(30) NURUL 'A'YUN

43 Karya Tulis/Lagu Nur Amin Bin Abdurrahman:
(1) Kitab Tawassulan Washolatan, (2) Kitab Fawaidurratib Alhaddad, (3) Kitab Wasilatul Fudlola', (4) Kitab Nurul Widad, (5) Kitab Ru'yah Ilal Habib Luthfi bin Yahya, (6) Kitab Manaqib Assayyid Thoyyib Thohir, (7) Kitab Manaqib Assyaikh KH.Syamsuri Menagon, (8) Kitab Sholawat Qur'aniyyah “Annurul Amin”, (9) Kitab al Adillatul Athhar wal Ahyar, (10) Kitab Allu'lu'ul Maknun, (11) Kitab Assirojul Amani, (12) Kitab Nurun Washul, (13) Kitab al Anwarullathifah, (14) Kitab Syajarotul Ashlin Nuroniyyah, (15) Kitab Atthoyyibun Nuroni, (16) Kitab al 'Umdatul Usaro majmu' kitab nikah wal warotsah, (17) Kitab Afdlolul Kholiqotil Insaniyyahala silsilatis sadatil alawiyyah, (18) Kitab al Anwarussathi'ahala silsilatin nasabiyyah, (19) Kitab Nurul Alam ala aqidatil awam (20) Kitab Nurul Muqtafafi washiyyatil musthofa.(21) KITAB QA'IDUL GHURRIL MUCHAJJALIN FI TASHAWWUFIS SHOLIHIN,(22) SHOLAWAT TARBIYAH,(23) TARJAMAH SHOLAWAT ASNAWIYYAH,(24) SYA'IR USTADZ J.ABDURRAHMAN,(25) KITAB NURUSSYAWA'IR(26) KITAB AL IDHOFIYYAH FI TAKALLUMIL ARABIYYAH(27) PENGOBATAN ALTERNATIF(28) KITAB TASHDIRUL MUROD ILAL MURID FI JAUHARUTITTAUHID (29) KITAB NURUL ALIM FI ADABIL ALIM WAL MUTAALLIM (30) NURUL 'A'YUN ALA QURRATIL UYUN (31) NURUL MUQODDAS FI RATIBIL ATTAS (32) INTISARI & HIKMAH RATIB ATTAS (33) NURUL MUMAJJAD fimanaqibi Al Habib Ahmad Al Kaff. (34) MAMLAKAH 1-25 (35) TOMBO TEKO LORO LUNGO. (36) GARAP SARI (37) ALAM GHAIB ( 38 ) PENAGON Menjaga Tradisi Nusantara Menulusuri Ragam Arsitektur Peninggalan Leluhur, Dukuh, Makam AS SAYYID THOYYIB THOHIR Cikal Bakal Dukuh Penagon Nalumsari Penagon (39 ) AS SYIHABUL ALY FI Manaqib Mbah KH. Ma'ruf Asnawi Al Qudusy (40) MACAM-MACAM LAGU SHOLAWAT ASNAWIYYAH (bahar Kamil Majzu' ) ( 41 ) MACAM-MACAM LAGU BAHAR BASITH ( 42 ) KHUTBAH JUM'AT 1998-2016 ( 43 ) Al Jawahirun Naqiyyah Fi Tarjamatil Faroidus Saniyyah Wadduroril Bahiyyah Lis Syaikh M. Sya'roni Ahmadi Al Qudusy.

Sabtu, 30 Januari 2016

P . PUGER

Pada 1602, Raden Mas Kejuron atau Pangeran Puger, adalah Adipati Demak yang mengawali pemberontakan melawan Mataram di wilayah utara Pegunungan Kendeng. Ironinya?, Pangeran Puger adalah kakak tiri Panembahan Hanyakrawati dari Istri selir Panembahan Senopati yang bernama Nyai Adisara. Walhasil, Panembahan Hanyakrawati rela membagi wilayah utara Mataram tersebut pada kakak tirinya, namun Pangeran Puger masih memberontak didukung Adipati Gending dan Adipati Panjer menuntut wilayah Demak hingga ke Tambak Uwos, Jawa Timur. Agaknya, cita-cita mengembalikan kejayaan Demak dan Dinasti Majapahit di Jawa tak tercapai. Panembahan Hanyakrawati mengakhiri aksi pemberontakan tersebut dengan mengirim Tumenggung Suranata (Ki Gede Mestaka) pada 1605, dan Pangeran Puger disantrikan ke Kudus. [Babad Momana] 2. Susuhunan Pakubuwono I / Pangeran Puger (Raden Mas Drajat) d. 1719 - Keturunan (Inventaris) Orang:26083 Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else. 11/1 ♂ # 2. Susuhunan Pakubuwono I / Pangeran Puger (Raden Mas Drajat) [Amangkurat I] perkawinan: <1> ♀ Mas Ajeng Tejawati [?] perkawinan: <2> ♀ Mas Ajeng Retnowati [?] d. 22 Februari 1719 perkawinan: <3> ♀ Raden Ajeng Sendhi [?] perkawinan: <4> ♀ Ratu Mas Blitar ? (Ratu Pakubuwono) [Demak] d. 5 Januari 1732 gelar: 6 Juli 1704 - 1719, Kartasura, Sultan Mataram VI MATARAM KE 6, Sunan Kartasura III bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa kematian: 1719 == Pangeran Puger == Pangeran Puger (lahir: Mataram, ? - wafat: Kartasura, 1719) adalah raja ketiga Kasunanan Kartasura yang setelah naik takhta bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana I. Ia memerintah pada tahun 1704 - 1719. Naskah-naskah babad pada umumnya mengisahkan tokoh ini sebagai raja agung yang bijaksana. [[Asal-usul]]Nama asli Pangeran Puger adalah Raden Mas Darajat. Ia merupakan putra Sunan Amangkurat I, raja terakhir Kesultanan Mataram yang lahir dari Ratu Wetan atau permaisuri kedua. Ibunya tersebut berasal dari Kajoran, yaitu sebuah cabang keluarga keturunan Kesultanan Pajang. Mas Darajat pernah diangkat menjadi pangeran adipati anom (putra mahkota), ketika terjadi perselisihan antara Amangkurat I dengan Mas Rahmat. Mas Rahmat adalah kakak tiri Mas Darajat yang lahir dari Ratu Kulon atau permaisuri pertama. Amangkurat I mencopot jabatan adipati anom dari Mas Rahmat dan menyerahkannya kepada Mas Darajat. Namun, ketika Keluarga Kajoran terbukti mendukung pemberontakan Trunajaya tahun 1674, Amangkurat I terpaksa menarik kembali jabatan tersebut dari tangan Mas Darajat. Perang Di PleredPuncak pemberontakan Trunajaya terjadi pada tahun 1677. Pangeran dari Madura tersebut melancarkan serangan besar-besaran ke ibu kota Kesultanan Mataram yang terletak di Plered. Amangkurat I melarikan diri ke barat dan menugasi Adipati Anom (Mas Rahmat) untuk mempertahankan istana. Namun, Adipati Anom menolak dan memilih ikut mengungsi. Pangeran Puger pun tampil menggantikan kakak tirinya tersebut untuk membuktikan kepada sang ayah bahwa tidak semua anggota Keluarga Kajoran terlibat pemberontakan Trunajaya. Ketika pasukan Trunajaya tiba di istana Plered, pihak Amangkurat I telah pergi mengungsi. Pangeran Puger pun berjuang menghadapinya. Namun, kekuatan musuh sangat besar. Ia terpaksa menyingkir ke desa Jenar. Di sana Pangeran Puger membangun istana baru bernama Kerajaan Purwakanda. Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Susuhunan Ingalaga. Trunajaya menjarah harta pusaka keraton Mataram. Ia kemudian pindah ke markasnya di Kediri. Pada saat itulah Sunan Ingalaga kembali ke Plered untuk menumpas sisa-sisa pengikut Trunajaya yang sengaja bertugas di sana. Sunan Ingalaga pun mengangkat dirinya sebagai raja Mataram yang baru. Perang Saudara Sementara itu Amangkurat I meninggal dunia dalam pengungsiannya di daerah Tegal. ia sempat menunjuk Adipati Anom sebagai raja Mataram yang baru bergelar Amangkurat II. Sesuai wasiat ayahnya tersebut, Amangkurat II pun meminta bantuan VOC - Belanda. pemberontakan Trunajaya akhirnya berhasil ditumpas pada akhir tahun 1679. Amangkurat II merupakan raja tanpa istana karena Plered telah diduduki Sunan Ingalaga, adiknya sendiri. Ia pun membangun istana baru di hutan Wanakerta, yang diberi nama Kartasura pada bulan September 1680. Amangkurat II kemudian memanggil Sunan Ingalaga supaya bergabung dengannya tapi panggilan tersebut ditolak. Penolakan tersebut menyebabkan terjadinya perang saudara. Akhirnya, pada tanggal 28 November 1681 Sunan Ingalaga menyerah kepada Jacob Couper, perwira VOC yang membantu Amangkurat II. Sunan Ingalaga pun kembali bergelar Pangeran Puger dan mengakui kedaulatan kakaknya sebagai Amangkurat II. Kekalahan Pangeran Puger menandai berakhirnya Kesultanan Mataram yang kemudian menjadi daerah bawahan Kasunanan Kartasura. Meskipun demikian, naskah-naskah babad tetap memuji keberadaan Pangeran Puger sebagai orang istimewa di Kartasura. Yang menjadi raja memang Amangkurat II, namun pemerintahan kasunanan seolah-olah berada di bawah kendali adiknya itu. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah-naskah babad ditulis pada zaman kekuasaan raja-raja keturunan Pangeran Puger. Kamatian Kapten TackAmangkurat II berhasil naik takhta berkat bantuan VOC, namun disertai dengan perjanjian yang memberatkan pihak Kartasura. Ketika keadaan sudah tenang, Patih Nerangkusuma yang anti Belanda mendesaknya supaya mengkhianati perjanjian tersebut. Pada tahun 1685 Amangkurat II melindungi buronan VOC bernama Untung Suropati. Kapten Francois Tack datang ke Kartasura untuk menangkapnya. Amangkurat II pura-pura membantu VOC. Namun diam-diam, ia juga menugasi Pangeran Puger supaya menyamar sebagai anak buah Untung Suropati. Dalam pertempuran sengit yang terjadi di sekitar keraton Kartasura pada bulan Februari 1686, sebanyak 75 orang tentara VOC, tewas ditumpas pasukan Untung Suropati. Pasukan Untung Suropati berhasil membunuh Kapten Tack yang tidak berhasil turun dari kudanya. Pengungsian Ke SemarangAmangkurat II meninggal dunia pada tahun 1703. Takhta Kartasura jatuh ke tangan putranya yang bergelar Amangkurat III. Menurut Babad Tanah Jawi, ketika Pangeran Puger datang melayat, ia melihat kemaluan jenazah kakaknya "berdiri". Dari ujung kemaluan muncul setitik cahaya yang diyakini sebagai wahyu keprabon. Barang siapa mendapatkan wahyu tersebut, maka ia akan menjadi raja Tanah Jawa. Pangeran Puger pun menghisap sinar tersebut tanpa ada seorang pun yang melihat. Sejak saat itu dukungan terhadap Pangeran Puger berdatangan karena banyak yang tidak menyukai tabiat buruk Amangkurat III. Hubungan antara paman dan keponakan tersebut pun diwarnai ketegangan. Kebencian Amangkurat III semakin bertambah ketika Raden Suryokusumo putra Puger memberontak. Pada puncaknya, yaitu bulan Mei 1704 Amangkurat III mengirim pasukan untuk membinasakan keluarga Puger. Namun Pangeran Puger dan para pengikutnya lebih dahulu mengungsi ke Semarang. Yang ditugasi mengejar adalah Tumenggung Jangrana, bupati Surabaya. Namun Jangrana sendiri diam-diam memihak Puger sehingga pengejarannya hanya bersifat sandiwara belaka. Bupati Semarang yang bernama Rangga Yudanegara bertindak sebagai perantara Pangeran Puger dalam meminta bantuan VOC. Kepandaian diplomasi Yudanegara berhasil membuat VOC memaafkan peristiwa pembunuhan Kapten Tack. Bangsa Belanda tersebut menyediakan diri membantu perjuangan Pangeran Puger, tentu saja dengan perjanjian yang menguntungkan pihaknya. Isi Perjanjian Semarang yang terpaksa ditandatangani Pangeran Puger antara lain penyerahan wilayah Madura bagian timur kepada VOC. Kartasura di rebutPada tanggal 6 Juli 1704 Pangeran Puger diangkat menjadi raja bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa, atau lazim disingkat Pakubuwana I. Setahun kemudian, yaitu tahun 1705, Pakubuwana I dikawal gabungan pasukan VOC, Semarang, Madura (barat), dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura. Pasukan Kartasura yang ditugasi menghadang dipimpin oleh Arya Mataram, yang tidak lain adalah adik Pakubuwana I sendiri. Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III supaya mengungsi ke timur, sedangkan ia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I. Dengan demikian, takhta Kartasura pun jatuh ke tangan Pakubuwana I, tepatnya pada tanggal 17 September 1705. Masa PemerintahanPemerintahan Pakubuwana I dihadapkan pada perjanjian baru dengan VOC sebagai pengganti perjanjian lama yang pernah ditandatangani Amangkurat II. Perjanjian lama tersebut berisi kewajiban Kartasura untuk melunasi biaya perang Trunajaya sebesar 4,5 juta gulden. Sedangkan perjanjian baru berisi kewajiban Kartasura untuk mengirim 13.000 ton beras setiap tahun selama 25 tahun. Pada tahun 1706 gabungan pasukan Kartasura dan VOC mengejar Amangkurat III yang berlindung di Pasuruan. Dalam pertempuran di Bangil, Untung Surapati yang saat itu menjabat sebagai bupati Pasuruan tewas. Amangkurat III sendiri akhirnya menyerah di Surabaya pada tahun 1708, untuk kemudian dibuang ke Srilangka. Pada tahun 1709 Pakubuwana I terpaksa menghukum mati Adipati Jangrana bupati Surabaya yang dulu telah membantunya naik takhta. Hukuman ini dilakukan karena pihak VOC menemukan bukti bahwa Jangrana berkhianat dalam perang melawan Untung Surapati tahun 1706. Jangrana digantikan adiknya yang bernama Jayapuspita sebagai bupati Surabaya. Pada tahun 1714 Jayapuspita menolak menghadap ke Kartasura dan mempersiapkan pemberontakan. Pada tahun 1717 gabungan pasukan Kartasura dan VOC bergerak menyerbu Surabaya. Menurut Babad Tanah Jawi, perang di Surabaya ini lebih mengerikan daripada perang di Pasuruan dahulu. Jayapuspita akhirnya kalah dan menyingkir ke Japan (sekarang Mojokerto) tahun 1718. Akhir HayatSunan Pakubuwana I meninggal dunia pada tahun 1719. Yang menggantikannya sebagai raja Kartasura selanjutnya adalah putranya, yang bergelar Amangkurat IV. Pemerintahan Amangkurat IV ini kemudian dihadapkan pada pemberontakan saudara-saudaranya sesama putra Pakubuwana I, antara lain Pangeran Blitar, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Dipanegara Madiun. Pangeran Puger Yang Lain Dalam sejarah keluarga Kesultanan Mataram terdapat tokoh lain yang juga bergelar [[Pangeran Puger]]. Salah satunya adalah putra Panembahan Senapati yang lahir dari selir Nyai Adisara, bernama asli Raden Mas Kentol Kejuron. Tokoh ini hidup pada zaman sebelum Pakubuwana I. Pangeran Puger yang ini pernah memberontak pada tahun 1602 - 1604 terhadap pemerintahan adiknya, yaitu Prabu Hanyokrowati (kakek buyut Pangeran Puger Pakubuwana I). 2 21/2 <1> ♂ Raden Mas Sengkuk [Mataram] kelahiran: 112/2 <1> ♂ Kyai Adipati Nitiadiningrat I Raden Garudo (groedo) [Pakubuwono] kelahiran: Bupati Pasuruan 1751-1799 53/2 <1+3> ♀ Raden Ayu Lembah [Pakubuwono] perkawinan: <5> ♂ # Sunan Prabu Amangkurat III ? (Raden Mas Sutikna) [Mataram] d. 1734 kematian: 1700 84/2 <1+4> ♂ Gusti Bendoro Pangeran Haryo Blitar ? (Raden Mas Sudhomo) [Pakubuwono I] kelahiran: 1704 perkawinan: <6> ♀ Raden Ayu Brebes [Martalaya] kematian: September 1721 35/2 <1+4> ♂ # Prabu Amangkurat IV (Mangkurat Jawi) / Raden Mas Suryaputra (Prabu Mangkurat Jawa) [Pakubuwono I] perkawinan: <7> ♀ Mas Ayu Nitawati [?] perkawinan: <8> ♀ Mas Ayu Kamulawati [?] perkawinan: <9> ♀ Mas Ayu Tenaranga ? (Mas Ayu Pujawati) [?] perkawinan: <10> ♀ Mas Ayu Rangawita / Raden Ayu Bandandari ? (Raden Ayu Chandrasari/Rangawati) [Cendana] perkawinan: <11> ♀ Mas Ayu Sumanarsa / Raden Ayu Sepuh (Ratu Ayu Kulon) [/ Raden Ayu Sepuh] d. 1719 perkawinan: <12> ♀ Mas Ayu Waratsari ? (Mbok Ajeng Waratsari) [?] perkawinan: <13> ♀ Mas Ayu Puspita ? (Mbok Ajeng Puspita) [?] perkawinan: <14> ♀ Raden Ayu Arawati ? (Ratu Ayu Kulon) [?] perkawinan: <15> ♀ Ratu Malang [?] perkawinan: <16> ♀ Mas Ayu Kamudewati ? (Mbok Ajeng Kamudewati) [?] perkawinan: <17> ♀ Mas Ayu Rangapura ? (Mbok Ajeng Rangapura) [?] perkawinan: <18> ♀ Mas Ayu Tanjangpura ? (Mbok Ajeng Tanjangpura) [?] perkawinan: <19> ♀ Mas Ayu Asmoro ? (Mbok Ajeng Asmara) [?] perkawinan: <20> ♀ Mas Ayu Sasmita ? (Mbok Ajeng Sasmita) [?] perkawinan: <21> ♀ Ratu Kencana / Ratu Mas Kadipaten [Sunan Kudus] perkawinan: <22> ♀ Raden Ayu Susilowati [Suropati] perkawinan: <23> ♀ Mas Ayu Karoh [Amangkurat] perkawinan: <24> ♀ Mas Ayu Tejawati [Brawijaya] perkawinan: <25> ♀ Kanjeng Ratu Kencana / Kanjeng Ratu Amangkurat [Gp.Am.4.5] (Kanjeng Ratu Ageng) [Sunan Kudus] perkawinan: <26> ♀ Mas Ayu Kambang ? (Mbok Ajeng Kambang) [?] perkawinan: <27> ♀ Ratu Mas Wirasmoro [?] d. 15 Januari 1728 gelar: 1713, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku Negara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram gelar: 1719 - 1726, SULTAN MATARAM KE 7 (1719-1726), SUNAN KARTASURA KE IV perkawinan: <6!> ♀ Raden Ayu Brebes [Martalaya] perceraian: <6!> ♀ Raden Ayu Brebes [Martalaya] kematian: 20 April 1726, Kertasura Adm: R. Endang Suhendar Diponegoro • Amangkurat IV Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa atau disingkat Amangkurat IV (lahir: Kartasura, ? - wafat: Kartasura, 1726) adalah raja keempat Kasunanan Kartasura yang memerintah tahun 1719 - 1726. Silsilah Nama aslinya adalah Raden Mas Suryaputra, putra dari Pakubuwana I yang lahir dari permaisuri Ratu Mas Blitar (keturunan Pangeran Juminah, putra Panembahan Senopati dengan Retno Dumilah putri Madiun). Amangkurat IV memiliki beberapa orang putra yang di antaranya menjadi tokoh-tokoh penting, misalnya, dari permaisuri lahir Pakubuwana II pendiri keraton Surakarta, dari selir Mas Ayu Tejawati lahir Hamengkubuwana I raja pertama Yogyakarta, dan dari selir Mas Ayu Karoh lahir Arya Mangkunegara, ayah dari Mangkunegara I. Reaksi Terhadap Pengangkatannya[sunting]Pangeran Arya Dipanegara adalah putra Pakubuwana I yang lahir dari selir. Pada tahun 1719 ia ditugasi menangkap Arya Jayapuspita, pemberontak dari Surabaya (adik Adipati Jangrana). Mendengar berita kematian ayahnya yang dilanjutkan dengan pengangkatan Amangkurat IV sebagai raja baru membuat Dipanegara enggan pulang ke Kartasura. Arya Dipanegara lalu mengangkat diri menjadi raja bergelar Panembahan Herucakra yang beristana di Madiun. Ia bergabung dengan kelompok Jayapuspita yang bermarkas di Mojokerto. Bersama mereka menyusun pemberontakan terhadap Amangkurat IV yang dilindungi VOC. Sementara itu, Amangkurat IV juga berselisih dengan kedua adiknya, yaitu Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya. Kedua pangeran itu akhirnya dicabut hak dan kekayaannya oleh Amangkurat IV. Pangeran Blitar akhirnya memberontak di istana dengan dukungan kaum ulama yang anti VOC. Pangeran Purbaya dan Arya Mangkunegara (putra Amangkurat IV) bergabung dalam pemberontakan itu. Namun karena pihak Amangkurat IV lebih kuat, para pemberontak akhirnya menyingkir meninggalkan Kartasura. Pangeran Blitar lalu membangun kembali kota Karta (bekas istana Mataram zaman Sultan Agung). Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana, dan kerajaannya disebut Mataram Kartasekar. Paman Amangkurat IV, yaitu Arya Mataram juga meninggalkan Kartasura menuju Pati di mana ia mengangkat diri sebagai raja di sana. Perang Suksesi Jawa Kedua[sunting]Perang saudara memperebutkan takhta Kartasura yang oleh para sejarawan disebut Perang Suksesi Jawa II ini menyebabkan rakyat Jawa terpecah belah. Sebagian memihak Amangkurat IV yang didukung VOC, sebagian memihak Pangeran Blitar, sebagian memihak Pangeran Dipanegara Madiun, dan sebagian lagi memihak Pangeran Arya Mataram. Pangeran Blitar berhasil membuat Jayapuspita (sekutu Dipanegara) memihak kepadanya dan menggunakan kekuatan Mojokerto itu untuk menggempur Madiun. Arya Dipanegara kalah dan menyingkir ke Baturrana. Di sana ia ganti dikejar-kejar pasukan Amangkurat IV. Akhirnya, Dipanegara pun menyerah pada Pangeran Blitar dan bergabung dalam kelompok Kartasekar. Pada bulan Oktober 1719 pihak Kartasura dan VOC menumpas paman Amangkurat IV lebih dahulu, yaitu Arya Mataram yang memberontak di Pati. Putra Amangkurat I ini ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung di Jepara. Pada bulan November 1720 gabungan pasukan Kartasura dan VOC menyerang Mataram. Kota Kartasekar dihancurkan sehingga kelompok Pangeran Blitar menyingkir ke timur. Satu per satu kekuatan pemberontak berkurang. Jayapuspita meninggal karena sakit tahun 1720 sebelum jatuhnya Kartasekar. Pangeran Blitar sendiri juga meninggal tahun 1721 akibat wabah penyakit saat dirinya berada di Malang. Perjuangan dilanjutkan Pangeran Purbaya yang berhasil merebut Lamongan. Namun kekuatan musuh jauh lebih besar. Perang akhirnya berhenti tahun 1723. Kaum pemberontak dapat ditangkap. Pangeran Purbaya dibuang ke Batavia, Pangeran Dipanegara Herucakra dibuang ke Tanjung Harapan, sedangkan Panji Surengrana (adik Jayapuspita) dan beberapa keturunan Untung Suropati dibuang ke Srilangka. Akhir Pemerintahan[sunting]Amangkurat IV kemudian berselisih dengan Cakraningrat IV bupati Madura (barat). Cakraningrat IV ini ikut berjasa memerangi pemberontakan Jayapuspita di Surabaya tahun 1718 silam. Ia memiliki keyakinan bahwa Madura akan lebih makmur jika berada di bawah kekuasaan VOC daripada Kartasura yang dianggapnya bobrok. Hubungan dengan Cakraningrat IV kemudian membaik setelah ia diambil sebagai menantu Amangkurat IV. Kelak Cakraningrat IV ini memberontak terhadap Pakubuwana II, pengganti Amangkurat IV. Amangkurat IV sendiri jatuh sakit bulan Maret 1726 karena diracun. Sebelum sempat menemukan pelakunya, ia lebih dulu meninggal dunia pada tanggal 20 April 1726. Amangkurat IV digantikan putranya yang baru berusia 15 tahun bergelar Pakubuwana II sebagai raja Kartasura selanjutnya. Catatan Para sejarawan menyebut adanya tiga perang besar memperebutkan takhta di antara keturunan Sultan Agung. Ketiganya disebut Perang Suksesi Jawa atau Perang Takhta. Perang Suksesi Jawa I terjadi tahun 1704-1708 antara Amangkurat III melawan Pakubuwana I. Perang Suksesi Jawa II terjadi tahun 1719-1723 antara Amangkurat IV melawan saudara-saudaranya (lihat artikel di atas). Perang Suksesi Jawa III terjadi tahun 1746-1757 antara Pakubuwana II dan Pakubuwana III melawan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I. Kepustakaan Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu Ratu Amangkurat Sang God Mother & Intrik-Intrik Istana Ratu Amangkurat atau Ratu Kencana atau Ratu Ageng adalah gelar yang diberikan kepada isteri kelima dari 21 isteri Amangkurat IV. Ratu Amangkurat hidup dalam masa pemerintahan paling tidak 5 raja, yaitu Amangkurat III (1703-1708) dan PB I/Pangeran Puger (1705-1719), Amangkurat IV /Amangkurat Jawi (1719-1726), PB II (1726-1749) dan PB III (1749-1788). Ratu Amangkurat adalah anak dari Raden Adipati Tirtakusuma, Bupati Kudus. Sebelum diperisteri oleh Amangkurat IV, ia adalah janda dari bekas Bupati Jepara. Tidak diketahui apakah suami pertamanya meninggal atau memang ia dicerai oleh suaminya saat ia diperisteri oleh Amangkurat IV. Anehnya lagi dalam perkawinannya dengan Sunan Amangkurat IV itu, ia dimadu dengan adiknya sendiri. Adiknya tersebut bergelar Ratu Kencana/ Ratu Mas Kadipaten[1]. Adapun isteri -isteri Amangkurat IV selengkapnya yang tercatat (termasuk Ratu Amangkurat) adalah : o Mas Ayu Sumanarsa/RA Sepu/RA Kulon (Meninggal di Lumajang 1719 dan dimakamkan di Imogiri. Dengan Sunan Amangkurat IV ia berputera PA (Pangeran Aria) Mangkunegara, ayah pendiri Pura Mangkunegaran) o Mas Ayu Nitawati o Mas Ayu Kamulawati o RA Arawati/ RM Sundaya /RA Kulon (Anak Adipati Sindupraya dari Pemalang) o Ratu Amangkurat (Anak Bupati Kudus, Raden Adipati Tirtakusuma, dan janda dari bekas Bupati Jepara. Ratu Amangkurat dengan Sunan Amangkurat IV dikaruniai anak yang kelak menjadi raja dengan gelar Pakubuwono II) o Mbok Ajeng Kamudewati o Ratu Kencana/ Ratu Mas Kadipaten (Adik Ratu Amangkurat. Dari perkawinannya dengan Sunan Amangkurat IV, ia dikaruniai anak yang bergelar Pangeran Buminata I. Pangeran ini kawin dengan RA Tembelek, bekas isteri PB II) o Mbok Ajeng Rangawita / Raden Bandandari/RA Chandrasari/ Rangawati (anak Pangeran Cendana dari Kudus) o Mbok Ajeng Sasmita o Mbok Ajeng Asmara o Mbok Ajeng Tejawati/Mas Ayu Tejawati (Anak dari hasil perkawinannya dengan Sunan Amangkurat IV bernama RM Sujana / PA Kartasurya / PA Mangkubumi yang kelak menjadi raja Yogyakarta dengan gelar Hamengkuwuwana I) o Mbok Ajeng Rangapura o Mbok Ajeng Puspita o Mbok Ajeng Tanjangpura o Mbok Ajeng Waratsari o Mbok Ajeng Kambang o Mas Ayu Tenaranga/Mas Ayu Pujawati o Ratu Malang o RA Brebes (Anak perempuan RA Martalaya Bupati Brebes. Sebelum menikah dengan Amangkurat IV, ia adalah janda dari RM Sudhama / Pangeran Aria Blitar, saudara kandung Amangkurat IV. Ia kawin dengan Amangkurat IV pada tahun 1722 dan bercerai dengannya tahun 1726) o Anak perempuan Tumenggung Suradiningrat o Ratu Mas Wirasmara (Wanita peranakan Cina yang dihadiahkan oleh Adipati Semarang kepada Amangkurat IV. Perempuan ini masih perawan saat raja tersebut meninggal. Ia dihamili dan kemudian diperisteri oleh Pakubuwono II pada bulan Agustus 1726. Wirasmara dikabarkan dibunuh tanggal 15 Januari 1728 – karena skandalnya dengan PA Mangkunegara - dan kemudian dimakamkan di Imogiri)[2]. Ratu Amangkurat mempunyai dua anak dari Amangkurat IV yaitu Raden Mas Gusti Prabhu Suyasa (yang kelak menjadi PB II) dan Raden Ayu Bengkring / Kanjeng Ratu Maduratna (1711-1738, yang kelak menjadi isteri Cakraningrat dari Madura). Amangkurat IV meninggal 20 April 1726. Ada kabar bahwa kematiannya akibat diracun. Pakubuwono II kemudian menggantikannya. Selama Pakubuwono II memerintah, dikabarkan bahwa Ratu Amangkurat, disamping Patih Danureja, banyak berperan dalam politik di istana. Belanda pun menganggap bahwa baik Ratu Amangkurat maupun Patih Danureja adalah orang-orang yang cerdik. Beberapa hal yang dicatat sebagai kiprah politik dari Ratu Amangkurat ini di antaranya adalah : • Untuk mendekati PB II, para bupati daerah atau para pejabat lainnya di lingkungan Kerajaan Mataram, seringkali perlu beraudiensi terlebih dahulu dengan Ratu Amangkurat. Mereka menganggap bahwa ibu suri ini banyak berpengaruh atas puteranya yang menjadi raja itu. • Atas permohonan Ratu Amangkurat (ibu PB II), hukuman mati yang hendak dijatuhkan oleh PB II kepada PA Mangkunegara – yang melakukan skandal dengan selir PB II - diubah menjadi hukuman buang ke luar Jawa. Ratu Amangkurat menurut catatan sejarah tidak luput dari skandal. Tahun 1729, selama lebih dari setahun, Ratu Amangkurat (yang telah menjadi janda) diberitakan hidup bersama dengan Raden Surawijaya. Hampir tiap malam Raden Surawijaya menghibur ibu suri tersebut. Suatu hal yang tak disukai oleh PB II (PB II saat itu berusia 19 tahun), anak kandung Ratu Amangkurat sendiri. PB II memerintahkan Tirtawiguna, Wirajaya dan kemudian Mangunnagara untuk membunuhnya. Namun ketiganya menghindar. Akhirnya Danurejalah yang disuruh. Surawijaya kemudian dibunuh tanggal 21 Oktober 1729 di bawah pohon beringin di Paseban. Karena tahu siapa otak pembunuhan kekasihnya itu maka Ratu Amangkurat lalu bergabung dengan lawan-lawan politik Danureja. Hasilnya mulai terlihat pada Januari 1730 saat orang-orang kesayangan Danureja banyak dicopot dari jabatannya. Sejak saat itu Danureja kehilangan kontrol dalam pengangkatan pejabat baru. Adik Ratu Amangkurat sendiri, yang menjadi madunya, Ratu Kencana/ Ratu Mas Kadipaten juga berselingkuh. Ia – yang janda AM IV - didakwa bermain serong dengan Raden Anggakusuma, pengurus rumah tangga Pangeran Buminata (anak Ratu Mas dengan AM IV). Ratu Mas hamil dan karena itu istana menjadi geger. Raden Anggakusuma kemudian dihukum cekik tanggal 17 Maret 1735 di kediaman Demang Urawan /P Arya Purbaya / Patih Sunan PB II atas perintah Sunan. Rupanya perselingkuhan di dalam lingkungan istana waktu itu sudah demikian runyamnya. Sekitar tahun 1739, misalnya, dikabarkan salah seorang selir PB II selingkuh dengan anak lelaki Tumenggung Tirtawiguna. Anak lelaki tersebut dengan menyamar sebagai wanita masuk keputren. Ketika ketahuan, dia dan kekasihnya dieksekusi secara diam-diam. Kemudian tahun 1740, Resajiwa, seorang lurah pengawas barang-barang rumah tangga kerajaan, terlibat korupsi barang sitaan dan main selingkuh dengan selir-selir PB II Keadaan politik yang kacau disertai dengan berbagai skandal asmara itu menyebabkan banyak pihak tidak puas. Ketidakpuasan demi ketidakpuasan terjadi dan bermuara pada timbulnya pemberontakan. Tanggal 30 Juni 1742, Kartasura diduduki pemberontak Cina yang berkolaborasi dengan tokoh-tokoh lainnya yang tidak puas kepada PB II. Ratu Amangkurat, PB II dan keluarga keraton lainnya terpaksa mengungsi dan ujung-ujungnya, Belanda lah yang kembali “menyelamatkan” raja dan keluarganya sehingga mereka berhutang budi kepada kolonialis Eropa tersebut. Tanggal 20 Desember 1742, Kartasura yang telah dibebaskan pasukan Madura -bekerja sama dengan Belanda - dari pemberontak, diserahkan kembali kepada PB II. Tanggal 21 Desember 1742, Ratu Amangkurat bertangis-tangisan dengan anaknya PB II di Kartasura karena demikian bahagia bahwa Kartasura telah dibebaskan kembali dari para pemberontak. Demikian riwayat singkat kiprah Ratu Amangkurat, sesosok perempuan yang pernah menjadi raja atas raja sehingga sempat menentukan arah kebijaksanaan dari Kerajaan. Dalam kaitan ini ada banyak hal yang dapat disimpulkan dari kisah Ratu Amangkurat tersebut. Di antaranya adalah : • Hidup sebagai permaisuri mungkin merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Ratu Amangkurat walaupun periodenya cuma 7 tahun (1719-1726 M). Namun mungkin ada perasaan sedih karena ia dimadu dengan adiknya sendiri. • Sebagai ibu dari raja yang masih muda, intervensinya di dunia perpolitikan telah menyebabkan timbulnya pusat kekuasaan baru. Bersama Patih Danureja, ia banyak menentukan kebijaksanaan di pemerintahan Mataram. • Sebagai wanita yang berpolitik di tingkat tinggi, apalagi suaminya AM IV telah mangkat, kemungkinan besar Ratu Amangkurat sangat kesepian. Mungkin itulah yang menyebabkanmya ia lantas berselingkuh. Posisinya sebagai ibu suri telah menyelamatkannya dari hukuman sementara pasangan selingkuhnya dihukum mati. Sumber : • Christopher Buyers,2002. The Surakarta Dinasty, October 2001-January 2002. Diakses via Internet. • Willem Remmelink, 2001. Perang Cina. Penerbit Jendela, Wates, Jogyakarta. [1] Amangkurat IV – yang tercatat mempunyai 41 anak - adalah anak Pakubuwono I (P Puger). Pakubuwono I adalah saudara Amangkurat II yang dengan dukungan Belanda berhasil menjadi Raja Mataram setelah mengkudeta Sunan Mas / Amangkurat III (1703-1705) [2] Dikabarkan bahwa Wirasmara bermain cinta dengan PA Mangkunegara, anak Amangkurat IV dari isterinya yang bernama Mas Ayu Sumanarsa/RA Sepu/RA Kulon. Tanggal 15 Januari 1728, Wirasmara dibunuh atas perintah Pakubuwono II. 46/2 <1> ♂ Pangeran Diposonto / Ki Ageng Notokusumo / Raden Martataruna (Raden Mas Mesir) [Pakubuwono I] kematian: 1719 97/2 <1+1> ♂ Gusti Pangeran Haryo Adipati Diponegoro Madiun / Raden Mas Papak (Panembahan Eru Chokro Senopati Panatagama) [Pakubuwono I] kematian: 1720 108/2 <1+4> ♂ Pangeran Adipati Purbaya / Gusti Panembahan Purbaya (Raden Mas Sasangka) [Pakubuwono I] kematian: 11 November 1726 79/2 <1+1> ♂ Gusti Raden Mas Suryokusumo / Gusti Pangeran Haryo Ngabehi Salor ing Pasar (Raden Mas Sudhiro) [Pakubuwono] kematian: 1737 610/2 <1+2> ♀ Raden Ayu Himpun [Pakubuwono] perkawinan: <5!> ♂ # Sunan Prabu Amangkurat III ? (Raden Mas Sutikna) [Mataram] d. 1734 1211/2 <1> ♂ Tumenggung Honggowongso / Joko Sangrib (Kentol Surawijaya) [Pakubuwono I] 1312/2 <1> ♂ Gusti Pangeran Haryo Pamot [Pakubuwono I] 1413/2 <1> ♂ Gusti Pangeran Haryo Prangwedono / Raden Mas Ontowiro (Raden Mas Kawa) [Pakubuwono I] 1514/2 <1> ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Mataun [Pakubuwono I] perkawinan: <28> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Mataun [?] d. November 1741 1615/2 <1> ♀ Gusti Bendoro Raden Ajeng Demes / Kanjeng Ratu Maduretno (Gusti Kanjeng Ratu Ayunan) [Pakubuwono I] perkawinan: <29> ♂ Pangeran Cakraningrat IV / Panembahan Siding Kaap [Cakraningrat II] d. 1753 1716/2 <1> ♀ Bendoro Raden Ayu Ronggo Prawirodirjo [Pakubuwono I] perkawinan: <30> ♂ # 2. KPR Prawirodirjo / Raden Ronggo Prawirodirjo I [Kerajaan Bima] d. 1784 1817/2 <1+4> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Timur [Pakubuwono I] 3 221/3 <2> ♂ Raden Mas Ario Macan Darat [Mataram] kelahiran: 202/3 <3+11> ♂ # 1. Gusti Kanjeng Pangeran Haryo Mangkunegara / Gusti Pangeran Pancuran (Gusti Pangeran Riyo) [Amangkurat IV] kelahiran: 1703 perkawinan: <31> ♀ Raden Ayu Rogo Asmoro [Cakraningrat III] perkawinan: <25!> ♀ Raden Ayu Wulan [Pakubuwono I] d. 24 September 1726 perkawinan: <31!> ♀ Raden Ayu Rogo Asmoro [Cakraningrat III] perkawinan: Pangeran Arya Mangkunagara Kartasura yang dibuang ke Srilangka karena mendukung pemberontakan. Pangeran Mangkunegara Kartasura adalah putra raja Mataram di Kartasura, Sunan Amangkurat IV dari Kartasura (Amangkurat Jawi), dan juga saudara dari Pangeran Mangkubumi (lalu menjadi Sultan Hamengkubuwana I) dan Sunan Pakubuwana II Kartasura. 533/3 <3+22> ♂ Raden Mas Sandeyo / Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Kertosuro (M. Nur Iman Mlangi) [Pakubuwono I] kelahiran: 1708 perkawinan: <59!> ♀ Raden Ayu Gelang [Pakubuwono I] perkawinan: <32> ♀ Surati [?] perkawinan: <33> ♀ Mursalah ? (Gegulu) [Hadiwongso] kematian: 4 Juni 1744 354/3 <3+25> ♀ 10. Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, Garwa Pangeran Hindranata. ? (Raden Ayu Bengkring) [Amangkurat IV] kelahiran: 1711 perkawinan: <29!> ♂ Pangeran Cakraningrat IV / Panembahan Siding Kaap [Cakraningrat II] d. 1753 kematian: 1738 195/3 <3+25> ♂ # 8. Kanjeng Susuhunan Pakubuwono II / Raden Mas Gusti Prabhu Suyasa [Amangkurat IV] kelahiran: 8 Desember 1711, Surakarta perkawinan: <27!> ♀ Kanjeng Ratu Kencana / Ratu Mas (Raden Ayu Sukiya/Subiya) [Pakubuwono I] perkawinan: <27!> ♀ Ratu Mas Wirasmoro [?] d. 15 Januari 1728, Kertasura gelar: 15 Agustus 1726, Surakarta, Raja Susuhunan Surakarta Ke-I DIPUTUS ADIK PB II: 448832 perkawinan: <54!> ♀ Raden Ayu Tembelek [Pakubuwono I] perceraian: <54!> ♀ Raden Ayu Tembelek [Pakubuwono I] perkawinan: <34> ♀ Raden Ajeng Sumila / Raden Ayu Suryowikromo [Amangkurat III] b. 1723 perceraian: <34!> ♀ Raden Ajeng Sumila / Raden Ayu Suryowikromo [Amangkurat III] b. 1723 kematian: 1749? Sri Susuhunan Pakubuwana II (lahir: Kartasura, 1711 – wafat: Surakarta, 1749) adalah raja terakhir Kasunanan Kartasura yang memerintah tahun 1726 – 1742 dan menjadi raja pertama Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1745 – 1749. Awal Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Prabasuyasa, putra Amangkurat IV dari permaisuri keturunan Sunan Kudus. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Desember 1711. Pakubuwana II naik takhta tanggal 15 Agustus 1726 dalam usia 15 tahun. Karena masih sangat muda, beberapa tokoh istana bersaing untuk menguasainya. Para pejabat Kartasura pun terbagi menjadi dua kelompok, yaitu golongan yang bersahabat dengan VOC dipelopori Ratu Amangkurat (ibu suri), dan golongan anti VOC dipelopori Patih Cakrajaya. Tokoh penting lain adalah Arya Mangkunegara kakak Pakubuwana II {lain ibu} yang dulu terlibat Perang Suksesi Jawa Kedua, namun menyerah dan diampuni ayahnya (Amangkurat IV). Kini ia menjadi tokoh kuat yang dibenci Patih Cakrajaya. Pada tahun 1728 Cakrajaya berhasil menjebaknya seolah ia berselingkuh dengan istri Pakubuwana II. Atas desakan Pakubuwana II, VOC terpaksa membuang Arya Mangkunegara ke Srilangka, kemudian ke Tanjung Harapan. Pada tahun 1732 terjadi perselisihan antara Pakubuwana II dengan Patih Cakrajaya (yang juga bergelar Danureja). Pakubuwana II meminta VOC membuang patihnya itu tahun 1733. Tentu saja VOC melaksanakan permintaan tersebut dengan senang hati. Sebagai patih baru ialah Natakusuma yang ternyata juga anti VOC. Hubungan Pakubuwana II dengan VOC pada awalnya memang cukup baik. Pakubuwana II secara rutin mengangsur hutang-hutang biaya perang sejak zaman kakeknya, Pakubuwana I dahulu. Geger Pacinan Pemberontakan orang-orang Cina yang juga dikenal dengan nama Geger Pacinan pada Oktober 1740 menjadi penyebab runtuhnya Kartasura. Peristiwa ini dipicu oleh pembantaian warga Cina oleh masyarakat Eropa di Batavia atas izin Adriaan Valckenier, gubernur jenderal VOC saat itu. Warga Cina yang selamat menyingkir ke timur melancarkan aksi penyerbuan terhadap pos-pos VOC yang mereka temui. Pakubuwana II didesak kaum anti VOC supaya mendukung pemberontakan Cina. Maka, pada bulan November 1741 Pakubuwana II pun mengirim 20.000 prajurit membantu kaum pemberontak mengepung kantor VOC di Semarang. Sebelumnya, ia juga menumpas garnisun VOC yang bertugas di Kartasura bulan Juli 1741. Jatuhnya Kartasura Cakraningrat IV bupati Madura (barat) adalah ipar Pakubuwana II namun membenci pemerintahan Kartasura yang dianggapnya bobrok. Ia menawarkan diri membantu VOC asalkan dibantu lepas dari Kartasura. VOC terpaksa menerima tawaran itu. Keadaan pun berbalik. Kaum Cina dipukul mundur. Pakubuwana II menyesal telah memusuhi VOC yang kini unggul setelah dibantu Madura. Perdamaian pun dijalin.[[ Kapten Baron von Hohendorff]] tiba di Kartasura bulan Maret 1742 sebagai wakil VOC menandatangani perjanjian damai dengan Pakubuwana II. Perdamaian ini membuat para pemberontak sakit hati. Mereka mengangkat raja baru, yaitu Raden Mas Garendi (cucu Amangkurat III yang baru berusia 12 tahun) dengan gelar Amangkurat V alias Sunan Kuning (karena memimpin kaum kulit kuning). Mayoritas pemberontak kini bukan lagi kaum Cina, melainkan orang-orang Jawa anti VOC, yang semakin banyak bergabung. Pada bulan Juni 1742 Patih Natakusuma yang anti VOC dibuang Pakubuwana II. Para pemberontak membalas dengan menyerbu Kartasura secara besar-besaran. Pakubuwana II dan von Hohendorff pun melarikan diri ke Ponorogo. Mendirikan Surakarta Cakraningrat IV berhasil merebut Kartasura bulan Desember 1742 dan mendesak VOC agar Pakubuwana II dibuang saja karena dinilai tidak setia. Namun VOC menolak permintaan itu karena Pakubuwana II masih bisa dimanfaatkan. Cakraningrat IV terpaksa menyerahkan Kartasura karena khawatir VOC batal membantu kemerdekaan Madura. Pakubuwana II kembali ke Kartasura bulan November 1743. Sebelumnnya, Sunan Kuning telah tertangkap pada bulan Oktober. Perjanjian dengan VOC semakin memberatkan Pakubuwana II. Selain hutang atas biaya perang yang wajib dilunasi, raja juga dilarang mengangkat putra mahkota dan patih tanpa mendapat persetujuan VOC terlebih dahulu. Karena istana Kartasura sudah hancur, Pakubuwana II memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala, yang bernama Surakarta. Istana baru ini ditempatinya mulai tahun 1745. Keadaan Surakarta Belum Aman Posisi Cakraningrat IV makin kuat. Ia banyak merebut daerah-daerah di Jawa Timur dalam penumpasan Geger Pacinan. Daerah-daerah tersebut ingin dimasukkannya ke dalam wilayah Madura, namun ditolak VOC. Cakraningrat IV akhirnya memberontak pula. VOC secara resmi memerangi bekas sekutunya itu pada Februari 1745. Beberapa bulan kemudian Cakraningrat IV terdesak dan melarikan diri ke Banjarmasin. Namun, sultan negeri itu justru menangkap dan menyerahkannya kepada VOC. Cakraningrat IV pun dibuang ke Tanjung Harapan. Sisa-sisa pendukung pemberontakan Cina yang masih bertahan adalah Raden Mas Said putra Arya Mangkunegara. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah Sokawati untuk siapa saja yang berhasil merebut daerah itu dari tangan Mas Said. Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II memenangkan sayembara itu tahun 1746. Ia dulu juga ikut mendukung pemberontakan Cina, namun kembali ke istana dan diterima Pakubuwana II. Saingan politiknya, yaitu Patih Pringgalaya membujuk raja supaya tidak menyerahkan hadiah sayembara tersebut. Muncul pula[[ Baron van Imhoff]] gubernur jenderal VOC yang memperkeruh suasana. Ia datang ke Surakarta mendesak Pakubuwana II agar menyewakan daerah pesisir kepada VOC dengan harga 20.000 real tiap tahun. Pangeran Mangkubumi menentang hal itu. Terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum. Akhir Pemerintahan Pakubuwana II Pangeran Mangkubumi sakit hati dan meninggalkan Surakarta untuk bergabung dengan Mas Said sejak Mei 1746. Meletuslah perang saudara yang oleh para sejarawan disebut Perang Suksesi Jawa Ketiga. Di tengah panasnya suasana perang, Pakubuwana II jatuh sakit akhir tahun 1749. Baron von Hohendorff, kawan lamanya yang kini menjabat gubernur pesisir Jawa bagian timur laut, tiba di Surakarta sebagai saksi VOC atas jalannya pergantian raja. Pakubuwana II bahkan menyerahkan kedaulatan kerajaan secara penuh kepada von Hohendorff. Perjanjian pun ditandatangani tanggal 11 Desember 1749 sebagai titik awal hilangnya kedaulatan Kasunanan Surakarta ke tangan Belanda. Sejak itu, hanya VOC yang berhak melantik raja-raja keturunan Mataram (Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman). Peraturan ini terus berlaku sampai zaman kemerdekaan Indonesia. Pakubuwana II akhirnya meninggal dunia akibat sakitnya itu tanggal 20 Desember 1749, dan digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana III. Catatan Pakubuwana III melanjutkan Perang Suksesi Jawa III melawan kaum pemberontak, yaitu: 1.Pangeran Mangkubumi, pamannya, kelak bergelar Hamengkubuwana I. 2.Raden Mas Said, sepupunya, kelak bergelar Mangkunegara I. 326/3 <3+8> ♂ 6. Gusti Pangeran Haryo Diponegoro I / Gusti Pangeran Haryo Adinegoro (Raden Mas Utara) [Amangkurat IV] kelahiran: 1715 perkawinan: <60!> ♀ Raden Ajeng Salima ? (Radin Ayu Umpling) [Pakubuwono I] perceraian: <60!> ♀ Raden Ajeng Salima ? (Radin Ayu Umpling) [Pakubuwono I] 417/3 <3+9> ♀ 18. Gusti Raden Ayu Purboyo ? (Raden Ayu Inten) [Amangkurat IV] kelahiran: 1717 perkawinan: <58!> ♂ Gusti Pangeran Haryo Purboyo II ? (Raden Purwokusumo) [Pakubuwono I] 238/3 <3+24> ♂ # Sri Sultan Hamengku Buwono I / Pangeran Haryo Mangkubumi (Raden Mas Sujono) [Amangkurat IV] kelahiran: 6 Agustus 1717 perkawinan: <35> ♀ Bendoro Mas Ayu Gandasari [G.Hb.1.17] [?] perkawinan: <36> ♀ Bendoro Raden Ayu Srenggara [?] perkawinan: <37> ♀ Bendoro Radin Ayu Doyo Asmoro [G.Hb.1.16] [?] perkawinan: <38> ♀ Bandara Mas Ayu Ratna Puryawati [G.Hb.1.15] [?] perkawinan: <39> ♀ Bendoro Mas Ayu Turunsih [Brawijaya V] perkawinan: <40> ♀ Bendoro Mas Ayu Karnokowati [G.Hb.1.18] [?] perkawinan: <41> ♀ Bendoro Mas Ayu Setiowati [G.Hb.1.19] [?] perkawinan: perkawinan: <42> ♀ 2. Raden Ayu Beruk / KRK Kadipaten / KRK Ageng / KRKTegalraya [Mataram] d. 17 Oktober 1803 perkawinan: <43> ♀ Bendoro Mas Ayu Citrakusumo [G.Hb.1.23] [?] d. 24 Maret 1792 perkawinan: <44> ♀ Bendoro Mas Ayu Pakuwati [G.Hb.1.22] [?] perkawinan: <45> ♀ Bendoro Mas Ayu Padmosari [G.Hb.1.20] [?] perkawinan: <46> ♀ Bendoro Mas Ayu Sari [G.Hb.1.21] [?] perkawinan: <47> ♀ Bendoro Mas Ayu Tisnawati [G.Hb.1.13] [?] perkawinan: <48> ♀ Bendoro Mas Ayu Tandawati [G.Hb.1.12] [Blambangan] perkawinan: <26!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Pakuwono I] d. 1777 perkawinan: <49> ♀ Bendoro Mas Ayu Asmorowati [Hamengku Buwono] perkawinan: perkawinan: <50> ♀ Bendoro Mas Ayu Sawerdi [Mataram] perkawinan: <51> ♀ BR Tiarso [Mataram] perkawinan: <52> ♀ Bendoro Mas Ayu Ratnawati [G.Hb.1.10] [?] perkawinan: <53> ♀ Bendoro Mas Ayu Mindoko [G.Hb.1.6] [?] perkawinan: <54> ♀ Bendoro Mas Ayu Wilopo [G.Hb.1.9] [?] perkawinan: <55> ♀ Bendoro Raden Ayu Jumanten [G.Hb.1.8] [?] gelar: 29 November 1730 - 13 Februari 1755, Kartasura, Pangeran Mangkubumi perkawinan: <56> ♀ Bendoro Mas Ayu Cindoko [G.Hb.1.11] [?] , Yogyakarta gelar: 13 Februari 1755 - 24 Maret 1792, Yogyakarta kematian: 24 Maret 1792 Official Link Adm: Hilal Achmar. Silsilah Sri Sultan Hamengku Buwono I Babad Raja-Raja Jawa (Tumapel) Tunggul Ametung Maesa Wong Ateleng Maesa Cempaka / Ratu Angabhaya / Batara Narasinga Kertarajasa Jayawardana / Raden Wijaya Tri Buwana Tungga Dewi / Bhre Kahuripan II Bhre Pajang I Wikramawardana / Hyang Wisesa / R Cagaksali Kertawijaya / Bhre Tumapel III Rajasawardana / Brawijaya II Lembu Amisani / R. Putro / R. Purwawisesa Bhre Tunjung / Pandanalas / R. Siwoyo Kertabumi / Brawijaya V / R Alit / Angkawijaya R Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub R Depok / Ki Ageng Getas Pandowo Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo Silsilah Hamengku Buwono I Ki Ageng Anis (Ngenis) Ki Ageng Pemanahan / Mataram R Sutowijoyo / Panembahan Senopati Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo Sunan Prabu Amangkurat Agung Kanjeng Susuhunan Pakubuwono I - Kartasura Sinuwun Prabu Mangkurat IV - Kartasura Pangeran Hadipati Mangkunagoro - Kartasura Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II Pangeran Hadipati Hadiwijoyo Pangeran Hario Mangkubumi - Hamengku Buwono I Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II K G P Adipati Ario Paku Alam I Beliau memerintah di Yogyakarta, tahun 1755. Terlahir dengan nama Raden Mas Sujono yang merupakan adik Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II di Surakarta. Pada tahun 1746 ia memberontak karena Paku Buwono II mengingkari janji memberikan daerah Sukawati (sekarang Sragen) atas kemenangan Mangkubumi melawan Raden Mas Said. Pemberontakan tersebut berakhir dengan tercapainya Perjanjian Gianti (13 Februari 1755) yang menyatakan bahwa separuh Mataram menjadi milik Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Mangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengku Buwono I yang bergelar Senopati Ing Ngalogo Sayidin Panotogomo Khalifatullah dengan karatonnya di Yogyakarta. (http://www.babadbali.com/babad/babadpage.php?id=550988) Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan sedikit dari peninggalan sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih hidup hingga kini, dan masih mempunyai pengaruh luas di kalangan rakyatnya. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Kontrak politik terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941, No. 47. Berikut ini merupakan Sultan-sultan yang memerintah di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sejak awal didirikan hingga sekarang adalah : 1. Sultan Hamengku Buwono I Sultan Hamengku Buwono I (6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792) terlahir dengan nama Raden Mas Sujana yang merupakan adik Susuhunan Mataram II Surakarta. Sultan Hamengkubuwana I dalam sejarah terkenal sebagai Pangeran Mangkubumi pada waktu sebelum naik tahta kerajaan Ngayogyakarta, beliau adalah putra Sunan Prabu dan saudara muda Susuhunan Pakubuwana II. Karena berselisih dengan Pakubuwana II, masalah suksesi, ia mulai menentang Pakubuwana II (1747) yang mendapat dukungan Vereenigde Oost Indische Compagnie atau lebih terkenal sebagai Kompeni Belanda (perang Perebutan Mahkota III di Mataram). Dalam pertempurannya melawan kakaknya, Pangeran Mangkubumi dengan bantuan panglimanya Raden Mas Said, terbukti sebagai ahli siasat perang yang ulung, seperti ternyata dalam pertempuran-pertempuran di Grobogan, Demak dan pada puncak kemenangannya dalam pertempuran di tepi Sungai Bagawanta. Disana Panglima Belanda De Clerck bersama pasukannya dihancurkan (1751). peristiwa lain yang penting menyebabkan Pangeran Mangkubumi tidak suka berkompromi dengan Kompeni Belanda. Pada tahun 1749 Susuhunan Pakubuwana II sebelum mangkat menyerahkan kerajaan Mataram kepada Kompeni Belanda; Putra Mahkota dinobatkan oleh Kompeni Belanda menjadi Susuhunan Pakubuwana III. Kemudian hari Raden Mas Said bercekcok dengan Pangeran Mangkubumi dan akhirnya diberi kekuasaan tanah dan mendapat gelar pangeran Mangkunegara. Pangeran Mangkubumi tidak mengakui penyerahan Mataram kepada Kompeni Belanda. Setelah pihak Belanda beberapa kali gagal mengajak Pangeran Mangkubumi berunding menghentikan perang dikirimkan seorang Arab dari Batavia yang mengaku ulama yang datang dari Tanah Suci. Berkat pembujuk ini akhirnya diadakan perjanjian di Giyanti (sebelah timur kota Surakarta) antara Pangeran Mangkubumi dan Kompeni Belanda serta Susuhunan Pakubuwana III (1755). Menurut Perjanjian Giyanti itu kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, ialah kerajaan Surakarta yang tetap dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana III dan kerajaan Ngayogyakarta dibawah Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengkubuwana I yang bergelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah dengan karatonnya di Yogyakarta. Atas kehendak Sultan Hamengkubuwana I kota Ngayogyakarta (Jogja menurut ucapan sekarang) dijadikan ibukota kerajaan. Kecuali mendirikan istana baru, Hamengkubuwana I yang berdarah seni mendirikan bangunan tempat bercengrama Taman Sari yang terletak di sebelah barat istananya. Kisah pembagian kerajaan Mataram II ini dan peperangan antara pangeran-pangerannya merebut kekuasaan digubah oleh Yasadipura menjadi karya sastra yang disebut Babad Giyanti. Sultan Hamengkubuwana I dikenal oleh rakyatnya sebagai panglima, negarawan dan pemimpin rakyat yang cakap. Beliau meninggal pada tahun 1792 Masehi dalam usia tinggi dan dimakamkan Astana Kasuwargan di Imogiri. Putra Mahkota menggantikannya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono II. Hamengkubuwana I dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia pada peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2006. (http://www.beritaunik.net/unik-aneh/silsilah-lengkap-raja-raja-ngayogyakarta-hadiningrat.html) Sri Sultan Hamengkubuwana I (lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun) merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 - 1792 Asal-Usul Nama aslinya adalah Raden Mas Sujana yang setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717. Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah pikiran. Pada tahun 1742 istana Kartasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura. Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukowati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukowati. Mangkubumi dengan berhasil mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun ia dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya membatalkan perjanjian sayembara. Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum. Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak.Sebagai ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya yaitu Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro. Geneologis Hamengku Buwana I Hamengku Buwana I secara geneologis adalah keturunan Brawijaya V baik dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah keatas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum sudah pada diketahui namun dari pihak ibundanya masih sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya bernama Jaka Dhalak yang kemudian menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung selanjutnya berputera Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri di pajang pada Sultan Hadiwijaya dan beliau berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah.Selanjutnya Ktai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang selanjutnya punya anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I. [sunting] Perang Tahta Jawa Ketiga Perang antara Mangkubumi melawan Pakubuwana II yang didukung VOC disebut para sejarawan sebagai Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit. Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749, Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sebagai pelindung Surakarta tanggal 11 Desember. Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sebagai raja bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II sebagai Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwana III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di daerah Mataram. Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek. [sunting] Berbagi Wilayah Kekuasaan Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi Tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.Dalam jajak pendapat dan pemungutan suara dukungan kepada Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan kepada Mangkubumi.Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi menggunakan kekuatan bersenjata untuk mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan.Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam kekuatan bersenjata.Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya yaitu Raden Mas Said.Akibat kekalahan yang telak Mangkubumi kemudian menemui VOC menawarkan untuk bergabung dan bertiga dengan Paku Buwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said. Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Raden Mas Said akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754. Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan ia merelakan daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real untuk dirinya Mangkubumi dan 10.000 real untuk Pakubuwono III. Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bagian.Perjanjian Giyanti ini juga merupakan perjanjian persekutuan baru antara pemberontak kelompok Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC menjadi persekutuan untuk melenyapkan pemberontak kelompok Raden Mas Said. Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Paku Buwono III adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Dari persekutuan ini dapat dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi bersedia membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan tidak terbagi? Dari pihak VOC langsung dapat dibaca bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah Mataram tetap dapat dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram. [sunting] Mendirikan Yogyakarta Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwana III tetap menjadi raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I menjadi raja di Yogyakarta.Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan menjadi Raja maka tinggal kerajaan tempat untuk memerintah belum dimilikinya.Untuk mendirikan Keraton/Istana Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi. Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta. Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta. [sunting] Usaha Menaklukkan Surakarta Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha ingin mengembalikan kerajaan warisan Sultan Agung menjadi utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwana III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I sulit diwujudkan, apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu Mangkunegoro I yang juga tidak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja. Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Ia merupakan raja yang jauh lebih cakap daripada ayahnya. Paku Buwono IV sebagai penguasa memiliki kesamaan dengan Hamengku Buwono I.Paku Buwono IV juga ingin mengembalikan keutuhan Mataram.Dalam langkah politiknya Paku Buwono IV mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengku Buwono I.Setelah pengangkatan saudaranya menjadi Pangeran, Paku Buwono IV juga tidak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka bisa menyebabkan keuangan VOC terkuras kembali. Paku Buwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak mau mencabut nama "Mangkubumi" untuk saudaranya.Memang dalam Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini dapat dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan. Sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali. Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali bekerja sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Paku Buwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwana IV akhirnya menyerah untuk membiarkan penasehat penasehat spiritualnya dibubarkan oleh VOC.Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali. Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan putri Paku Buwono III raja Surakarta dengan tujuan untuk bersatunya kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang merupakan waris dari Paku Buwono III lahir untuk menggantikan ayahnya. [sunting] Sebagai Pahlawan Nasional Hamengkubuwana I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Kedudukannya sebagai raja Yogyakarta digantikan putranya yang bergelar Hamengkubuwana II. Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara VOC di Jawa. Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli dalam strategi berperang, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis. Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk mendirikan sebuah benteng di lingkungan keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799). Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebihan jika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sebagai pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta. 389/3 <3+21> ♂ 14. Gusti Pangeran Hario Buminoto / Raden Mas Saidun (Raden Mas Karaton) [Amangkurat IV] kelahiran: 1719 perkawinan: <54!> ♀ Raden Ayu Tembelek [Pakubuwono I] kematian: 30 November 1736 perkawinan: <57> ♀ Raden Ayu Buminoto [Amangkurat III] , Kertasura 2510/3 <8> ♀ Raden Ayu Wulan [Pakubuwono I] perkawinan: <20!> ♂ # 1. Gusti Kanjeng Pangeran Haryo Mangkunegara / Gusti Pangeran Pancuran (Gusti Pangeran Riyo) [Amangkurat IV] b. 1703 kematian: 24 September 1726 2611/3 <9> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Pakuwono I] perkawinan: <23!> ♂ # Sri Sultan Hamengku Buwono I / Pangeran Haryo Mangkubumi (Raden Mas Sujono) [Amangkurat IV] b. 6 Agustus 1717 d. 24 Maret 1792 kematian: 1777 2112/3 <3+23> ♂ 12. Gusti Pangeran Hario Hadiwijoyo [Mataram] 2413/3 <4> ♂ Muhammad Umar (Penghulu Tuban) [?] 2714/3 <10> ♀ Kanjeng Ratu Kencana / Ratu Mas (Raden Ayu Sukiya/Subiya) [Pakubuwono I] perkawinan: <19!> ♂ # 8. Kanjeng Susuhunan Pakubuwono II / Raden Mas Gusti Prabhu Suyasa [Amangkurat IV] b. 8 Desember 1711 d. 1749? 2815/3 <3+23> ♀ 2. Gusti Raden Ayu Suroloyo, di Brebes. [Mataram] 2916/3 <3+23> ♀ 3. Gusti Raden Ayu Wiradigda [Mataram] 3017/3 <3+23> ♂ 4. Gusti Pangeran Hario Hangabehi. [Mataram] 3118/3 <3+23> ♂ 5. Gusti Pangeran Hario Pamot [Mataram] 3319/3 <3+23> ♂ 7. Gusti Pangeran Hario Danupoyo ? (Gusti Raden Mas Ragu) [Amangkurat IV] perkawinan: <56!> ♀ Raden Ayu Danupoyo [Pakubuwono I] 3420/3 <3+25> ♂ 9. Gusti Pangeran Hario Hadinagoro. [Mataram] 3621/3 <3+25> ♀ 11. Gusti Raden Ajeng Kacihing, Dewasa Sedho. [Mataram] 3722/3 <3+23> ♂ 13. Gusti Raden Mas Subronto, Wafat Dalam Usia Dewasa. [Mataram] 3923/3 <3+24> ♂ # 16. Sultan Dandunmatengsari [Mataram] Melakukan pemberontakan dan tidak berhasil 4024/3 <3+24> ♀ 17. Gusti Raden Ayu Megatsari. [Mataram] 4225/3 <3+24> ♀ 19. Gusti Raden Ayu Pakuningrat. di Sampang [Mataram] 4326/3 <3+24> ♂ 20. Gusti Pangeran Hario Cokronegoro. [Mataram] 4427/3 <3+24> ♂ 21. Gusti Pangeran Hario Silarong. [Mataram] 4528/3 <3+24> ♂ 22. Gusti Pangeran Hario Prangwadono. [Mataram] 4629/3 <3+24> ♀ 23. Gusti Raden Ayu Suryawinata. di Demak [Mataram] 4730/3 <3+24> ♂ 24. Gusti Pangeran Hario Panular. [Mataram] 4831/3 <3+24> ♂ 25. Gusti Pangeran Hario Mangkukusumo. [Mataram] 4932/3 <3+24> ♂ # 26. Gusti Raden Mas Jaka [Mataram] Wafat usia muda 5033/3 <3+24> ♀ 27. Gusti Raden Ayu Sujonopuro. [Mataram] 5134/3 <3+24> ♂ 28. Gusti Pangeran Hario Dipawinoto. [Mataram] 5235/3 <3+24> ♀ 29. Gusti Raden Ayu Adipati Danureja I. [Mataram] perkawinan: <58> ♂ Kanjeng Raden Adipati Danurejo I / Patih Cakrajaya [Sumowijoyo] d. 1799 5436/3 <8> ♀ Raden Ayu Tembelek [Pakubuwono I] perkawinan: <19!> ♂ # 8. Kanjeng Susuhunan Pakubuwono II / Raden Mas Gusti Prabhu Suyasa [Amangkurat IV] b. 8 Desember 1711 d. 1749? perceraian: <19!> ♂ # 8. Kanjeng Susuhunan Pakubuwono II / Raden Mas Gusti Prabhu Suyasa [Amangkurat IV] b. 8 Desember 1711 d. 1749? perkawinan: <38!> ♂ 14. Gusti Pangeran Hario Buminoto / Raden Mas Saidun (Raden Mas Karaton) [Amangkurat IV] b. 1719 d. 30 November 1736 perkawinan: <59> ♂ Gusti Pangeran Haryo Teposono ? (Gusti Pangeran Mangkudinigrat) [Amangkurat III] d. 10 Juli 1741, Kertasura 5537/3 <3+25> ♂ Pangeran Singosari [Amangkurat IV] 5638/3 <9> ♀ Raden Ayu Danupoyo [Pakubuwono I] perkawinan: <33!> ♂ 7. Gusti Pangeran Hario Danupoyo ? (Gusti Raden Mas Ragu) [Amangkurat IV] 5739/3 <9> ♀ Raden Ayu Kusumo [Pakubuwono I] 5840/3 <10> ♂ Gusti Pangeran Haryo Purboyo II ? (Raden Purwokusumo) [Pakubuwono I] perkawinan: <41!> ♀ 18. Gusti Raden Ayu Purboyo ? (Raden Ayu Inten) [Amangkurat IV] b. 1717 5941/3 <10> ♀ Raden Ayu Gelang [Pakubuwono I] perkawinan: <53!> ♂ Raden Mas Sandeyo / Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Kertosuro (M. Nur Iman Mlangi) [Pakubuwono I] b. 1708 d. 4 Juni 1744 6042/3 <10> ♀ Raden Ajeng Salima ? (Radin Ayu Umpling) [Pakubuwono I] perkawinan: <32!> ♂ 6. Gusti Pangeran Haryo Diponegoro I / Gusti Pangeran Haryo Adinegoro (Raden Mas Utara) [Amangkurat IV] b. 1715 perceraian: <32!> ♂ 6. Gusti Pangeran Haryo Diponegoro I / Gusti Pangeran Haryo Adinegoro (Raden Mas Utara) [Amangkurat IV] b. 1715 perkawinan: <60> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Notowijoyo /Adipati Notokusumo II [Notokusumo] 6143/3 <10> ♀ Raden Ayu Notokusumo [Pakubuwono I] perkawinan: <60!> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Notowijoyo /Adipati Notokusumo II [Notokusumo] 6244/3 <10> ♀ Raden Ayu Lumarap [Pakubuwono I] perkawinan: <61> ♂ Ki Adipati Lumarap [?] d. 27 September 1719 4 651/4 <21> ♂ B M Tumenggung M Kusumodiningrat [Kusumodiningrat] kelahiran: perkawinan: <62> ♀ Bendoro Raden Ayu Sentul [Pakubuwono] 672/4 <22> ♂ Raden Mas Mangun Asmoro [Mataram] kelahiran: 1063/4 <38> ♀ Raden Ayu Yosonegoro [Amangkurat IV] kelahiran: Level 2 = Cucu; Adalah trah urutan ke 2 dari (pancer): Sang Prabu Amangkurat Jowo (IV) 1719-1727) 724/4 <23+54> ♂ Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Kusumoyudo [Hb.1.7] (Bendoro Pangeran Haryo Adikusumo I) [Hamengku Buwono I] kelahiran: 1711 685/4 <25+20!> ♂ # Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) [Mangkunegara] kelahiran: 7 April 1725, Kartasura perkawinan: <63> ♀ Ratu Alit [Pakubuwono] perkawinan: <64> ♀ Raden Ayu Kusuma Patahati [Mangkunegara] perkawinan: <107!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Bendoro / Gusti Raden Ayu Inten [Hamengku Buwono] gelar: 1757, Surakarta, Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto perceraian: <107!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Bendoro / Gusti Raden Ayu Inten [Hamengku Buwono] kematian: 28 Desember 1795, Surakarta gelar: 1983, Jakarta, Pahlawan Nasional Indonesia Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said (lahir di Kraton Kartasura, 7 April 1725 – meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan. Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya. Ia menikah dengan seorang wanita petani bernama Rubiyah, yang terkenal dengan julukannya "Matah Ati" Daftar isi • 1 Riwayat • 2 Perjanjian Salatiga • 3 Pasukan Wanita Laskar Mangkunegara • 4 Tarian Ciptaan Mangkunegoro • 5 Gelar Pahlawan Nasional • 6 Putra Mahkota Riwayat Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (juga disebut "Sunan Kuning"), mengakibatkan tembok benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu RM Said berumur 19 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono II.Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC di Batavia. Kemudian mereka menggempur Kartasura,yang dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Cina mengepung kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura. RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. Said diangkat sebagai panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan. VOC menolak permintaan itu. Ia kemudian bergabung dengan Puger di Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari Istana Kartasura, enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura mendapatkan istananya rusak. Ia memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada VOC. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton. Pangeran Mangkubumi lalu bergabung dengan Mangkunegoro, yang bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta, Mangkunegara dalam usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden Ayu Inten, Puteri Mangkubumi. Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Nama Mangkunegara diambil dari nama ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura, yang dibuang Belanda ke Sri Langka. Ketika RM Said masih berusia dua tahun, Arya Mangkunegara ditangkap karena melawan kekuasaan Amangkurat IV (Paku Buwono I) yang dilindungi VOC dan akibat fitnah keji dari Patih danureja. Mungkin karena itulah, Said berjuang mati-matian melawan Belanda. Melawan Mataram dan Belanda secara bergerilya, Mangkunegara harus berpindah-pindah tempat. Ketika berada di pedalaman Yogyakarta ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui Mangkubumi, dan meminta mertuanya itu bersedia diangkat menjadi raja Mataram. Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau 1749 Masehi. Mangkunegoro diangkat sebagai Patih –perdana menteri– sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandoro. Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegara berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru, “Wahai kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayah Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya Mataram. Siapa dia antara kalian menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang” meski demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui Belanda. Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan VOC, Mangkubumi dan Mangkunegara berselisih paham, pangkal konflik bermula dari wakatnya Paku Buwono II. Raja menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda. Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku Buwono II, dinobatkan sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku buwuno III, pada akhir 1749. RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram. Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi,Pamannya sekaligus mertua Beliau yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali. Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga. Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757.Ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan Mangkunegoro dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman. Yang pertama, pasukan Said bertempur melawan pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo. Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegoro. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan. Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan VOC dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam. Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara. Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro. Perjanjian Salatiga Tak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegara. Melihat kenyataan tersebut, Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta Mangkunegara ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya. Mangkunegara menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC. Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegara.Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3". demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan. Ia memerintah di wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran. Mangkunegara I tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya, ia menerapkan prinsip Tridarma. Pasukan Wanita Laskar Mangkunegara Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda). Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. Selama 16 tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan. Tarian Ciptaan Mangkunegoro Tarian sakral yang telah diciptakan oleh RM.Said (KGPAA Mangkoenagoro I), yaitu : 1.Bedhaya Mataram-Senapaten Anglirmendung (7 penari wanita, pesinden, dan penabuh wanita), sebagai peringatan perjuangan perang Kesatrian Ponorogo. 2.Bedhaya Mataram-Senapaten Diradameta (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), sebagai monumen perjuangan perang di Hutan Sitakepyak. 3.Bedhaya Mataram-Senapaten Sukapratama (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), monumen perjuangan perang bedah benteng Vredeburg, Yogyakarta. Gelar Pahlawan Nasional Pada 1983, pemerintah mengangkat Mangkunegara I sebagai pahlawan nasional, karena jasa-jasa kepahlawanannya.Mendapat penghargaan Bintang Mahaputra. Mangkunegara I memerintah wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Ia bertahta selama 40 tahun, dan wafat pada 28 Desember 1795 Putra Mahkota Tradisi Mataram dengan Putra Mahkota bergelar "Mangkunegara" dimulai oleh putra sulung Paku Buwono I yaitu RM.suro kemudian menjadi RM. |Suryokusumo dan sebagai putra mahkota menjadi Kanjeng Pangeran Adipati Arya Mangkunegara 'Kartasura". Ketika putra mahkota sudah menjadi raja Mataram, nama dan gelar seperti RM.Suro, RM. Suryokusumo dan Mangkunegara dikenakan pada putra sulungnya juga sehingga Pangeran Mangkunegara yang dibuang ke Ceylon ini adalah putra mahkota kerajaan Mataram. Ketika penggeseran kedudukan putra mahkota dilakukan oleh kelompok RM.suryadi (kelak menjadi Paku Buwono II), kedudukan Pangeran Mangkunegara tidak dilepas tetapi kata "arya" diganti menjadi "Anom" yang artinya muda.Penggantian ini sekaligus menggeser kedudukan putra mahkota yang harus bersyarat "Arya" yaitu keprajuritan menjadi non keprajuritan alias awam soal kemiliteran. Mangkunegara pun diubah menjadi Hamengkunegara. Penggeseran kedudukan putra mahkota tidak menghilangkan jabatan di kerajaan karena di Mataram Pangeran Mangkunegara tetap menjabat sebagai penasehat kerajaan. Keberadaan Mangkunegara sebagai penasehat ini pun oleh kelompok lawan lawan poltiknya masih diupayakan untuk menjegal dan lebih jauh melenyapkan karena sebagai waris sah yang tergeser bisa diprediksikan diwaktu waktu mendatang bakal menjadi bom waktu yang siap meledak. Keberhasilan lawan lawan Mangkunegara dalam menyingkirkan putra mahkota sah ini selanjutnya akan dibayar mahal oleh Mataram yang begitu saja rela menyerahkan tampuk pemerintahan pada raja yang lemah dan peragu. Hohendorf sendiri sebagai kepala garbnisun di Surakarta pernah menyampaikan kepada Sunan (PB II) bahwa Mataram selama dalam pemerintahannya tidak pernah stabil dan terus digoyang oleh ketidak stabilan kerajaan. Pada satu sisi pernyataan kepala garnisun belanda itu juga kontroversial berhubung dia sendiri sebagai seorang militer Belanda melihat sesuatu yang stabil adalah kejelekan yang tidak menguntungkan kantong pribadinya. Dari peristiwa penggeseran putra mahkota Mataram ini, sekilas sudah dapat dicatat adanya satu kelompok yang akan bertahan sampai pada batas limit perjuangan. Target Mataram yang utuh dan tidak terbagi gagal dipertahankan tetapi Mataram yang muda dan utuh berhasil diperjuangkan karena kemudian menjelma menjadi Mangkunegaran (mengikuti nama putra mahkota Mataram; Mangkunegara). Mataram yang muda berada berada ditangan raja sedang mataram yang muda berada ditangan putra mahkota. Mataram yang yang tua akhirnya menerima nasib dibagi menjadi dua yang sama saja menamatkan keberadaannya sedang mataram yang muda bertahan dan menjelma menjadi Mangkunegaran. Dalam percaturan politik Jawa mau tidak mau dua keraton lain dan belanda harus menerima Mangkunegaran sebagai neraca keseimbangan poltik. Meski posisi diatas kertas kedudukan Mangkunegaran di posisikan sebagai yang dibawah kerajaan karena status kadipaten (sesuai wilayah putra mahkota kerajaan) akan tetapi defacto politik tidak hanya show dan pamer kemegahan semata.Politik dan kekuasaan adalah perwahyuan yang harus dijaga sekaligus kecerdasan dan skill dalam permainan. Barang siapa tidak mampu dalam permainan itu sejarah tetap akan mencatat prestasi masing masing kerajaan. 756/4 <23+51> ♂ Kanjeng Pangeran Haryo Hangabehi [Hamengku Buwono] kelahiran: 1737 perkawinan: <65> ♀ Raden Ayu Hangebehi [Bupati Kendal] kematian: 1823 647/4 <19+27!> ♂ # Kanjeng Susuhunan Pakubuwono III / Raden Mas Suryadi [Pakubuwono] perkawinan: <66> ♀ Kanjeng Ratu Kencana [?] perkawinan: <67> ♀ Ratu Beruk [?] gelar: 15 Desember 1749 - 26 September 1788, Kartasura, Susuhunan Surakarta Ke-II [1749-1788] DIPUTUS: 26145; 26151; 26153; 322833; 469952 kematian: 26 September 1788, Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwana III (lahir: Kartasura, 1732 – wafat: Surakarta, 1788) adalah raja kedua Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1749 – 1788. Ia merupakan raja keturunan Mataram pertama yang dilantik oleh Belanda. Awal Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Suryadi, putra Pakubuwana II yang lahir dari permaisuri putri Pangeran Purbaya Lamongan (putra Pakubuwana I). Pakubuwana III naik takhta Surakarta tanggal 15 Desember 1749 menggantikan ayahnya yang sakit keras (meninggal tanggal 20). Ia dilantik sebagai raja oleh Baron von Hohendorff gubernur pesisir Jawa bagian timur laut, yang mewakili VOC. Pakubuwana III melanjutkan Perang Suksesi Jawa III menghadapi pemberontakan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pemberontakan Mangkubumi ini telah meletus sejak tahun 1746. Pihak pemberontak sendiri telah mengangkat Mangkubumi sebagai raja dan Mas Said sebagai patih tanggal 12 Desember 1749 di markas besar mereka, yaitu bekas daerah lama Mataram. Yogyakarta Mendapatkan Kedaulatan Pasukan pemberontak semakin kuat. Para pejabat Surakarta yang bergabung dengan mereka pun semakin banyak. Berkali-kali mereka menyerang istana namun tidak mampu mengusir Pakubuwana III yang dilindungi VOC. Pada tahun 1752 terjadi perpecahan antara Mangkubumi dan Mas Said. Pihak VOC segera menawarkan perdamaian dengan Mangkubumi sejak 1754. Perundingan-perundingan berakhir dengan kesepakatan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut berisi pengakuan kedaulatan Mangkubumi sebagai raja Mataram yang menguasai setengah wilayah kekuasaan Pakubuwana III. Mangkubumi pun bergelar Hamengkubuwana I yang membangun istana baru bernama Yogyakarta tahun 1756 sebagai pusat kerajaan Mataram. Pada perkembangan selanjutnya, Kesultanan Mataram yang dipimpin Hamengkubuwana I lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta, sedangkan kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III (yang wilayahnya tinggal setengah) terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta. Akhir Pemberontakan Mas Said Sesuai isi Perjanjian Giyanti, Mas Said pun menjadi musuh bersama VOC, Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I. Mas Said yang mulai terdesak akhirnya bersedia berunding dengan VOC sejak 1756. Puncaknya, pada bulan Maret 1757 Mas Said menyatakan kesetiaan terhadap VOC, Surakarta, dan Yogyakarta melalui Perjanjian Salatiga. Sejak itu, Mas Said bergelar Mangkunegara I. Daerah kekuasaannya bernama Mangkunegaran, yaitu sebidang tanah pemberian Pakubuwana III yang berada di dalam wilayah Surakarta. Sisa-sisa Pemberontak Setelah tahun 1757 suasana Pulau Jawa masih panas karena masih ada pemberontakan namun sifatnya relatif kecil. Pemberontakan ini dipimpin oleh Pangeran Singosari, paman Pakubuwana III dan berpusat di Jawa Timur. Pangeran Singosari dahulu juga ikut bergabung dalam kelompok Mangkubumi dan Mas Said. Kini ia tetap melanjutkan pemberontakan dengan dukungan keturunan Untung Suropati di daerah Malang. Tawaran damai yang diajukan Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I ditolaknya. Pasukan VOC menyerang Jawa Timur tahun 1767. Pangeran Singosari tertangkap tahun 1768. Pengadilan menjatuhinya hukuman buang namun ia lebih dulu meninggal dalam tahanan Surabaya. Sementara itu, keturunan terakhir Untung Suropati berhasil ditangkap tahun 1771. Akhir Pemerintahan Pakubuwana III merupakan raja yang sangat tunduk kepada VOC. Setiap keputusan VOC selalu diterimanya dengan patuh karena perasaan ketergantungannya terhadap bangsa Belanda itu. Kelemahan politik Pakubuwana III menyebabkan keadaan istana tegang. Muncul komplotan-komplotan yang berusaha mengendalikan pemerintahannya. Suasana tegang ini berlangsung sampai kematiannya tanggal 26 September 1788. Pakubuwana III digantikan putranya, yang bergelar Pakubuwana IV, yaitu seorang raja yang jauh lebih cakap dan pemberani dibanding dirinya. 708/4 <23+42> ♂ # Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono II [Hamengku Buwono] kelahiran: 7 Maret 1750 perkawinan: <68> ♀ Bendoro Mas Ayu Rantamsari [Ga.Hb.2] [?] perkawinan: <69> ♀ GA. BMAy Sumarsonowati [?] perkawinan: <70> ♀ Bendoro Mas Ayu Sukarso [Ga.Hb.2] [?] perkawinan: <71> ♀ Bendoro Mas Ayu Mironosari [Ga.Hb.2] [?] perkawinan: <72> ♀ Bendoro Mas Ayu Gondowati [Ga.Hb.2] [?] perkawinan: <73> ♀ Bendoro Raden Ayu Kulon [Ga.Hb.2] [?] perkawinan: <74> ♀ Bendoro Raden Ayu Herowati [Ga.Hb.2] [?] perkawinan: <75> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton [Gp.Hb.2] [?] b. 1750 d. Juli 1820 perkawinan: <76> ♀ Bendoro Mas Ayu Pujaningsih [Ga.Hb.2] [Hamengku Buwono] perkawinan: <77> ♀ Bendoro Mas Ayu Doyorogo [Ga.Hb.2] [Hamengku Buwono] perkawinan: perkawinan: <78> ♀ # BRAy. Nilaresmi / BRAy. Wiryakrama [Kramaleksana] perkawinan: <172!> ♀ # Gusti Kanjeng Ratu Hemas [Gp.Hb.2] [?] b. 1760 d. 1826, Yogyakarta gelar: 1792, Yogyakarta, Ngarsodalem Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II kematian: 2 Januari 1828 Official Link Adm: Ir. H. Hilal Aachmar Lineage Study Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II mempuyai 80 anak. Hamengkubuwono II (7 Maret 1750 – 2 Januari 1828) atau terkenal pula dengan nama lainnya Sultan Sepuh. Dikenal sebagai penentang kekuasaan Belanda, antara lain menentang gubernur jendral Daendels dan Raffles, sultan menentang aturan protokoler baru ciptaan Daendels mengenai alat kebesaran Residen Belanda, pada saat menghadap sultan misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi, perselisihan antara Hamengkubuwana II dengan susuhunan surakarta tentang batas daerah kekuasaan juga mengakibatkan Daendels memaksa Hamengkubuwono II turun takhta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara terputus-putus hingga tahun 1828 yaitu akhir 1811 ketika Inggris menginjakkan kaki di jawa (Indonesia) sampai pertengahan 1812 ketika tentara Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826 untuk meredam perlawanan Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III, Hamengkubuwono IV dan Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa hidupnya Sri Sultan Hamengku Buwono II. Saat menjdi putra mahota beliau mengusulkan untuk dibangun benteng ktraton untuk menahan seragan tentara inggris. Tahun 1812 Raffles menyerbu Yogyakarta dan menangkap Sultan Sepuh yang kemudian diasingkan di Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon. (nug: dari berbagai sumber. Referensi: www.wikipedia.com). Dari HB II ini, keturunannya sekarang banyak tersebar di kota-kota besar di Jawa, seperti Yogyakarta, sebagai tanah leluhur, Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Malang dan juga sampai di Banyuwangi yang dapat ditelusuri. A. Pengantar Sultan Hamengku Buwono (HB) II adalah raja di Kesultanan Yogyakarta yang memerintah antara tahun 1792 dan 1828. Ada dua fenomena menarik dari pribadi sultan pada saat berkuasa. Pertama adalah masa pemerintahannya yang ditandai dengan pergolakan politik yang belum pernah terjadi di Jawa pada periode sebelumnya. Pada periode tersebut, Jawa menjadi bagian dari perubahan besar yang berlangsung sebagaikonsekuensi konstelasi politik di Eropa. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan empat kali rezim kolonial dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, yaitu dari VOC, Prancis, Inggris dan Belanda. Perubahan rezim yang juga menimbulkan pergantian kebijakan kolonial ini mengakibatkan terjadinya instabilitas politik dari penguasa kolonial khususnya tindakan pemerintah kolonial terhadap raja-raja pribumi. Kondisi ini meningkatkan eskalasi konflik yang cukup tajam antara penguasa kolonial dan penguasa Jawa. Fenomena kedua adalah pribadi Sultan Hamengku Buwono II yang cukup kontroversial. Sejauh ini berbagai sumber data yang ditinggalkan oleh para penguasa kolonial memuat laporan dan gambaran negatif terhadap raja Jawa ini. Sultan HB II digambarkan sebagai seorang raja yang keras kepala, tidak mengenal kompromi, kejam termasuk terhadap kerabatnya sendiri, dan tidak bisa dipercaya. Informasi yang terkandung di dalam data kolonial tersebut masih mendominasi historiografi baik yang ditulis oleh sejarawan asing maupun sejarawan lokal. Hal ini menimbulkan daya tarik tersendiri sebagai bahan kajian dalam penelitian sejarah khususnya yang menempatkan para tokoh atau penguasa pribumi sebagai fokusnya. Kredibilitas informasi yang dimuat dalam data kolonial tentang Sultan HB II perlu dikritisi terutama lewat studi komparasi dengan sumber-sumber yang diperoleh dari naskah lokal yang sezaman (Jawa). Dari hasil perbandingan tersebut dapat diketahui bagaimana pribadi Sultan HB II yang sebenarnya dan peristiwa penting apa yang terjadi selama masa pemerintahannya. Di samping itu juga bisa diungkapkan karya apa yang diwariskannya dan motivasi apa yang mendasarinya B. Sebelum Menjadi Raja Sultan HB II dilahirkan pada hari Sabtu Legi tanggal 7 Maret 1750 di lereng gunung Sindoro, daerah Kedu Utara. Ketika lahir, Sultan HB II diberi nama Raden Mas (RM) Sundoro. Nama ini diberikan sesuai dengan nama tempat kelahirannya yang berada di lereng gunung Sindoro. RM Sundoro adalah putra Pangeran Mangkubumi, yang kemudian menjadi raja pertama di Kesultanan yogyakarta pada tahun 1755 dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.1 Meskipun berstatus sebagai putra raja, masa kecil RM Sundoro tidak dialaminya dengan penuh fasilitas dan kebahagiaan layaknya seorang pangeran. Pada saat dilahirkan, ayahnya sedang bergerilya untuk melawan VOC dan Kerajaan Mataram, di bawah Sunan Paku Buwono III. Medan perang Mangkubumi yang terbentang dari Kedu di utara sampai pesisir selatan dan dari Banyumas di barat hingga Madiun di timur membuat RM Sundoro hampir tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Sejak lahir hingga usia lima tahun, RM Sundoro diasuh oleh ibunya, Kanjeng Ratu Kadipaten,permaisuri kedua Pangeran Mangkubumi. Ketika perjuangan Mangkubumi berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tanggal 13 Pebruari 1755, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua (palihan nagari). Sebagian kerajaan ini tetap dikuasai oleh Sunan Paku Buwono III yang bertahta di Surakarta, dan sebagian lagi diperintah oleh Mangkubumi yang menjadi raja baru. Kerajaan yang baru diberi nama Kesultanan Yogyakarta dan Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja pertama yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I.2 Setelah peristiwa palihan nagari ini, Sultan HB I membangun kompleks kraton baru di Yogyakarta dan membawa seluruh keluarganya ke kraton, termasuk GKR Kadipaten bersama putranya RM Sundoro. Sejak saat itu, RM Sundoro mulai tinggal di kraton dengan status sebagai seorang putra raja. Kecintaan dan kepercayaan Sultan HB I terhadap RM Sundoro mulai tampak sejak mereka tinggal bersama. Ini terbukti dengan keinginan Sultan HB I menunjuk RM Sundoro sebagai putra mahkota pada saat ia dikhitan pada tahun 1758. Sultan HB I mengetahui sifat putranya yang memiliki kekerasan jiwa sebagai akibat dari pengalaman hidupnya di wilayah pengungsian. Pengalaman hidup inilah yang membentuk watak RM Sundoro yang kelak dianggap sebagai pribadi yang keras dan tegas dalam pengambilan keputusan. Meskipun ada beberapa orang calon lain, khususnya dari permaisuri pertama GKR Kencono yang berputra dua orang, Sultan HB I tetap memilih RM Sundoro sebagai putra mahkota. Keyakinan ini semakin kuat ketika dua putra dari GKR Kencono dianggap tidak memenuhi syarat sebagai putra mahkota.3 Setelah Sundoro mulai tumbuh dewasa, Sultan HB I mulai berpikir tentang calon pendamping hidup RM Sundoro khususnya yang akan memperoleh status sebagai permaisuri. Sebagai seorang putra raja, RM Sundoro hendaknya berdampingan dengan seorang wanita yang juga keturunan raja. Untuk itu Sultan HB I berniat menjodohkan putranya dengan putri Sunan PB III. Ketika RM Sundoro berkunjung ke kraton Surakarta, tahun 1763 dan 1765, Sundoro disambut langsung oleh Sunan PB III. Harapan yang ada dari kedua orang raja Jawa itu adalah bahwa dengan ikatan perkawinan ini, ketegangan politik yang selama ini terjadi antara Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta akan berkurang. Akan tetapi, usaha tersebut gagal akibat adanya campur tangan Pangeran Adipati Mangkunegoro I yang juga menginginkan putri yang sama. Akibatnya RM Sundoro tidak berhasil mempersunting putri PB III. Kejadian ini membuat hubungan kedua raja Jawa ini menjadi renggang. Faktor lain yang memicu ketegangan antara Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta adalah sengketa perbatasan daerah. Sesuai kesepakatan dalam Perjanjian Giyanti, pembagian daerah antarkedua kerajaan itu tidak didasarkan pada batas-batas alam melainkan didasarkan atas elit setempat yang berkuasa. Pembagian wilayah ditentukan oleh adanya ikatan kekerabatan dan hubungan darat antara setiap penguasa daerah dan masing-masing raja. Akibatnya, pembagian wilayah milik Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta tidak ditentukan oleh batas yang jelas tetapi letaknya tumpang tindih. Hal ini sering mengakibatkan terjadinya konflik horizontal di kalangan masyarakat bawah yang memicu konflik vertikal antarsesama penguasa daerah. Proses ini berlangsung hampir dua puluh tahun lamanya dan baru berakhir dengan perjanjian yang difasilitasi oleh Gubernur VOC van den Burgh tanggal 26 April 1774 di Semarang. Dalam perjanjian ini batas wilayah masing-masing raja Jawa dipertegas dan diatur kembali dengan tujuan agar konflik tersebut tidak terjadi lagi.4 RM Sundoro mulai menyadari bahwa baik dalam Perjanjian Giyanti tahun 1755 maupun Perjanjian Semarang tahun 1774, kekuasaan dan wilayah raja-raja Jawa semakin sempit. Sebaliknya, wilayah VOC menjadi semakin luas. Perluasan wilayah dan kekuasaan VOC ini berlangsung seiring dengan meningkatnya intervensi VOC dalam kehidupan kraton raja-raja Jawa. Dengan adanya pembagian wilayah baru, VOC memperoleh kesempatan semakin besar untuk melakukan eksploitasi ekonomi yang berbentuk pemborongan sumber-sumber pendapatan raja-raja Jawa seperti tol, pasar, sarang burung, penambangan perahu, pelabuhan laut dan penjualan candu.5 Tekanan ekonomi dan politik VOC semakin intensif ketika kondisi fisik raja-raja Jawa baik Sultan HB I maupun Sunan PB III semakin merosot setelah tahun 1780. Hal tersebut menumbuhkan kebencian RM Sundoro kepada VOC khususnya dan orang asing pada umumnya. Sultan HB I menyadari hal ini dan mengetahui bahwa RM Sundoro adalah putra yang diharapkan mampu mempertahankan kewibawaan dan menjaga keutuhan wilayah Kesultanan Yogyakarta dari ancaman dan rongrongan pihak asing. Pandangan ini memperkuat tekad Sultan HB I untuk mengukuhkan status Sundoro (4 John F. Snelleman, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, vierde deel (‘s Gravenhage, 1905, Martinus Nijhoff), hal.584.) (5 Yang dimaksudkan sebagai tol adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh orang yang akan melewati wilayah atau jembatan tertentu. Tol ini biasanya diborongkan kepada pihak ketiga. sebagai putra mahkota. Meskipun ada penentangan dari para pejabat VOC yang sudah menyadari sikapnya, Sultan HB I tetap menjadikan RM Sundoro sebagai calon pewaris tahta pada tahun 1785. Dengan statusnya yang baru, RM Sundoro memiliki wewenang yang lebih besar. Hampir semua tindakan yang berhubungan dengan Kesultanan Yogyakarta disetujui oleh ayahnya. Setelah diangkat menjadi putra mahkota, langkah pertama yang diambilnya adalah melindungi kraton Yogyakarta terhadap ancaman VOC. Ia menyadari bahwa ancaman VOC semakin besar dengan pembangunan benteng Rustenburg oleh Komisaris Nicolaas Harstink pada tahun 1765, yang sebagian materialnya dibebankan kepada Sultan HB I. Ia berusaha mencegah agar benteng Rustenburg tidak terwujud. Dengan segala upaya ia berhasil menghambat pembangunan benteng itu. Akibatnya, hingga tahun 1785, bangunan benteng itu belum juga selesai.6 Ketika Johannes Siberg datang ke kraton Yogyakarta dalam acara pelantikan RM Sundoro sebagai putra mahkota, Siberg mengingatkan kepada Sultan HB I tentang kewajibannya membantu pembangunan benteng itu. Desakan Siberg membuat RM Sundoro menghentikan aktivitasnya. Meskipun setelah peristiwa itu pembangunan benteng dapat diselesaikan, RM Sundoro tidak menghentikan aktivitasnya melawan VOC. Ia meminta izin ayahnya untuk memperkuat pertahanan kraton Yogyakarta sebagai perimbangan kekuatan menghadapi benteng VOC yang berada di depan kraton. Setelah memperoleh izin dari ayahnya, RM Sundoro memerintahkan pembangunan tembok baluwarti yang mengelilingi alun-alun baik utara maupun selatan kraton Yogyakarta. Di bagian depan bangunan ini diperkuat dengan pemasangan 13 buah meriam. Senjata ini diarahkan ke depan menghadap benteng Rustenburg. Pembangunan yang dimulai pada tahun 1785 itu terus berlangsung hingga RM Sundoro naik tahta menjadi Sultan HB II. C. Kebijakan Politik dan Konflik Pada saat yang hampir bersamaan dengan memuncaknya ketegangan antara Kesultanan Yogyakarta dan VOC pada akhir tahun 1780-an, di Surakarta terjadi pergantian tahta. Sunan PB III wafat pada tanggal 26 September 1788. Tiga hari kemudian putra mahkota RM. Subadyo diangkat menjadi Sunan PB IV. Sifat-sifat Sunan PB IV yang juga diketahui anti-Belanda telah mengalihkan perhatian Jan Greeve sebagai Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (Noord-ootkust) dan Andries Hartsink sebagai Komisaris Kraton Jawa dari Yogyakarta ke Surakarta. Hal ini dilakukan setelah terbongkarnya rencana konspirasi Sunan PB IV (6 ANRI, surat Siberg kepada Sultan HB I tanggal 10 Pebruari 1785, bundel Semarang ) dengan para penasehat santrinya untuk membunuh orang-orang Belanda di Kesunanan Surakarta pada bulan September 1790. Peristiwa tersebut tidak hanya mengakibatkan pengawasan yang semakin ketat terhadap Kesunanan Surakarta, tetapi juga memulihkan hubungan baik antara Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran. Membaiknya hubungan antara Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran ini disebabkan oleh permintaan bantuan VOC kepada mereka untuk menghadapi Sunan PB IV. Bersama-sama dengan VOC keduanya menemukan kesempatan untuk saling bekerja sama.7 Kondisi seperti ini tidak berlangsung lama. Sunan PB IV bersedia menghentikan rencananya dan menyerahkan tujuh orang santri penasehatnya kepada Hartsink bulan Oktober 1790. Ketenangan di kraton Jawa kembali terusik, ketika Sultan HB I wafat pada tanggal 24 Maret 1792. Perhatian para pejabat VOC kembali beralih ke Yogyakarta. Sesuai tradisi dan kesepakatan yang dibuat dengan VOC, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Pieter Gerard van Overstraten 8 mengukuhkan RM Sundoro dan melantiknya sebagai Sultan Hamengku Buwono II pada tanggal 2 April 1792. Sejak itu masa pemerintahan Sultan HB II dimulai. Selama masa pemerintahannya, sifatnya yang antikolonial semakin jelas. Sultan HB II menyadari bahwa orang-orang Belanda merupakan ancaman utama terhadap keutuhan wilayah dan kewibawaan raja-raja Jawa khususnya di Kesultanan Yogyakarta. Berbeda dengan Sunan PB IV yang berambisi untuk memulihkan kekuasaan ayahnya sebagai raja Mataram, Sultan HB II tidak berpikir untuk mengembalikan wilayah Kerajaan Mataram lama di bawah satu pemerintahan. Sebaliknya, tujuan utama Sultan HB II adalah menjadikan Kesultanan Yogyakarta sebagai suatu kerajaan Jawa yang besar, berwibawa dan disegani oleh para penguasa lain termasuk oleh orang-orang Eropa. Harapan Sultan HB II adalah Kesultanan Yogyakarta menjadi penegak dan pendukung utama tradisi budaya dan kekuasaan Jawa. Bertolak dari konsep ini, Sultan HB II bertekad untuk menolak semua intervensi Belanda yang mengakibatkan merosotnya kewibawaan raja Jawa dan berkurangnya wilayah kekuasaan raja-raja Jawa.9 Konflik terbuka pertama terjadi antara Sultan HB II dan VOC. Peristiwa ini berlangsung tidak lama setelah pelantikannya. Gubernur van Overstraten meminta kepada Sultan HB II agar dalam setiap acara pertemuan dengan sultan, kursinya disejajarkan dan diletakkan di sebelah kanan kursi sultan. HB II beranggapan bahwa ia harus menghormati orang yang duduk di samping kanannya pada forum resmi di depan semua kerabat dan rakyatnya. Sultan HB II dengan tegas menolak tuntutan Overstraten itu. Karena tidak berhasil memaksakan kehendaknya, Overstraten melaporkan hal itu ke Batavia. Sebaliknya pemerintah VOC di Batavia yang sedang berada dalam kondisi kesulitan keuangan dan menghadapi blokade Inggris bermaksud mencegah insiden yang bisa menimbulkan konflik dengan raja-raja Jawa. Gubernur Jenderal Arnold Alting melarang Van Overstraten bertindak lebih jauh. Sampai ia diganti oleh J.R. Baron van Reede tot de Parkeler pada tanggal 31 Oktober 1796, tuntutan itu tidak pernah dikabulkan oleh Sultan HB II. Utusan Belanda tetap diperlakukan seperti seorang utusan para penguasa taklukan di depan Sultan HB II.10 Parkeler yang mengetahui diri Sultan HB II dari van Overstraten bertindak hati-hati. Pertemuan politik pertama dengan sultan ini terjadi pada bulan Agustus 1799 ketika Parkeler menghadiri acara pemakaman Patih Danurejo I. Menurut perjanjian tahun 1743, raja Mataram wajib meminta pertimbangan VOC sebelum menunjuk seseorang menjadi patih. Sultan HB II berusaha menghindari hal itu dengan alasan bahwa Kesultanan Yogyakarta bukan Kerajaan Mataram dan (http://id.rodovid.org/skins/common/images/button_media.png)Sultan berhak mengangkat patihnya sendiri.11 Parkeler bertindak hati-hati dan lebih banyak menggunakan jalur diplomatik untuk mencegah ketegangan dengan Sultan. Melalui perundingan dan pembicaraan yang dilakukan, akhirnya Parkeler berhasil membujuk Sultan HB II untuk memperbaharui perjanjian itu. Pada bulan September 1799 Sultan HB II bersedia menandatangani perjanjian baru dengan Parkeler yang memuat pengangkatan patih baru. Setelah perjanjian ini disahkan, Sultan HB II mengangkat Tumenggung Mangkunegoro, cucu Patih Danurejo I, yang bergelar Patih Danurejo II. Pada saat yang bersamaan Sunan PB IV juga menandatangani perjanjian yang intinya menghindari konflik terbuka ketika terjadi ketegangan dengan Kesultanan Yogyakarta dan meminta VOC untuk menengahinya. 12 7 ANRI, surat Sultan HB I kepada Mangkunegoro tanggal 24 September 1790, bundel Solo. 8 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (Noord-Oost-Kust)diserahterimakan dari Jan Greeve kepada penggantinya P.Gerard van Overstraten pada tanggal 1 September 1791 (lihat GP. Rouffaer.”Vorstenlanden” dalam John F Snelleman. 1905. Encyclopaedie van Nederlandsch Indie,vierde deel, ’s Gravenhage, hal. 587—653. 9 ANRI, Memorie van Residen J.G. van den Berg in Jogjacarta 1799-1803, bundel Yogyakarta. 10 Anonim, “Overzicht van de voornaamste gebeurtenissen in het Djocjocartasche-Rijk, sedert deszelf stichting (1755) tot aan Het einde van het Engelsche tusschen-bestuur in 1815”, dalam TNI, III deel, 1844, hal. 129 11 Perjanjian tanggal 11-13 November 1743, pasal 3 dan 4, yang dibuat antara G.W. Baron van Imhoff dan Sunan Paku Buwono II di Mataram, dimuat dalam “Corpus Diplomaticum Neerlando Indicum’, BKI jilid 96, tahun 1938, hal. 361-362 12 ANRI, contract met Sultanaat Jogjakarta over het jaar 1799, dalam bundel Hooge Regeerings. 1. Sri Paduka Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II (Sultan Sepoeh) Sultan Sepoeh adalah putra ke 3 dari Sultan Hamengku Buwono I (lahir tahun 1750), dalam sejarah perjuangan Bangsa memang terkenal sebagai salah seorang Sultan yang berani melawan Belanda. Beliau memerintah Kasultanan Yogyakarta mulai tahun 1792 dan kemudian ditangkap oleh Daendels pada tahun 1810. Pada 1811 dikembalikan ke tahta Ngayogyakarta, tetapi baru satu tahun, 1812 Sri Sultan Sepoeh ditangkap dan dibuang ke Pulau Pinang oleh Raffles, bahkan kemudian dipindahkan ke Ternate selama 14 tahun. Pada tahun 1826 dikembalikan ke Jawa dan diangkat lagi dengan suatu upacara besar – besaran di Istana Bogor, namun hal ini sebenarnya hanya siasat Belanda agar Sultan Sepoeh mau menghentikan pemberontakan Pangeran Diponegoro (kemenakannya = Putra SPKS HB III), namun beliau tidak bersedia. Sri paduka kanjeng Sultan Hamengku Buwono akhirnya wafat pada tahun 1828 dalam usia 78 tahun dan disemayamkan di Makam Agung Pasargede (Kota Gede) 2. Kanjeng Pangeran Ario Moerdaningrat Beliau adalah putra ke 9 dari Eyang Sultan Sepoeh (SPKS HB II). Pada waktu SPKS HB IV seda tahun 1822, putra mahkota beliau Sultan menol masih berusia 3 tahun; oleh karena itu dibentuk DEWAN MANGKUBUMI, yang terdiri dari : Neneknya : Kanjeng Ratu Ageng Ibundanya : Kanjeng Ratu Kencana K.P.A Mangkubumi (putra ke 8 Sultan Sepoeh) K.P.A Diponegoro (putra dari SPKS HB III) Pada waktu itu Kumpeni Belanda kurang menghormati pada tata cara adat Kasultanan dan bertindak kejam kepada Rakyat, sehingga membuat marah Pangeran Diponegoro dan menyatakan perang melawan Belanda. Setelah Pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan Belanda KPA MAngkubumi juga ikut dan menjadi Penasehat Agung K.P.A Diponegoro, kemudian Dewan Mangkubumi (pada bulan Oktober 1825) diserahkan kepada : K.P.A Moerdaningrat (putra ke 9 Sultan Sepoeh), dan K.P.A Panular. Dalam sejarah diceritakan bahwa Belanda sangat kewalahan melawan Pasukan Pangeran Diponegoro yang didukung oleh Rakyat yang gagah berani dan melakukan perang gerilya secara cerdik. Beliau juga dibantu oleh Pangeran Ngabei Jayakusuma, Kiyai Mojo dan Alibasah Sentot Prawirodirjo. Suatu ketika Jendral Van Geen membawa Pasukan 1000 orang kemudian menyandera K.P.A Moerdaningrat dan K.P.A Panular digunakan sebagai tameng waktu menyerbu Markas Besar (MB) Pangeran Diponegoro. Namun hal ini sudah diketahui oleh Beliau sehingga usaha Kumpeni gagal. Naas bagi pasukan Belanda karena waktu kembali ke Yogyakarta disanggong oleh Pasukan Diponegoro di sebuah jurang dekat sungai Krasak (Lengkong) dan mengalami kekalahan yang sangat memalukan bagi pihak Belanda. Di pertempuran Lengkong ini K.P.A Moeredaningrat (dan K.P.A Panular) gugur di medan bhakti (Juli 1826), kemudian disarekan di Pesarean Lengkong. 3. R.M.A.A Djojodiningrat Beliau adalah putra ke 4 dari Eyang K.P.A Moerdaningrat, dengan nama kecil : R.M Abdoel Djalil. Semasa kecilnya diajak menemani kakeknya Sultan Sepoeh (HB II) waktu dibuang ke Ternate selama 14 tahun. Pada jaman perang Diponegoro R.M Abdoel Djalil turut secara aktif berjuang, bahkan dijadikan ajudan pribadi Pangeran Diponegoro (Liaison Officer); sering diutus sebagai penghubung antara MB dan Para Komandan Operasional di Lapangan (menyampaikan perintah atau laporan). Pada waktu Pangeran Diponegoro kemudian ditipu dan ditangkap Belanda, R.M Abdoel Djalil langsung menghilang dan masuk ke Pesantren Brangkal (Gombong) mengaku sebagai Santri Ngabdoeldjalil. Namun akhirnya diketahui oleh mata – mata Belanda dan diambil kembalikan ke Kasultanan untuk diberi pendidikan indoktrinasi mengenai Loyalitas ala Barat. Selesai p[endidikan ditipkan kepada Raden Adipati Tjokronegoro (Bupati Poerworejo) agar tidak berhubungan langsung dengan rakyat. Selang beberapa waktu R.M Abdoel Djalil diberi pekerjaan mengikat, sebagai anggota Landraad di Poerworejo dan berganti nama : R.M Djojoprono. Setelah berapa lama diangkat menjadi Fiscaal (Jaksa), kemudian karena kecakapannya diangkat menjadi Bupati Ngroma Jatinegara pada tahun 1844, dengan gelar : Raden Mas Ario Adipati (R.M.A.A Djojodiningrat). Pada waktu diangkat beliau minta agar menguasai juga daerah Bagelen Selatan sehingga seperti berpangkat Residen; Belanda terpaksa mengabulkannya karena memang daerah Bagelen belum terkonsolidasi (Residen Belanda hanya sebagai penasehat saja). Dari Kraton Yogyakarta beliau mendapat anugerah tertinggi berupa Songsong Gilap (menurut hierarki Kraton seharusnya Songsong Gilap hanya dimiliki oleh seorang Pangeran dengan sebutan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati). Berhubung alam sekitar Ngroma tidak memenuhi selera estetika, maka beliau membangun ibukota Kabupaten baru yang ditanganinya sendiri selama 4 tahun dan diberi nama KarangAnyar, yang di-inaugurasi tahun 1848. Sewaktu pensiun tahun 1864 beliau ikut putra sulungnya R.M.T.A Tjokrohadisoeryo yang mengikuti jejak ayahnya sebagai Bupati Ledok dengan ibukota Wonosobo. R.M.A.A Djojodiningrat menetap di Sepoeran kurang lebih 10 km dari ibukota; setelah wafat beliau dimakamkan di makan keluarga “Candi Wulan” Wonosobo. (http://ikdonline.wordpress.com/history/) Foto Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II (Sumber: http://jogjakini.wordpress.com/2007/11/30/sri-sultan-hb-ii/) BERSAMBUNG 799/4 <23+36> ♀ Bendoro Raden Ayu Ronggo Mangundirjo [Hamengku Buwono] kelahiran: 1758 perkawinan: <79> ♂ Raden Rangga Prawiradirja II [Kerajaan Bima] 9310/4 <26+23!> ♂ Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro [Hamengku Buwono] gelar: Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anum Amangku Negara ingkang Sudibya Atmarinaja Sudarma Mahanalendra kematian: Agustus 1758, Imogiri, Yogyakarta 7711/4 <23+50> ♂ Bendoro Pangeran Haryo Demang Tanpo Nangkil [Hamengku Buwono] kelahiran: 1760 perkawinan: <80> ♀ Raden Ayu Demang [Danurejo I] kematian: 1820 8312/4 <23+49> ♂ Bendoro Pangeran Haryo Diposanto [Hamengku Buwono] kelahiran: 1762 kematian: < 1820 6613/4 <23+36> ♂ Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam I [Hb.1.6] (Kanjeng Pangeran Haryo Notokusumo) [Hamengku Buwono I] kelahiran: 21 Maret 1764, Yogyakarta gelar: 28 Januari 1812, Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I [1812-1829] 7314/4 <23+56> ♂ Kanjeng Pangeran Adipati Dipowijoyo I [Hb.1.8] (Pangeran Muhamad Abubakar) [Hamengku Buwono I] kelahiran: 1765 gelar: ~ 1810, Yogyakarta, Pangeran Muhamad Abubakar 10815/4 <23+53> ♂ Bendoro Pangeran Haryo Dipowiyono I / Bendoro Pangeran Haryo Silarang [Hamengku Buwono I] kelahiran: 1765 kematian: 1826 8116/4 <23+55> ♀ Bendoro Raden Ayu Notoyudo [Hamengku Buwono] kelahiran: 1766 perkawinan: <81> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Notoyudo I [?] d. 29 November 1804 8717/4 <23+48> ♂ Bendoro Pangeran Haryo Panular [Hamengku Buwono] kelahiran: 1771 kematian: 30 Juli 1826 10018/4 <23+45> ♂ Bendoro Pangeran Haryo Dipowiyono II [Hamengku Buwono] kelahiran: 1771 kematian: 1815 9419/4 <23+39> ♂ 1. Bendoro Pangeran Haryo Mangkukusumo [Hamengku Buwono] kelahiran: 1772 9220/4 <23+37> ♂ Bendoro Pangeran Haryo Hadikusumo II [Hamengku Buwono] kelahiran: 1774 perkawinan: <82> ♀ Raden Ayu Hadikusumo [Notowijoyo] 9721/4 <23+35> ♂ Bendoro Pangeran Haryo Diposono [Hamengku Buwono I] kelahiran: 1776 8222/4 <23+53> ♀ Bendoro Raden Ayu Sosrodiningrat [Hamengku Buwono] perkawinan: <83> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Sasrodiningrat I ? (Kanjeng Raden Tumenggung Sasronegoro) [?] d. Mei 1807 kematian: 28 Agustus 1807 8023/4 <23+36> ♂ Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Paku Alam I / Bendoro Pangeran Haryo Notokusuma [Hamengku Buwono] gelar: 29 Juni 1812, diNobatkan sebagai KGPA Pakualam I 29 Juni 1812, oleh Raffles 9624/4 <23+?> ♂ Bendoro Pangeran Haryo Balitar [Hamengku Buwono] kematian: 1827 6325/4 <20> ♀ R Ayu Kusumo Patahan [Mangkunegara] 6926/4 <23> ♀ Kanjeng Raden Ayu Prabusengkono [Hamengku Buwono] 7127/4 <24> ♂ Muhammad Hasim (Penghulu Tuban) [?] 7428/4 <26+23!> ♂ Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro [Hamengku Buwono] 7629/4 <23+51> ♀ Bendoro Raden Ayu Jayaningrat [Hamengku Buwono] perkawinan: <84> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Jayaningrat Gajah Tlena ? (Bupati Remame, Kedu) [?] 7830/4 <23+36> ♀ Bendoro Raden Ayu Danukusumo [Hamengku Buwono] perkawinan: <126!> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Danukusumo ? (Wedono Jobo) [Danurejo I] 8431/4 <23> ♀ Bendoro Raden Ayu Yudokusumo [Hamengku Buwono] 8532/4 <23+36> ♀ Bendoro Raden Ayu Yudokusumo [Hamengku Buwono] perkawinan: <85> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Yudokusumo [?] 8633/4 <23+?> ♂ Bendoro Pangeran Haryo Hadikusumo I [Hamengku Buwono] 8834/4 <23+47> ♂ Bendoro Raden Ayu Yudokusumo II [Hamengku Buwono] perkawinan: <85!> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Yudokusumo [?] 8935/4 <23> ♂ Bendoro Pangeran Haryo Mangunkusumo [Hamengku Buwono] 9036/4 <23> ♀ Bendoro Raden Ayu Danunegoro [Hamengku Buwono] 9137/4 <23+44> ♀ Bendoro Raden Ayu Joyowiryo [Hamengku Buwono] perkawinan: <86> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Joyodiwiryo [?] 9538/4 <23+37> ♀ Bendoro Raden Ayu Pringgoloyo [Hamengku Buwono] perkawinan: <87> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Pringgoloyo (Juru) [?] 9839/4 <23> ♂ Bendoro Pangeran Haryo Danupoyo [Hamengku Buwono] 9940/4 <23+41> ♂ Bendoro Pangeran Haryo Sontokusumo [Hamengku Buwono] 10141/4 <23+46> ♂ Bendoro Raden Mas Suwardi [Hamengku Buwono] 10242/4 <23+44> ♀ Bendoro Raden Ayu Mangundirjo [Hamengku Buwono] perkawinan: <79!> ♂ Raden Rangga Prawiradirja II [Kerajaan Bima] 10343/4 <23+46> ♂ Bendoro Raden Ayu Purwodipuro [Hamengku Buwono] perkawinan: <88> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Purwodipuro [?] 10444/4 <23+43> ♀ Bendoro Raden Ayu Ronodiningrat [Hamengku Buwono] perkawinan: <313!> ♂ 2. Kanjeng Raden Tumenggung Ronodiningrat [Hamengku Buwono] 10545/4 <26+23!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Bendono [Hamengku Buwono] 10746/4 <26+23!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Bendoro / Gusti Raden Ayu Inten [Hamengku Buwono] perkawinan: <68!> ♂ # Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) [Mangkunegara] b. 7 April 1725 d. 28 Desember 1795 perceraian: <68!> ♂ # Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) [Mangkunegara] b. 7 April 1725 d. 28 Desember 1795 10947/4 <23> ♀ Bendoro Raden Ayu Hayati / Bojati Cakraatmaja [Hamengku Buwono] 11048/4 <23+39> ♀ # Bendoro Raden Ayu Tumenggung Danunagara [Hb.1.2] [Hamengku Buwono] perkawinan: <127!> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Danunegoro ? (Tirtodiwiryo) [Danurejo I] Adapun Raden Tumenggung Danunagara adalah anak dari Kanjeng Raden Hadipati Danureja I Patih Yogyakarta (Danureja I sebelumnya menjabat sebagai Bupati Banyumas IX dengan gelar Adipati Yudanegara III). 11149/4 <53+33> ♂ Kyai Mursodo ? (Raden Mas Mursodo) [Pakubuwono I] 11250/4 <53+33> ♂ Kyai Ageng Karang Besari [Pakubuwono I] 11351/4 <53+33> ♂ Kyai Hasan Besari ? (Chasan Bisri) [Pakubuwono I] 11452/4 <53+32> ♂ Kyai Salim / Kyai Sahid (Raden Mas Salim) [Pakubuwono I] 11553/4 <53+33> ♂ Raden Mas Nawawi [Pakubuwono I] 11654/4 <53+33> ♂ Raden Mas Syafangatun [Pakubuwono I] 11755/4 <53+33> ♂ Raden Mas Taptojani ? (Kyai Kedu) [Pakubuwono I] 11856/4 <53+33> ♀ Raden Ayu Cholifah [Pakubuwono I] 11957/4 <53+33> ♀ Raden Ayu Muhammad [Pakubuwono I] 12058/4 <53+33> ♀ Raden Ayu Nurfakih ? (Murfakiyyah) [Pakubuwono I] 12159/4 <53+33> ♀ Raden Ayu Muso [Pakubuwono I] 12260/4 <53+33> ♀ Raden Ayu Mursilah Ngabdul Karim [Pakubuwono I] 12361/4 <53+32> ♀ Raden Ayu Muhammad Soleh [Pakubuwono I] 12462/4 <53+32> ♀ Raden Ayu Jaelani [Pakubuwono I] 12563/4 <19> ♀ Ratu Alit [Pakubuwono II] 12664/4 <52+58> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Danukusumo ? (Wedono Jobo) [Danurejo I] perkawinan: <78!> ♀ Bendoro Raden Ayu Danukusumo [Hamengku Buwono] 12765/4 <52+58> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Danunegoro ? (Tirtodiwiryo) [Danurejo I] perkawinan: <110!> ♀ # Bendoro Raden Ayu Tumenggung Danunagara [Hb.1.2] [Hamengku Buwono] 12866/4 <41+58!> ♀ Raden Ajeng Akik [Pakubuwono I] 12967/4 <41+58!> ♀ Raden Ajeng Iya [Pakubuwono I] 5 1321/5 <65+62> ♂ Pangeran Hario Notokusumo [Notokusumo] kelahiran: perkawinan: <238!> ♀ Raden Kanjeng Ayu Suyati / Raden Ayu Notokusumo [Mangkunegara] 1332/5 <65+62> ♂ Pangeran Hario Hadiwijoyo I [Hadiwijoyo] kelahiran: perkawinan: <239!> ♀ Putri [Mangkunegara] 2243/5 <106> ♂ R M Tum Prawirodipuro [Sang Prabu Amangkurat Jowo (iv)] kelahiran: Level 3 = Buyut; Adalah trah ke 3 dari (pancer): Sang Prabu Amangkurat Jowo (IV) 1719-1727) 1724/5 <125> ♀ # Gusti Kanjeng Ratu Hemas [Gp.Hb.2] [?] kelahiran: 1760 perkawinan: <70!> ♂ # Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono II [Hamengku Buwono] b. 7 Maret 1750 d. 2 Januari 1828, Yogyakarta kematian: 1826 Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 1345/5 <64+66> ♂ # Kanjeng Susuhunan Pakubuwono IV / Raden Mas Subadya [Pakubuwono III] kelahiran: 2 September 1768, Surakarta perkawinan: <89> ♀ Ratu Kencanawungu / Raden Ayu Sukaptinah [Pakubuwono] perkawinan: <90> ♀ Mas Ayu Rantansari [Joyokartiko] perkawinan: <91> ♀ Raden Ayu Handoyo / Raden Ayu Adipati Anom (Ratu Kencana) [Cakraningrat] perkawinan: <92> ♀ Raden Ayu Pamogan [Majapahit] gelar: 29 September 1788 - 2 Oktober 1820, Surakarta, Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ing Ngalogo Abdur Rahman Sayyidin Panotogomo IV kematian: 2 Oktober 1820, Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwana IV (lahir: Surakarta, 1768 – wafat: Surakarta, 1820) adalah raja ketiga Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1788 – 1820. Ia dijuluki sebagai Sunan Bagus, karena naik takhta dalam usia muda dan berwajah tampan. Awal Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Subadya, putra Pakubuwana III yang lahir dari[[ permaisuri keturunan sultan Demak]]. Ia dilahirkan tanggal 2 September 1768 dan naik takhta tanggal 29 September 1788, dalam usia 20 tahun. Pakubuwana IV adalah raja Surakarta yang penuh cita-cita dan keberanian, berbeda dengan ayahnya yang kurang cakap. Ia tertarik pada paham Kejawen dan mengangkat para tokoh golongan tersebut dalam pemerintahan. Hal ini tentu saja ditentang para pejabat Islam yang sudah mapan di istana. Para tokoh Kejawen tersebut mendukung Pakubuwana IV untuk bebas dari VOC dan menjadikan Surakarta sebagai negeri paling utama di Jawa, mengalahkan Yogyakarta. Peristiwa Pakepung Keadaan Surakarta semakin tegang. Para pejabat yang tersisih berusaha mengajak VOC untuk menghadapi raja. Pakubuwana IV sendiri membenci VOC terutama atas sikap residen Surakarta bernama W.A. Palm yang korup. Residen Surakarta pengganti Palm yang bernama Andries Hartsinck terbukti mengadakan pertemuan rahasia dengan Pakubuwana IV. VOC mulai cemas dan menduga Hartsinck dimanfaatkan Pakubuwana IV sebagai alat perusak dari dalam. VOC akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790 bersama mereka mengepung Keraton Surakarta. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasihat rohaninya. Peristiwa ini disebut Pakepung. Pakubuwana IV akhirnya mengaku kalah tanggal 26 November 1790 dengan menyerahkan para penasihatnya yang berpaham Kejawen untuk dibuang VOC. Sikap terhadap Yogyakarta Atas prakarsa VOC, maka Pakubuwana IV, Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I bersama menandatangani perjanjian yang menegaskan bahwa kedaulatan Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran adalah setara dan mereka dilarang untuk saling menaklukkan. Meskipun demikian, Pakubuwana IV tetap saja menyimpan ambisi untuk mengembalikan Mataram-Yogyakarta ke dalam pangkuan Surakarta. Sejak tahun 1800 tidak ada lagi VOC karena dibubarkan pemerintah negeri Belanda. Sebagai gantinya, dibentuk pemerintahan Hindia Belanda yang juga dipimpin seorang gubernur jenderal. Herman Daendels gubernur jenderal Hindia Belanda sejak 1808 menerapkan aturan yang semakin merendahkan kedaulatan istana. Dalam hal ini Pakubuwana IV seolah-olah menerima kebijakan itu karena ia berharap Belanda mau membantunya merebut Yogyakarta. Pakubuwana IV juga pandai bersandiwara di hadapan Thomas Raffles, wakil pemerintah Inggris yang telah menggeser pemerintahan Hindia Belanda tahun 1811. Sementara itu Hamengkubuwana II (pengganti Hamengkubuwana I terkesan kurang ramah terhadap bangsa asing. Pakubuwana IV memanfaatkan kesempatan itu. Ia saling berkirim surat dengan Hamengkubuwana II yang berisi hasutan supaya Yogyakarta segera memberontak terhadap penjajahan Inggris. Harapannya, Yogyakarta akan hancur di tangan Inggris. Pihak Inggris lebih dulu mengambil tindakan. Pada bulan Juni 1812 istana Yogyakarta berhasil diduduki dengan bantuan Mangkunegara II. Hamengkubuwana II sendiri ditangkap dan dibuang ke Penang. Persekutuan dengan Orang-Orang Sepoy Surat-menyurat antara Pakubuwana IV dan Hamengkubuwana II terbongkar. Pihak Inggris tidak menurunkan Pakubuwana IV dari takhta tapi merebut beberapa wilayah Surakarta. Pakubuwana IV belum juga jera. Pada tahun 1814 ia bersekutu dengan kaum Sepoy dari India, yaitu tentara yang dibawa Inggris untuk bertugas di Jawa. Tentara Sepoy ini diajak Pakubuwana IV untuk memberontak terhadap Inggris, serta menaklukkan Yogyakarta yang saat itu dipimpin Hamengkubuwana III. Persekutuan ini kandas tahun 1815. Sebanyak 70 orang Sepoy yang terlibat pemberontakan diadili pihak Inggris. Sejumlah 17 orang di antaranya dihukum mati, sedangkan sisanya dipulangkan ke India sebagai tawanan. Thomas Raffles juga membuang seorang pangeran Surakarta yang dianggap sebagai penghasut Pakubuwana IV. Akhir Pemerintahan Pakubuwana IV masih menjadi raja Surakarta tanpa diturunkan Inggris. Sebaliknya, ia mengalami pergantian pemerintah penjajah, dari Inggris kembali kepada Belanda tahun 1816. Pakubuwana IV meninggal dunia tanggal 2 Oktober 1820. Ia digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana V. Selain dikenal sebagai ahli politik yang cerdik, Pakubuwana IV juga terkenal dalam bidang sastra, khususnya yang bersifat rohani. Ia diyakini mengarang naskah Serat Wulangreh yang berisi ajaran-ajaran luhur untuk memperbaiki moral kaum bangsawan Jawa. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda ia pernah belajar beberapa ilmu kesaktian kepada Pakubuwana IV. Ranggawarsita sendiri merupakan cucu angkat Pangeran Buminoto, adik Pakubuwana IV. 1436/5 <70+75> ♂ # Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III [Hamengku Buwono II] kelahiran: 20 Februari 1769, Yogyakarta perkawinan: <93> ♀ # Bendoro Mas Ayu Madrasah [?] perkawinan: <94> ♀ # Bendoro Raden Ayu Padmowati [?] perkawinan: <95> ♀ # BRAy Panukmowati [?] perkawinan: <96> ♀ # Bendoro Raden Ayu Surtikowati [?] perkawinan: <97> ♀ BRAy Kalpikowati [?] perkawinan: <98> ♀ BRAy Wido [?] perkawinan: <99> ♀ # BRA Doyopurnomo [?] perkawinan: <100> ♀ Bendoro Raden Ayu Renggoasmoro [Ga.Hb.3.20] [?] perkawinan: <101> ♀ Bendoro Raden Ayu Hadiningsih [Ga.Hb.3.23] [?] perkawinan: <102> ♀ Bendoro Mas Ayu Sasmitoningsih [Ga.Hb.3.19] [?] perkawinan: <103> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Wadhan [Gp.Hb.3.3] [?] perkawinan: <104> ♀ Bendoro Raden Ayu Puspowati [?] perkawinan: <105> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Hemas [Gp.Hb.3.1] [Prawirodirjo] perkawinan: <106> ♀ # BRAy Puspitolangen [?] perkawinan: <107> ♀ # BRAy Mulyosari [?] perkawinan: <233!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Hb.1.?] / Gusti Kanjeng Ratu Hageng [Gp.Hb.3.1] [Hamengku Buwono I] perkawinan: <108> ♀ BMAy Mindarsih [?] perkawinan: <230!> ♀ Bendoro Raden Ayu Hadiningdiah [Ga.Hb.3.22] / Bendoro Raden Ajeng Ratnadimurti [Hamengku Buwono I] perkawinan: <109> ♀ Bendoro Raden Ayu Murtiningsih [Ga.Hb.3.21] [?] perkawinan: <110> ♀ # Bendoro Mas Ayu Puspitoningsih [?] perkawinan: <111> ♀ Bendoro Raden Ayu Mangkorowati [Ga.Hb.3.1] [Hamengku Buwono] b. 1770 d. 7 Oktober 1852 perkawinan: <112> ♀ # BRAy Puspitosari [?] perkawinan: <113> ♀ # BRAy Dewaningrum [?] perkawinan: <114> ♀ # BRAy Mulyoningsih [?] perkawinan: <115> ♀ # BRAy Lesmonowati [?] perkawinan: <116> ♀ # Bendoro Raden Ayu Kusumodiningrum [?] gelar: 31 Desember 1808, Yogyakarta, Raja Putro Narendro Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro (Pangeran Wali) gelar: 12 Juni 1812 - 3 November 1814, Sultan of Yogyakarta, 3rd kematian: 3 November 1814 Official Link Adm :Ir. H. Hilal Achmar Nama aslinya adalah Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwana II yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Pada bulan Desember 1810 terjadi serbuan tentara Belanda terhadap Keraton Yogyakarta sebagai kelanjutan dari permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Herman Daendels. Hamengkubuwana II diturunkan secara paksa dari takhta. Herman Daendels kemudian mengangkat Raden Mas Surojo sebagai Hamengkubuwana III berpangkat regent, atau wakil raja. Ia juga menangkap dan menahan Pangeran Notokusumo saudara Hamengkubuwana II di Cirebon. Pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut jajahan Belanda terutama Jawa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamengkubuwana II untuk naik takhta kembali dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Desember 1811. Kemudian terjadi permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Thomas Raffles, yaitu kepala pemerintahan Inggris di Jawa. Pertempuran terjadi di Keraton Yogyakarta, di mana Thomas Raffles membuang Hamengkubuwana II ke Pulau Penang, dan mengangkat kembali Hamengkubuwana III sebagai raja. Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi, antara lain: Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya. Angkatan perang Yogyakarta diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton saja. Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa mendukung Thomas Raffles, dan diangkat menjadi Paku Alam I. Pemerintahan Hamengkubuwana III berakhir pada saat meninggalnya, yaitu tanggal 3 November 1814. Ia digantikan putranya yang masih anak-anak sebagai Hamengkubuwana IV. Sementara itu putra tertuanya yang lahir dari selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan perang terhadap Belanda pada tahun 1825 – 1830. Sri Sultan Hamengkubuwana III (lahir di Yogyakarta, 20 Februari 1769 – meninggal di Yogyakarta, 3 November 1814 pada umur 45 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah dalam dua periode, yaitu tahun 1810 – 1811 dan 1812 – 1814. Kepustakaan M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu Pada 1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan bahkan bergaya hidup Belanda. Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja. Makin berkuasalah Danurejo. Saran-saran Diponegoro tak digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert malah berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah tersebut. Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga untuk memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan Danurejo IV mengepung Tegalrejo. Diponegoro telah mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong. Di sana, ia juga mengorganisasikan pasukan. Pertempuran pun pecah. Upaya damai dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo mengutus Pangeran Mangkubumi -keluarga kraton yang masih dihormati Diponegoro. Namun, setelah berdialog, Mangkubumi justru memutuskan bergabung dengan Diponegoro. Gubernur Jenderal van der Capellen memperkuat pasukannya di Yogya. Namun 200 orang tentara itu, termasuk komandannya Kapten Kumsius, tewas di Logorok, Utara Yogya, atas terjangan pasukan Diponegoro di bawah komando Mulyosentiko. Dalam pertikaian ini, dua kraton Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoro- berpihak pada Belanda. Pasukan pimpinan Tumenggung Surorejo dapat menghancurkan pasukan bantuan Mangkunegoro. Di Magelang, pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir mengalahkan tentara Belanda dan Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di pertempuran itu. Di Menoreh, Diponegoro sendiri memimpin pertempuran yang menewaskan banyak tentara Belanda dan Bupati Ario Sumodilogo. Markas Prambanan diduduki. Meriam-meriam Belanda berhasil dirampas. Di daerah Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda ditaklukkan pasukan rakyat Sukowati pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda di Madiun dihancurkan pasukan Pangerang Serang dan Pangeran Syukur. Belanda kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van Geen yang terkenal kejam di Sulawesi Selatan. Dalam pertempuran di Dekso, Sentot Alibasyah menewaskan hampir semua pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius serta Pangeran Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos. Murdoningrat dan Panular kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan Habert. Di Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro sendiri. Pasukan Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro dihancurkan di Delanggu. Benteng Gowok yang dipimpin Kolonel Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober 1826. Diponegoro tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan Sentot Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton Surakarta dimintanya mundur. Tujuan perang, kata Diponegoro, adalah melawan Belanda dan bukan bertempur sesama warga. Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829. Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam." De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman. 2267/5 <78> ♂ Kanjeng Pangeran Adipati Danurejo II / Kanjeng Raden Tumenggung Mangkunegoro [Danurejo I] kelahiran: 1772 perkawinan: <117> ♀ Bendoro Mas Ayu Pulungayun [?] gelar: 1799, Yogyakarta, Danurejo II pekerjaan: 1799, Yogyakarta, Patih Kesultanan Yogyakarta kematian: 1811 1958/5 <70+?> ♀ # 53. Bendoro Raden Ayu Samparwadi /Bendoro Raden Ayu Kasan Al-Munadi [Hamengku Buwono II] kelahiran: 1775 perkawinan: <118> ♂ Kasan (hasan) AL Munadi [Ba'abud] b. 1764 d. 1830 kematian: 1797 Perkwinan : Tahun 1789 1519/5 <70+172!> ♂ # 11. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkudiningrat [Hamengku Buwono II] kelahiran: 1778 kematian: 13 Maret 1824?, Ambon Edited by : RE. Suhendar Indonesia http://www.royalark.net/Indonesia/yogya5.htm Bandara Pangeran Arya Mangkudiningrat/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati I b. 1778 (s/o Ratu Mas). Exiled to Penang 1812-1815, Batavis 1815-1817 and Ambon 1817-1824. Became an ascetic and assumed the name of Panji Angon Asmara. m. (first) Radin Ayu Jaya Kusuma, daughter of Pangeran Serang, by his wife, Radin Ayu Serang. m. (second) a selir or junior wife. He d. at Ambon, 13th March 1824 (bur. Imagiri), having had issue: 1. Colonel Radin Temenggong Mangku Vijaya/Pangeran Adipati Mangku di-ning Rat II, Prince of Kalibawang (s/o the second wife). Granted the principality of Kalibawang in fief 28th April 1831. Exiled to Ambon in December 1831. m. (div. 1817) Bandara Radin Ayu Mangku Vijaya (m. second, Colonel Gusti Pangeran Adipati Prabhu ning Rat), daughter of H.H. Sampeyan Dalam ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Amangku Buwana III Senapati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid ud-din Panatagama Khalifatu'llah ingkang Yumeneng Kaping, Sultan of Yogyakarta, by his wife, Ratu Kinchana/Ratu Ibu, daughter of Radin Temenggong Pangeran Sasra di-ning Rat I, Bupati of Jipang-Rajegwesi. 2. Pangeran Arya Chakra ning Rat. b. 1801 (s/o a junior wife). 3. Radem Mangku Wilaya/Radin Marta Atmaya/Pangeran Arya Suriya Mataram (cre. 1825). b. 1802 (s/o a junior wife). 4. Radin Sasra Atmaya/Pangeran Arya Paku ning Rat. b. 1803 (s/o a junior wife). Cdr. of Ferryboats during the Java War 1825-1830. 5. Colonel Radin Mas Papaki/Radin Temenggong Mangkundirja (cre. 1814)/Pangeran Adipati Natapraya (cre. 1825), Prince of Kalibawang. b. 1804 (s/o Radin Ayu Jaya Kusuma). Succeeded his brother as prince of Kalibawang 1831. He d. at Kalibawang, November 1853. 6. Pangeran Arya Papak. b. 1804 (s/o a junior wife). 7. Pangeran Arya Paku ning Prang. b. 1805 (s/o a junior wife). 8. Major Radin Jaya di-ning Rat/Pangeran Arya Jaya di-ning Rat. b. 1806 (s/o a junior wife). 9. Radin Arya Jayang Kusuma. He had issue: 1. Radin Adipati Dhanu Praya. 10. Pangeran Arya Malaya Kusuma. b. 1808 (s/o a junior wife). 11. Gusti Kanjeng. m. Lieutenant-Colonel Pangeran Arya Nata ning Prang, third son of Colonel Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Raja Raja Paku Alam II, by his principal consort, Bandara Radin Ajeng Ratna Supira/Gusti Kanjeng Ratu Anum/Gusti Kanjeng Ratu Anum, twenty-fourth daughter of H.H. Sampeyan Dalam ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana II Senapati ing Alaga Ngah 'Abdu'l Rahman Saiyid ud-din Panatagama Khalifatu'llah ingkang Yumeneng Kaping, Sultan of Yogyakarta. She had issue - see Indonesia (Pakualaman). 12. Radin Ajeng Sukina (d/o Jaya Kusuma). 13. Radin Ayu Wirya di-Pura. 14. Radin Ayu Padma di-Pura. • Atas permintaan Keluarga Diputus 1. KG.P.Ap Mangkudiningrat 2. Putranya : 850052 BABAD MANGKUDININGRATAN Teks diawali dengan cerita tentang Pangeran Mangkudiningrat yang mendampingi Hamengku Buwana II, ayahnya yang diasingkan ke Pulau Pinang. Pangeran Mangkudiningrat selalu memohon kepada Tuhan agar ibu,istri, dan anak-anaknya dalam keadaan selamat. Di bagian akhir diceritakan keberhasilan Pangeran Mangkudiningrat (= Panji Asmara) sebagai orang yang dipercaya penduduk Ambon karena kemanjurannya dalam mengobati orang-orang sakit. Bagian akhir teks terputus karena kertas sobek/ lembaran-lembarannya hilang. Di beberapa halaman (h. 142—145, 161—163) terdapat banyak tulisan yang dicoret sehingga tidak dapat dibaca 13510/5 <66> ♂ # Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam II / Pangeran Suryaningrat (Raden Tumenggung Notodiningrat) [Paku Alam I] kelahiran: 25 Juni 1786, Yogyakarta perkawinan: <119> ♀ Resminingdiah [Ga.Pa.2.3] [?] perkawinan: <120> ♀ Widowati [Ga.Pa.2.4] [?] perkawinan: <121> ♀ Sariningdiah [Ga.Pa.2.2] [Gondhowiryo] perkawinan: <179!> ♀ # 37. Gusti Kanjeng Ratu Ayu Krama [Hamengku Buwono II] perkawinan: <122> ♀ Muktionowati [Ga.Pa.2.1] [?] perkawinan: gelar: 1814, Yogyakarta, Pangeran Suryaningrat gelar: 31 Desember 1829, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryaningrat gelar: 4 Januari 1830 - 23 Juli 1858, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Paku Alam II kematian: 23 Juli 1858, Yogyakarta RT Notodiningrat dilahirkan 25 Juni 1786 (versi lain 1785) di Yogyakarta. Ia adalah putera pertama BPH Notokusumo (Paku Alam I). Kiprah RT Notodiningrat dalam kancah politik telah dilakukan ketika masih muda. Ketika terjadi intrik di istana ia sempat diangkat menjadi sekretaris istana oleh pamannya, Sultan Sepuh. Notoningprang juga turut dibuang bersama ayahnya ke Semarang dan Batavia. Selama pemerintahan Paku Alam I ia sudah mendampingi ayahnya memerintah. Pada 1814 ia dilantik menjadi Pangeran Suryaningrat. Setelah ayah mangkat, maka pada 31 Desember 1829 sang pangeran ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryaningrat. Melalui perjanjian politik 1831-1832-1833 dengan Pemerintah Hindia Belanda, KGP Adipati Suryaningrat dikukuhkan menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Paku Alam II. Dalam masa pemerintahannya ditandai dengan apresiasi yang tinggi terhadap kesenian dan kesusastraan disamping meletakkan dasar pemerintahan Kadipaten Pakualaman. Kebudayaan menemukan wujud yang baru dalam kadipaten walaupun tidak meninggalkan pokoknya. Perlu dicatat bahwa Paku Alam II dari garwa padmi (permaisuri) mendapat empat orang putra. Sementara keseluruhan putra-putrinya berjumlah 16 orang. Pada waktu ia naik tahta putra sulungnya yang bernama GPH Suryoputro telah wafat. Putra kedua yaitu GPH Suryaningrat terganggu ingatannya karena terlalu mendalami soal mistik. Putra yang ketiga GPH Nataningprang mendampinginya dalam memegang tampuk pemerintahan dan merupakan tulang punggungnya. Namun putra ketiga ini mendahului meninggal dunia pada 1857. Dengan demikian putra terakhirnya, GPH Sasraningrat, yang menggantikan membantu tampuk pemerintahan sekaligus pewaris tahta berikutnya. Akhirnya KGPA Paku Alam II mangkat pada 23 Juli 1858 setelah bertahta sekitar 30 tahun dan dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta. 13011/5 <63+68!> ♂ # Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara II (Th:1796-1835) [Mangkunegara] perkawinan: <123> ♀ Kanjeng Bendoro Raden Ayu Adipati Mangkunegoro II [Mangkunegara] gelar: 25 Januari 1796, Kanjeng Gusti Pangeran Ario Adipati Mangkunegoro II gelar: 30 Januari 1832, Medali Militaire Willems Orde (Kelas Tiga) gelar: 1833?, Medali Orde van de Nederlandsche Leeuw kematian: 26 Januari 1835 Mangkunegara II adalah raja di Mangkunegaran yang melanjutkan tahta pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Pemerintahannya berlangsung selama lebih kurang 40 tahun (1796-1835).Mangkunegara II merupakan keturunan langsung dari Mangkunegara I sebab ayahnya Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I. Asal Usul Mangkunegara II Mangkunegara II berasal dari keluarga Prabuwijaya yang lahir dari Ratu Alit.Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah Paku Buwono III dan Mangkunegara I. Tampil sebagai raja Mangkunegaran menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795.Tampilnya Mangkunegara II menggantikan Mangkunegara I merupakan catatan yang menarik berhubung suksesi di Istana Pangeran Sambernyawa berbeda dengan dua Kerajaan lainnya. Perbedaan ini segera tampak dalam sistem pergantian dan masa pemerintahannya. Mangkunegara II berasal dari Dinasti pejuang yang kental sekali dengan warna kemiliteran sehingga dalam hal suksesi pergantian pimpinan Istana, selain telah dipersiapkan seorang calon juga mewarisi tradisi cita cita dari pendahulunya untuk diwujudkan dalam masa masa pemerintahan penerusnya. Tradisi dan adat Jawa yang tidak membedakan laki laki dan wanita dalam mengurus negara terbukti dengan keberadaan pasukan tempur wanita sejak perjuangan pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Dalam masa pemerintahannya pula calon penerus sudah tampak dipersiapkan dan jalur wanita bukan persoalan yang menghambat. Pemerintahan Mangkunegara II Mangkunegara II adalah sebutan untuk Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara II Raja di Praja Mangkunegaran. Dalam penulisan sejarah sering hanya disebut dengan nama Mangkunegara II tetapi secara jelas tetap menunjukan sebagai yang dimaksud Raja Mangkunegaran.Semasa mudanya bernama RM.Sulomo kemudian dewasa bergelar Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Surya Mangkubumi. Mangkunegara II lahir dari pasangan Ratu Alit dan Pangeran Hario Prabuwijaya.Dari pihak ibu adalah cucu dari Paku buwono III sedang dari pihak ayahnya adalah cucu dari Mangkunegara I yang terkenal dengan gelar Pangeran Sambernyawa. Ratu Alit adalah putri Paku buwono III sedang Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I. Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung dari tahun 1796 sampai 1835. 22312/5 <79+?+79> ♂ Kanjeng Raden Adipati Haryo Ronggo Prawirodirdja III ? (Adipati Maospati Madiun ke III) [Kerajaan Bima] perkawinan: <161!> ♀ # Gusti Bendoro Raden Ayu Maduretno [Hb.2.22] ? (Gusti Kanjeng Ratu Prawirodirdja III) [Hamengku Buwono] gelar: 1799 - 17 Desember 1810, Bupati Madiun Ke 16 di : Maospati kematian: 17 Desember 1810, Banyu Sumurup-Imogiri dipindahkan ke Giripurno-Gn Bancak-Magetan pada 1957 23113/5 <92+82> ♂ Raden Panji Prawirokusumo [Hamengku Buwono I] perkawinan: <197!> ♀ # 55. Bendoro Raden Ayu Prawirokusumo [Hamengku Buwono II] NMR: 29 Juni 1813, Yogyakarta 22814/5 <75> Ψ Raden Mas Wangsakusumo / Raden Panji Wangsakusumo [Raden Panji Wangsakusumo] kematian: 30 Juli 1826 15015/5 <70+?> ♂ # 9. Bendoro Pangeran Haryo Kertosono ? (Bendoro Pangeran Haryo Murdaningrat) [Hamengku Buwono] kematian: September 1826 WWW.ROYALARK.NET Bandara Pangeran Arya Martasana/Bandara Pangeran Arya MurdaningRat (cre. 17th November 1825). b. 1774 (s/o Sepu). Exiled to Penang 1812-1815, Batavis 1815-1817 and Ambon 1817-1824. Wakil Dalem to HBV from 17th November 1825. m. at Ambon, before 1824, a daughter of an exiled Surakarta prince. He was k. in an ambush at Nglengkong, near Sleman, 30th July 1826, having had issue: •a) Radin Mas Adipati Arya Jaya di-ning Rat. Served with Dipa Negara 1825-1829, Bupati of Kuta Arya 1830-1863. Copyright© Christopher Buyers •b) Radin Temenggong Rana di-ning Rat. Mbr. Regency Cncl. 1814-1815. m. Bandara Radin Ayu Rana di-ning Rat, fourteenth daughter of H.H. Sampeyan Dalam ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Amangku Buwana I Senapati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid ud-din Panatagama Khalifatu'llah ingkang Yumeneng Kaping [Sunan Kabanaran or Sultan Suwarji], Sultan of Yogyakarta, by his junior wife Bandara Mas Ayu Chitra Kusuma. 22516/5 <80> ♂ Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Paku Alam II [Pakualam I] kelahiran: 1829 - 1858, Pakualam II 17117/5 <70+69> ♂ # 30. Bendoro Pangeran Haryo Joyokusumo I / Bendoro Pangeran Hangabehi [Hamengku Buwono II] kematian: 30 September 1829, Imogiri, Yogyakarta Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 13118/5 <63> ♂ Pangeran Hario Prabuamijoyo [Mangkunegara] perkawinan: <63!> ♀ Ratu Alit [Pakubuwono] 13619/5 <67> ♂ # Kyai Amat Jati [Mataram] Diputus : 26387 13720/5 <68> ♂ # Kanjeng Pangeran Adipati Ario Padmonagoro [?] KPAA Padmonagoro, Bupati Wirosobo 13821/5 <68> ♂ # Kanjeng Pangeran Tumenggung Adipati Purbonagoro [Mangkunegara] perkawinan: <124> ♀ Raden Ayu Rantamsari [Majapahit] KPTA Purbanagoro pernah menjabat sebagai Bupati Kediri Propinsi Jawa Timur 13922/5 <68> ♀ # Bendoro Raden Ayu Tumenggung Suryonagoro [Mangkunagoro] Bendoro Raden Ayu Tumenggung Suryonagoro adalah Istri Raden Tumenggung Suryonagoro Bupati Keduang 14023/5 <69> ♀ Raden Ajeng Prabuwinarko [Hamengku Buwono] 14124/5 <68+131!+63> ♂ Kanjeng Gusti Pengeran Adipati Anom Mangkunegoro II [Mangkunegara] 14225/5 <70+74> ♂ # 6. Bendoro Pangeran Haryo Dipawiyana [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study BPH Dipawiyana adalah anak dari Seri Sultan Hamengku Buwono. Sejarah Hamengku Buwono II: Sri Sultan Hamengkubuwana II (lahir 7 Maret 1750 – meninggal 3 Januari 1828 pada umur 77 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828.[1] Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh. Riwayat Masa Muda Nama aslinya adalah Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwana I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 saat ayahnya masih menjadi Pangeran Mangkubumi dan melakukan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam perjanjian Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui sebagai Adipati Anom. Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta akibat mitos akhir abad, bahwa akan ada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang berisi ramalan bahwa mitos akhir abad akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut sampai saat ini dikeramatkan sebagai salah satu pusaka Keraton Yogyakarta. Pemerintahan Periode Pertama Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta sebagai Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan diganti pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I diganti dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berbeda dengan rajanya. Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam keadaan bangkrut dan bobrok. Organisasi ini akhirnya dibubarkan oleh pemerintah negeri Belanda akhir tahun 1799. Sejak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur jenderal VOC adalah Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen). Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan Yogyakarta. Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang dekat dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Natakusuma (saudara Hamengkubuwana II). Kemudian Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati Toenggoel menikah dengan puteri Hamengku Buwono II dari isteri ampeyannya BMA Yati.Raden Rangga Prawirodirjo I adalah juga paman Hamengku Buwono II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya adalah adik KPR Prawirodirjo bapak mereka adalah Kyai Ageng Derpayuda.(Genealogy Keraton Yogya). Belanda berhasil menumpas Raden Rangga dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II. [sunting] Pemerintahan Periode Kedua Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II untuk kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota kembali. Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811. Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II agar berani memerangi Inggris. Surat-menyurat antara kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas sebagian wilayahnya. Hamengkubuwana III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkat sebagai Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman. [sunting] Pemerintahan Periode Ketiga Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa sejak tahun 1816). Saat itu raja yang bertakhta di Yogyakarta adalah Hamengkubuwana V. Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwana V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro sebagai raja mereka. Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil sebagai Sultan Sepuh) akhirnya meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V. 14426/5 <70+?> ♀ # 1. Bendoro Raden Ayu Gusti Wiryonegoro [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 14527/5 <70+?> ♀ # 2. Bendoro Raden Ayu Sindurejo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 14628/5 <70+?+78> ♀ # 3. Bendoro Raden Ayu Pringgodiningrat / Bendoro Raden Ayu Pringgodirjo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 14729/5 <70+74> ♀ # 4. Bendoro Raden Ayu Jayaningrat [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 14830/5 <70+?> ♀ # 7. Bendoro Raden Ayu Wiryowinoto [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 14931/5 <70+75> ♀ # 8. Gusti Kanjeng Ratu Bendara [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 15232/5 <70+?> ♀ # 12. Bendoro Raden Ayu Jayengrono [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 15333/5 <70+74> ♂ # 13. Bendoro Pangeran Haryo Wiromenggolo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 15434/5 <70+75> ♀ # 14. Gusti Kanjeng Ratu Hangger Krama [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 15535/5 <70+?> ♀ 15. Bendoro Raden Ayu Kartodipuro [Hamengku Buwono II] 15636/5 <70+?> ♂ # 16. Bendoro Pangeran Haryo Singasari [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 15737/5 <70+?> ♀ # 17. Bendoro Raden Ayu Yudoprawiro [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 15838/5 <70+75> ♂ # 18. Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi / Gusti Kanjeng Panembahan Mangkurat [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 15939/5 <70+?> ♀ # 19. Bendoro Raden Ayu Ronggo Prawirosantiko [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 16040/5 <70+74> ♀ # 20. Bendoro Raden Ayu Prawirodiningrat I [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 16141/5 <70+75> ♀ # Gusti Bendoro Raden Ayu Maduretno [Hb.2.22] ? (Gusti Kanjeng Ratu Prawirodirdja III) [Hamengku Buwono] perkawinan: <223!> ♂ Kanjeng Raden Adipati Haryo Ronggo Prawirodirdja III ? (Adipati Maospati Madiun ke III) [Kerajaan Bima] d. 17 Desember 1810 Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 16242/5 <70+?> ♀ # 21. Gusti Raden Ayu Prawirodiningrat II [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 16343/5 <70+76> ♀ # 23. Bendoro Raden Ayu Sosrowijoyo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 16444/5 <70+?> ♀ # 24. Bendoro Raden Ayu Bahusentono [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 16545/5 <70+?> ♀ # 25. Bendoro Raden Ayu Prawiroyudo [Hamengku Buwono II] perkawinan: Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 16646/5 <70+70> ♂ # 10. Bendoro Pangeran Haryo Pamot [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 16747/5 <70+77> ♂ # 26. Bendoro Pangeran Haryo Hadiwinoto [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 16848/5 <70+76> ♂ # 27. Bendoro Pangeran Haryo Silarong [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 16949/5 <70+77> ♂ # 28. Bendoro Pangeran Haryo Sutowijoyo / Bendoro Pangeran Haryo Hadiwinoto [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 17050/5 <70+76> ♀ # 29. Bendoro Raden Ayu Murtodiningrat I [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 17351/5 <70+71> ♀ # 31. Bendoro Raden Ayu Ngabdani Ing Bayat [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 17452/5 <70+71> ♀ # 32. Bendoro Raden Ayu Nitinegoro [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 17553/5 <70+?> ♀ # 33. Bendoro Raden Ayu Cokrodiwiryo / Bendoro Raden Ayu Condrodiwiryo (Bendoro Raden Ayu Kromodiwiryo) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 17654/5 <70+76> ♂ # 34. Bendoro Pangeran Haryo Senokusumo / Bendoro Pangeran Haryo Notopuro [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 17755/5 <70+77> ♀ # 35. Bendoro Raden Ayu Sosronegoro I [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 17856/5 <70+?> ♀ # 36. Bendoro Raden Ayu Sosrowinoto I / Bendoro Raden Ayu Sindunegoro [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 17957/5 <70+?> ♀ # 37. Gusti Kanjeng Ratu Ayu Krama [Hamengku Buwono II] perkawinan: <135!> ♂ # Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam II / Pangeran Suryaningrat (Raden Tumenggung Notodiningrat) [Paku Alam I] b. 25 Juni 1786 d. 23 Juli 1858 Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 18058/5 <70+?> ♂ # 38. Gusti Raden Mas Sudaryo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 18159/5 <70+?> ♀ # 39. Bendoro Raden Ayu Prawiriwinoto / Bendoro Raden Ayu Yudodipuro (Bendoro Raden Ayu Kartodiwiryo) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 18260/5 <70+?> ♀ # 40. Bendoro Raden Ayu Prawirodiningrat II / Bendoro Raden Ayu Yudipuro [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 18361/5 <70+77> ♀ # 41. Bendoro Raden Ayu Sosronegoro II [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 18462/5 <70+?> ♀ # 42. Bendoro Pangeran Haryo Dipowijoyo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 18563/5 <70+72> ♀ # 43. Bendoro Raden Ayu Mangkuyudo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 18664/5 <70+?> ♂ # 44. Bendoro Pangeran Haryo Hadiwijoyo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 18765/5 <70+69> ♂ # 45. BAy. Tomoprawiro [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 18866/5 <70+77> ♀ # 46. Bendoro Raden Ayu Notoyudo Bendoro Raden Ayu Notowijoyo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 18967/5 <70+77> ♀ # 47. Bendoro Pangeran Haryo Notoboyo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 19068/5 <70+?> ♂ # 48. BRAy. Yudowijayo (Notoyudo) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 19169/5 <70+?> ♀ # 49. BPH Teposono (bph Juminah) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 19270/5 <70+?> ♂ # 50. Bendoro Pangeran Haryo Singosekar / Bendoro Pangeran Haryo Riyokusumo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 19371/5 <70+?> ♂ # 51. Gusti Kanjeng Ratu Anom [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 19472/5 <70+?> ♀ # 52. GRM Sumadi [Hamengku Buwono II] perkawinan: <393!> ♂ Kanjeng Pangeran Haryo Purwonegoro / Kanjeng Pangeran Haryo Purbokusumo [Hamengku Buwono III] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 19673/5 <70+?> ♀ 54. B.R.Ay. Secadirja ( BRAy. Wirjawilaga / BRAy. Jayadilaga ) [Hamengku Buwono II] 19774/5 <70+70> ♀ # 55. Bendoro Raden Ayu Prawirokusumo [Hamengku Buwono II] perkawinan: <231!> ♂ Raden Panji Prawirokusumo [Hamengku Buwono I] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 19875/5 <70+77> ♂ # 56. BPH Notodipuro (Purbowinoto) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 19976/5 <70+?> ♀ # 57. GKR Timur [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 20077/5 <70+?> ♀ # 58. G.R.Aj. Sudarminah [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 20178/5 <70+?> ♀ # 59. Bendoro Raden Ayu Notorejo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 20279/5 <70+?> ♂ # 60. BPH Purwokusumo (gph Sosroatmojo) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 20380/5 <70+?> ♀ # 61. B.R.Ay. Jayengsantro (BRAy Sosrohatmojo) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 20481/5 <70+?> ♀ # 62. B.R.Ay. Reksokusumo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study Menikah dengan Bupati Imogiri(?) 20582/5 <70+?> ♀ # 63. B.R.Ay. Prawiroloyo (BRAy. Mangunprawoto) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 20683/5 <70+?> ♀ # 64. B.R.Ay. Sosrodipuro I [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 20784/5 <70+?> ♂ # 65. BRAy . Martosono (bph Puger) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 20885/5 <70+?> ♀ # 66. B.R.Ay. Sosrodipuro II [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 20986/5 <70+?> ♀ # 67. B.R.Ay. Puspadiningrat (BRAy. Mulyodiwiryo) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 21087/5 <70+?> ♀ # 68. B.R.Ay. Projodiningrat [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 21188/5 <70+?> ♀ # 69. Bendoro Raden Ayu Notonegoro / Bendoro Raden Ayu Martodiningrat II [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 21289/5 <70+?> ♀ # 70. B.R.Ay. Jojodirjo (BRAy. Pringgodirjo) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 21390/5 <70+?> ♂ # 71. BPH Mangjudipuro (bph Purwodipuro/BPH Joyokusumo II) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 21491/5 <70+?> ♂ # 72. BPH Wijil ( BPH Hadiwijoyo II ) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 21592/5 <70+?> ♀ # 73. Bendoro Raden Ayu Notonegoro / Bendoro Raden Ayu Sawunggaling [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 21693/5 <70+?> ♀ # 74. GKR Sasi [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 21794/5 <70+68> ♂ # Bendoro Pangeran Haryo Tejokusumo [Hb.2.76] (Bendoro Pangeran Haryo Hadinegoro) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 21895/5 <70+?> ♀ # 76. B.R.Ay. Martokusumo ( BRAy. Poncodiryo / BRAy. Padmowinoto ) [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 21996/5 <70+73> ♂ # 77. Bendoro Pangeran Haryo Timur / Bendoro Pangeran Haryo Pujokusumo [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 22097/5 <70+73> ♀ # 78. Bendoro Raden Ayu Dewi / Bendoro Raden Ayu Martonegoro [Hamengku Buwono II] perkawinan: <229!> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Martonegoro [Hamengku Buwono I] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 22198/5 <70+73> ♂ # 79. Bendoro Pangeran Haryo Timur [Hamengku Buwono II] Ir. H. Hilal Achmar Lineage Study 22299/5 <71> ♂ Muhammad Tayib (Khatib Tuban) [?] 227100/5 <66> ♂ Kanjeng Pangeran Adipati Danurejo III / Pangeran Natadiningrat (Barep Hadiwanaryo) [Danurejo I] 229101/5 <77+80> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Martonegoro [Hamengku Buwono I] perkawinan: <220!> ♀ # 78. Bendoro Raden Ayu Dewi / Bendoro Raden Ayu Martonegoro [Hamengku Buwono II] 230102/5 <87> ♀ Bendoro Raden Ayu Hadiningdiah [Ga.Hb.3.22] / Bendoro Raden Ajeng Ratnadimurti [Hamengku Buwono I] perkawinan: <143!> ♂ # Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III [Hamengku Buwono II] b. 20 Februari 1769 d. 3 November 1814 232103/5 <109+?> ♂ Raden Mas Sutawijaya [Cakraatmaja] 233104/5 <82> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Hb.1.?] / Gusti Kanjeng Ratu Hageng [Gp.Hb.3.1] [Hamengku Buwono I] perkawinan: <143!> ♂ # Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III [Hamengku Buwono II] b. 20 Februari 1769 d. 3 November 1814 234105/5 <64+67> ♀ Ratu Pembayun [Pakubuwono III] perkawinan: <125> ♂ Pangeran Adipati Mangkubumi [?] 235106/5 <64+67> ♂ Panembahan Buminoto [Pakubuwono III] 6 2391/6 <130> ♀ Putri [Mangkunegara] kelahiran: perkawinan: <133!> ♂ Pangeran Hario Hadiwijoyo I [Hadiwijoyo] 2432/6 <133+340!> ♂ Pangeran Hario Hadiwijoyo II [Hadiwijoyo] kelahiran: 2683/6 <143+115> ♀ # Bendoro Raden Ayu Mangkuwijoyo [Hamengku Buwono III] kelahiran: Istri Ke 1 perkawinan: <126> ♂ Kanjeng Pangeran Haryo Prabuningrat [?] perkawinan: <296!> ♂ # 1. Kanjeng Raden Tumenggung Mangkuwijoyo / Pangeran Adipati Mangkudiningrat II [Hamengku Buwono] b. 1800? Hilal Achmar Official Link 2714/6 <143+113> ♀ # BRAy Sosrodiningrat [Hamengku Buwono] kelahiran: Istri Ke 2 perkawinan: <296!> ♂ # 1. Kanjeng Raden Tumenggung Mangkuwijoyo / Pangeran Adipati Mangkudiningrat II [Hamengku Buwono] b. 1800? Official From Hilal Achmar. 2845/6 <224> ♂ Raden Mas Ngabei Harjosubroto [Amangkurat IV] kelahiran: Level 4 = Canggah; Adalah trah urutan ke 4 dari Sang Prabu Amangkurat Jowo (IV) 1719-1727 perkawinan: <127> ♀ Raden Nganten Harjosubroto [Ki Sontodikoro] 2856/6 <225> ♂ Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Paku Alam III [Pakualam II] kelahiran: 3. Paku Alam III (1858 - 1864) 3067/6 <232> ♂ 1. RM. Dayun Sentradrana/Ky Abdurrahim [Cakraatmaja] kelahiran: di Banjarnegara 3078/6 <232> ♂ 2. RM. Mentradana [Cakraatmaja] kelahiran: di Merden 3089/6 <232> ♂ 3. RM. Jiwa Yuda [Cakraatmaja] kelahiran: di Merden 30910/6 <232> ♀ 4. RAy. Nyai Jiwa Menggala [Cakraatmaja] kelahiran: di Gumelem 31011/6 <232> ♀ 5. Nyai RAy. Angga Menggala [Cakraatmaja] kelahiran: di Gumelem 31112/6 <232+?> ♂ 6. RM. Wira Seca [Cakraatmaja] kelahiran: di Batur 31213/6 <226> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Yudonegoro I [Danurejo II] kelahiran: menikah dgn Raden Ayu Bendara Kaleting Kuning (putri Kanjeng Ratu Kencana) perkawinan: <128> ♀ Bendoro Raden Ayu Padmi [?] 24014/6 <134+91> ♂ # Kanjeng Susuhunan Pakubuwono V / Sunan Sugih (Raden Mas Sugandi) [Pakubuwono IV] kelahiran: 1785, Surakarta perkawinan: <129> ♀ Ratu Mas / Kanjeng Ratu Ageng [?] perkawinan: <130> ♀ Raden Ayu Sosrokusumo / Ratu Kencana [Martani] gelar: 10 Februari 1820, Surakarta kematian: 5 September 1823, Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwana V (lahir: Surakarta, 1785 – wafat: Surakarta, 1823) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1820 – 1823. Kisah Hidup Nama aslinya adalah Raden Mas Sugandi, putra Pakubuwana IV yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Handoyo putri Adipati Cakraningrat bupati Pamekasan. Ia naik takhta pada tanggal 10 Februari 1820, selang delapan hari setelah kematian ayahnya. Pakubuwana V juga dikenal dengan sebutan Sunan Sugih, yang artinya “Baginda Kaya”, yaitu kaya harta dan kaya kesaktian. Konon, ia pernah membuat keris pusaka dengan tangannya sendiri, bernama Kyai Kaget, yang berasal dari pecahan meriam pusaka Kyai Guntur Geni saat terjadinya pemberontakan orang Cina tahun 1740. Pakubuwana V juga memerintahkan ditulisnya Serat Centhini berdasarkan pengalaman pribadinya semasa menjabat Adipati Anom. Yang menjadi juru tulis naskah populer ini ialah Raden Rangga Sutrasna. Pakubuwana V hanya memerintah selama tiga tahun. Ia meninggal dunia pada tanggal 5 September 1823. Raja Surakarta selanjutnya adalah putranya, yaitu Pakubuwana VI, yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia sebagai pahlawan nasional. SRI SUSUHUNAN PAKUBUWANA V, BUKAN HANYA RAJA dari Karaton Surakarta Hadiningrat, melainkan beliau juga seorang maecenas besar yang pernah dimiliki Indonesia. Meski kekuasaannya berlangsung sangat pendek (1820-1823), namun jasa dan gagasannya terukir panjang. Dari gagasan, dan tentu donasi beliau (yang bahkan telah dimulai ketika masih sebagai putra mahkota bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara ing Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV), lahirlah pada awal abad 19 itu, Suluk Tambangraras yang kemudian lebih dikenal sebagai Serat Centhini. Serat Centhini, ditulis tahun 1815 oleh tiga pujangga Karaton Surakarta. Yakni, Ki Ngabei Ranggasutrasna, Raden Tumenggung Sastranegara, dan Ki Ngabei Sastradipura. Sebagai sebuah karya sastra, memenuhi syarat sebagai sebuah mahakarya yang memiliki pengaruh luas. Sampai banyak orang bisa berkomentar dan menilai, sekali pun sama sekali belum pernah membacanya, sampai hari ini. Begitu hebatnya ia, sampai-sampai karya ini muncul dalam banyak versi. Setidaknya ditengarai ada 12 versi Serat Centhini, dan itu sudah cukup menunjukkan kelasnya. Daerah tebanya begitu luas. Ia mengenai apa saja. Bukan hanya mengenai sastra atau seni, melainkan juga tentang adat-istiadat, obat-obatan, makanan dan minuman (jaman sekarang disebut kuliner), pengetahuan tentang hewan, tanaman, agama, sejarah, dan bahkan tentang seks. Tentang yang terakhir itulah, Serat Centhini antara lain dikenal luas. Karena Serat Centhini-lah karya sastra Jawa pada waktu itu, yang berbicara berterus-terang perihal seks. Penjabarannya, bukan hanya verbal tetapi kadang liar. Dalam Serat Centhini, juga dikisahkan bagaimana terjadi anal seks atau pun praktik homo-seksualitas. Dan bahkan, seks massal,... Pada bagian-bagian yang berkait dengan seks itu, konon Pakubuwana V sendiri yang turun tangan, menulis langsung. Itu terjadi setelah tiga penulisnya dirasa tidak memuaskannya. Tidak nges, dan kurang lugas. Kurang mak nyus, kata almarhum Prof. Dr. Umar Kayam (yang kemudian ditirukan atau dipopulerkan oleh pakar kuliner Bondan Winarno). Maka, Serat Centhini jilid 5 s.d 10 yang ditulis sendiri oleh sang Raja, sebagaimana kemudian bisa dibaca dalam kitab Serat Centhini sekarang ini. Ia mendapat banyak sebutan, sebagai karya korpus, monumental, sastra kanon yang begitu lengkap dan mencengangkan, karena cakupan isinya yang ensiklopedis, gaya bertuturnya, serta ketebalannya. Bayangkanlah, pada abad 19 itu, lahir karya sastra yang secara liris dan intens, ditulis sebanyak 12 jilid, dengan 722 pupuh tembang (jenis puisi Jawa). Satu pupuh tembang, tak jarang terdiri dari ratusan kuplet (bait), bahkan ada beberapa yang mencapai lebih dari 300 kuplet. Dan masing-masing kuplet terdiri antara 6 hingga 12 baris. Bisa dibayangkan, kepiawaian bahasa para penulisnya. Karena masing-masing pupuh tembang diikat oleh guru wilangan (jumlah suku kata yang terukur dan terhitung pasti), dan guru lagu (akhir suku kata masing-masing baris yang baku, untuk mendapatkan pola pantunnya). Karena itu, kata-kata dalam bahasa Jawa yang dipakai para penulisnya begitu lentur karena mengejar rima dan bunyi. Karena itu ketika Serat Centhini itu dilisankan (ditembangkan) siapa pun sepanjang mengetahui cara menyanyikan pupuh tembang itu, Centhini menjadi komunikatif, mudah untuk diapresiasi, dan mudah untuk disosialisasikan. Bahkan terbuka ditafsirkan dan punya kecenderungan bias, karena faktor pendengaran, pengertian, atau ingatan. Hal ini menjadi mudah terjadi, karena tembang sebagai sastra lisan yang jamak dilakukan pada waktu itu, terjadi dalam berbagai bentuk pertemuan banyak orang, ketika berada dalam upacara sunatan, pengantin, atau berbagai pertemuan-pertemuan rutin, yang diselenggarakan oleh berbagai kelompok masyarakat, dalam berbagai waktu dan tempat. Karena itulah Centhini bisa muncul dalam banyak versi. Seperti Centhini Pegon. Centhini Jalalen. Centhini versi Madura. Dan lain sebagainya. Tidak dalam niat menyamakan, demikian pulalah ketika para sahabat Muhammad SAW hendak mengumpulkan hadist nabi, yang tentunya disampaikan secara lisan. Maka ketika hadist itu hendak dikumpulkan dan dituliskan, dibutuhkan para perawi hadis yang sahih, yang bisa menjamin tingkat kebenarannya. Apalagi, untuk kasus penulisan Alquran, yang dilakukan setelah nabi wafat. Demikian pula dengan kasus penulisan Injil, yang ditulis berdasar penuturan sahabat-sahabat Jesus seperti Lukas, Paul, Johannes dan lain sebagainya. Percontohan dalam karya sastra Indonesia, mungkin bisa ditemui pada novel “Para Priyayi” (1992) Umar Kayam, yang pembagian bab-nya ditulis menurut sudut pandang “aku” tokoh-tokohnya. Atau pada lahirnya novel kwarternarius “Bumi Manusia” (1980) Pramoedya Ananta Toer. Yang konon sebelum dituliskan, justeru dilisankan. Didongengkan terlebih dulu kepada sesama napi di Pulau Buru, untuk kemudian baru ditulis. Serat Centhini (1815) berada dalam nasib berbeda, karena ia “hanya” sastra Jawa, yang tentu tidak segawat kasus penulisan kitab agama yang membutuhkan kesahihan dan kecanggihan. Demikian pula, ia bukan sastra teks Indonesia yang “mulia”, yang mempunyai para ahli kritiknya masing-masing. Sehingga perlu ada studi perbandingan atau studi kritis, sebagaimana dialami oleh Umar Kayam atau Pramoedya. 24415/6 <143+111> ♂ # Pangeran Diponegoro / Gusti Raden Mas Ibnu Jarot [Hb.3.1] [Hamengku Buwono III] kelahiran: 11 November 1785, Yogyakarta perkawinan: <131> ♀ # 3. RA. Retnodewati [Kyai di Wilayah Selatan Jogjakarta] perkawinan: <132> ♀ # 4. RA. Citrowati [Ronggo Prawirosentiko] perkawinan: <133> ♀ # 6. RA. Retnaningsih [Raden Tumenggung Sumoprawiro, Bupati Jipang Kepadhangan] b. 1810 d. 1885 perkawinan: <134> ♀ # 8. RA. Retnaningrum [Dipawiyana II] perkawinan: <259!> ♀ # 5. RA. Maduretno / RA. Diponegoro (BRA Ontowiryo) [Hamengku Buwono] b. ~ 1798 d. 28 Februari 1827 perkawinan: <135> ♀ # 1. RA. Retno Madubrongto [Kyai Gedhe Dadapan - Tempel Sleman] gelar: 3 September 1805, Yogyakarta, Bendoron Raden Mas Ontowiryo (Carey,Peter, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 2014, pp.17) perkawinan: <136> ♀ # 2. Raden Ayu Retnakusuma / Raden Ayu Supadmi [Raden Tumenggung Natawijaya Iii, Bupati Panolan, Jipang] , Yogyakarta perkawinan: <137> ♀ # 7. RA. Retnakumala (Mnkh: 1825) [Kyahi Guru Kasongan] , Kasongan kematian: 8 Januari 1855, Makasar ( KELUARGA KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT ) Daftar isi • 1 Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro • 2 Latar Belakang • 3 Figur Diponegoro • 4 Silsilah Pangeran Diponegoro versi Babad Mangkunegaran • 5 Silsilah Keturunan Pangeran Diponegoro • 6 Penangkapan dan Pengasingan • 7 Perang Jawa-3 ; 1825 – 1830 Perjuangan Islam Melawan Penjajah • 8 Gallery Aktifitas Keluarga Pangeran Diponegoro Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro Patung Pangeran Diponegoro Sumber : [1] Latar Belakang Sebagai putra sulung Sultan Hamengkubuwono (HB) III, raja kasultanan Jogyakarta Hadiningrat, Pangeran Diponegoro memiliki hubungan kekerabatan formal dengan kraton. Meskipun dia dibesarkan di luar tembok kraton, namun sebagai seorang pangeran dia tetap mendapat didikan ksatria Jawa, mengikuti tradisi kejawen, dan menghayati berbagai ritual kraton, tata cara, perilaku dan tutur bahasa yang sangat hierarkhis. Selain itu dia juga mendapat pendidikan perang seperti ulah kanuragan, olah senjata, menunggang kuda, dan juga ilmu pemerintahan. Figur Diponegoro Diponegoro adalah putra sulung Sultan Jogya, Sultan HB III atau Sultan Raja dari seorang selir. Dengan demikian dia adalah cucu Sultan HB II (Sultan Sepuh) dan cicit Sultan HB I (Sultan Swargi). Ibunya disebut-sebut bernama R.A. Mangkarawati yang menurut Peter Carey asal-usulnya masih kabur. Dikatakan putri itu berasal dari Majasta di daerah Pajang, dekat makam keramat Tembayat (Carey, 1991:2). Dalam naskah lain Carrey mengatakan dia adalah keturunan Ki Ageng Prampelan dari Pajang (Carey, 1974:74). Sagimun MD. memberitakan bahwa dia berasal dari Pacitan, putri seorang Bupati yang konon masih berdarah Madura (Sagimun, 1986:36). R. Tanojo dalam Sadjarah Pangeran Dipanagara Darah Madura mengatakan bahwa darah Madura yang mengalir pada Diponegoro bukan berasal dari pihak ibu tetapi justeru dari pihak ayah. Menurut silsilah, nenek Diponegoro, yakni Ratu Kedaton (permaisuri HB II) adalah generasi ke enam keturunan Pangeran Cakraningrat dari Tunjung Madura (Tanojo, t.t:4). Nama asli Diponegoro adalah Raden Mas Mustahar. Dia lahir di keraton Jogyakarta pada hari Jum'at Wage, tanggal 7 Muharram Tahun Be atau 11 Nopember 1785 Masehi sebagai putera sulung Sultan HB III (Carey, 1991:1). 1) Pada tahun 1805 Sultan HB II mengganti namanya menjadi Raden Mas Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar pangeran baru disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta. Sepanjang hidupnya, tercatat ada delapan wanita yang pernah dinikahi oleh Pangeran Diponegoro. Pernikahan pertama, terjadi tahun 1803 dengan Raden Ayu (RA) Retna Madubrongto, putri Kyahi Gedhe Dadapan, dari desa Dadapan, sub distrik Tempel, dekat perbatasan Kedu dan Jogyakarta. Kedua, tanggal 27 Pebruari 1807 dengan Raden Ajeng Supadmi (R.A. Retnakusuma), putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang. Ketiga, tahun 1808 dengan R.A. Retnodewati. Baik Madubrongto maupun Retnodewati wafat sewaktu Diponegoro masih berada di Tegalrejo. Dua tahun kemudian di awal tahun 1810 Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan ke wilayah timur dan menikah untuk yang keempat dengan Raden Ayu Citrowati, puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko dengan salah satu isteri selir. Tidak lama setelah melahirkan anaknya Raden Ayu Citrowati meninggal dalam kerusuhan di Madiun. Bayi yang baru saja dilahirkan kemudian dibawa oleh Ki Tembi seorang sahabat Pangeran Diponegoro. Oleh Pangeran Diponegoro bayi tersebut diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh. Dan diberi nama singlon yang artinya adalah nama samaran sehingga bayi tersebut terkenal dengan nama Raden Mas Singlon. Isteri Keelima, dinikahi pada tanggal 28 September 1814, yakni R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Ketika Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, dia diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton.l 18 Pebruari 1828. Keenam, bulan Januari 1828 Diponegoro menikahi R.A. Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh, R.A. Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan, dan kedelapan, R.A. Retnakumala, putri Kyahi Guru Kasongan (Babad, P. XIX, b. 21-26; Lihat juga Carey, 2007:767-769). 6) Silsilah Pangeran Diponegoro versi Babad Mangkunegaran Babad Mangkunegaraan ________________________________________ Silsilah Keturunan Pangeran Diponegoro klik Nama untuk membuka Silsilah No. Nama Lahir Ibu Kandung 1. RM. ABDUL MADJID / DIPONEGORO ANOM 1803 RA. RETNA MADUBRONGTO 2. RM. DIPOATMAJA / DIPOKUSUMA/PANGERAN ABDUL AZIS 1805 RA. RETNA MADUBRONGTO 3. RM. SURYAATMAJA / DIPONINGRAT 1807 RA. SUPADMI / RA. RETNAKUSUMA 4. RM. SODEWO / SINGLON / PANGERAN ALIP 1810 RA. CITROWATI 5. RM. DJONET DIPOMENGGOLO 1815 RA. MADURETNO / RA. ONTOWIRYO 6. RM. ROUB/RM. RAAB 1816 RA. MADURETNO / RA. ONTOWIRYO 7. RA. IMPUN / RA. BASAH ---- RA. RETNODEWATI 8. RA. JOYOKUSUMO ---- RA. SUPADMI / RA. RETNA KUSUMA 9. RA. MUNTENG / RA. SITI FADILAH / RA. GUSTI ---- RA. RETNODEWATI 10. RA. HERJUMINTEN ---- RA. RETNAKUMALA 11. RA. HERJUMEROT ---- RA. RETNAKUMALA 12. RA. HANGRENI MANGUNJAYA ---- RA. RETNAKUMALA 13. RM. KINDAR 1832) RA. RETNANINGSIH 14. RM. SARKUMA 1834) RA. RETNANINGSIH 15. RM. MUNTAWARIDIN 1835 RA. RETNANINGSIH 16. RA. PUTRI MUNADIMA 1836 RA. RETNANINGSIH 17. RA. DULKABI 1836 RA. RETNANINGSIH 18. RM. RAJAB 1837 RA. RETNANINGSIH 19. RM. RAMAJI 1838 RA. RETNANINGSIH 20. RA. MANGKUKUSUMO ---- RA. RETNANINGRUM 21. RA. PADMODIPURO ---- RA. RETNANINGRUM 22. RA. PONCOKUSUMO ---- RA. RETNANINGRUM ________________________________________ Penangkapan dan Pengasingan 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia. Lukisan karya Nicolaas Pieneman, "Penyerahan diri Pangeran Diponegero kepada Jenderal De Kock".28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock, 28 Maret 1830 akhir dari Perang Diponegoro (1825-1830). Lukisan Tahun 1835 Nicolaas_Pieneman (1809-1860), Sumber :[[2]] Lukisan cat minyak Raden_Saleh tahun 1857 tentang Penangkapan Pangeran Diponegoro. Diceritakan bahwa Pangeran Diponegoro beserta pasukannya ditangkap dalam keadaan tidak bersenjata. Sumber : [[3]] 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Benteng Rotterdam Makasar Patung P. Diponegoro Berkuda Makasar Makam P. Diponegoro & Anak-Cucunya Lokasi makam Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan.Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen. Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta. Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan. Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran. Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo. Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku. Perang Jawa-3 ; 1825 – 1830 Perjuangan Islam Melawan Penjajah Pangeran Diponegoro waktu muda (Lukisan H.M Lange tahun 1847), Sumber : [4] Kyai Mojo (Lukisan Raden Saleh), Sumber : [5] Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: “Saudarasaudara di tanah dataran! Apabila saudura-¬saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datangdah segera dan bersiap-siap untuk bertempur.” Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat! Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan ‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di kalangan penguasa kolonial Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegakejo untuk memanggil Diponegoro ke kraton. Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari Paugeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah melakukan bai’ah (janji setia perjuangan). Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro, Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer. Sebelum utusan Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sedang berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan Belanda terhadap tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi ke daerah selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk mengusir penguasa kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan yogyakarta, khususnya dan Jawa umumnya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan “Perang Jawa”. Nyi Ageng Serang, selaku Penasehat Strategi Perang Jawa, Sumber : [6] Sentot Alibasyah Prawiradirja, komandan pasukan Pangeran Diponegoro (lukisan G. Kepper Tahun 1900), Sumber : [7] Yogyakarta seperti antara lain Pangeran Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku Buwono II dan pangeran Mangkubumi melengkapi “Perang Jawa” yang dahsyat. Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh Diponegoro dengan taktik “serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi”, merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal perang Jawa. Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutus¬kan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro. Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas. Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda me¬ngirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung me¬nyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar Ilustrasi Perang, Sumber : [8] Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Beianda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal. Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V. Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan. Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan kolonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan me¬lumpuhkan pasukan Diponegoro. Penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang (dilukis oleh G. Kepper pada tahun 1900), Sumber : [9] Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia melaksanakan “sistem benteng” dalam operasi militernya. Pasukan Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan se¬hingga pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa; hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh. Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan. Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain. Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain. Sistim benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro. Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik. Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak. Walau demikian, pukulan hebat ini tidak menyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Begowonto. Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di Cirian-Klaten. Perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apapun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo. Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen. Pertempuran antara pasukan Kolonel Le Bron de Vexela dengan pasukan Pangeran Diponegoro di Gawok (dilukis oleh G. Kepper pada tahun 1900), Sumber : [10] Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan perundingan perdamaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa, sedangkan dipihak Diponegoro di pimpin oieh Tumeng¬gung Mangun Prawira. Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari’at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda. Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827 pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar. Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo, terus masuk ke kota Yogyakarta. Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah, pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri. Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini, mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala ¬bantuan, termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda. Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang.diplomasi, di mana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro. Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda. Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini. Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda. 1886: Rakyat Jawa Tengah bertahan di Candi Parikesit (Dataran Tinggi Dieng) dalam Perang Jawa], Sumber : [11] Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan kraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan. Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantissa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kiai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kiai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya memasuki kota Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang perang dari medan pertempuran. Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan pssukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai Mojo. Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan per¬tempuran, seperti antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan Basari. Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya diper¬gunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang lainnya, yang masih melakukan perang gerilya. Pada awal Januari 1829, Komisaris Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps dan seorang staf Kiai Mojo untuk mengadakan perundingan dengan Diponegoro di markas besarnya di Pengasih. Pada akhir Januari 1829 mereka dapat di terima di markas per¬juangan Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda dengan delegasi Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba ter¬dengar suara dentuman meriam dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer. Mendengar letusan meriam, serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi Belanda yang sedang berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan Alibasah (Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan me¬merintahkan agar pasukan Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin selamat. Pada bulan Februari 1829 Belanda mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock mencoba membujuk Alibasah, panglima muda remaja yang sangat ditakuti oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasah, yang isinya antara lain menjamin kebebasan bepergian bagi Ali basah dengan pasukannya di daerah kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan beberapa pucuk pistol kepada Alibasah sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan mau berdamai. Taktik licik Belanda ini mempengaruhi pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara, Pangeran Pakuningrat diberikan kebebasan bepergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan Ramadhan. Dalam kesempatan gencatan senjata ini Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk terus mengirim surat kepada beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasah dan Pangeran Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh tersebut dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka. Setelah gencatan senjata berjalan tiga bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda, maka pertempuran dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit di antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh Johannes Van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di Indonesia, dan Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop sebagai pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal Benyamin Bischop sakit-sakitan pada tanggal 7 Juli 1829 meninggal dunia, maka praktis pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda masih tetap berada ditangan Jenderal De Kock. Pada akhir bulan Mei 1829 pasukan kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat pangeran Mangkubumi yang menjadi kepala urusan rumahtangga pasukan Diponegoro. Maksudnya tidak lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah. Pada tanggal 21 Mei 1829 tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena rombongan Pangeran Mangkubumi telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran akan dilakukan, tetapi dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah pimpinan Alibasah menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa menghadapinya dan dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran Belanda. Operasi militer untuk menangkap Pangeran Mangkubumi tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi untuk mengajak berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan usia telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat dengan tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh Residen Van Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi hasilnya ternyata gagal. Peta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830, Peta ini digambar oleh Meursault2004 alias Revo Arka Giri S. berdasarkan Robert Cribb, 2000, Historical Atlas of Indonesia halaman 114, Sumber : [12] Kegagalan ini mendorong untuk melakukan operasi militer besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan Diponegoro di desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829 pasukan kolonial Belanda di bawah pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor Cox van Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger. Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai syuhada, antara lain Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung Banuja. Operasi militer terus ditingkatkan oleh Belanda terhadap “kantong kantong” persembunyian pasukan Diponegoro, sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro yakni Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini diper¬gunakan untuk melemahkan semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan membunuh Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat Jenderal De Kock tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil melemahkan semangat tempur Diponegoro. Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasah dan Pangeran Bei sakit keras, maka Diponegoro telah mengangkat pimpinan pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad dan Baisah Usman, sedangkan pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi, pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal 3 Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di kedua belah pihak, antara lain Syekh Muhammad dan Hasan Usman. Untuk meningkatkan efektifitas operasi militer, Jenderal De Kock telah memindahkan markas besarnya dari Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan lebih dekat dengan pusat-pusat pertempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro. Bersamaan dengan operasi militer Belanda yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan Pangeran Bei telah sembuh, sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan Diponegoro yang telah kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad dan Basah Usman. Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, disaat pasukan Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan Belanda. Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian, mengakibatkan banyak jatuh korban, diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh yaitu Letnan Arnold. Seiring dengan operasi militer yang ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan. Pada tanggal 7 Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk keluarga Pangeran Mangku¬bumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi) beserta anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada Belanda. Dengan posisi pasukan Diponegoro yang makin terjepit karena daerah operasinya makin diperkecil oleh Belanda, kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah berjalan lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada Belanda. Pada tanggal 5 September 1829 Tunenggung Wanareja dan Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada tanggal 6 September 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan oleh Jenderal De Kock, menyerah pulalah Tumenggung Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9 September 1829, Pangeran Pakuningrat bersama dengan pasukannya sebanyak 40 orang menyerah lagi kepada Belanda. Pada tanggal 21 September 1829 atas nama pemerintah Hindia Belanda, Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman tentang ‘hadiah besar’ bagi setiap orang yang dapat menangkap hidup atau mati Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi: “Barangsiapa yang berani menyerahkan Diponegoro hidup atau mati kepada penguasa Hindia Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Htndia Belanda sebagai seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds) dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup luas”. Pengumuman yang menyayat hati ini belum lagi kering, pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei bersama dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma. Bulan September 1829 benar-benar bulan yang menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta. Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, Kanjeng Pangeran Dipasana, semuanya adalah mempunyai hubungan famiIi dengan Diponegoro sendiri. Menyerah¬nya secara berturut-turut orang-orang di sekitar Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro. Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya. Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah cukup berat; yaitu: • 1. Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.- • 2. Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakai¬an seragam; • 3. Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api; • 4. Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia; ¬ • 5. Mereka bebas menjalankan agamanya, • 6. Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak; • 7. Diizinkan pasukannya memakai surban. Tawar-inenawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Ali basah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia. Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara lain berisi: “…saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha me¬nyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita ….. seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus disertai beberapa pengorbanan dari pada kita.” Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktbber 1829, antara lain berbunyi: “Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak. Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,- dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat lain¬nya seluruhnya dipenuhi. Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah. Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Ali basah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di alami oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya sababat-sahabat meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara. Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan! Setelah menyerahnya Alibasah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro yang terus-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri). Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda. Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen. Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia. Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda. Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan. Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan perundingan di Magelang. Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap! Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30. pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Joned, Raden Mas Roub, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara. Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock. Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir. Baron H. Merkus de Kock (dilukis oleh F.V.A. Ridder de Stuers pada tahun 1849) Sumber:[13] Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: “Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari.” Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain: “Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa”. Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya. Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika pe¬rundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: “Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas.” Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab : “Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal.” Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi.” Diponegoro menjawab: “Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?” Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti. Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro dibawa ke Semarang untuk selanjutnya dibawa ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya dibawa ketempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama duapuluh lima tahun. Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari’at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa. Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan methodanya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan, perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar membantu Belanda yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda. Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian penguasa kolonial di Indonesia, baik Portugis maupun Belanda. Sumber : Perjuangan Islam Melawan Penjajah [[14]] ________________________________________ Gallery Aktifitas Keluarga Pangeran Diponegoro ________________________________________ I. LAUNCHING BUKU KUASA RAMALAN KE I (Yogyakarta, 2010) ________________________________________ ________________________________________ ________________________________________ II. DEKLARASI KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA (Yogya, 11-12 Desember 2011)---> Klik Video :Yogya Istimewa ________________________________________ Dalam sebuah pertemuan antara Ki Roni Sodewo dengan Adik kandung Sultan HB-X yaitu GBPH. Joyokusumo yang juga dihadiri oleh bapak Hasyim Djoyohadikusumo, Gusti Joyokusumo berkata : "Saya mengharapkan Keturunan Pangeran Diponegoro harusnya berada di barisan depan mendukung Keistimewaan Yogyarta". Maka atas permintaan KBPH Joyokusumo itulah kami Keturunan Pangeran Diponegoro bersama-sama Laskar Diponegoro berjumlah lebih dari 1000 orang melakukan pernyataan sikap menentang kepada Pemerintah RI dengan cara berorasi sambil long-march dari Tegalrejo (Sasana Wiratama) menuju Keraton Yogyakarta. Di Keraton Yogyakarta Ki Roni Sodewo mewakili semua Trah menyampaikan Deklarasi kepada Sultan HB-X atas nama Gubernur DIY dan Sultan. Trah Pangeran Diponegoro berdatangan dari berbagai daerah seperti : Kulon Progo, Purworejo, Banyumas, Bogor, Jakarta, Ambon, Sulawesi, Padang dll. Pangeran Puger dalam sejarah Kesultanan Mataram merujuk pada beberapa nama, yang terkenal antara lain, putra Panembahan Senopati dan putra Amangkurat I. Kedua tokoh ini hidup pada zaman yang berbeda. Pangeran Puger yang kedua (putra Amangkurat I) naik takhta menjadi raja Kasunanan Kartasura tahun 1704-1719, bergelar Sunan Pakubuwana I. Pangeran Puger Adipati Demak Nama asli Pangeran Puger yang pertama adalah Raden Mas Kentol Kejuron, putra Panembahan Senopati yang lahir dari selir bernama Nyai Adisara. Babad Tanah Jawi mengisahkan sepeninggal Panembahan Senopati tahun 1601, takhta Kesultanan Mataram jatuh kepada Mas Jolang yang bergelar Prabu Hanyokrowati. Hal itu membuat iri Pangeran Puger yang merasa sebagai anak laki-laki tertua (putra sulung Panembahan Senopati mati muda bernama Raden Rangga). Prabu Hanyokrowati yang menyadari perasaan kakaknya, segera memberinya kedudukan sebagai adipati Demak. Meskipun demikian, Pangeran Puger tetap menyimpan kecemburuan. Apalagi ditambah dengan hasutan Adipati Gending dari Panjer membuat kebenciannya semakin besar. Maka pada tahun 1602 Pangeran Puger pun melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan adiknya di Mataram. Keadaan Demak waktu itu sangat tegang. Sebelas orang pelaut Belanda ikut ditangkap Puger saat melewati perairan Demak. Pemberontakan Demak berhasil dipadamkan tahun 1604. Pangeran Puger tertangkap dan dihukum buang ke Kudus. Putra Pangeran Puger kemudian diangkat sebagai bupati Pati bergelar Adipati Pragola, namun ia kemudian juga memberontak terhadap pemerintahan Sultan Agung putra Prabu Hanyokrowati pada tahun 1627. Pangeran Puger Putra Amangkurat I Pangeran Puger yang kedua adalah putra Amangkurat I putra Sultan Agung putra Prabu Hanyokrowati putra Panembahan Senopati. Nama aslinya Raden Mas Drajat, lahir dari permaisuri keturunan Keluarga Kajoran. Mas Drajat pernah diangkat menjadi putra mahkota menggantikan kakaknya, yaitu Mas Rahmat yang berselisih dengan ayah mereka (Amangkurat I). Namun jabatan tersebut kemudian dikembalikan lagi pada Mas Rahmat karena Keluarga Kajoran terlibat pemberontakan Trunojoyo. Mas Rahmat kembali bergelar Pangeran Adipati Anom, sedangkan Mas Drajat kembali bergelar Pangeran Puger. Ketika terjadi serbuan Trunojoyo tahun 1677, Adipati Anom menolak ditugasi ayahnya mempertahankan Plered, ibu kota Mataram, dan memilih ikut mengungsi ke barat. Pangeran Puger tampil melaksanakan tugas itu sebagai bukti kalau tidak semua keturunan Kajoran mendukung Trunojoyo. Namun kekuatan kaum pemberontak terlalu besar sehingga Puger kalah dan menyingkir ke Jenar. Pangeran Puger kemudian mendirikan Kerajaan Purwakanda berpusat di Jenar. Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Susuhunan Ingalaga. Setelah Trunojoyo kembali ke markasnya di Kediri, Sunan Ingalaga segera merebut Plered dan mengusir anak buah Trunojoyo yang ditempatkan di kota itu. Hubungan Pangeran Puger dan Amangkurat II Amangkurat I meninggal dalam pengungsian. Adipati Anom menjadi raja tanpa takhta bergelar Amangkurat II. Dengan bantuan VOC, pasukan Amangkurat II berhasil menumpas Trunojoyo akhir tahun 1679. Karena Plered diduduki Sunan Ingalaga, Amangkurat II memilih membangun keraton baru bernama Kartasura pada bulan September 1680. Ia kemudian memanggil Sunan Ingalaga supaya bergabung di Kartasura. Ajakan itu ditolak. Maka terjadilah perang saudara. Akhirnya, pada tanggal 28 November 1681 Sunan Ingalaga menyerah kepada Jacob Couper, pemimpin pasukan VOC yang membantu Amangkurat II. Sunan Ingalaga pun kembali bergelar Pangeran Puger dan mengakui kedaulatan kakaknya sebagai Amangkurat II. Antara kedua bersaudara, Amangkurat II dan Pangeran Puger, terdapat perbedaan sifat yang mencolok. Amangkurat II dikisahkan bersifat lemah hati dan tidak teguh pendirian. Sebaliknya, Pangeran Puger jauh lebih tegas. Itulah sebabnya Pangeran Puger diangkat sebagai tangan kanan Amangkurat II dan lebih berperan penting dalam pemerintahan daripada kakaknya, yang hanya bersifat sebagai simbol. Peran Pangeran Puger dalam Pemberontakan Untung Surapati Amangkurat II naik takhta berkat bantuan VOC, tentu saja dengan perjanjian yang memberatkan Kartasura. Ketika keadaan sudah aman, Patih Nerangkusuma yang anti Belanda mendesaknya supaya mengkhianati perjanjian. Pada tahun 1685 Amangkurat II melindungi buronan VOC bernama Untung Suropati. Kapten Francois Tack datang ke Kartasura untuk menangkap si pelarian. Amangkurat II pura-pura membantu VOC. Namun diam-diam, ia juga menugasi Pangeran Puger supaya menyamar sebagai anak buah Untung Suropati. Dalam pertempuran sengit di sekitar keraton Kartasura bulan Februari 1686, tentara VOC sebanyak 75 orang tewas ditumpas pasukan Untung Suropati. Pangeran Puger sendiri berhasil membunuh Kapten Tack menggunakan tombak Kyai Plered. Persaingan Pangeran Puger dengan Amangkurat III Amangkurat II meninggal dunia tahun 1703. Takhta Kartasura jatuh ke tangan putranya yang bergelar Amangkurat III. Menurut Babad Tanah Jawi, ketika Pangeran Puger datang melayat, ia melihat kemaluan jenazah kakaknya “berdiri”. Dari ujung kemaluan muncul setitik cahaya yang diyakini sebagai wahyu keprabon. Barang siapa mendapatkan wahyu tersebut, diyakini akan menjadi raja tanah Jawa. Pangeran Puger menghisap sinar tersebut tanpa ada seorang pun yang melihat. Sejak saat itu dukungan terhadap Pangeran Puger berdatangan karena banyak yang tidak menyukai tabiat buruk Amangkurat III. Suasana antara paman dan keponakan tersebut memanas. Kebencian Amangkurat III semakin bertambah ketika Raden Suryokusumo putra Puger memberontak. Pada puncaknya, yaitu bulan Mei 1704 Amangkurat III mengirim pasukan untuk membinasakan keluarga Puger. Namun Pangeran Puger dan para pengikutnya lebih dulu mengungsi ke Semarang. Yang ditugasi mengejar adalah Adipati Jangrana bupati Surabaya. Adipati Jangrana sendiri sebenarnya memihak Puger sehingga pengejarannya hanya bersifat sandiwara. Bupati Semarang yang bernama Rangga Yudanegara menjadi perantara Pangeran Puger dalam meminta bantuan VOC. Kepandaian diplomasi Yudanegara berhasil membuat VOC memaafkan peristiwa pembunuhan Kapten Tack serta menyediakan diri membantu perjuangan Pangeran Puger, tentu saja dengan perjanjian yang menguntungkan pihak VOC. Isi Perjanjian Semarang yang terpaksa ditandatangani Pangeran Puger antara lain penyerahan wilayah Madura bagian timur kepada VOC. Pangeran Puger Merebut Kartasura Pada tanggal 6 Juli 1704 Pangeran Puger diangkat menjadi raja bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa, atau disingkat Pakubuwana I. Setahun kemudian (1705) Pakubuwana I dikawal gabungan pasukan VOC, Semarang, Madura (barat), dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura. Pasukan Kartasura yang menghadang dipimpin Arya Mataram, adik Pakubuwana I sendiri. Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III supaya mengungsi ke timur, sedang ia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I. Dengan demikian, takhta Kartasura pun jatuh ke tangan Pakubuwana I tanggal 17 September 1705.

Tidak ada komentar: