(30) NURUL 'A'YUN

43 Karya Tulis/Lagu Nur Amin Bin Abdurrahman:
(1) Kitab Tawassulan Washolatan, (2) Kitab Fawaidurratib Alhaddad, (3) Kitab Wasilatul Fudlola', (4) Kitab Nurul Widad, (5) Kitab Ru'yah Ilal Habib Luthfi bin Yahya, (6) Kitab Manaqib Assayyid Thoyyib Thohir, (7) Kitab Manaqib Assyaikh KH.Syamsuri Menagon, (8) Kitab Sholawat Qur'aniyyah “Annurul Amin”, (9) Kitab al Adillatul Athhar wal Ahyar, (10) Kitab Allu'lu'ul Maknun, (11) Kitab Assirojul Amani, (12) Kitab Nurun Washul, (13) Kitab al Anwarullathifah, (14) Kitab Syajarotul Ashlin Nuroniyyah, (15) Kitab Atthoyyibun Nuroni, (16) Kitab al 'Umdatul Usaro majmu' kitab nikah wal warotsah, (17) Kitab Afdlolul Kholiqotil Insaniyyahala silsilatis sadatil alawiyyah, (18) Kitab al Anwarussathi'ahala silsilatin nasabiyyah, (19) Kitab Nurul Alam ala aqidatil awam (20) Kitab Nurul Muqtafafi washiyyatil musthofa.(21) KITAB QA'IDUL GHURRIL MUCHAJJALIN FI TASHAWWUFIS SHOLIHIN,(22) SHOLAWAT TARBIYAH,(23) TARJAMAH SHOLAWAT ASNAWIYYAH,(24) SYA'IR USTADZ J.ABDURRAHMAN,(25) KITAB NURUSSYAWA'IR(26) KITAB AL IDHOFIYYAH FI TAKALLUMIL ARABIYYAH(27) PENGOBATAN ALTERNATIF(28) KITAB TASHDIRUL MUROD ILAL MURID FI JAUHARUTITTAUHID (29) KITAB NURUL ALIM FI ADABIL ALIM WAL MUTAALLIM (30) NURUL 'A'YUN ALA QURRATIL UYUN (31) NURUL MUQODDAS FI RATIBIL ATTAS (32) INTISARI & HIKMAH RATIB ATTAS (33) NURUL MUMAJJAD fimanaqibi Al Habib Ahmad Al Kaff. (34) MAMLAKAH 1-25 (35) TOMBO TEKO LORO LUNGO. (36) GARAP SARI (37) ALAM GHAIB ( 38 ) PENAGON Menjaga Tradisi Nusantara Menulusuri Ragam Arsitektur Peninggalan Leluhur, Dukuh, Makam AS SAYYID THOYYIB THOHIR Cikal Bakal Dukuh Penagon Nalumsari Penagon (39 ) AS SYIHABUL ALY FI Manaqib Mbah KH. Ma'ruf Asnawi Al Qudusy (40) MACAM-MACAM LAGU SHOLAWAT ASNAWIYYAH (bahar Kamil Majzu' ) ( 41 ) MACAM-MACAM LAGU BAHAR BASITH ( 42 ) KHUTBAH JUM'AT 1998-2016 ( 43 ) Al Jawahirun Naqiyyah Fi Tarjamatil Faroidus Saniyyah Wadduroril Bahiyyah Lis Syaikh M. Sya'roni Ahmadi Al Qudusy.

Jumat, 07 September 2012


Mengapa Ulama Berbeda Pendapat?
Kamis, 03 April 2008
Saya menangkap kecenderungan sebagian rekan dalam mensikapi perbedaan pendapat ulama, antara lain, sebagai
berikut: Bingung dan kecewa dengan para ulama. Bukankah Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu Nabi
terakhir, dan Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan pendapat. Andaikan ulama mau
kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis niscaya tidak akan ada lagi perbedaan pendapat itu.Bersikap mencurigai
perbedaan itu. Jangan-jangan ulama berbeda pendapat karena ada "pesanan" atau malah "tekanan".
Dalam merespon sikap-sikap seperti itu, saya akan sedikit menguraikan sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama.
Kita akan terkejut mendapati bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan
Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur'an sendiri "menyengaja" timbulnya
perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil
dihapus. Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama, saya kutipkan sebagiannya: 1. Perbedaan dalam
memahami al-Qur'an. Al-Qur'an adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka
seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan: a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari
satu arti (musytarak). Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan "suci"; dan sebagian lagi
mengartikan dengan "haid". Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang
bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit,
sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya
(meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada ulama yang
berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'" sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk
memahaminya. Soalnya, kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata yang
pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata "quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab. b.
Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf "fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan
lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya. Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227
mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam tutur kata).
Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan).
Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak campur dengan
isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok
kedua berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat
empat bulan. c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh.
Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk
mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui
(misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus
(lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas
yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak
semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja).
Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada kedua orangtua.
Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke
dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya). Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda
memandang satu ayat sbb: 1. lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau 2. lafaz umum tetapi
maksudnya untuk khusus; dan 3. lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau 4. lafaz khusus tetapi
maksudnya umum.
Begitu juga perbedaan soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang
mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena
itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh). d. Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan
larangan. Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan: pertama, al-aslu
fil amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan), kedua: al-aslu fil amri li an-nadab (dasar "perintah" itu
adalah sunnah untuk dilakukan), ketiga: al-aslu fil amri lil ibahah (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan)
Contohnya lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah
mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa'" (nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga menggunakan bentuk
perintah. Nah, para ulama ada yg memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada yg memandang
sunnah (jumhur ulama). ** Perbedaan pendapat dikalangan ulama itu bukan karena mereka memang suka
berbantah-bantahan seperti ahlul kitab, tetapi karena teks nash sendiri memang membuka peluang timbulnya perbedaan
pendapat. 2. Berbeda dalam memahami dan memandang kedudukan suatu hadis.
a. Kedudukan hadis Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis yang paling tinggi
kedudukannya. Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin
berbohong. Masalahnya, para ulama berbeda dalam memahami "orang banyak" itu. Sebagian berpendapat jumlah
"orang banyak" itu adalah dua orang, sebagian lagi mengatakan cukup empat orang, yang lain mengatakan lima orang.
Pendapat lain mengatakan sepuluh orang. Ada pula yang mengatakan tujuh puluh orang (Periksa M. Taqiy al-Hakim,
"Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin, h. 195). Artinya, walaupun mereka sepakat akan kuatnya kedudukan hadis
mutawatir namun mereka berbeda dalam menentukan syarat suatu hadis itu dikatakan mutawatir. Boleh jadi, ada satu
hadis yang dipandang mutawatir oleh satu ulama, namun dipandang tidak mutawtir oleh ulama yang lain. Begitu pula
halnya dalam memandang kedudukan hadis shahih. Salah satu syarat suatu hadis itu dinyatakan shahih adalah bila ia
diriwayatkan oleh perawi yang adil. Hanya saja, lagi-lagi ulama berbeda dalam mendefenisikan adil itu. Nur al-Din 'Itr
menyaratkan tujuh hal, Al-Hakim menyaratkan tiga hal. Yang menarik, al-Hakim memasukkan unsur : tidak berbuat
Kantor Berita Ekonomi Syariah
http://www.pkesinteraktif.com Powered by Joomla! Generated: 8 July, 2009, 22:00
bid'ah sebagai syarat adilnya perawi, namun Ibn al-shalah, Nur al-Din 'Itr, Al-Syawkani tidak mencantumkan syarat ini.
Hampir semua ulama, kecuali al-Hakim, memasukkan unsur "memelihara muru'ah (kehormatan diri)" sebagai unsur
keadilan seorang perawi. Artinya, walaupun para ulama sepakat bahwa salah satu syarat suatu hadis dinyatakan
shahih adalah bila hadis itu diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun mereka berbeda dalam meletakkan syarat-syarat
adil itu. Boleh jadi, satu hadis dinyatakan shahih karena perawinya dianggap adil oleh satu ulama (sesuai dg syarat adil
yang dia susun), tetapi tidak dipandang adil oleh ulama yang lain (karena tidak memenuhi syarat adil yg dia yakini).
Persoalan lain adalah, bagaimana melakukan tarjih (memilih mana hadis yang paling kuat) diantara dua hadis yang
saling bertentangan. Boleh jadi, sebagian ulama mengatakan hadis yang satu telah menghapus (nasikh) hadis yang satu
lagi. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa boleh jadi hadis yang satu bersifat umum, sedangkan hadis yang lain
bersifat mengecualikan keumuman itu. Bagaimana bila teks hadis terlihat seakan-akan bertentangan dengan teks
Qur'an. Sebagian ulama langsung berpegang pada teks Qur'an dan meninggalkan teks hadis (ini yang dilakukan
mazhab Zhahiri ketika tidak mengharamkan pria memakai cincin dari emas), akan tetapi sebagian lagi mengatakan
bahwa hadis merupakan penjelas maksud ayat, sehingga tidak perlu meninggalkan salah satunya, tetapi
menggabungkan maknanya (ini yang dilakukan jumhur ulama ketika mengharamkan pria memakai cincin dari emas).
b. makna suatu hadis Hadis Nabi mengatakan, "La nikaha illa biwaliyyin" (tidak nikah melainkan dengan wali). Namun
mazhab Hanafi memandang bahwa huruf "la" dalam hadis diatas itu bukan berarti tidak sah nikahnya namun tidak
sempurna nikahnya. Mereka berpandangan bahwa sesuatu perkara yang ditiadakan oleh syara' dengan perantaraan "la
nafiyah", haruslah dipandang bahwa yang ditiadakannya itu adalah sempurnanya; bukan sahnya. Sedangkan mazhab
Syafi'i berpendapat adanya huruf "la nafiyah" itu menunjukkan tidak sahnya nikah tanpa wali. Contoh lain, apakah
persusuan diwaktu dewasa juga menyebabkan status mahram? Sebagian ulama mengatakan iya, karena berpegang
pada hadis Salim yang dibolehkan Rasul menyusu ke wanita yang sudah dewasa (padahal si Salim ini sudah
berjenggot!) sehingga terjadilah status mahram antara keduanya. Namun, sebagian ulama memandang bahwa hadis ini
hanya khusus berlaku untuk Salim saja (sebagai rukhshah) bukan pada setiap orang dewasa. Apalagi ternyata
ditemukan hadis lain dari Aisyah yang menyatakan bahwa persusuan yg menyebabkan kemahraman itu adalah disaat
usia kecil (karena bersifat mengenyangkan). Hanya saja, sebagian ulama memandang cacat hadis Aisyah ini karena
ternyata Aisyah sendiri tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri. Aisyah justru berpegang pada hadis
Salim. Hal terakhir ini menimbulkan masalah lagi: jika suatu perawi meriwayatkan suatu hadis, namun ia sendiri tidak
mengamalkan apa yang diriwayatkannya, apakah hadis itu menjadi tidak shahih ataukah hanya perawinya sendiri yang
harus disalahkan. Sebagian ulama memandang bahwa hadis itu langsung cacat, sedangkan sebagian lagi memandang
bahwa hadisnya tetap shahih hanya perawinya saja yang bersalah karena tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan
sendiri. 3. Perbedaan dalam metode ijtihad A. Sejarah singkat Sejak masa sahabat sudah ada dua "mazhab" di
kalangan mereka. Pertama, mereka yang lebih menekankan pada teks nash secara ketat. Diantara mereka adalah Ali
bin Abi Thalib dan Bilal. Kedua, mereka yang menaruh unsur rasio dan pemahaman secara luas dalam memahami suatu
nash. Kelompok kedua ini diantaranya adalah Umar bin Khattab dan Ibnu Mas'ud. Dalam perkembangan selanjutnya,
kedua kelompok ini menyebar dan memiliki pengaruh masing-masing. Kelompok pertama berkumpul di sekitar daerah
Hijaz, sedangkan kelompok kedua berkumpul di daerah Kufah. Sejarah kemudian menceritakan kepada kita bahwa
Imam Malik bin Anas tinggal di Madinah (termasuk daerah Hijaz) dan Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah. Imam Malik
berada di lingkungan di mana masih banyak terdapat sahabat Nabi. Sedangkan Imam Abu Hanifah, sebaliknya, tinggal
di lokasi di mana sedikit sekali bisa dijumpai sahabat Nabi. Fakta geografis ini menimbulkan perbedaan bagi kedua
Imam dalam merespon suatu kasus. Imam Malik bukan saja lebih banyak menggunakan hadis Nabi (yang dia terima
melalui sahabat Nabi di Madinah) dibanding rasio, tetapi juga menaruh amal penduduk Madinah sebagai salah satu
sumber hukumnya. Imam Abu Hanifah sangat membuka peluang penggunaan rasio dan sangat selektif (artinya, dia
membuat syarat yg amat ketat) dalam menerima riwayat hadis (lebih-lebih sudah mulai berkembang hadis palsu di
daerahnya). Sebagai jalan keluar dari sedikitnya hadis yang ia terima, maka Imam Abu Hanifah menggunakan Qiyas dan
istihsan secara luas. Imam Malik memiliki murid bernama Imam Syafi'i. Yang disebut belakangan ini juga nanti memiliki
murid bernama Imam Ahmad bin Hanbal. Ketiganya dapatlah disebut sebagai pemuka "ahlul hadis" di Hijaz. Sedangkan
Imam Abu Hanifah memiliki murid bernama Abu Yusuf dan Muhammad (nanti Imam Syafi'i berguru juga pada muridnya
Muhammad, namun Imam Syafi'i lebih cenderung pada kelompok Hijaz). Kelompok Kufah kemudian dikenal dengan
sebutan "ahlur ra'yi". Harus saya tambahkan bahwa mazhab dalam fiqh tidak hanya terbatas pada empat Imam besar
itu saja. Tetapi banyak sekali mazhab-mazhab itu (konon sampai berjumlah 500). Hanya saja sejarah membuktikan
bahwa hanya empat mazhab itu yang bisa bertahan dan memiliki pengaruh cukup luas di dunia Islam, ditambah sedikit
pengikut mazhab Zhahiri dan mazhab Ja'fari. B. Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah 1. Berpegang pada dalalatul
Qur'an - Menolak mafhum mukhalafah - Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum ditakshiskan - Qiraat Syazzah
(bacaan Qur'an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil 2. Berpegang pada hadis Nabi - Hanya menerima hadis
mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh)) - Tidak hanya berpegang pada sanad
hadis, tetapi juga melihat matan-nya 3. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat) 4. Berpegang
pada Qiyas - Mendahulukan Qiyas dari hadis ahad 5. Berpegang pada istihsan Imam Malik bin Anas 1. Nash
(Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir) - zhahir Nash - menerima mafhum mukhalafah 2. Berpegang pada amal
perbuatan penduduk Madinah 3. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah
daripada hadis ahad) 4. Qaulus shahabi 5. Qiyas 6. Istihsan 7. Mashalih al-Mursalah Imam Syafi'i 1. Qur'an Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur'an dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan
wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi'i digelari "Nashirus Sunnah". Konsekuensinya,
menurut Syafi'i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur'an dalam kasus tertentu) 2.
Ijma' 3. hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i lebih mendahulukan ijma' daripada hadis ahad) 4. Qiyas (berbeda dg Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi'i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas) 5. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan
Kantor Berita Ekonomi Syariah
http://www.pkesinteraktif.com Powered by Joomla! Generated: 8 July, 2009, 22:00
dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya Imam Ahmad bin Hanbal 1. An-Nushush (yaitu Qur'an dan
hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi'i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur'an) - menolak ijma' yang
berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi'i) - menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad
(kebalikan dari Imam Abu Hanifah) 2. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat) 3. Ijma' 4. Qiyas Kalau kita
susun empat Imam mazhab itu menurut banyaknya menggunakan rasio maka urutannya adalah: 1. Imam Abu Hanifah
2. Imam Syafi'i 3. Imam Malik 4. Imam Ahmad bin Hanbal Kalau disusun menurut banyaknya menggunakan
riwayat: 1. Imam Ahmad bin Hanbal 2. Imam Malik bin Anas 3. Imam Syafi'i 4. Imam Abu Hanifah (Bagi yang ingin
mendalami metode ijtihad para ulama saya merekomendasikan Muhammad Salam Madkur, "Manahij al-Ijtihad fi al-
Islam", Kuwait, al-matba'ah al-'Asriyah al-Kuwait, Jami'ah al-Kuwait, 1984). Demikianlah sebab-sebab para ulama
berbeda pendapat. Kalau saya boleh menyimpulkan maka ada dua sebab utama: 1. Sebab internal, yaitu berbeda
dalam memahami al-Qur'an dan Hadis serta berbeda dalam menyusun metode ijtihad mereka2. Sebab eksternal, yaitu
perbedaan sosio-kultural dan geografis
Persoalannya sekarang, bagaimana kita mensikapi perbedaan pendapat di antara ulama? Kalau kita sudah tahu
bahwa keragaman pendapat ulama itu juga merujuk pada al-Qur'an dan Hadis, maka silahkan anda pilih pendapat yang
manapun. Yang lebih penting lagi, janganlah cepat berburuk sangka dengan keragaman pendapat di kalangan ulama.
Jangan sembarangan menuduh mereka sebagai ulama pesanan ataupun ulama yang ditekan pemerintah. Juga jangan
cepat-cepat menilai salah fatwa ulama hanya karena fatwa tersebut berbeda dengan selera ataupun pendapat kita.
Mengapa kita harus mengukur dalamnya sungai dengan sejengkal kayu? Sayang, kita suka sekali mengukur kedalaman
ilmu seorang ulama hanya dengan sejengkal ilmu yg kita punya. Di sisi lain, ulama pun tetap manusia biasa yang tidak
lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Rasulullah sendiri mengakui bahwa akan ada orang yang salah dalam berijtihad,
namun Rasulullah mengatakan tetap saja Allah akan memberi satu pahala bagi yang salah dalam berijtihad, dan dua
pahala bagi yang benar dalam ijtihad. Masalahnya, Apakah kita punya hak untuk menilai salah-benarnya ijtihad ulama
itu? Bukankah hanya Allah Hakim yang paling adil? Al-Haq min Allah! Nadir has a Bachelors degree (UIN), a
Graduate Diploma in Islamic Studies, and Master of Arts with Honours (University of New England), as well as a Master
of Laws in Comparative Law (Northern Territory University). He completed his first PhD (Law) at the University of
Wollongong and a second PhD (Islamic Law) at the National University of Singapore. He then worked as a Postdoctoral
Research Fellow at TC. Beirne School of Law, University of Queensland. Currently, Nadir is a lecturer at the Faculty of
Law, University of Wollongong (NSW, Australia)
Kantor Berita Ekonomi Syariah
http://www.pkesinteraktif.com Powered by Joomla! Generated: 8 July, 2009, 22:00

Tidak ada komentar: