Ali bin Abi Thalib
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
‘Alī bin Abī Thālib (Arab: علي بن أﺑﻲ
طالب, Persia: علی پسر ابو
طالب) (599 – 661) adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi'ah
berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Uniknya meskipun Sunni
tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam,
sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang
sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah
dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad.
Perbedaan pandangan mengenai pribadi Ali bin Abi Thalib
Syi'ah
Syi'ah
berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan
sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum.
Syi'ah meninggikan kedudukan Ali atas Sahabat
Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar
bin Khattab.
Syi'ah selalu
menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam
(AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan.
Sunni
Sebagian Sunni yaitu mereka
yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para pendukungnya memandang Ali sama
dengan Sahabat
Nabi yang lain.
Sunni menambahkan
nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah
melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.
Sufi
Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu
Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan
wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun.
Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah
bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain
menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka
bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel
hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang
tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh
pendiri tarekat Sufi,
adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki.
Seperti pada tarekat Qadiriyyah
dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan
keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan
bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh
Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
Riwayat Hidup
Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Kelahiran
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian
Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi[1] atau 600[2](perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25
tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan
keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat
menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi
nama Haydar,[rujukan?] Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di
sisi Allah).
Kehidupan Awal
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah
binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan
keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib
banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki.
Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri
beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya
putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil
hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada Yesus (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
Masa Remaja
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu,
riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang
mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali
berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak
belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu
dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal
inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran
tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf
lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid
atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun
kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada
umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang
tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua
aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior)atau syariah dan bathin (interior)
atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani
dan bijak.
Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui
orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi.
Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang
pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan
oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Kehidupan di Madinah
Perkawinan
Setelah masa
hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah
az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi menimbang Ali yang paling
tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim),
yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad
(setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah
Nabi dan banyak hal lain.
Julukan
Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata
Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori
punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali
sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab
yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang
paling disukai oleh Ali.
Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw
Perang Badar
Beberapa saat
setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan
disamping Hamzah, paman Nabi.
Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam
perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia
yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq
Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian
Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan
pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua
bagian.
Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat
perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari
Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi
yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang
Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw
bersabda:
"Besok, akan aku serahkan bendera
kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang
berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia
mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk
mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib
yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan
berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu
menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Peperangan lainnya
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali
perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.
Setelah Nabi wafat
Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang
riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum)
bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak
sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka
orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.
Menurut riwayat
dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa
sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji
( Hijjatul-Wada'),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu
tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama "GHADIR KHUM." Hari itu
adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah
di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a.Dalam
khutbahnya itu antara lain beliau berkata : "Barang siapa menanggap
aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang
mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya"
Pengangkatan Abu
Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan
pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali
bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar
sebagai Khalifah
pengganti Rasulullah.
Ada yang
meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu,
riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar
setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah
meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat
Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas
untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang
menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada
di tangan Bani
Hasyim.
Sebagai khalifah
Peristiwa
pembunuhan terhadap Khalifah Utsman
bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu
sudah membentang sampai ke Persia
dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai
pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu
itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair
bin Awwam dan Talhah
bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at
mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal,
karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah
ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi
kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah
sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa
pemerintahannya, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah
binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang
dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah
diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup,
dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim
sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik
berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang
Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin
Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan
strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan
luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63
tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman
bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij
(pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19
Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21
Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada
beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Didahului oleh:
Utsman bin Affan |
Digantikan oleh:
Muawiyah I |
|
Didahului oleh:
Muhammad |
Digantikan oleh:
Hasan bin Ali |
Keturunan
Ali memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra[3] dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak
laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan Husain.
Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan
Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka
dihormati oleh Sunni dan Syi'ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36
orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai
saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib
kerap digelari Sayyid.
Anak laki-laki
|
Anak perempuan
|
Zainab al-Kubra
|
|
Zainab al-Sughra
|
|
Abbas al-Akbar (dijuluki Abu Fadl)
|
Ramlah al-Kubra
|
Abdullah al-Akbar
|
Ramlah al-Sughra
|
Ja'far al-Akbar
|
Nafisah
|
Utsman al-Akbar
|
Ruqaiyah al-Sughra
|
Muhammad al-Ashghar
|
Ruqaiyah al-Kubra
|
Abdullah al-Ashghar
|
Maimunah
|
Abdullah (yang dijuluki Abu Ali)
|
Zainab al-Sughra
|
‘Aun
|
Ummu Hani
|
Yahya
|
Fathimah al-Sughra
|
Muhammad al-Ausath
|
Umamah
|
Utsman al-Ashghar
|
Khadijah al-Sughra
|
Abbas al-Ashghar
|
Ummu al-Hasan
|
Ja'far al-Ashghar
|
Ummu Salamah
|
Umar al-Ashghar
|
Hamamah
|
Umar al-Akbar
|
Ummu Kiram
|
http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_bin_Abi_Thalib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar