1). Haji Utsman (Sunan Manyuran Mandalika), 2). Utsman Haji (Sunan Ngudung), dan 3). Nyai Gede Tanda. Raden Rahmat (Sunan Ampel) memiliki dua orng istri, yaitu : Dewi Candrawti putinya Arya Teja Adipati Tuban, dan Dewi Karimah putrinya Ki Bang Kuning. Dengan Dewi Candrawati beliau memiliki lima orang anak, yaitu : 1). Siti Syari’ah (Menikah dengan Haji Utsman Sunan Manyuran), 2). Siti Muthmainnah (Menikah dengan Sayyid Muhsin Sunan Wilis), 3). Siti Hafshah (Manikah dengan Sayyid Ahmad al-Yamaniy), 4). Raden Mahdum Ibrohim (Sunan Bonang), dan 5). Raden Qosim (Sunan Derajat Sidayu). Dan dengan Dewi Karimah beliau memiliki dua putri, yaitu : 1). Dewi Murtasiyah (Menikah dengan Sunan Giri), dan 2). Dewi Murtasimah (Menikah dengan Raden Fatah Sultan Demak). E. Keturunan Maulana Ishaq bin Sayyid Jamaluddin Husain Maulana Ishaq berdakwah di daerah Pasai memiliki dua orang anak, yaitu : Sayyid Abdul Qodir (Sunan Gunung Jati Cirebon) dan Dewi Saroh (diperistri oleh Sunan Kalijaga). Kemudian Maulana Ishaq berdakwah ke Blambangan Banyuwangi menikah dengan Dewi Sekar Dadu putrinya Minak Sembuyu Adipati Blambangan memiliki seorang putra yang bernama Raden Paku atau Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri). F. Silsilah Perpaduan Antara Asmaraqandiy dengan Jawa dan Cempa 1). Sunan Ngudung (Utsman Haji putra Raja Pendita putra Maulana Malik Ibrohim Asmaraqandiy) menikah dengan Dewi Sari putrinya Raden Sahur Tumenggung Wilatikta) memiliki dua orang anak, yaitu : 1). Dewi Sujinah (Istrinya Sunan Muria), dan 2). Raden Amir Haji (Sunan Kudus). 2). Sunan Bonang (Raden Mahdum Ibrohim) putra Sunan Ampel menikah dengan Dewi Hirah putrinya Raden Jakandar memiliki satu orang putri bernama Dewi Ruhil yang menikah dengan Amir Haji Sunan Kudus. 3). Sunan Gunung Jati (Sayyid Abdul Qodir putra Maulana Ishaq) menikah dengan Dewi Hisah putrinya Raden Jakandar memiliki dua orang anak, yaitu : Sayyid Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar Jepara), dan Dewi Shufiyah (Istrinya Raden Qosim Sunan Derajat) 4). Sunan Kalijaga (Raden Syahid) putra Raden Sahur (Tumenggung Wilatikta Tuban dengan Dewi Nawang Arum putrinya Ki Ageng Tarub), Raden Sahur putra Arya Teja (Adipati Tuban), putra Arya Penanggungan, putra Arya Galuh, putra Arya Randu Kuning, putra Arya Metahun, putra Arya Banjaran (Sudara Prabu Mundi Wangi Pajajaran dan sekaligus menjadi patih di kerajaannya), putra Mundi Sari (Pajajaran). Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Saroh putrinya Maulana Ishaq memiliki tiga orang anak, yaitu : 1). Raden Sa’id (Sunan Muria), 2). Dewi Ruqoiyah, dan 3). Dewi Shofiyah G. Silsilah Keturunan Prabu Brawijaya V Raja Majapahit Terakhir Prabu Brawijaya atau Kartawijaya atau Kertabhumi adalah putra dari Raden Suruh (Adipati Majalengka), putra Prabu Mundi Wangi (Raja Pajajaran), putra Mundi Sari, putra Raden Laliyan (Pajajaran), putra Rawis Renggo (Jenggala), dan untuk seterusnya lihat silsilah Raden Arya Galuh. Prabu Brawijaya memiliki anak banyak sekali, karena di dalam satu riwayat diceritakan bahwa istrinya berjumlah lebih dari 25 orang. Dan adapun anaknya yang dapat disebutkan, maka beberapa diantaranya adalah : Dari Istri Permaisuri adalah Raden Arya Damar (Adipati Palembang). Dari Istri Dwarawati Murdaningrum putrinya Raja Kuntara Cempa adalah : 1). Putri Hadiy (Istrinya Adipati Dayaningrat Pengging), 2). Raden Lembu Peteng (Madura), dan 3). Raden Gugur. Dan dari Istri Putri Cempa yang lain keturunan China putrinya Ma Hong Fu (Kyai Batong) adalah Raden Jin Bun atau Raden Hasan atau Raden Fatah (Sultan Demak Bintara) Dari Istri Ponorogo adalah : Betara Katung dan Adipati Luwanu. Dari Istri Bagelain adalah : Raden Jaran Penoleh (Sampang Madura). Raden Fatah (Sultan Demak) menikah dengan Dewi Murtasimah putrinya Sunan Ampel memiliki lima orang anak, yaitu : 1). Pangeran Purba 2). Pangeran Trenggana 3). Raden Bagus Sida Kali 4). Raden Kanduruhan 5). Dewi Ratih Seperti inilah yang telah disebutkan oleh K.H. Bisyri Musthofa Rembang di dalam kitabnya yang berjudul Tarikh al-Auliya. Dan adapun menurut naskah babad dan serat disebutkan bahwa Raden Fatah memiliki tiga orang istri, yaitu : 1). Putri Sunan Ampel menjadi permaisuri utama, memiliki dua putra, yaitu : Pangeran Surya (Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor), dan Pangeran Trenggana. 2). Putri Raden Sanga, memiliki satu putra, yaitu Raden Kanduruwan. 3). Putri Bupati Jipang Panolan, memiliki dua anak, yaitu : Pangeran Kikin (Pangeran Sekar Seda Lepen), dan Ratu Mas Nyawa. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan lahir di kota Qosam dekat Tarim, termasuk wilayah HadraMaut kemudian beliau berdakwah di India, menikah dengan orang sana dan menurunkan Maulanan Abdulloh Khon, Maulana Abdulloh Khan menurunkan Achmad Jalal Basyah, Achmad Jalal menurunkan Jamaluddin Husain atau Syyid Zaenal Kubro, Jamaluddin Husain. Kemudian Jamaluddin Husain berdakwah di Kamboja dan berputra Sayyid Ibrohim Asmoro, Kemudian Sayyid Ibrohim Asmoro berdakwah di daerah Cempa (sekarang vietnam perbatasan Cina, dulunya satu wilayah, dengan rumpun bangsa yang sama), dan beliau menikah dengan Putri Raja Cempa. Nah dari beliau itu lahirlah Sayyid Ali Rohamtulloh atau yang kita kenal sebagai salah satu Wali Songo atau Sunan Ampel Ini....yang makamnya ada di kota Surabaya.... Kemudian Sunan Ampel ini menikah dengan Siti Karimah yakni putra dari Wirosarujo (pembesar kembang kuning Surabaya) Siti Krimah ini yang terkenal dengan nama MBAH KARIMAH (Makamnya di Kembang Kuning Surabaya) Kemudian Sunan Ampel Menikah lagi dengan putri Tuban (Jatim) yakni Nini Condrowati putri Aryo Tejo Tuban.... Dengan nini Condrowati ini beliau memiliki putri dan putri sejumlah lima orang, Salah satunya adalah Sayyid Ibrohim Makdum atau yang kita kenal dengan nama SUNAN BONANG (salah watu wali songo) yang makamnya ada di dekat alun-alun kota Tuban Jawa Timur. Silsilah Para Nabi & Rasul Daftar Pustaka: 1. Catatan dari sayid Ali bin Ja’far Assegaf 2. Nasab Wali Songo oleh Al-Habib Bahruddin Azmatkhan 3. Nasab Para Raja Islam Nusantara, oleh Al-Habib Bahruddin Azmatkhan 4. Nasab Para ‘Alawiyyin Al-Hasani dan al-Husaini, oleh Al-Habib Bahruddin Azmatkhan 5. Khidmah al-Asyirah, oleh: sayid Ahmad bin Abdullah Aseggaf 6. Syamsud Zhahirah oleh Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Al-Masyhur

Tidak ada komentar: