Kamis, 19 Juli 2012

Diponegoro


Sarjawala 1: Ilang Sirna Kertaning Bhumi
Pada tahun 1478 M, Sunan Ngampel, Kadi Majapahit dan Rektor Universitas Ampel Denta wafat (77 tahun). Bersamaan itu, negeri-negeri muslim Andalusia, yang dipimpin Wangsa Umayyah (tepatnya Bani Hakam dari Subwangsa Marwan) berangsur-angsur menyerahkan diri kepada Spanyol dan Portugis. Tidak berapa lama Perjanjian Tordesillas ditandatangani (1494). Semua ulama bersepakat bahwa akan datang era baru yang membutukan perjuangan yang berat, jaman di mana ketentraman hidup menjadi asing dan mahal.
Mpu Kanwa diperintahkan untuk menyusun satu traktat/serat yang berisi pemberitahuan umum kepada seluruh negeri-negeri atau anak negeri persemakmuran Majapahit (Nuswantara) agar bersiap-siap mempertahankan diri. Sesanti beliau berbunyi “ilang sirna kertaning bhumi“, yang sekaligus candra sengkala penanda sebagai 1400 tahun saka atau 1478 M. Mpu Kanwa memberi tajuk yaitu Serat Kandha yang berarti Berita atau Kabar. Kemudian dibentuklah Dewan Ulama yang disebut Walisongo dan dibangun bandar laut pertahanan yaitu Demak Bintoro. Tidak berapa lama kolonialisme merangsek dan tetap meninggalkan bekasnya sampai hari ini. Kepemimpinan Kesultanan Majapahit dialihtangankan (palihan) dan digeser kepada Kesultanan-kesultanan yang lebih kecil termasuk Kesultanan Mataram dan Cirebon.
Perjuangan Walisongo sendiri berakhir sampai Angkatan ke-10 yang dipimpin Pangeran Diponegoro (Sultan Abdul Hamid Ba’abud). Perjuangan Pangeran Diponegoro (yang juga Kesultanan-kesultanan yang lain seperti Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, dll sampai yang terakhir berhasil dihapus Belanda adalah Sultan Iskandar Muda) adalah periode akhir perjuangan melawan kolonialisme. Saat itulah Indonesia diperkenalkan (dan juga Malaysia, Filipina, Thailand, dll). Nuswantara memasuki era baru yang disebut “modern”.
Secara fisik, kolonialisme berakhir dengan munculnya negara-negara nasional di Nuswantara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, Filipina, dll. Akan tetapi sistem kehidupan yang berlaku masih meniru kolonial, mulai dari tata pemerintahan dan politik (demokrasi), pengembangan sains (sains empiris), teknologi (mekanis) dan riset, pendidikan (dan model-model belajar sekular), relasi sosial kemasyarakatan (pluralisme, dll) dan kebudayaan, organisasi, hukum dan perundang-undangan, pasar dan ekonomi, dll. Sendi-sendi peradaban tradisional ditanggalkan dan dirasionalisasi agar relevan dengan apa yang kemudian disebut ‘modern’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar