(30) NURUL 'A'YUN
43 Karya Tulis/Lagu Nur Amin Bin Abdurrahman:
(1) Kitab Tawassulan Washolatan, (2) Kitab Fawaidurratib Alhaddad, (3) Kitab Wasilatul Fudlola', (4) Kitab Nurul Widad, (5) Kitab Ru'yah Ilal Habib Luthfi bin Yahya, (6) Kitab Manaqib Assayyid Thoyyib Thohir, (7) Kitab Manaqib Assyaikh KH.Syamsuri Menagon, (8) Kitab Sholawat Qur'aniyyah “Annurul Amin”, (9) Kitab al Adillatul Athhar wal Ahyar, (10) Kitab Allu'lu'ul Maknun, (11) Kitab Assirojul Amani, (12) Kitab Nurun Washul, (13) Kitab al Anwarullathifah, (14) Kitab Syajarotul Ashlin Nuroniyyah, (15) Kitab Atthoyyibun Nuroni, (16) Kitab al 'Umdatul Usaro majmu' kitab nikah wal warotsah, (17) Kitab Afdlolul Kholiqotil Insaniyyahala silsilatis sadatil alawiyyah, (18) Kitab al Anwarussathi'ahala silsilatin nasabiyyah, (19) Kitab Nurul Alam ala aqidatil awam (20) Kitab Nurul Muqtafafi washiyyatil musthofa.(21) KITAB QA'IDUL GHURRIL MUCHAJJALIN FI TASHAWWUFIS SHOLIHIN,(22) SHOLAWAT TARBIYAH,(23) TARJAMAH SHOLAWAT ASNAWIYYAH,(24) SYA'IR USTADZ J.ABDURRAHMAN,(25) KITAB NURUSSYAWA'IR(26) KITAB AL IDHOFIYYAH FI TAKALLUMIL ARABIYYAH(27) PENGOBATAN ALTERNATIF(28) KITAB TASHDIRUL MUROD ILAL MURID FI JAUHARUTITTAUHID (29) KITAB NURUL ALIM FI ADABIL ALIM WAL MUTAALLIM (30) NURUL 'A'YUN ALA QURRATIL UYUN (31) NURUL MUQODDAS FI RATIBIL ATTAS (32) INTISARI & HIKMAH RATIB ATTAS (33) NURUL MUMAJJAD fimanaqibi Al Habib Ahmad Al Kaff. (34) MAMLAKAH 1-25 (35) TOMBO TEKO LORO LUNGO. (36) GARAP SARI (37) ALAM GHAIB ( 38 ) PENAGON Menjaga Tradisi Nusantara Menulusuri Ragam Arsitektur Peninggalan Leluhur, Dukuh, Makam AS SAYYID THOYYIB THOHIR Cikal Bakal Dukuh Penagon Nalumsari Penagon (39 ) AS SYIHABUL ALY FI Manaqib Mbah KH. Ma'ruf Asnawi Al Qudusy (40) MACAM-MACAM LAGU SHOLAWAT ASNAWIYYAH (bahar Kamil Majzu' ) ( 41 ) MACAM-MACAM LAGU BAHAR BASITH ( 42 ) KHUTBAH JUM'AT 1998-2016 ( 43 ) Al Jawahirun Naqiyyah Fi Tarjamatil Faroidus Saniyyah Wadduroril Bahiyyah Lis Syaikh M. Sya'roni Ahmadi Al Qudusy.
Sabtu, 30 Januari 2016
Maulana Sayyid Yusuf Bin Ali Bin Abdullah Al Hasan Sumenep
Maulana Sayyid Yusuf Bin Ali Bin Abdullah Al Hasan Sumenep
0 Habaib, Maulana Sayyid Yusuf Bin Ali Bin Abdullah Al Hasan Sumenep 15:58
Bagi anda yang pernah berkunjung ke Sumenep dan berwisata religi sepertinya kurang lengkap kalau anda tidak mampir dan mengunjungi makam Sayyid Yusuf, sebuah makam seorang ulama yang wafatnya pun tidak diketahui siapapun.
Jika anda hendak menuju ke Makam Sayyid Yusuf, anda harus menyebarang dahulu dengan perahu atau kapal tongkang yang muat untuk mobil, motor dan bis di pelabuhan Kalianget yang berjarak 11 km dari pusat kota Sumenep, karena Makam Sayyid Yusuf terletak di sebuah pulau yaitu Pulau Telango atau yang disebut juga dengan Pulau Poteran yang letaknya di bagian tenggara Kabupaten Sumenep.
Menurut cerita turun temurun asal mula Makam Sayyid Yusuf bermula pada tahun 1212 H (Tahun 1791 M) raja Sumenep Sri Sultan Abdurrahman Pangkutaningrat, beserta rombongan/prajuritnya berangkat dari Keraton Sumenep. Maksudnya akan menyebarluaskan Agama Islam ke Pulau Bali.
Setibanya di Pelabuhan Kalianget, karena hari telah sore, maka beliau terpaksa bermalam, di sekitar jam 24.00 Sri Sultan Abdurrahman terkejut karena tiba-tiba melihat sinar/cahaya yang sangat terang, seakan-akan jatuh dari langit ke Bumi di sebelah timur Pelabuhan atau tepatnya di Pulau Poteran desa Telango Kecamatan Telango Kabupaten Sumenep.
Setelah sholat Subuh, Sri Sultan dengan pengikutnya naik perahu menuju pulau tersebut untuk mencari tanda jatuhnya sinar tersebut. Setibanya di pulau Poteran, Sri Sultan masuk hutan lalu mendapatkan tanda yang meyakinkan seakan-akan kuburan baru. Lalu beliau memberi salam dan salam beliau dijawab dengan suara jelas. Namun tidak ada yang menampakkan diri.
Selanjutnya Sri Sultan Abdurrahman ingin mengetahui suara tersebut. Maka beliau munajat atau memohon kehadirat Allah SWT, tiba-tiba jatuhlah selembar daun diharibaannya dan setelah diperhatikan daun tersebut tertulis dengan tulisan Arab 'Hadza Maulana Sayyid Yusuf Bin Ali Bin Abdullah Al Hasani'.
Selanjutnya Sri Sultan Abdurrahman memasang batu nisan dengan diberi nama sebagaimana yang terdapat atau tertulis pada daun tersebut. Setelah melanjutkan perjalanannya. Sebelum berangkat beliau menancapkan tongkat beliau di dekat kuburan atau pesarean Sayyid Yusuf dan tongkat tersebut hidup sampai sekarang menjadi pohon yang besar dan rindang.
Setelah beberapa lama kuburan atau pesarean diberi cungkup atau pendopo kecil tetapi hanya kuburan Sayyid Yusuf pindah dari sebelah timur dengan arti tidak menghendaki diberi cungkup.
Dan sekitar kurang lebih satu tahun, kemudian Sri Sultan Abdurrahman mendatangi lagi kuburan atau pesarean Sayyid Yusuf untuk membangun pendopo di sekitar kuburan tersebut juga termasuk masjid Jami' Kecamatan Telango.
Jika anda kesana, anda akan menemukan sebuah pohon besar yang menaungi Makam Sayyid Yusuf tidak lain itu adalah sebuah tongkat Sri Sultan Abdurahman yang tertancap sehabis memakamkan beliau, sebelum pohon itu besar pernah Sri Sultan Abdurahman membuatkan cungkup atau peneduh diatas makam beliau tapi setelah keesokan harinya makamnya berpindah sedikit ke timur maka dari itu Sultan Abdurahman mengerti jika Makam tersebut tidak ingin diberi cungkup dan ingin menjadi makam yang terbuka dengan alam.
Makam Sayyid Yusuf yang kemudian dikenal dengan sebutan Asta Sayyid Yusuf.
Pada tahun 1986 didirikanlah sebuah yayasan dengan nama Yayasan Asta Sayyid Yusuf yang bergerak dibidang pendidikan mulai dari Madrasah Ibtidayah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan SMA dengan tujuan membantu siswa yang kurang mampu dan jauh dari tempat sekolah.
Demikian sekadar riwayat singkat Sayyid Yusuf dan dikutip dari sejarah wali-wali di Kabupaten Sumenep, Madura. (Sumber: Riwayat Singkat Sayyid Yusuf)
Jelajah Wisata Religi Madura
Predikat daerah santri sepertinya memang layak dinisbatkan kepada Madura. Kepatuhan masyarakatnya akan sosok pemuka agama atau kyai ternyata tidak hanya dilakukan saat kyai tersebut masih hidup di tengah–tengah mereka.
Budaya masyarakat Madura yang menempatkan kyai sebagai figur panutan yang tetap dihormati meski telah lama meninggal itulah yang menyebabkan banyak terdapat makam kyai di Pulau Garam tersebut. Makam kyai juga seringkali dianggap sebagai tempat keramat yang dipercaya sebagai tempat paling tepat untuk berdoa kepada tuhan dengan tujuan tertentu, di samping juga mendoakan arwah kyai yang ada dalam makam tersebut.
Masyarakat Madura umumnya menyebut makam tokoh agama tersebut dengan sebutan “Bujuk” yang dalam bahasa Madura berarti orang yang sangat tua dan dituakan dalam silsilah keluarga. Namun dalam konteks sosial, Bujuk merupakan orang yang dituakan dan yang patut dituruti segala nasehat dan arahannya.
Nama dari Bujuk tersebut biasanya diambil dari nama tempat kyai tersebut berasal atau tinggal, nama Bujuk juga ada yang diambil dari kebiasaan kyai saat hidup, atau dari hal-hal mistis yang berkaitan dengannya semasa hidup. Seperti Bujuk Banyu Sangka, masyarakat memberikan nama tersebut karena lokasi makamnya ada di Desa Banyu Sangka, Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan. Sementara nama asli penghuni Bujuk tersebut adalah Sayyid Husein.
Nama yang diberikan masyarakat dari apa yang berkaitan dengan kehidupannya seperti, Bujuk Latthong di Desa Batu Ampar Kecamatan Proppo, Pamekasan. Menurut keterangan dalam buku Kisah Aulia Batu Ampar yang disusun Alm KH Achmad Fauzi Damanhuri (salah satu cucu Bujuk Latthong), nama tersebut diambil
dari cerita masyarakat bahwa kyai yang mempunyai nama asli Syekh Abu Syamsuddin tersebut dulu pernah menyembunyikan senjata musuh yang akan membunuhnya di dalam kotoran sa pi yang dalam bahasa Madura di sebut ” Latthong”. Namun ada juga Bujuk yang diberi nama sesuai atau mirip nama aslinya, seperti Bujuk Sara di Desa Martajasah, Kecamatan Kota, Bangkalan, nama asli ulama tersebut ada Siti Maisaroh.
Terdapat ratusan Bujuk atau makam yang tersebar di empat
kabupaten di Madura dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Namun dari jumlah itu, ada beberapa saja yang seringkali dikunjungi peziarah lokal maupun dari luar Madura. Banyaknya peziarah yang datang suatu lokasi Bujuk, tergantung pengaruh dan kharismatik kyai tersebut semasa hidupnya.
Terdapat sejumlah makam yang seringkali dijadikan salah satu tujuan wisata religi di Madura, diantaranya, makam Syaikhona Klolil dan Siti Maisaroh di Desa Martajasah, Kecamatan Kota, Bangkalan, Komplek pemakaman kerajaan Bangkalan, Air mata Ibu di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya Bangkalan, komplek makam Batu Ampar, Desa Batu Ampar, kecamatan Proppo, Pamekasan, komplek pemakaman kerajaan Sumenep, Asta Tinggi di desa Kebun Agung, Kecamatan Kota, Sumenep dan pemakaman Sayyid Yusuf di desa Talango, kecamatan Talango Sumenep.
Usia makam tersebut dari puluhan hingga ratusan tahun. Berdasarkan silsilahnya, sebagian besar makam tersebut adalah keturunan bangsa Arab yang sengaja datang ke Madura untuk menyebarkan Islam. Sebagian mereka juga masih mempunyai hubungan darah dengan Wali Songo yang ada di Jawa, sebagian lagi merupakan silsilah keluarga kerajaan Jawa dan Madura yang juga dianggap berperan dalam menyebarkan luaskan Islam di Madura.
Bujuk Latthong misalnya, ternyata masih merupakan cicit atau generasi ketiga dari Bujuk Banyu Sangka di Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan, sementara Bujuk Banyu Sangka juga masih mempunyai hubungan darah dengan ulama yang dimakamkan di kawasan Luar Batang Jakarta Utara. Sementara Bujuk Bindere Saud di kompleks pemakaman Asta Tinggih di Sumenep masih mempunyai garis keturunan dengan Raden Fattah, raja Kerajaan Demak. Sementara Syaikhona Kholil Bangkalan juga masih mempunyai garis keturunan dengan Sunan Kudus dan Sunan Ampel.
Minim literatur
Namun budayawan asal Madura, Zawawi Imron sedikit meragukan sebagian adanya bujuk tersebut memang benar-benar m akam seorang kyai, pasalnya tidak didukung literatur sejarah yang kuat, kecuali yang ada di komplek pemakaman kerajaan seperti di Astatinggi dan makam Jokotole di Sumenep, serta Air Mata Ibu di Bangkalan. Bisa saja makam tersebut bukanlah milik seorang pemuka agama, namun hanya sesorang yang dihormati dan dianggap sebagai sesepuh daerah.
“Mungkin juga makam tersebut adalah milik sesepuh suatu keluarga yang seringkali dikunjungi oleh kalangan keluarganya sendiri, namun masyarakat menganggapnya makam milik orang berpengaruh atau berjasa di daerahnya, kabar itu menyebar dari mulut-kemulut sehingga sampai sekarang banyak dikunjungi oleh orang,” kata seniman yang mempunyai julukan Si Celurit Emas ini.
Namun menurutnya, perilaku masyarakat untuk berziarah ke makam tidak ada salahnya, selain untuk mengingat akan kematian, mendoakan orang di dalam kubur dalam keyakinan sebagian orang Islam itu diberbolehkan, justru dianjurkan.
Sebagian besar kondisi lokasi wisata religi di Madura sangat sederhana, bahkan terkesan sama sekali tidak tersentuh penanganan dari pemerintah setempat. Hal itu dapat terlihat dari banyaknya kelompok pengemis yang seringkali membuat peziarah merasa terganggu, jalan akses menuju lokasi, hingga penataan pedagang kaki lima yang tidak teratur. Biaya pemeliharaan lokasi hanya berasal dari dana yang dikumpulkan seeara sukarela dari peziarah yang datang.
Namun, keadaan seperti itu tidak terjadi pada lokasi komplek pemakaman kerajaan seperti Asta Tinggi di Sumenep, dan Air Mata Ibu di Bangkalan yang sudah masuk dalam eagar budaya.Namun apapun alasannya , pemerintah wajib memperhatikan kelestarian lokasi pemakaman sebagai salah satu potensi wisata religius, karena seeara tidak langsung dengan semakin banyaknya peziarah yang datang akan merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar.
Beberapa bulan menjelang bulan puasa seperti saat ini, makam-makam tersebut biasanya ramai dikunjungi peziarah lokal maupun dari luar Madura seperti Jawa, dan Kalimantan. Mereka mendatangi lokasi makam dengan berombongan menggunakan bus pariwisata atau dengan menggunakan mobil pribadi. Menurut juru kunci makam Syaikhona Kholil di Desa Martajasa, Kecamatan Kota, Bangkalan, Muhammad Zainal, pada sekitar 2-1 bulan menjelang bulan puasa, makam Syaikhona Kholil dikunjungi ribuan peziarah dari luar Madura. “Menjelang Ramadhan, sekitar 80-90 bus rombongan setiap harinya berziarah ke sini,” ucapnya.
Menurutnya, budaya sebagian orang Islam memilih waktu ziarah sebelum bulan puasa, agar saat bulan puasa nanti hati sudah bersih dan siap menjalankan puasa. Hal tersebut diamini Salah seorang peziarah asal Surabaya, Said Abdullah.
Menurut Said, selain sebagai persiapan bulan puasa, berziarah ke makam ulama juga sebagai upaya mencari berkah karena diyakini, berdoa di samping makam orang-orang yang mempunyai keilmuan dan kedekatan kepada tuhan, doanya akan mudah dikabulkan. “Berziarah ke makam ulama adalah agenda rutin tahunan jamaah kami menjelang bulan puasa, di samping sekedar refreshing ke tempat-tempat yang dianggap keramat di Madura,” kata pria yang mengaku sudah beberapa kali bersama rombongan Jamaah Sholawat Nariyahnya berziarah ke makammakam wali di Madura ini.
Wisata religi dengan tujuan wali Madura kian ramai dikunjungi peziarah setiap tahunnya. Hal tersebut terbukti dengan semakin banyaknya agen wisata ziarah yang menawarkan paket wisata ziarah ke wali Madura.
Ketua Association of the Indonesian Tours & Travel Agencies (Asita) Jatim, Haryono Gondosoewito membenarkan hal tersebut, menurutnya, tujuan wisata religi ke pulau Madura diprediksi meningkat hingga diatas 20%, apalagi setelah diresmikannya Jembatan tol Suramadu. Namun menurutnya, pemerintah daerah setempat harus mengimbangi dengan dukungan penyediaan jalan akses ke lokasi wisata religi yang masih minim. Pengembangan wisata religi tidak cukup dengan penyediaan jalan akses ke lokasi wisata religi, serta dukungan kelengkapan sarana lainnya, upaya pengembangan tersebut hendaknya harus didukung semua pihak dalam hal ini pemerintah daerah dan masyarakat setempat.
Unik dan Mistis
Sebagian besar lokasi pemakama n di Madura kental sekali dengan cerita mistis dan unik, baik itu berkaitan dengan kehidupan ulama bersangkutan, atau dengan tempat atau barang yang ada di sekitar lokasi pemakaman.
Di makam Bujuk Nepa di desa Betiyoh, Kecamatan Banyuates, Sampang misalnya, menurut cerita masyarakat sekitar, ulama yang dimakamkan di situ adalah Kyai Abdul Majid atau biasa dikenal dengan Sunan Segara. Konon, pemilik makam tidak mau makamnya yang terletak di tengah hutan yang penuhi ratusan Kera di pesisir pantai desa Nepa tersebut di beri batu nisan. ” Pernah beberapa kali dipasang ahirnya batu tersebut hilang, atau si juru kunci bermimpi agar dia mencabut batu nisan yang dipasang,” kata salah satu warga desa Nepa, Maryam. Akhirnya masyarakat hanya memberinya tanda seadanya dengan kain atau bendera tepat di bawah pohon yang diyakini sebagai tempat Kyai Abdul Majid dimakamkan.
Sejumlah benda di sekitar pemakaman juga seringkali dikultuskan sebagai barpng yang menyimpan kekuatan tertentu, seperti air dari sumur di komplek pemakaman Air mata Ibu di Bangkalan. Konon, tempat tersebut dinamakan Air Mata Ibu karena permaisuri raja Arosbaya yakni Syarifah Ambami yang juga masih cucu dari sunan Giri ini mendoakan keturunannya agar menjadi penguasa Madura di lokasi tersebut dengan menangis. Karena banyaknya tangisan air mata seorang ibu tersebut, hingga menjadi sumber air. Sumber air tersebut kini banyak diyakini masyarakat sebagai air mujarab yang dapat menyembuhkan segala penyakit.
Air yang diyakini mujarab juga ditemukan di sekitar komplek pemakaman Asta Tinggi Sumenep. Di sana, sumber air yang diyakiani mujarab bahkan dapat diambil dari bongkahan batu yang terus menerus mengeluarkan air, bukan dari dalam tanah seperti sumber mata air pada umumnya. Achmad Faizal
Pada tahun 1212 Hijriah (1791 M) Raja Sumenep yaitu Sri Sultan Abdurrahman Pangkutaningrat, beserta rombongannya yang terdiri dari para prajurit berangkat dari keraton Sumenep bermaksud menyebarkan agama islam ke pulau Bali.
Setibanya di pelabuhan kalianget karena telah sore, maka beliau bermalam di kalianget. Namun sekitar tengah malam Sri Sultan dikejutkan oleh cahaya yang sangat terang dan seakan-akan jatuh dari langit ke sebelah timur pelabuhan Kalianget yaitu di pulau Talango. Kemudian dengan rasa penasaran setelah solat subuh Sri Sultan memerintahkan pada para rombongan prajuritnya untuk merubah perjalanan yaitu menyeberang pulau Talango. Dengan rasa yang penasaran Sri Sultan dan para Prajurit masuk hutan dan mendapati tanda yang meyakinkan yaitu sebuah kuburan baru. Kemudian tanpa pikir panjang sang Sultan mengucapkan salam pada penghuni kubur, dan alangkah terkejutnya beliau karena salam yang beliau ucapkan dijawab oleh sang penghuni kubur dengan sangat jelas namun tidak ada wujud yang tampak. Karena rasa penasaran yang mendalam kemudian Sri Sultan bermunajat pada Allah SWT, tiba-tiba jatuhlah selembar daun yang bertuliskan (Hadz Maulana Sayyid Yusuf Bin Ali Bin Abdullah Al Hasan) yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan Sayyid Yusuf. Sri Sultan tidak hanya berhenti disana, kemudian Sri Sultan membuat Batu nisan yang bertuliskan nama suci sesuai yang tertera pada daun. Kemudian Pasarenan atau Kuburan Sayyid Yusuf diberi Congkop atau Pandepa, tetapi anehnya kuburan tersebut pindah ke sebelah timur. Hal ini menandakan bahwa Sayyid Yusuf tidak menghendaki kuburan beliau diberi congkop atau pandapa hingga sekarang.
Satu tahun setelah kejadian tersebut Sri Sultan datang mengunjungi kuburan Sayyid Yusuf kembali dan membangun pendopo untuk tempat menerima tamu atau peristirahatan serta membangun mesjid jami'.Konon pohon besar yang sampai sekarang kokoh berdiri di sebelah timur Kuburan Sayyid Yusuf adalah tongkat yang ditancapkan oleh Sri Sultan.
Wisata Religi Asta Gumok Brambang
Di desa Kalimo'ok tepatnya di Sebelah timur lapangan terbang Trunojoyo Sumenep terdapat makam atau kuburan/Asta K.Ali Barangbang. Mengapa dikatakan Barangbang, karena terletak di dusun Barangbang. K. Ali Barangbang mempuyai silsilah dari Syekh Maulana Sayyid Jakfar, As Sadik atau dikenal dengan Sunan Kudus yang mempunyai keturunan Pang. Katandur yang mempunyai empat anak yaitu : K. Hatib Paddusan, K. Hatib Sendang, K. Hatib Rajul, K. Hatib Paranggan. Dari Putra pertamanya diberi keturunan K. Ali Barangbang yang wafat 1092 H.
Semasa hidup K. Ali adalah merupakan seorang ulama besar dan penyiar agama islam yang sangat disegani. Bahkan raja Sumenep juga berguru ke K. Ali. Konon menurut sejarah beliau. K.Ali mempunyai kelebihan diluar nalar, binatang (kera) di ajari berbicara bahkan sampai bisa mengaji. Pada waktu Sumenep pemerintahannya masih berbentuk kerajaan. Seorang raja mempunyai anak, dititipkan k. Ali untuk belajar mengaji. Ringkas cerita, pada saat belajar mengaji Putra Raja tersebut dipukul oleh K. Ali. Setelah itu Putra Raja pulang dan mengadukan sikap K. Ali pada sang Raja. Jelas raja sangat marah namun Raja tidak langsung menghukum K. Ali namun memerintahkan sang prajurit untuk memanggil k. Ali dan menanyakan alasan kenapa putranya sampai dipukul. Tanpa rasa takut K. Ali menjawab bahwa sebenarnya dia tidak berniat memukul putra raja melainkan kebodohan yang menemani putra raja. Mendengar jawaban tersebut raja tersinggung putranya di anggap bodoh, dengan marah kemudian raja mengatakan hal yang sangat mustahil, raja mengatakan bahwa jika memang K Ali bisa membuat orang pintar dengan memukul maka k. Ali boleh pulang membawa kera dengan syarat harus bisa mengajari sang kera mengaji.
Ringkasnya sang kera dibawa oleh K. Ali ke rumahnya, dan setiap malam K. Ali mengajak sang kera untuk memancing bersamanya, hingga pada suatu malam tepatnya malam ke 39, K. Ali memberikan tali tambang yang terbuat dari sabut kelapa kepada sang kera dengan cara mengikatkan pada jarinya lalu dibakar. Sambil berkata K. Ali kepada kera : "Hai kera jika sampai pada jarimu api itu dan terasa panas di tanganmu maka teriklah dan katakan panas..." saat itulah kera bisa berbicara dan akhirnya sang kera bisa mengaji. Tiba saatnya sang kera untuk pulang ke keraton dan menunjukkan kemampuannya untuk mengaji.
Di keraton K. Ali mengadakan pertemuan besar dengan raja dan disaksikan oleh para punggawa kerajaan sekaligus mengadakan pesta. Setelah semua berkumpul, kemudian sang kera di beri Alquran, dan betapa terkejutnya sang raja beserta para punggawa yang hadir ketika melihat dan mendengar kera mengaji dengan indah. Setelah selesai mengaji k> Ali melemparkan pisang kepada kera dan berkata "Ilmu Kalah Sama Watak" yang dalam bahasa maduranya "Elmo Kala ka Bebethe'". Dan raja pun ikut berbicara bahwa barangsiapa yang menuntut ilmu tidak menginjak tanah brangbang maka ilmunya tidak syah.
Wisata Religi Mesjid Agung Sumenep
Masjid Agung Sumenep ini terletak di jantung kota Sumenep, tepatnya di depan Tamana Kota Adipura. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia yang memiliki ciri design yang dipengaruhi oleh gaya Islam, Cina dan Eropa. Akulturasi design yang langsung bisa dilihat adalah dari pintu gerbangnya, yang terlihat kokoh layaknya sebuah benteng di Roma dengan pintu kayu kuno. Masjid ini di bangun oleh Tumenggung Arya Notokusumo I, yang terkenal dengan Panembahan Sumolo. Masjid ini dibangun setelah pembangunan Kraton Sumenep dengan arsitek yang sama dengan pembangunan Kraton yaitu, Lauw Piango. Masjid ini mulai dibangun sejak tahun 1198 H atau 1779 Masehi dan selesai pada tahun 1206 H atau 1787 M. Setelah pembangunan masjid ini selesai, Pangeran Notokusuma memberikan wasiat yang harus dipatuhi, dan berbunyi:
"Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di negeri/keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak."
Sejak saat itu, masyarakat sekitar masjid selalu berpartipasi untuk mengurus masjid ini agar selalu kuat menghadapi waktu.
Wisata Religi Asta Pangeran Katandur
Ini merupakan asta/pasarean dari pangeran Katandur atau dikenal sebagai Syekh Ahmad Baidawi ini merupakan putra dari Pangeran Pakaos yang merupakan cucu dari Sunan Kudus. Beliau mendapatkan gelar Pangeran Katandur karena merupakan penyebar agama islam yang menggunakan keahliannya di bidang pertanian sebagai media untuk menyebarkan agama Islam. Katandur berasal dari kata “ Tandur ” yang berarti ahli menanam atau ahli pertanian. Pangeran Katandur atau Syekh Ahmad Baidawisebagai seorang penyebar agama Islam di kabupaten Sumenep dan sekaligus yang pertama kali mengenalkan bercocok tanam dan membajak sawah menggunakan Nanggala atau Salagah yang ditarik oleh dua ekor sapi, yang selanjutnya merupakan cikal bakal budaya karapan sapi di Madura.
Pasarean/Asta Pangeran Katandur berada di kecamatan kota Sumenep, tepatnya di belakang perumahan giling Sumenep. Seperti Pasarean/Asta seorang yang dianggap wali dan berjasa lainnya setiap hari tidak pernah sepi dari peziarah, dan pemerintah kabupaten Sumenep telah menetapkan Pasarean/Asta Pangeran Katandursebagai salah satu tempat wisata religi yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten Sumenep.
Wisata Religi Asta Jokotole
Jokotole yang pernah memerintah di Suemnep bergelar Pangeran Setyodiningrat III, pada saat memegang pemerintahan di Sumenep sekitar tahun 1415 M, datanglah musuh dari negeri Cina yang dipimpin oleh Sampo Tua Lang (Dempo Awang) dengan berkendaraan kapal yang dapat berjalan di atas Gunung di antara bumi dan langit atau dikenal sebagai perahu terbang.
Didalam peperangan itu Pangeran Setyoadiningrat III mengendarai kuda terbang sesuai petunjuk dari pamannya (Adirasa), pada suatu saat ketika mendengar suara dari pamannya yang berkata "pukul" maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras sehingga kepala dari kuda itu menoleh kebelakang dan ia sendiri sambil memukulkan cambuknya yang mengenai Dempo Awang beserta perahunya sehingga hancur luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah
Dengan kejadian inilah maka kuda terbang yang menoleh kebelakang dijadikan lambang bagi daerah Sumenep, sebenarnya sejak Jokotole bertugas di Majapahit sudah memperkenalkan lambang kuda terbang.
Dipintu gerbang dimana Jokotole ikut membuatnya terdapat gambar seekor kuda yang bersayap dua kaki belakang ada ditanah sedang dua kaki muka diangkat kebelakang, demikian pula di Asta Tinggi Sumenep disalah sati Congkop (koepel) terdapat kuda terbang yang dipahat diatas marmer. Juga pintu gerbang rumah kabupaten (dahulu Keraton) Sumenep ada lambang kuda terbang. Di museum Sumenep juga terdapat lambang kerajaan yang ada kuda terbangnya, karena itu sudah sepantasnyalah jika pemerintahan kota Sumenep memakai lambang kuda terbang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar