(30) NURUL 'A'YUN

43 Karya Tulis/Lagu Nur Amin Bin Abdurrahman:
(1) Kitab Tawassulan Washolatan, (2) Kitab Fawaidurratib Alhaddad, (3) Kitab Wasilatul Fudlola', (4) Kitab Nurul Widad, (5) Kitab Ru'yah Ilal Habib Luthfi bin Yahya, (6) Kitab Manaqib Assayyid Thoyyib Thohir, (7) Kitab Manaqib Assyaikh KH.Syamsuri Menagon, (8) Kitab Sholawat Qur'aniyyah “Annurul Amin”, (9) Kitab al Adillatul Athhar wal Ahyar, (10) Kitab Allu'lu'ul Maknun, (11) Kitab Assirojul Amani, (12) Kitab Nurun Washul, (13) Kitab al Anwarullathifah, (14) Kitab Syajarotul Ashlin Nuroniyyah, (15) Kitab Atthoyyibun Nuroni, (16) Kitab al 'Umdatul Usaro majmu' kitab nikah wal warotsah, (17) Kitab Afdlolul Kholiqotil Insaniyyahala silsilatis sadatil alawiyyah, (18) Kitab al Anwarussathi'ahala silsilatin nasabiyyah, (19) Kitab Nurul Alam ala aqidatil awam (20) Kitab Nurul Muqtafafi washiyyatil musthofa.(21) KITAB QA'IDUL GHURRIL MUCHAJJALIN FI TASHAWWUFIS SHOLIHIN,(22) SHOLAWAT TARBIYAH,(23) TARJAMAH SHOLAWAT ASNAWIYYAH,(24) SYA'IR USTADZ J.ABDURRAHMAN,(25) KITAB NURUSSYAWA'IR(26) KITAB AL IDHOFIYYAH FI TAKALLUMIL ARABIYYAH(27) PENGOBATAN ALTERNATIF(28) KITAB TASHDIRUL MUROD ILAL MURID FI JAUHARUTITTAUHID (29) KITAB NURUL ALIM FI ADABIL ALIM WAL MUTAALLIM (30) NURUL 'A'YUN ALA QURRATIL UYUN (31) NURUL MUQODDAS FI RATIBIL ATTAS (32) INTISARI & HIKMAH RATIB ATTAS (33) NURUL MUMAJJAD fimanaqibi Al Habib Ahmad Al Kaff. (34) MAMLAKAH 1-25 (35) TOMBO TEKO LORO LUNGO. (36) GARAP SARI (37) ALAM GHAIB ( 38 ) PENAGON Menjaga Tradisi Nusantara Menulusuri Ragam Arsitektur Peninggalan Leluhur, Dukuh, Makam AS SAYYID THOYYIB THOHIR Cikal Bakal Dukuh Penagon Nalumsari Penagon (39 ) AS SYIHABUL ALY FI Manaqib Mbah KH. Ma'ruf Asnawi Al Qudusy (40) MACAM-MACAM LAGU SHOLAWAT ASNAWIYYAH (bahar Kamil Majzu' ) ( 41 ) MACAM-MACAM LAGU BAHAR BASITH ( 42 ) KHUTBAH JUM'AT 1998-2016 ( 43 ) Al Jawahirun Naqiyyah Fi Tarjamatil Faroidus Saniyyah Wadduroril Bahiyyah Lis Syaikh M. Sya'roni Ahmadi Al Qudusy.

Rabu, 17 April 2013

KHR. ASNAWI KUDUS

Mengenal KHR. Asnawi Kudus OPINI | 08 October 2010 | 08:11 Dibaca: 735 Komentar: 1 Nihil Biografi KHR. Asnawi Kyai Haji Raden Asnawi itulah nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji yang ketiga hingga wafat. Adapun nama sebelumnya ialah Raden Ahmad Syamsi, kemudian sesudah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama berganti nama Raden Haji Ilyas dan nama inilah yang terkenal di Mekah. KH.R. Asnawi adalah putra yang pertama dari H. Abdullah Husnin seorang pedagang konveksi yang tergolong besar di Kudus pada waktu itu, sedang ibunya bernama R. Sarbinah. KH. R. Asnawi lahir di kampung Damaran, Kudus pada tahun 1281 H (1861 M), beliau termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 dari Kyai Haji Mutamakin seorang wali yang kramat di desa Kajen Margoyoso Pati, yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram. Sejak kecil beliau diajar oleh orang tuanya sendiri, terutama dalam mengaji Al-Qur’an. Setelah berumur 15 tahun beliau diajak oleh orang tuanya ke Tulungagung Jawa Timur untuk mengaji sambil belajar berdagang. Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang tuanya, beliau kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan Kyai H. Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum pergi haji. Selama di Mekah beliau berguru antara lain dengan Kyai H. Saleh Darat Semarang, Kyai H. Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha. Menunaikan Ibadah Haji Sewaktu umur 25 tahun beliau menunaikan ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, beliau mulai mengajar dan melakukan tabligh agama. Diantaranya pada setiap hari Jum’ah Pahing sesudah shalat Jumat beliau mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak 18 Km dari kota Kudus, dan ini dilakukan dengan jalan kaki. Beliau berkeliling di masjid-masjid sekitar kota bila melakukan shalat subuh. Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu beliau juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adiknya, H. Dimyati, yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu beliau telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya. Mukim Di Tanah Suci KH. R. Asnawi semula tinggal di rumah Syekh Hamid Manan Kudus, kemudian setelah kawin dengan ibu Nyai Hajjah Hamdanah (janda Almaghfurlah Kyai Nawawi Banten), beliau pindah tempatdi kampung Syamiah Mekah dengan dikaruniai 9 orang anak, tetapi yang hidup sampai tua hanya 3 orang yaitu: H. Zuhri, H. Azizah istri KH. Shaleh Tayu dan Alawiyah istri R.Maskub Kudus. Selama bermukim di tanah suci, di samping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, beliau masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. Beliau juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, diantara yang ikut belajar antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang, KH. Bisyri Samsuri Jombang, KH. Dahlan Pekalongan, KH. Shaleh Tayu, KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KH. A. Mukhit Sidoarjo. Disamping belajar dan mengajar agama Islam, beliau turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama dengan kawannya yang lain. Pada waktu beliau bermukim ini, pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu beliau bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan beliau dan Syekh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi ifta’-nya. (sayang, catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang keluarga KH. R. Asnawi lupa masalah apa yang dibahas beliau, meskipun sudah diberitahu). Melihat tulisan dan jawaban beliau terhadap tulisan Syekh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan beliau. Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syekh Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan KH. Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati waktu perjumpaan yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan kepada beliau dan diatur agar beliau nanti yang melayani mengeluarkan jamuan. Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek kerumah Syekh Hamid Manan dan beliau sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap, bertanyalah tamu itu: Asnawi?; (Dimana Asnawi?), Asnawi? Hadza Huwa; (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk beliau yang sedang duduk di pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat beliau, seraya membuka kopiah dan diciumlah kepala beliau sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek kepada Syeikh Hamid Manan: “Sungguh saya telah salah sangka, setelah berkenalan dengan Pondok Pesantren Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapuh”. Pada tahun 1916 beliau meninjau tanah airnya yang ada di Kudus, serta mengadakan hubungan dengan kawan-kawannya antara lain Bapak Semaun, H. Agus Salim, Hos Cokroaminoto dan lain-lain dari tokoh SI. Berangkatlah beliau sendiri, sedang anak istri ditinggal di Mekah. Sesampainya di Kudus beliau bersama dengan kawan-kawannya mendirikan sebuah Madrasah yang di beri nama Madrasah Qudsiyyah pada tahun 1916 M. Dan tidak lama kemudian diadakan pembangunan Masjid Menara Kudus yang dilakukan secara gotong royong. Pada waktu malam hari para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya. Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itu, terjadi suatu peristiwa huru-hara Kudus pada tahun 1918, dimana beliau dengan kawan-kawannya yang lain terpaksa harus menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah yang menghina Islam. Itulah sebabnya niat kembali ke tanah suci menjadi gagal, sedang istri dan anak masih di Mekah. Huru-Hara Kudus Di tengah-tengah umat Islam mengadakan gotong royong untuk membangun Masjid Menara yang dikerjakan siang dan malam, oleh orang-orang Cina diadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Oleh Ulama dan pemimpinpemimpin Islam telah mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawainya di muka Masjid Menara, mengingat banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari. Permintaan itu ternyata tidak digubris, bahkan dalam rentetan pawai itu ada adegan dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menamakan Cengge. Pawai Cina yang datang dari muka Masjid Manara menuju ke selatan kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu dengan kendaraan gerobak dorong. Kedua-duanya tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang menarik songkro itu dipukul oleh orang Cina. Dengan adanya pemukulan terhadap orang Islam yang dilakukan oleh orang Cina, ditambah adanya Cengge yang menusuk perasaan umat Islam, maka terjadilah pertikaian antara para peserta pawai orang Cina dengan orang Islam yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu. Sekalipun pertikaian ini dapat dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, namun orang-orang Cina belum mau menunjukkan sikap damai, bahkan masih sering melontarkan ejekan terhadap orang Islam yang tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui dari Kaligelis sampai menuju ke Masjid Manara Kudus. Karena itulah orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan terhadap penghinaan orang-orang Cina. Para ulama memandang beralasan untuk menyetujui adanya penyerangan pembelaan, tetapi tidak diadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina, pembakaran rumah maupun perampasan barang-barang milik orang Cina. Tetapi ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina dan tersentuhnya lampu gas pom sehingga menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa. Dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah, maka para Ulama ditangkap dan dimasukkan dalam penjara. Akhirnya KH. R. Asnawi yang dituduh sebagai salah satu penggerak, dijatuhi hukuman selama 3 tahun. Semula di penjara Kudus, kemudian pindah di penjara Semarang bersama-sama dengan KH. Ahmad Kamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain. Pada saat di penjara, istrinya (Nyai Hj. Hamdanah) beserta 3 orang putra-putrinya datang ke Kudus dari Mekah. Menurut cerita beliau, selama berada di penjara Kudus padasetiap malam Jum’ah, beliau mengadakan berjanjenan (membawa kitab Al-Barjanji) bersama dengan penghuni penjara dan selalu mengadakan shalat jama’ah lima waktu. Di samping itu, beliau sempat menterjemahkan kitab Al Jurumiyah (ilmu Nahwu) ke dalam bahasa Jawa, sayang karangan ini tidak dicetak dan disiarkan. Keluar Dari Penjara Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah keluar dari penjara beliau langsung terjun di tengah masyarakat untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang pemimpin masyarakat, diantaranya dengan berda’wah mengajar agama dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Diantara ilmu yang diutamakan oleh beliau adalah Tauhid dan Fiqih. Pada tahun 1927 berdiri pondok pesantren yang diasuh oleh beliau di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih (Langgar Dalem) dan mendapat dukungan dari para dermawan dan umat Islam di Kudus. Kegiatan beliau dalam melakukan tabligh tidak terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, akan tetapi meluas ke daerah lain untuk menyebarkan aqidah Ahlusunnah Wa al Jamaah antara lain sampai ke Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. Demikian juga dengan mengadakan pengajian yang diikuti oleh jama’ah dari daerah Demak, Jepara, dan Kudus. Di pondok pesantrennya sendiri setiap tanggal 14 bulan hijriyah diadakan majelis taklim yang disebut “Patbelasan”, ribuan Muslimin dan Muslimat mendatangi majelis ini. Disamping itu, pada setiap tanggal 29 Rabiul Awal beliau juga menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad Saw. Kegiatan tersebut bersamaan dengan majelis khataman Al-Quran baik binnadzar maupun bil-ghaib yang diasuh oleh putranya, yaitu KH. Minan Zuhri. Di samping melayani kebutuhan para santri yang ada di pondok pesantren tentang pengajian kitab, secara khusus di Pondok Pesantren juga mengadakan wiridan, antara lain: Khataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid Al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai beliau wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh Al-Hafidh KH. M. Arwani Amin sampai khatam. Sesudah selesai mendirikan pondok pesantren pada tahun 1927 M, pernah datang ke rumah beliau seorang tokoh Belanda yang faham tentang agama Islam bernama Van Der Plas. Kedatangannya di rumah untuk minta agar dilayani dengan bahasa Arab, demikian ujar petugas Kabupaten yang memberitahukan akan datangnya Van Der Plas dan menyampaikan kehendaknya. Adapun maksud Van Der Plas menemui beliau adalah bermaksud minta kesediaan beliau untuk memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas penawaran itu ditolaknya, sebab kalau diangkat sebagai penghulu tidak bebas lagi dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat, lain kalau beliau menjadi orang partikelir, dapat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap siapapun tanpa ada rasa segan (ewuh pekewuh). Perjuangan KH. R. Asnawi Pada tahun 1924 M beliau ditemui oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang untuk bermusyawarah untuk membuat benteng pertahanan Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah. Akhirnya beliau menyetujui gagasan KH. A. Wahab Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati. Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati. Pulang Ke Rahmatullah Umur yang diberikan Allah tidaklah sama yang diharapkan masyarakat. Masyarakat dan umat Islam pada umumnya mengharap agar para Kyai dipanjangkan umurnya dan diberkahi kesehatannya. Tujuannya tiada lain mendampingi dan menata infrastruktur masyarakat dalam memegang subtansi ajaran agama. Namun Allah telah menghendaki terlebih dahulu memanggil KH. R. Asnawi menghadap keharibaannya. Wafatnya ulama’ besar di Kudus ini tidak terduga. Sebab satu minggu sebelum wafatnya KH. R. Asnawi masih bermusyawarah dalam muktamar NU XII di Jakarta. Bersama dengan para Kyai NU se-Indonesia, KH. R. Asnawi masih nampak segar bugar. Dikisahkan oleh KH. Minan Zuhri, selama berlangsungnya muktamar, KH. R. Asnawi menginap di rumah H. Zen Muhammad adik kandung K.H. Mustain di Jalan H. Agus Salim Jakarta. Muktamar yang digelar pada tanggal 12-18 Desember 1959 merupakan muktamar terakhir yang dihadirinya. Mustain yang setia mengantar-jemput KH. R. Asnawi selama berjalannya muktamar dari rumah adiknya sempat tertegun. Karena pada saat menjemput beliau untuk menghadiri pembukaan Muktamar yang dihadiri Bung Karno, Mustain mendengarkan kalimat aneh dari KH. R. Asnawi: “Hai Mustain ! inilah yang merupakan terakhir kehadiranku dalam muktamar NU, mengingat keadaanku dan kekuatan badanku.” Tercenganglah Mustain mendengar perkataan itu. Spontan Mustain menyambung pembicaraan dengan mengatakan; “Kalau Kyai tidak dapat hadir dalam muktamar, maka sangat kami harapkan do’anya.” Kemungkinan besar KH. R. Asnawi telah mengetahui akan tanda-tanda panggilan Allah untuk memanggil dirinya. Pukul 02.30 WIB Sabtu itu Asnawi bangun dari tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kamarnya untuk mengambil air wudlu. Setelah dari kamar mandi Asnawi dengan didampingi istrinya Hamdanah kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tidak berdaya. Dan kalimat syahadat adalah kalimat terakhir yang mengantarkan arwahnya. Waktu itu juga 26 Desember 1959 M/25 Jumadil Akhir 1379 H sekitar pukul 03.00 fajar, KH. R. Asnawi pulang ke rahmatullah. • Laporkan • Tanggapi Siapa yang menilai tulisan ini? KOMENTAR BERDASARKAN : Tulis Tanggapan Anda REGISTRASI | MASUK PROMOTED ARTICLE • Tips Memilih Air Minum yang Baik … Club Air Mineral • Tips Menghindari Dehidrasi … Club Air Mineral • Kompetisi Blog “Club Air Mineral” … Club Air Mineral TRENDING ARTICLES (Ujian Nasional) Kesalahan Ada di Penyusun … Opa Jappy| 10 jam yang lalu Yenny Wahid Tidak Jadi Gabung Partai … Palti Hutabarat| 14 jam yang lalu Menguji Kesetiaan Bonek Persebaya1927 … W_ Mbk| 15 jam yang lalu Sikap atas Berita Buruk … Hendra Budiman| 16 jam yang lalu Rumah Kami, Neraka Kalian! … Robertus W. Yudha| 15 April 2013 16:58 • INFO & PENGUMUMAN • KONTAK KOMPASIANA INDEX • Mencicipi Makanan Khas India, Yuk! • Raih Kesempatan Emas dengan Ikut BIA … • Pemenang Kompetisi Blog “Club Air … TERAKTUAL Pak Menteri… Minta Maaflah Pada Siswa-siswa itu… Hati-Hati Provokasi Akun Militan di Kompasiana! Ternyata UN 2013 Kayak Gini Jadi Anak Kos… Apa Untungnya? PKS = Wahabi? Tanggapan untuk Dewa Gilang INSPIRATIF Inikah Tanda Orang Beriman JUJURLAH PADA DIRI SENDIRI Papa Sering Meneteskan Air Mata Melihat Aku Melangkah … “Ngundhuh Wohing Pakarti”= Siapa Menabur, Dia … Dipaksa Menikmati Roller Coaster BERMANFAAT Membaca di Sekolah Inggris Itu Penting Praktik Pijat Refleksi[12]: Insomnia Roundup Monsanto Sebabkan Cacat Lahir Hati-Hati Provokasi Akun Militan di Kompasiana! Bawang Lanang Bantu Atasi Tekanan Darah Tinggi MENARIK [Fan Fiction] Di Ruang Tunggu Polda Metro Jaya Silahkan Ditebak Istilah Malaysia Ini Uji Nyali Pijat Pakai Pisau Ala Taiwan Monumen Pers Nasional, Riwayatmu Kini Aku Sedih, Pattimura Tak Diakui sebagai Pahlawan Nasional Subscribe and Follow Kompasiana: About Kompasiana | Terms & Conditions | Tutorial | FAQ | Contact Us | Kompasiana Toolbar © 2008-2011 Selamat datang di Wikipedia bahasa Indonesia! [tutup] Madrasah Qudisyyah Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Artikel ini tidak memiliki referensi sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa diverifikasi. Bantulah memperbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Artikel yang tidak dapat diverifikasikan dapat dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. Madrasah Qudsiyyah adalah salah satu sekolah berbasis pendidikan Islam. Kurikulum yang diajarkan pada sekolah ini 80% berbasis salaf dengan menggunakan kitab klasik, atau yang lebih sering disebut dengan Kitab Kuning. Sekolah ini merupakan sekolah tertua di Kudus, didirikan oleh salah satu pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama, yaitu K. H. R. Asnawi pada tahun 1919 M. Pertama kali didirikan sekolah ini murni menggunakan kurikulum lokal berbasis Islam seperti : • Nahwu • Shorof • Tauhid • Fiqih • Ushul Fiqih • Manthiq • Balaghoh • Qiro'ah Sab'ah • Tafsir • Hadits • dan lain-lain Seiring tuntutan perkembangan zaman, untuk tetap bertahan sebagai lembaga pendidikan formal, Qudsiyyah mulai mengadopsi kurikulum pendidikan dari DIKNAS, seperti: bahasa Indonesia, Matematika, PPKn, dan lain-lain. Sejarah Singkat Madrasah Qudsiyyah Sumber: Arsip Qudsiyyah || Perubahan terakhir: 2010-10-21 1. Masa Formulasi (1917 M-1943) M. Madrasah Qudsiyyah, sebagai salah satu madrasah tertua di Kudus, mempunyai sejarah yang cukup panjang. Madrasah Qudsiyyah tidak serta-merta hadir dan menjadi besar, melainkan mengalami proses jatuh bangun yang cukup melelahkan. Sebelum Budi Utomo menggelorakan Kebangkitan Nasional pada 1920 M, Madrasah Qudsiyyah telah berdiri tegak mengembangkan sayap-sayap pendidikan agama yang antipenjajah. Tercatat sejak 1917 M, kegiatan belajar mengajar telah dimulai, walaupun saat itu belum memiliki nama dan tempat belajar yang pasti. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1919 M, yang bertepatan dengan tahun 1337 H, Madrasah Qudsiyyah resmi didirikan oleh K. H. R. Asnawi. K. H. R. Asnawi adalah keturunan dari Sunan Kudus yang ke XIV dan keturunan ke lima dari K. H. A. Mutamakin. Wali di zaman Sultan Agung Mataram di Kajen Margoyoso Pati. Wajar saja apabila yang dilaksanakan beliau tidak jauh beda dari para pendahulunya. Baik dari pola pendidikan dan dimensi penegakan reputasi agama Islam. Nama asli K. H. R. Asnawi adalah Ahmad Syamsi, kemudian berganti nama lagi menjadi Ilyas. Gelar raden yang juga disebut sebelum nama Asnawi mempunyai arti sendiri. Raden sebagaimana ditentukan oleh keluarga adalah sebutan dari anak turun (dzurriyah) Nabi Muhammad yang sudah terpotong oleh nasab puteri. Berbeda dengan sayyid, kalau sayyid semuanya sambung dari nabi hingga yang bersangkutan dari anak laki-laki. Sedangkan panggilan kiai yang disematkan kepada beliau lebih karena partisipasi beliau dalam masyarakat. Ini setidaknya tampak dari dua sisi. Pertama, K. H. R. Asnawi memang seorang yang faqih dan benar-benar ahli dalam bidang agama. Ke dua, K. H. R. Asnawi adalah pemangku dan pengasuh pondok pesantren sebagai pemimpin agama. K. H. R. Asnawi tidak mau menjauh dari kebutuhan umat. Bahkan beliau terkenal sangat memiliki sifat marhamah. Wibawanya besar, galak, keras dalam menetukan hukum, lebih-lebih terhadap anak-anak seusia 4-6 tahun. Dalam konteks mendidik ini pula Qudsiyyah didirikan. Gedung Madrasah Qudsiyyah yang didirikan K. H. R. Asnawi saat itu berada di Kompleks Masjid Al-Aqsha, tepatnya di depan gapura masuk Menara Kudus. Nama Qudsiyyah diambil dari kata Quds yang berarti suci dan sekaligus nama kota tempat kelahiran madrasah tersebut. Nama tersebut digunakan dengan maksud agar apa yang diajarkan serta diamalkan dalam madrasah menjadi benar-benar suci dan murni tidak dicampuradukkan dengan yang kurang baik. Dalam perjalanan panjang tentang sejarah madrasah, kondisi madrasah pada masa penjajahan Belanda diurus oleh Departemen voor Inlandsche Zaken, sebuah departemen pengajaran agama di lembaga pendidikan Islam (pesantren dan madrasah). Namun, Madrasah Qudsiyyah tetap bertahan dan tidak terpengaruh dengan lembaga pemerintah Belanda tersebut. Justru K. H. R. Asnawi sering melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan Belanda. Hal ini terjadi lantaran pada praktiknya fungsi lembaga Belanda tersebut tidak menangani masalah pendidikan Islam dalam arti memfasilitasi, melainkan lebih merupakan sarana untuk mengontrol dan mengawasi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Oleh karenanya, pesan-pesan perjuangan melawan kolonialisme pada setiap kali beliau mengajar di madrasah senantiasa disampaikan kepada santri-santrinya. Boleh dibilang, K. H. R. Asnawi adalah benteng antipenjajah di semenanjung utara Jawa. Ketika beliau melihat tekanan penjajah semakin kuat dalam membelenggu umat Islam, K. H. R. Asnawi tampil dengan jiwa kritisnya menyatakan amar ma'ruf nahi munkar. Segala hal yang dianggap menyimpang dari pemerintah Belanda beliau berani mengkritik. Untuk menyatukan visi keiislamannya, K. H. R. Asnawi bergabung kembali dengan Serikat Islam Cabang Kudus. Jabatan komisaris bagi Asanawi sudah disandangnya ketika berdiri Serikat Islam Cabang Makkah tahun 1912 M. Aktivitasnya di Serikat Islam ini menjadikan beliau akrab dengan Samaun dan H. Agus Salaim serta HOS Cokroaminoto. Hingga tahun 1929 M, Madrasah Qudsiyyah dipimpin langsung oleh K. H. R. Asnawi sebagai kepala sekolah dan didampingi oleh K. H. Shafwan Duri. Pada tahun 1929 M-1935 M Madrasah Qudsiyyah dipimpin oleh K. Tamyiz sebagai kepala sekolah. K. H. R. Asnawi sendiri, memimpin pondok pesantren Raudlatuth Thalibin yang didirikan pada tahun 1927 M di Bendan, Kerjasan Kudus. Pada tahun 1935 M, K. R. Sujono memimpin Qudsiyyah sampai dengan tahun 1939 M. Setelah K.R. Sujono wafat, Madrasah Qudsiyyah kemudian dipimpin oleh K. H. abu amar mulai tahun 1939 M sampai tahun 1943 M. 2. Masa Kemunduran (1943-1950) Buntut dari pemerintahan Dai Nippon Jepang yang menguasai Indonesia pada tahun 1943 M, ternyata berpengaruh terhadap pendidikan di Madrasah Qudsiyyah Kudus. Madrasah mengalami kemunduran drastis, bahkan hingga dilakukan penutupan. Awalnya ketika Jepang berkuasa, pemerintah Dai Nippon rupanya mencurigai umat Islam. Tidak hanya sekadar curiga, bahkan pemerintah dengan tegas melarang mengajarkan semua pelajaran agama di madrasah-madrasah dengan tulisan Arab. Jadi, saat itu semua pelajaran agama harus ditulis dengan huruf latin. Kebijakan tersebut membuat Madrasah Qudsiyyah menjadi salah satu korban. Pasalnya, berbagai pelajaran agama yang dahulunya menggunakan bahasa Arab serta tulisan Arab, kini dalam pengajarannya harus dijalankan dengan menggunakan tulisan Latin. Hal tersebut menyebabkan ketidaknyamanan di Madrasah Qudsiyyah. Alasannya, akan sangat berbeda tulisan dengan menggunakan tulisan Arab diganti dengan tulisan Latin. Selain itu, dalam pelaksanaannya madrasah-madrasah yang ada juga sering didatangi serdadu Dai Nippon. Sehingga berakibat jalannya pendidikan di madrasah-madrasah sangat terganggu. Hal ini kemudian membuat Madrasah Qudsiyyah merasa sangat terganggu. Dengan pertimbangan yang masak-masak oleh para Guru Madrasah Qudsiyyah, akhirnya keputusan pahit pun diambil, dan untuk sementara waktu Madrasah Qudsiyyah ditutup. Salah satu penyebab dari penutupan Madrasah Qudsiyyah Kudus adalah kekejaman tentara Jepang yang terus mencurigai serta tidak diperkenankannya mengajar dengan menggunakan bahasa Arab. Namun, pendidikan yang dilakukan madrasah tidak berhenti begitu saja. Pendidikan di madrasah dialihkan dengan pengajian Alquran pada setiap ba'dal magrib yang diatur dengan kelas-kelas. Namun hal ini tidak bertahan lama, dan pada akhirnya berhenti juga. Praktis dalam masa ini pendidikan di madrasah lumpuh total. 3. Masa kebangkitan (1950-sekarang) Masa penjajahan Jepang pun segera berakhir. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia telah didengungkan ke dunia pada 17 Agustus tahun 1945. Namun, di awal kemerdekaan tersebut Madrasah Qudsiyyyah belum juga bangkit dari tidur panjangnya. Dan ternyata, cukup lama juga Madrasah Qudsiyyah tertidur dan kosong dari segala aktivitas. Barulah sekitar tahun 1950 M, Madrasah Qudsiyyah kembali menemukan ruhnya untuk bangkit kembali. Perkembangan pendidikan di Madrasah Qudsiyyah semakin hari semakin meningkat hingga pada tanggal 25 Mei 1952 terwujudlah tingkat lanjutan pertama yang dinamakan Sekolah Menengah Pertama Islam Qudsiyyah (SMPIQ) dan mendapat perhatian penuh dari masyarakat. Semakin hari, sambutan dari masyarakat Kudus begitu besar terhadap pendidikan di Madrasah Qudsiyyah ini. Sehingga jumlah murid dari hari ke hari terus bertambah dan menyebabkan tingkat lanjutan dibagi menjadi dua, yaitu SMPI Qudsiyyah dan Pendidikan Guru Agama (PGA) Qudsiyyah. Pada tahun 1957, PGA Qudsiyyah dihapuskan dan SMPI Qudsiyyah diubah namanya menjadi Madrasah Tsanawiyyah Qudsiyyah. Pada tahun 1970-an, Madrasah Qudsiyyah juga pernah membuka Madrasah Diniyyah sore hari. Keberadaan diniyyah ini berlangsung selama lima tahunan. Pada akhir tahun 1973 M, Madrasah Qudsiyyah mendirikan jenjang Aliyah untuk menampng alumni Tsanawiyahnya. Sejak itu, Madrasah Qudsiyyah semakin berkembang hingga sekarang. [sunting] Pranala luar • K. H. R. Asnawi Pendiri Qudsiyyah • Sejarah Singkat Madrasah Qudsiyyah [sunting] SUMBER • Madrasah Qudsiyyah website Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Madrasah_Qudisyyah&oldid=6369352" Kategori tersembunyi: • Artikel yang tidak memiliki referensi • Artikel yang tidak memiliki referensi Januari 2013 Menu navigasi Peralatan pribadi • Buat akun baru • Masuk log Ruang nama • Halaman • Pembicaraan Varian Tampilan • Baca • Sunting • Versi terdahulu Tindakan • ↑ Pencarian Navigasi • Halaman Utama • Perubahan terbaru • Peristiwa terkini • Halaman baru • Halaman sembarang Komunitas • Warung Kopi • Portal komunitas • Bantuan Wikipedia • Tentang Wikipedia • Pancapilar • Kebijakan • Menyumbang Bagikan • Facebook • Google+ • Twitter Cetak/ekspor • Buat buku • Unduh versi PDF • Versi cetak Peralatan • Pranala balik • Perubahan terkait • Halaman istimewa • Pranala permanen • Informasi halaman • Kutip halaman ini Bahasa lain • • Halaman ini terakhir diubah pada 09.29, 15 Januari 2013. • Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creative Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya. • Kebijakan privasi • Tentang Wikipedia • Penyangkalan • Tampilan seluler • •

Tidak ada komentar: