(30) NURUL 'A'YUN

43 Karya Tulis/Lagu Nur Amin Bin Abdurrahman:
(1) Kitab Tawassulan Washolatan, (2) Kitab Fawaidurratib Alhaddad, (3) Kitab Wasilatul Fudlola', (4) Kitab Nurul Widad, (5) Kitab Ru'yah Ilal Habib Luthfi bin Yahya, (6) Kitab Manaqib Assayyid Thoyyib Thohir, (7) Kitab Manaqib Assyaikh KH.Syamsuri Menagon, (8) Kitab Sholawat Qur'aniyyah “Annurul Amin”, (9) Kitab al Adillatul Athhar wal Ahyar, (10) Kitab Allu'lu'ul Maknun, (11) Kitab Assirojul Amani, (12) Kitab Nurun Washul, (13) Kitab al Anwarullathifah, (14) Kitab Syajarotul Ashlin Nuroniyyah, (15) Kitab Atthoyyibun Nuroni, (16) Kitab al 'Umdatul Usaro majmu' kitab nikah wal warotsah, (17) Kitab Afdlolul Kholiqotil Insaniyyahala silsilatis sadatil alawiyyah, (18) Kitab al Anwarussathi'ahala silsilatin nasabiyyah, (19) Kitab Nurul Alam ala aqidatil awam (20) Kitab Nurul Muqtafafi washiyyatil musthofa.(21) KITAB QA'IDUL GHURRIL MUCHAJJALIN FI TASHAWWUFIS SHOLIHIN,(22) SHOLAWAT TARBIYAH,(23) TARJAMAH SHOLAWAT ASNAWIYYAH,(24) SYA'IR USTADZ J.ABDURRAHMAN,(25) KITAB NURUSSYAWA'IR(26) KITAB AL IDHOFIYYAH FI TAKALLUMIL ARABIYYAH(27) PENGOBATAN ALTERNATIF(28) KITAB TASHDIRUL MUROD ILAL MURID FI JAUHARUTITTAUHID (29) KITAB NURUL ALIM FI ADABIL ALIM WAL MUTAALLIM (30) NURUL 'A'YUN ALA QURRATIL UYUN (31) NURUL MUQODDAS FI RATIBIL ATTAS (32) INTISARI & HIKMAH RATIB ATTAS (33) NURUL MUMAJJAD fimanaqibi Al Habib Ahmad Al Kaff. (34) MAMLAKAH 1-25 (35) TOMBO TEKO LORO LUNGO. (36) GARAP SARI (37) ALAM GHAIB ( 38 ) PENAGON Menjaga Tradisi Nusantara Menulusuri Ragam Arsitektur Peninggalan Leluhur, Dukuh, Makam AS SAYYID THOYYIB THOHIR Cikal Bakal Dukuh Penagon Nalumsari Penagon (39 ) AS SYIHABUL ALY FI Manaqib Mbah KH. Ma'ruf Asnawi Al Qudusy (40) MACAM-MACAM LAGU SHOLAWAT ASNAWIYYAH (bahar Kamil Majzu' ) ( 41 ) MACAM-MACAM LAGU BAHAR BASITH ( 42 ) KHUTBAH JUM'AT 1998-2016 ( 43 ) Al Jawahirun Naqiyyah Fi Tarjamatil Faroidus Saniyyah Wadduroril Bahiyyah Lis Syaikh M. Sya'roni Ahmadi Al Qudusy.

Rabu, 17 April 2013

KHR. ASNAWI KUDUS

Mengenal KHR. Asnawi Kudus OPINI | 08 October 2010 | 08:11 Dibaca: 735 Komentar: 1 Nihil Biografi KHR. Asnawi Kyai Haji Raden Asnawi itulah nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji yang ketiga hingga wafat. Adapun nama sebelumnya ialah Raden Ahmad Syamsi, kemudian sesudah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama berganti nama Raden Haji Ilyas dan nama inilah yang terkenal di Mekah. KH.R. Asnawi adalah putra yang pertama dari H. Abdullah Husnin seorang pedagang konveksi yang tergolong besar di Kudus pada waktu itu, sedang ibunya bernama R. Sarbinah. KH. R. Asnawi lahir di kampung Damaran, Kudus pada tahun 1281 H (1861 M), beliau termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 dari Kyai Haji Mutamakin seorang wali yang kramat di desa Kajen Margoyoso Pati, yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram. Sejak kecil beliau diajar oleh orang tuanya sendiri, terutama dalam mengaji Al-Qur’an. Setelah berumur 15 tahun beliau diajak oleh orang tuanya ke Tulungagung Jawa Timur untuk mengaji sambil belajar berdagang. Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang tuanya, beliau kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan Kyai H. Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum pergi haji. Selama di Mekah beliau berguru antara lain dengan Kyai H. Saleh Darat Semarang, Kyai H. Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha. Menunaikan Ibadah Haji Sewaktu umur 25 tahun beliau menunaikan ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, beliau mulai mengajar dan melakukan tabligh agama. Diantaranya pada setiap hari Jum’ah Pahing sesudah shalat Jumat beliau mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak 18 Km dari kota Kudus, dan ini dilakukan dengan jalan kaki. Beliau berkeliling di masjid-masjid sekitar kota bila melakukan shalat subuh. Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu beliau juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adiknya, H. Dimyati, yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu beliau telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya. Mukim Di Tanah Suci KH. R. Asnawi semula tinggal di rumah Syekh Hamid Manan Kudus, kemudian setelah kawin dengan ibu Nyai Hajjah Hamdanah (janda Almaghfurlah Kyai Nawawi Banten), beliau pindah tempatdi kampung Syamiah Mekah dengan dikaruniai 9 orang anak, tetapi yang hidup sampai tua hanya 3 orang yaitu: H. Zuhri, H. Azizah istri KH. Shaleh Tayu dan Alawiyah istri R.Maskub Kudus. Selama bermukim di tanah suci, di samping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, beliau masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. Beliau juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, diantara yang ikut belajar antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang, KH. Bisyri Samsuri Jombang, KH. Dahlan Pekalongan, KH. Shaleh Tayu, KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KH. A. Mukhit Sidoarjo. Disamping belajar dan mengajar agama Islam, beliau turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama dengan kawannya yang lain. Pada waktu beliau bermukim ini, pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu beliau bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan beliau dan Syekh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi ifta’-nya. (sayang, catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang keluarga KH. R. Asnawi lupa masalah apa yang dibahas beliau, meskipun sudah diberitahu). Melihat tulisan dan jawaban beliau terhadap tulisan Syekh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan beliau. Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syekh Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan KH. Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati waktu perjumpaan yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan kepada beliau dan diatur agar beliau nanti yang melayani mengeluarkan jamuan. Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek kerumah Syekh Hamid Manan dan beliau sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap, bertanyalah tamu itu: Asnawi?; (Dimana Asnawi?), Asnawi? Hadza Huwa; (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk beliau yang sedang duduk di pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat beliau, seraya membuka kopiah dan diciumlah kepala beliau sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek kepada Syeikh Hamid Manan: “Sungguh saya telah salah sangka, setelah berkenalan dengan Pondok Pesantren Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapuh”. Pada tahun 1916 beliau meninjau tanah airnya yang ada di Kudus, serta mengadakan hubungan dengan kawan-kawannya antara lain Bapak Semaun, H. Agus Salim, Hos Cokroaminoto dan lain-lain dari tokoh SI. Berangkatlah beliau sendiri, sedang anak istri ditinggal di Mekah. Sesampainya di Kudus beliau bersama dengan kawan-kawannya mendirikan sebuah Madrasah yang di beri nama Madrasah Qudsiyyah pada tahun 1916 M. Dan tidak lama kemudian diadakan pembangunan Masjid Menara Kudus yang dilakukan secara gotong royong. Pada waktu malam hari para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya. Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itu, terjadi suatu peristiwa huru-hara Kudus pada tahun 1918, dimana beliau dengan kawan-kawannya yang lain terpaksa harus menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah yang menghina Islam. Itulah sebabnya niat kembali ke tanah suci menjadi gagal, sedang istri dan anak masih di Mekah. Huru-Hara Kudus Di tengah-tengah umat Islam mengadakan gotong royong untuk membangun Masjid Menara yang dikerjakan siang dan malam, oleh orang-orang Cina diadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Oleh Ulama dan pemimpinpemimpin Islam telah mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawainya di muka Masjid Menara, mengingat banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari. Permintaan itu ternyata tidak digubris, bahkan dalam rentetan pawai itu ada adegan dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menamakan Cengge. Pawai Cina yang datang dari muka Masjid Manara menuju ke selatan kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu dengan kendaraan gerobak dorong. Kedua-duanya tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang menarik songkro itu dipukul oleh orang Cina. Dengan adanya pemukulan terhadap orang Islam yang dilakukan oleh orang Cina, ditambah adanya Cengge yang menusuk perasaan umat Islam, maka terjadilah pertikaian antara para peserta pawai orang Cina dengan orang Islam yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu. Sekalipun pertikaian ini dapat dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, namun orang-orang Cina belum mau menunjukkan sikap damai, bahkan masih sering melontarkan ejekan terhadap orang Islam yang tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui dari Kaligelis sampai menuju ke Masjid Manara Kudus. Karena itulah orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan terhadap penghinaan orang-orang Cina. Para ulama memandang beralasan untuk menyetujui adanya penyerangan pembelaan, tetapi tidak diadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina, pembakaran rumah maupun perampasan barang-barang milik orang Cina. Tetapi ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina dan tersentuhnya lampu gas pom sehingga menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa. Dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah, maka para Ulama ditangkap dan dimasukkan dalam penjara. Akhirnya KH. R. Asnawi yang dituduh sebagai salah satu penggerak, dijatuhi hukuman selama 3 tahun. Semula di penjara Kudus, kemudian pindah di penjara Semarang bersama-sama dengan KH. Ahmad Kamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain. Pada saat di penjara, istrinya (Nyai Hj. Hamdanah) beserta 3 orang putra-putrinya datang ke Kudus dari Mekah. Menurut cerita beliau, selama berada di penjara Kudus padasetiap malam Jum’ah, beliau mengadakan berjanjenan (membawa kitab Al-Barjanji) bersama dengan penghuni penjara dan selalu mengadakan shalat jama’ah lima waktu. Di samping itu, beliau sempat menterjemahkan kitab Al Jurumiyah (ilmu Nahwu) ke dalam bahasa Jawa, sayang karangan ini tidak dicetak dan disiarkan. Keluar Dari Penjara Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah keluar dari penjara beliau langsung terjun di tengah masyarakat untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang pemimpin masyarakat, diantaranya dengan berda’wah mengajar agama dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Diantara ilmu yang diutamakan oleh beliau adalah Tauhid dan Fiqih. Pada tahun 1927 berdiri pondok pesantren yang diasuh oleh beliau di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih (Langgar Dalem) dan mendapat dukungan dari para dermawan dan umat Islam di Kudus. Kegiatan beliau dalam melakukan tabligh tidak terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, akan tetapi meluas ke daerah lain untuk menyebarkan aqidah Ahlusunnah Wa al Jamaah antara lain sampai ke Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. Demikian juga dengan mengadakan pengajian yang diikuti oleh jama’ah dari daerah Demak, Jepara, dan Kudus. Di pondok pesantrennya sendiri setiap tanggal 14 bulan hijriyah diadakan majelis taklim yang disebut “Patbelasan”, ribuan Muslimin dan Muslimat mendatangi majelis ini. Disamping itu, pada setiap tanggal 29 Rabiul Awal beliau juga menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad Saw. Kegiatan tersebut bersamaan dengan majelis khataman Al-Quran baik binnadzar maupun bil-ghaib yang diasuh oleh putranya, yaitu KH. Minan Zuhri. Di samping melayani kebutuhan para santri yang ada di pondok pesantren tentang pengajian kitab, secara khusus di Pondok Pesantren juga mengadakan wiridan, antara lain: Khataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid Al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai beliau wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh Al-Hafidh KH. M. Arwani Amin sampai khatam. Sesudah selesai mendirikan pondok pesantren pada tahun 1927 M, pernah datang ke rumah beliau seorang tokoh Belanda yang faham tentang agama Islam bernama Van Der Plas. Kedatangannya di rumah untuk minta agar dilayani dengan bahasa Arab, demikian ujar petugas Kabupaten yang memberitahukan akan datangnya Van Der Plas dan menyampaikan kehendaknya. Adapun maksud Van Der Plas menemui beliau adalah bermaksud minta kesediaan beliau untuk memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas penawaran itu ditolaknya, sebab kalau diangkat sebagai penghulu tidak bebas lagi dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat, lain kalau beliau menjadi orang partikelir, dapat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap siapapun tanpa ada rasa segan (ewuh pekewuh). Perjuangan KH. R. Asnawi Pada tahun 1924 M beliau ditemui oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang untuk bermusyawarah untuk membuat benteng pertahanan Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah. Akhirnya beliau menyetujui gagasan KH. A. Wahab Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati. Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati. Pulang Ke Rahmatullah Umur yang diberikan Allah tidaklah sama yang diharapkan masyarakat. Masyarakat dan umat Islam pada umumnya mengharap agar para Kyai dipanjangkan umurnya dan diberkahi kesehatannya. Tujuannya tiada lain mendampingi dan menata infrastruktur masyarakat dalam memegang subtansi ajaran agama. Namun Allah telah menghendaki terlebih dahulu memanggil KH. R. Asnawi menghadap keharibaannya. Wafatnya ulama’ besar di Kudus ini tidak terduga. Sebab satu minggu sebelum wafatnya KH. R. Asnawi masih bermusyawarah dalam muktamar NU XII di Jakarta. Bersama dengan para Kyai NU se-Indonesia, KH. R. Asnawi masih nampak segar bugar. Dikisahkan oleh KH. Minan Zuhri, selama berlangsungnya muktamar, KH. R. Asnawi menginap di rumah H. Zen Muhammad adik kandung K.H. Mustain di Jalan H. Agus Salim Jakarta. Muktamar yang digelar pada tanggal 12-18 Desember 1959 merupakan muktamar terakhir yang dihadirinya. Mustain yang setia mengantar-jemput KH. R. Asnawi selama berjalannya muktamar dari rumah adiknya sempat tertegun. Karena pada saat menjemput beliau untuk menghadiri pembukaan Muktamar yang dihadiri Bung Karno, Mustain mendengarkan kalimat aneh dari KH. R. Asnawi: “Hai Mustain ! inilah yang merupakan terakhir kehadiranku dalam muktamar NU, mengingat keadaanku dan kekuatan badanku.” Tercenganglah Mustain mendengar perkataan itu. Spontan Mustain menyambung pembicaraan dengan mengatakan; “Kalau Kyai tidak dapat hadir dalam muktamar, maka sangat kami harapkan do’anya.” Kemungkinan besar KH. R. Asnawi telah mengetahui akan tanda-tanda panggilan Allah untuk memanggil dirinya. Pukul 02.30 WIB Sabtu itu Asnawi bangun dari tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kamarnya untuk mengambil air wudlu. Setelah dari kamar mandi Asnawi dengan didampingi istrinya Hamdanah kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tidak berdaya. Dan kalimat syahadat adalah kalimat terakhir yang mengantarkan arwahnya. Waktu itu juga 26 Desember 1959 M/25 Jumadil Akhir 1379 H sekitar pukul 03.00 fajar, KH. R. Asnawi pulang ke rahmatullah. • Laporkan • Tanggapi Siapa yang menilai tulisan ini? KOMENTAR BERDASARKAN : Tulis Tanggapan Anda REGISTRASI | MASUK PROMOTED ARTICLE • Tips Memilih Air Minum yang Baik … Club Air Mineral • Tips Menghindari Dehidrasi … Club Air Mineral • Kompetisi Blog “Club Air Mineral” … Club Air Mineral TRENDING ARTICLES (Ujian Nasional) Kesalahan Ada di Penyusun … Opa Jappy| 10 jam yang lalu Yenny Wahid Tidak Jadi Gabung Partai … Palti Hutabarat| 14 jam yang lalu Menguji Kesetiaan Bonek Persebaya1927 … W_ Mbk| 15 jam yang lalu Sikap atas Berita Buruk … Hendra Budiman| 16 jam yang lalu Rumah Kami, Neraka Kalian! … Robertus W. Yudha| 15 April 2013 16:58 • INFO & PENGUMUMAN • KONTAK KOMPASIANA INDEX • Mencicipi Makanan Khas India, Yuk! • Raih Kesempatan Emas dengan Ikut BIA … • Pemenang Kompetisi Blog “Club Air … TERAKTUAL Pak Menteri… Minta Maaflah Pada Siswa-siswa itu… Hati-Hati Provokasi Akun Militan di Kompasiana! Ternyata UN 2013 Kayak Gini Jadi Anak Kos… Apa Untungnya? PKS = Wahabi? Tanggapan untuk Dewa Gilang INSPIRATIF Inikah Tanda Orang Beriman JUJURLAH PADA DIRI SENDIRI Papa Sering Meneteskan Air Mata Melihat Aku Melangkah … “Ngundhuh Wohing Pakarti”= Siapa Menabur, Dia … Dipaksa Menikmati Roller Coaster BERMANFAAT Membaca di Sekolah Inggris Itu Penting Praktik Pijat Refleksi[12]: Insomnia Roundup Monsanto Sebabkan Cacat Lahir Hati-Hati Provokasi Akun Militan di Kompasiana! Bawang Lanang Bantu Atasi Tekanan Darah Tinggi MENARIK [Fan Fiction] Di Ruang Tunggu Polda Metro Jaya Silahkan Ditebak Istilah Malaysia Ini Uji Nyali Pijat Pakai Pisau Ala Taiwan Monumen Pers Nasional, Riwayatmu Kini Aku Sedih, Pattimura Tak Diakui sebagai Pahlawan Nasional Subscribe and Follow Kompasiana: About Kompasiana | Terms & Conditions | Tutorial | FAQ | Contact Us | Kompasiana Toolbar © 2008-2011 Selamat datang di Wikipedia bahasa Indonesia! [tutup] Madrasah Qudisyyah Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Artikel ini tidak memiliki referensi sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa diverifikasi. Bantulah memperbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Artikel yang tidak dapat diverifikasikan dapat dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. Madrasah Qudsiyyah adalah salah satu sekolah berbasis pendidikan Islam. Kurikulum yang diajarkan pada sekolah ini 80% berbasis salaf dengan menggunakan kitab klasik, atau yang lebih sering disebut dengan Kitab Kuning. Sekolah ini merupakan sekolah tertua di Kudus, didirikan oleh salah satu pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama, yaitu K. H. R. Asnawi pada tahun 1919 M. Pertama kali didirikan sekolah ini murni menggunakan kurikulum lokal berbasis Islam seperti : • Nahwu • Shorof • Tauhid • Fiqih • Ushul Fiqih • Manthiq • Balaghoh • Qiro'ah Sab'ah • Tafsir • Hadits • dan lain-lain Seiring tuntutan perkembangan zaman, untuk tetap bertahan sebagai lembaga pendidikan formal, Qudsiyyah mulai mengadopsi kurikulum pendidikan dari DIKNAS, seperti: bahasa Indonesia, Matematika, PPKn, dan lain-lain. Sejarah Singkat Madrasah Qudsiyyah Sumber: Arsip Qudsiyyah || Perubahan terakhir: 2010-10-21 1. Masa Formulasi (1917 M-1943) M. Madrasah Qudsiyyah, sebagai salah satu madrasah tertua di Kudus, mempunyai sejarah yang cukup panjang. Madrasah Qudsiyyah tidak serta-merta hadir dan menjadi besar, melainkan mengalami proses jatuh bangun yang cukup melelahkan. Sebelum Budi Utomo menggelorakan Kebangkitan Nasional pada 1920 M, Madrasah Qudsiyyah telah berdiri tegak mengembangkan sayap-sayap pendidikan agama yang antipenjajah. Tercatat sejak 1917 M, kegiatan belajar mengajar telah dimulai, walaupun saat itu belum memiliki nama dan tempat belajar yang pasti. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1919 M, yang bertepatan dengan tahun 1337 H, Madrasah Qudsiyyah resmi didirikan oleh K. H. R. Asnawi. K. H. R. Asnawi adalah keturunan dari Sunan Kudus yang ke XIV dan keturunan ke lima dari K. H. A. Mutamakin. Wali di zaman Sultan Agung Mataram di Kajen Margoyoso Pati. Wajar saja apabila yang dilaksanakan beliau tidak jauh beda dari para pendahulunya. Baik dari pola pendidikan dan dimensi penegakan reputasi agama Islam. Nama asli K. H. R. Asnawi adalah Ahmad Syamsi, kemudian berganti nama lagi menjadi Ilyas. Gelar raden yang juga disebut sebelum nama Asnawi mempunyai arti sendiri. Raden sebagaimana ditentukan oleh keluarga adalah sebutan dari anak turun (dzurriyah) Nabi Muhammad yang sudah terpotong oleh nasab puteri. Berbeda dengan sayyid, kalau sayyid semuanya sambung dari nabi hingga yang bersangkutan dari anak laki-laki. Sedangkan panggilan kiai yang disematkan kepada beliau lebih karena partisipasi beliau dalam masyarakat. Ini setidaknya tampak dari dua sisi. Pertama, K. H. R. Asnawi memang seorang yang faqih dan benar-benar ahli dalam bidang agama. Ke dua, K. H. R. Asnawi adalah pemangku dan pengasuh pondok pesantren sebagai pemimpin agama. K. H. R. Asnawi tidak mau menjauh dari kebutuhan umat. Bahkan beliau terkenal sangat memiliki sifat marhamah. Wibawanya besar, galak, keras dalam menetukan hukum, lebih-lebih terhadap anak-anak seusia 4-6 tahun. Dalam konteks mendidik ini pula Qudsiyyah didirikan. Gedung Madrasah Qudsiyyah yang didirikan K. H. R. Asnawi saat itu berada di Kompleks Masjid Al-Aqsha, tepatnya di depan gapura masuk Menara Kudus. Nama Qudsiyyah diambil dari kata Quds yang berarti suci dan sekaligus nama kota tempat kelahiran madrasah tersebut. Nama tersebut digunakan dengan maksud agar apa yang diajarkan serta diamalkan dalam madrasah menjadi benar-benar suci dan murni tidak dicampuradukkan dengan yang kurang baik. Dalam perjalanan panjang tentang sejarah madrasah, kondisi madrasah pada masa penjajahan Belanda diurus oleh Departemen voor Inlandsche Zaken, sebuah departemen pengajaran agama di lembaga pendidikan Islam (pesantren dan madrasah). Namun, Madrasah Qudsiyyah tetap bertahan dan tidak terpengaruh dengan lembaga pemerintah Belanda tersebut. Justru K. H. R. Asnawi sering melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan Belanda. Hal ini terjadi lantaran pada praktiknya fungsi lembaga Belanda tersebut tidak menangani masalah pendidikan Islam dalam arti memfasilitasi, melainkan lebih merupakan sarana untuk mengontrol dan mengawasi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Oleh karenanya, pesan-pesan perjuangan melawan kolonialisme pada setiap kali beliau mengajar di madrasah senantiasa disampaikan kepada santri-santrinya. Boleh dibilang, K. H. R. Asnawi adalah benteng antipenjajah di semenanjung utara Jawa. Ketika beliau melihat tekanan penjajah semakin kuat dalam membelenggu umat Islam, K. H. R. Asnawi tampil dengan jiwa kritisnya menyatakan amar ma'ruf nahi munkar. Segala hal yang dianggap menyimpang dari pemerintah Belanda beliau berani mengkritik. Untuk menyatukan visi keiislamannya, K. H. R. Asnawi bergabung kembali dengan Serikat Islam Cabang Kudus. Jabatan komisaris bagi Asanawi sudah disandangnya ketika berdiri Serikat Islam Cabang Makkah tahun 1912 M. Aktivitasnya di Serikat Islam ini menjadikan beliau akrab dengan Samaun dan H. Agus Salaim serta HOS Cokroaminoto. Hingga tahun 1929 M, Madrasah Qudsiyyah dipimpin langsung oleh K. H. R. Asnawi sebagai kepala sekolah dan didampingi oleh K. H. Shafwan Duri. Pada tahun 1929 M-1935 M Madrasah Qudsiyyah dipimpin oleh K. Tamyiz sebagai kepala sekolah. K. H. R. Asnawi sendiri, memimpin pondok pesantren Raudlatuth Thalibin yang didirikan pada tahun 1927 M di Bendan, Kerjasan Kudus. Pada tahun 1935 M, K. R. Sujono memimpin Qudsiyyah sampai dengan tahun 1939 M. Setelah K.R. Sujono wafat, Madrasah Qudsiyyah kemudian dipimpin oleh K. H. abu amar mulai tahun 1939 M sampai tahun 1943 M. 2. Masa Kemunduran (1943-1950) Buntut dari pemerintahan Dai Nippon Jepang yang menguasai Indonesia pada tahun 1943 M, ternyata berpengaruh terhadap pendidikan di Madrasah Qudsiyyah Kudus. Madrasah mengalami kemunduran drastis, bahkan hingga dilakukan penutupan. Awalnya ketika Jepang berkuasa, pemerintah Dai Nippon rupanya mencurigai umat Islam. Tidak hanya sekadar curiga, bahkan pemerintah dengan tegas melarang mengajarkan semua pelajaran agama di madrasah-madrasah dengan tulisan Arab. Jadi, saat itu semua pelajaran agama harus ditulis dengan huruf latin. Kebijakan tersebut membuat Madrasah Qudsiyyah menjadi salah satu korban. Pasalnya, berbagai pelajaran agama yang dahulunya menggunakan bahasa Arab serta tulisan Arab, kini dalam pengajarannya harus dijalankan dengan menggunakan tulisan Latin. Hal tersebut menyebabkan ketidaknyamanan di Madrasah Qudsiyyah. Alasannya, akan sangat berbeda tulisan dengan menggunakan tulisan Arab diganti dengan tulisan Latin. Selain itu, dalam pelaksanaannya madrasah-madrasah yang ada juga sering didatangi serdadu Dai Nippon. Sehingga berakibat jalannya pendidikan di madrasah-madrasah sangat terganggu. Hal ini kemudian membuat Madrasah Qudsiyyah merasa sangat terganggu. Dengan pertimbangan yang masak-masak oleh para Guru Madrasah Qudsiyyah, akhirnya keputusan pahit pun diambil, dan untuk sementara waktu Madrasah Qudsiyyah ditutup. Salah satu penyebab dari penutupan Madrasah Qudsiyyah Kudus adalah kekejaman tentara Jepang yang terus mencurigai serta tidak diperkenankannya mengajar dengan menggunakan bahasa Arab. Namun, pendidikan yang dilakukan madrasah tidak berhenti begitu saja. Pendidikan di madrasah dialihkan dengan pengajian Alquran pada setiap ba'dal magrib yang diatur dengan kelas-kelas. Namun hal ini tidak bertahan lama, dan pada akhirnya berhenti juga. Praktis dalam masa ini pendidikan di madrasah lumpuh total. 3. Masa kebangkitan (1950-sekarang) Masa penjajahan Jepang pun segera berakhir. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia telah didengungkan ke dunia pada 17 Agustus tahun 1945. Namun, di awal kemerdekaan tersebut Madrasah Qudsiyyyah belum juga bangkit dari tidur panjangnya. Dan ternyata, cukup lama juga Madrasah Qudsiyyah tertidur dan kosong dari segala aktivitas. Barulah sekitar tahun 1950 M, Madrasah Qudsiyyah kembali menemukan ruhnya untuk bangkit kembali. Perkembangan pendidikan di Madrasah Qudsiyyah semakin hari semakin meningkat hingga pada tanggal 25 Mei 1952 terwujudlah tingkat lanjutan pertama yang dinamakan Sekolah Menengah Pertama Islam Qudsiyyah (SMPIQ) dan mendapat perhatian penuh dari masyarakat. Semakin hari, sambutan dari masyarakat Kudus begitu besar terhadap pendidikan di Madrasah Qudsiyyah ini. Sehingga jumlah murid dari hari ke hari terus bertambah dan menyebabkan tingkat lanjutan dibagi menjadi dua, yaitu SMPI Qudsiyyah dan Pendidikan Guru Agama (PGA) Qudsiyyah. Pada tahun 1957, PGA Qudsiyyah dihapuskan dan SMPI Qudsiyyah diubah namanya menjadi Madrasah Tsanawiyyah Qudsiyyah. Pada tahun 1970-an, Madrasah Qudsiyyah juga pernah membuka Madrasah Diniyyah sore hari. Keberadaan diniyyah ini berlangsung selama lima tahunan. Pada akhir tahun 1973 M, Madrasah Qudsiyyah mendirikan jenjang Aliyah untuk menampng alumni Tsanawiyahnya. Sejak itu, Madrasah Qudsiyyah semakin berkembang hingga sekarang. [sunting] Pranala luar • K. H. R. Asnawi Pendiri Qudsiyyah • Sejarah Singkat Madrasah Qudsiyyah [sunting] SUMBER • Madrasah Qudsiyyah website Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Madrasah_Qudisyyah&oldid=6369352" Kategori tersembunyi: • Artikel yang tidak memiliki referensi • Artikel yang tidak memiliki referensi Januari 2013 Menu navigasi Peralatan pribadi • Buat akun baru • Masuk log Ruang nama • Halaman • Pembicaraan Varian Tampilan • Baca • Sunting • Versi terdahulu Tindakan • ↑ Pencarian Navigasi • Halaman Utama • Perubahan terbaru • Peristiwa terkini • Halaman baru • Halaman sembarang Komunitas • Warung Kopi • Portal komunitas • Bantuan Wikipedia • Tentang Wikipedia • Pancapilar • Kebijakan • Menyumbang Bagikan • Facebook • Google+ • Twitter Cetak/ekspor • Buat buku • Unduh versi PDF • Versi cetak Peralatan • Pranala balik • Perubahan terkait • Halaman istimewa • Pranala permanen • Informasi halaman • Kutip halaman ini Bahasa lain • • Halaman ini terakhir diubah pada 09.29, 15 Januari 2013. • Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creative Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya. • Kebijakan privasi • Tentang Wikipedia • Penyangkalan • Tampilan seluler • •

PAK ARIEF BERKAH ST 12 MEMUJAMU

Kisah Dua Sahabat Bin Yahya dan AlHabsyi Habib Muhammad bin Ali bin Hasan Bin Yahya (Pangeran Noto Igomo) mempunyai seorang sahabat dekat di Barabai. Namanya Habib Alwi bin Abdullah AlHabsyi. Keduanya mempunyai kedudukan terhormat di wilayahnya masing-masing. Habib Muhammad tinggal di Tenggarong selaku penasihat Sultan Kutai, sementara Habib Alwi adalah seorang Kapten Arab berkedudukan di Barabai. Mereka sudah saling mengenal sejak sama-sama tinggal di Hadramaut, Yaman. Tags: alhabsyi, bin yahya, mata banua 8 Responses 1. Anonymous 6 May 2007 11:31 am # Habib Alwi AlHabsyi, sejak di Hadramaut, mengakui keluasan pengetahuan dan kealiman Habib Muhammad Bin Yahya. Habib Muhammad kelahiran tahun 1844, sedangkan Habib Alwi beberapa tahun lebih muda. Tidak diketahui persis tahun kelahiran Habib Alwi. “Tahun 1917-an, Habib Alwi di Banjar sudah mempunyai 3 anak,” ujar Habib Agil bin Salim Bahsin, cucu Habib Alwi. Jika Habib Muhammad Bin Yahya melalui perjalanan panjang melalui Palembang, Cirebon, Martapura dan akhirnya menetap di Kutai, maka Habib Alwi dari Hadramaut memilih Barabai sebagai tempat tinggal tetap setelah sempat bermukim beberapa tahun di Banjarmasin. Habib Alwi menikah pertama kali di Banjarmasin dengan Syarifah Raguan binti Syekh AlHabsyi. Dengan istrinya Habib Alwi masih bersaudara dekat karena mereka sama-sama cucu dari Habib Alwi bin Syekh AlHabsyi. Ketika tinggal di Banjarmasin, Habib Alwi adalah pejabat Kapten Arab pengganti Habib Hasan bin Iderus AlHabsyi (Habib Ujung Murung). Habib Alwi tinggal di kawasan Ujung Murung. Habib Alwi pindah ke Barabai setelah menikah di sana dengan seorang perempuan asal Nagara-Banua Kupang bernama Hj Masrah. Belakangan Habib Alwi juga menikah dengan perempuan Kandangan bernama Masja. Sejak melepaskan kedudukan sebagai Kapten Arab, Habib Alwi berdomisili di Barabai. Namun masyarakat tetap memperlakukannya sebagai orang istimewa karena latar belakang dan jasanya. Jasa terbesar Habib Alwi bagi daerah Hulu Sungai adalah kepeloporan beliau dalam membangun perkebunan karet secara besar-besaran di Barabai. Habib Alwi memiliki kebun karet di Desa Manggasan, Hantakan, Barabai. Bibit karet diperoleh Habib Alwi dari Bogor melalui perantaraan pemerintah Belanda. Walau tinggal di daerah berbeda dan dipisahkan jarak cukup jauh persahabatan Habib Alwi dan Habib Muhammad tetap terjalin mesra. “Habib Muhammad yang menyumbang batu dan semen ketika Habib Alwi membangun Pasar Batu,” ujar Ami Agil, panggilan sehari-hari Habib Agil bin Salim Bahsin. Pasar Batu adalah bangunan beton pertama di Hulu Sungai yang merupakan tempat pasar gatah (karet) di paruh pertama abad lalu. Suatu masa kedua sahabat ini bertemu di Samarinda. Dalam pertemuan antara dua sahabat itu mereka tak lupa berfoto bersama dengan gaya masing-masing. Habib Muhammad mengenakan sarung dan baju koko berwarna putih, sementara Habib Alwi memakai busana baju safari dan celana panjang. Persamaan mereka adalah kopiah yang dikenakan serta masing-masing memakai tongkat. Habib Muhammad masuk ke lingkungan Kesultanan Kutai berkat kelebihan dan kekuatan spiritualnya. Habib Muhammad Bin Yahya yang juga datuk dari aktor terkenal drg Fadly ini masuk ke istana setelah berhasil menyembuhkan penyakit seorang kerabat kesultanan. Tak lama setelah kejadian itu, Habib Muhammad dinikahkan dengan Aji Raden Lesminingpuri, cucu Sultan AM Sulaiman yang juga anak Sultan AM Alimuddin. Sedang, Habib Alwi sendiri juga menjadi tokoh kehormatan masyarakat Hulu Sungai terutama Barabai. Ketika Presiden Soekarno berkunjung wilayah Hulu Sunggai dan mampir ke Barabai tahun 1955, terjadi dialog singkat antara Habib Alwi dengan Sang Presiden. Waktu berjabat tangan, disaksikan oleh tokoh-tokoh masyarakat lainnya mereka berbincang-bincang. “Siapa nama Pak Haji?” ujar Bung Karno. “Saya Sayyid Alwi,” jawab Habib Alwi. “Pak Sayyid orang Arab?” “Ya, saya orang Arab, lahir di Hadramaut.” “Mengapa orang Arab mau membantu perjuangan orang Indonesia?” “Saya muslim, dia juga orang muslim. Jadi wajib membantu. Ikhwanul muslimin (persaudaraan sesama orang Islam).” “Pergi ke Jakarta nanti,” Bung Karno menawarkan undangan kepada Habib Alwi. “Ya, Batavia.” (seorang wedana di Hulu Sungai kemudian membisiki Habib Alwi bahwa yang benar adalah Jakarta). “Yakarta,” ujar Habib Alwi lagi mengoreksi ucapannya (Habib Alwi menyebut J dengan lafal Y). Akhir cerita, Habib Alwi tak pernah ke Jakarta mendatangi undangan presiden pertama RI itu. Habib Alwi AlHabsyi meninggal dunia tahun 1967 waktu berada di Banjarmasin dan dimakamkan di Turbah Sungai Jingah. Sahabatnya, Habib Muhammad Bin Yahya mendahuluinya 20 tahun sebelum itu dan bermakam di pekuburan Kelambu Kuning, Kutai Tenggarong. ali 2. Anonymous 6 May 2007 11:39 am # Biografi Al-Imam Ali bin Ja’far Ash-Shodiq ra Beliau adalah Al-Imam Ali bin Ja’far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau terkenal dengan julukan Al-’Uraidhi, karena beliau tinggal di suatu daerah yang bernama ‘Uraidh (sekitar 4 mil dari kota Madinah). Beliau juga dipanggil dengan Abu Hasan. Beliau dilahirkan di kota Madinah dan dibesarkan disana. Kemudian beliau memilih untuk tinggal di daerah ‘Uraidh. Beliau adalah seorang tekun dalam beribadah, dermawan dan seorang ulama besar. Beliau, diantara saudara-saudaranya, adalah anak yang paling bungsu, yang paling panjang umurnya dan paling menonjol keutamaan. Ayah beliau (yaitu Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq) meninggal ketika beliau masih kecil. Beliau mengambil ilmu dari ayah dan teman ayahnya. Beliau juga mengambil ilmu dari saudaranya, yaitu Musa Al-Kadzim. Beliau juga mengambil ilmu dari Hasan bin Zeid bin Ali Zainal Abidin. Banyak orang yang meriwayatkan hadits melalui jalur beliau, diantaranya 2 putranya (yaitu Ahmad dan Muhammad), cucunya (yaitu Abdullah bin Hasan bin Ali Al-’Uraidhi), putra keponakannya (yaitu Ismail bin Muhammad bin Ishaq bin Ja’far Ash-Shodiq1), dan juga Al-Imam Al-Buzzi. Berkata Al-Imam Adz-Dzahabi di dalam kitabnya Al-Miizaan, “Ali bin Ja’far Ash-Shodiq meriwayatkan hadits dari ayahnya, juga dari saudaranya (yaitu Musa Al-Kadzim), dan juga dari Ats-Tsauri. Adapun yang meriwayatkan hadits dari beliau di antaranya Al-Jahdhami, Al-Buzzi, Al-Ausi, dan ada beberapa lagi. At-Turmudzi juga meriwayatkan hadits dari beliau di dalam kitabnya.” Adz-Dzahabi juga berkata di dalam kitabnya Al-Kaasyif, “Ali bin Ja’far bin Muhammad meriwayatkan hadits dari ayahnya, dan juga dari saudaranya (yaitu Musa Al-Kadzim). Adapun yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah dua putranya (yaitu Muhammad dan Ahmad) dan juga ada beberapa orang. Beliau meninggal pada tahun 112 H…” Adz-Dzahabi juga meriwayatkan suatu hadits dengan mengambil sanad dari beliau, dari ayahnya terus sampai kepada Al-Imam Ali bin Abi Thalib, “Sesungguhnya Nabi SAW memegang tangan Hasan dan Husain, sambil berkata, ‘Barangsiapa yang mencintaiku dan mencintai kedua orang ini dan ayah dari keduanya, maka ia akan bersamaku di dalam kedudukanku (surga) ada hari kiamat.’ ” Asy-Syeikh Ibnu Hajar juga berkata di dalam kitabnya At-Taqrib, “Ali bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain adalah salah seorang tokoh besar pada abad ke-10 H…” Al-Imam Al-Yaafi’i memujinya di dalam kitab Tarikh-nya. Demikian juga Al-Imam Al-Qadhi menyebutkannya di dalam kitabnya Asy-Syifa’, dan juga mensanadkan hadits dari beliau, serta meriwayatkan hadits yang panjang tentang sifat-sifat Nabi SAW. Al-Imam Ahmad di dalam Musnad-nya juga meriwayatkan hadits dari jalur beliau. Demikian juga beberapa orang menyebutkan nama beliau, di antaranya As-Sayyid Ibnu ‘Unbah, Al-’Amri, dan As-Sayyid As-Samhudi. Beliau, Al-Imam Ali Al-’Uraidhi, lebih mengutamakan menghindari ketenaran dan takut dari hal-hal yang dapat menyebabkan dikenal. Beliau dikaruniai umur panjang, sampai dapat menjumpai cucu dari cucunya. Beliau meninggal pada tahun 112H di kota ‘Uraidh dan disemayamkan di kota tersebut. Makam beliau sempat tak diketahui, lalu As-Sayyid Zain bin Abdullah Bahasan menampakkannya, sehingga terkenal hingga sekarang. Beliau meninggalkan beberapa putra, yang hidup diantaranya 4 orang, yaitu Ahmad Asy-Sya’rani, Hasan, Ja’far Al-Asghar dan Muhammad (datuk Bani Alawy). Radhiyallohu anhu wa ardhah… [Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy] Dalam sumber lain dikatakan bahwa Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq mempunyai 8 orang putra dan 2 orang putri (Nafaais Al-’Uquud fii Syajarah Aal Ba’abud, Ustadz Muhammad bin Husin bin Ali Ba’abud, hal. 10, manuskrip). Kemungkinan Ishaq disitu adalah salah seorang dari 8 orang putra beliau yang belum disebutkan dalam manaqib Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq kemarin. 3. Anonymous 6 May 2007 11:40 am # Tarim, Kota Wali Written by Administrator Tuesday, 25 April 2006 Kota Tarim, yang terletak sekitar 35 km di Timur Saiun. Di satu sisi kota ini terlindungi oleh bukit-bukit batu terjal, di sisi lain di kelilingi oleh perkebunan kurma. Sejak dulu, Tarim merupakan pusat Mazhab Syafi’i. Antara abad ke 17 dan abad ke 19 telah terdapat lebih dari 365 masjid. Kota Tarim atau biasa dibaca Trim termasuk kota lama. Nama Tarim, menurut satu riwayat diambil dari nama seorang raja yang bernama Tarim bin Hadramaut. Dia juga disebut dengan Tarim al-Ghanna atau kota Tarim yang rindang karena banyak pepohonan dan sungai. Kota tersebut juga dikenal dengan kota al-Shiddiq karena gubernurnya Ziyad bin Lubaid al-Anshari ketika menyeru untuk membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, maka penduduk Tarim adalah yang pertama mendukungnya dan tidak ada seorang pun yang membantahnya hingga khalifah Abu Bakar mendoakan penduduk Tarim dengan tiga permintaan : pertama, agar kota tersebut makmur, kedua, airnya berkah dan ketiga, dihuni oleh banyak orang-orang saleh. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Ba’abad berkata bahwa, ‘al-Shiddiq akan memberikan syafa’at kepada penduduk Tarim secara khusus’.[1] Menurut suatu catatan dalam kitab al-Ghurar yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Ali bin Alawi Khirid, bahwa keluarga Ba’alawi pindah dari Desa Bait Jubair ke kota Tarim sekitar tahun 521 hijriyah.[2] Setelah kepindahan mereka kota Tarim dikenal dengan kota budaya dan ilmu. Diperkirakan, pada waktu itu di kota Tarim ada sekitar 300 orang ahli fiqih, bahkan pada barisan yang pertama di masjid agung kota Tarim dipenuhi oleh ulama fiqih kota tersebut. Adapun orang pertama dari keluarga Ba’alawi yang hijrah ke kota Tarim adalah Syaikh Ali bin Alwi Khali’ Qasam dan saudaranya Syaikh Salim, kemudian disusul oleh keluarga pamannya yaitu Bani Jadid dan Bani Basri.[3] Diceritakan bahwa pada kota Tarim terdapat tiga keberkahan : pertama, keberkahan pada setiap masjidnya, kedua, keberkahan pada tanahnya, ketiga, keberkahan pada pegunungannya. Keberkahan masjid yang dimaksud adalah setiap masjid di kota Tarim pada waktu sesudah kepindahan Ba’alawi menjadi universitas-universitas yang melahirkan ulama-ulama terkenal pada masanya. Di antara masjid-masjid di kota Tarim yang bersejarah ialah masjid Bani Ahmad yang kemudian dikenal dengan masjid Khala’ Qasam setelah beliau berdomisili di kota tersebut.[4] Masjid tersebut dibangun dengan batu, tanah dan kayu yang diambil dari desa Bait Jubair karena tanah dari desa tersebut dikenal sangat bagus, kemudian masjid tersebut dikenal dengan masjid Ba’alawi. Bangunan masjid Ba’alawi nyaris sebagian tiangnya roboh dan direnovasi oleh Muhammad Shahib Mirbath. Pada awal abad ke sembilan hijriyah, Syaikh Umar Muhdhar merenovasi kembali bagian depan dari masjid tersebut. Di Tarim terdapat tanah perkuburan Bisyar yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Zanbal, Furait dan Akdar. Di perkuburan Zanbal, al-Faqih Muqaddam dan semua sayyid terkemuka dari Kaum Alawiyin dimakamkan, di Furait terdapat perkuburan para masyaikh, dan Akdar merupakan perkuburan umum. Di pemakaman Zanbal, para Saadah al-Asraf, Ulama Amilin, Auliya’ dan Sholihin yang tidak terhitung jumlahnya dikuburkan di sana. Syaikh Abdurahman Assaqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah berkata : ‘Lebih dari sepuluh ribu auliya’ al-akbar, delapan puluh wali quthub dari keluarga alawiyin di makamkan di Zanbal’.[5] Seperti diriwayatkan oleh Syaikh Saad bin Ali : ‘Di pemakaman Zanbal dikuburkan para sahabat Rasulullah saw , mereka wafat ketika menunaikan tugas untuk memerangi ahli riddah. Mereka banyak yang wafat di Tarim dan tidak diketahui kuburnya’. Akan tetapi Syaikh Abdurahman Assaqqaf bin Muhammad Maula Dawilah, berkata : ‘Sesungguhnya letak kubur mereka sebelah Timur dari kubur al-Ustadz al-A’zhom Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam’. Berkata Syaikh Muhammad bin Aflah : ‘Sesungguhnya dari masjid Abdullah bin Yamani sampai akhir pemakaman Zanbal terdapat perkuburan para ulama dan auliya’. Menurut ulama kasyaf, Rasulullah dan para sahabatnya sering berziarah ke pemakaman tersebut. Pertama kali makam yang diziarahi di perkuburan Zanbal adalah makam al-Ustadz al-A’zham Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam. Berkata Syaikh Ahmad bin Muhammad Baharmi : ‘Saya melihat Syaikhoin Abu Bakar dan Umar ra dalam mimpi berkata kepada saya, jika engkau ingin berziarah maka yang pertama kali diziarahi ialah al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, kemudian ziarahilah siapa yang engkau kehendak’. Berkata sebagian para Saadah al-Akbar : ‘Barangsiapa berziarah kepada orang lain sebelum berziarah kepada al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, maka batallah ziarahnya’.[6] Kemudian ziarah kepada cucunya Syaikh Abdullah Ba’alwi, kemudian kubur ayahnya Alwi bin al-Faqih al-Muqaddam, kemudian Imam Salim bin Basri, kemudian ziarah kepada Syaikh Abdullah bin al-Faqih al-Muqaddam, Ali bin Muhammad Shahib Marbath, Ali bin Abdullah Ba’alwi, kemudian Syaikh Abdurahman Assaqqaf dan ayahnya Muhammad Maula Dawilah, ayahnya Ali bin al-Faqih al-Muqaddam, kemudian kakeknya Ali bin Alwi Khali’ Qasam, Muhammad bin Hasan Jamalullail dan ayah serta kakeknya, kemudian Syaikh Muhammad bin Ali Aidid, Ali, Muhammad, Alwi, Syech bin Abdurahman Assaqqaf, kemudian ziarah kepada Syaikh Umar Muhdhor, Syaikh Ali bin Abi Bakar al-Sakran, kemudian Syaikh Hasan Alwara’ dan ayahnya Syaikh Muhammad bin Abdurahman, kemudian para auliya’ sholihin seperti al-Qadhi Ahmad Ba’isa, kemudian Syaikh Abdullah Alaydrus, Syaikhoin Muhammad dan Abdullah bin Ahmad bin Husin Alaydrus, kemudian Syaikh Abdullah bin Syech, Sayid Ali Zainal Abidin bin Syaikh Abdullah. Kaum Alawiyin tetap dalam kebiasaan mereka menuntut ilmu agama, hidup zuhud di dunia (tidak bergelimang dalam kesenangan duniawi) dan mereka juga menghindar dari popularitas (syuhrah). Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata, ‘Syuhrah bukan adat kebiasaan kami, kaum Alawiyin …’, selanjutnya beliau berkata, ‘kedudukan kami para sayid Alawiyin tidak dikenal orang. Jadi tidak seperti yang ada pada beberapa wali selain mereka (kaum Alawiyin), yang umumnya mempunyai sifat-sifat berlainan dengan sifat-sifat tersebut. Sifat tersebut merupakan soal besar dalam bertaqarrub kepada Allah dan dalam memelihara keselamatan agama (kejernihan iman)’. Imam al-Haddad berkata pula, ‘Dalam setiap zaman selalu ada wali-wali dari kaum Alawiyin, ada yang dzahir (dikenal) dan ada yang khamil (tidak dikenal). Yang dikenal tidak perlu banyak, cukup hanya seorang saja dari mereka, sedangkan yang lainnya biarlah tidak dikenal. Dari satu keluarga dan dari satu negeri tidak perlu ada dua atau tiga orang wali yang dikenal. Soal al-Sitru (menutup diri) berdasarkan dua hal : pertama, seorang wali menutup dirinya sendiri hingga ia sendiri tidak tahu bahwa dirinya adalah wali. Kedua, wali yang menutup dirinya dari orang lain, yakni hanya dirinya sendiri yang mengetahui bahwa dirinya wali, tetapi ia menutup (merahasiakan) hal itu kepada orang lain. Orang lain tidak mengetahui sama sekali bahwa ia adalah wali. Sehubungan dengan tidak tampaknya para wali, Habib Abdullah al-Haddad menulis syair, ‘Apakah mereka semua telah mati, apakah mereka semua telah musnah, ataukah mereka bersembunyi, karena semakin besarnya fitnah’. Tidak tampaknya para wali merupakan hikmah Allah, begitu pula tampaknya para wali. Tampak atau tidak tampak, para wali bermanfaat bagi manusia. Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ditanya : Apakah manfaat dari ketidaktampakan para wali ? Beliau menjawab : ‘Tidak tampaknya para wali bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi wali itu sendiri. Sebab, sang wali dapat beristirahat dari manusia dan manusia tidak beradab buruk kepadanya. Mungkin kau meyakini kewalian seseorang, tetapi setelah melihatnya kau lalu berprasangka buruk. Seorang yang saleh bukanlah orang yang mengetahui kebenaran melalui kaum sholihin. Akan tetapi orang saleh adalah orang yang mengenal kaum sholihin melalui kebenaran’. Sayid Ahmad bin Toha berkata kepada Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, ‘Aku tidak tahu bagaimana para salaf kita mendapatkan wilayah (kasyaf), padahal usia mereka masih sangat muda. Adapun kita, kita telah menghabiskan sebagian besar umur kita, namun tidak pernah merasakan walau sedikitpun. Aku tidak mengetahui yang menyebabkan itu ?. Habib Ali lalu menjawab : ‘Ketaatan dari orang yang makannya haram, seperti bangunan didirikan di atas gelombang. Karena ini dan juga karena berbagai sebab lain yang sangat banyak. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi seseorang daripada bergaul dengan orang-orang jahat. Majlis kita saat ini menyenangkan dan membangkitkan semangatmu. Ruh-ruh mengembara di tempat ini sambil menikmati berbagai makanan hingga ruh-ruh itu menjadi kuat. Namun, sepuluh majlis lain kemudian mengotori hatimu dan merusak apa yang telah kau dapatkan. Engkau membangun, tapi seribu orang lain merusaknya. Apa manfaatnya membangun jika kemudian dirusak lagi ? kau ingin meningkat ke atas tapi orang lain menyeretmu ke bawah’. Menurut ulama ahlul kasyaf, wali quthub adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman. Quthub biasa pula disebut Ghauts (penolong), dan termasuk orang yang paling dekat dengan Tuhan. Selain itu, ia dipandang sebagi pemegang jabatan khalifah lahir dan bathin. Wali quthub memimpin pertemuan para wali secara teratur, yang para anggotanya hadir tanpa ada hambatan ruang dan waktu. Mereka datang dari setiap penjuru dunia dalam sekejap mata, menembus gunung, hutan dan gurun. Wali quthub dikelilingi oleh dua orang imam sebagai wazirnya. Di samping itu, ada pula empat orang autad (pilar-pilar) yang bertugas sebagai penjaga empat penjuru bumi. Masing-masing dari empat orang autad itu berdomisili di arah Timur, Barat, Utara dan Selatan dari Ka’bah. Selain itu, terdapat pula tiga orang nuqaba’, tujuh abrar, empat puluh wali abdal, tiga ratus akhyar dan empat ribu wali yang tersembunyi. Para wali adalah pengatur alam semesta, setiap malam autad mengelilingi seluruh alam semesta dan seandainya ada suatu tempat yang terlewatkan dari mata mereka, keesokkan harinya akan tampak ketidaksempurnaan di tempat itu dan mereka harus memberitahukan hal ini kepada wali quthub, agar ia dapat memperhatikan tempat yang tidak sempurna tadi dan dengan kewaliannya ketidaksempurnaan tadi akan hilang. Seorang wali quthub, al-Muqaddam al-Tsani, Syaikh Abdurahman al-Saqqaf beliau terkenal di mana-mana, ia meniru cara hidup para leluhurnya (aslaf), baik dalam usahanya menutup diri agar tidak dikenal orang lain maupun dalam hal-hal yang lain. Dialah yang menurunkan beberapa Imam besar seperti Syaikh Umar Muhdhar, Syaikh Abu Bakar al-Sakran dan anaknya Syaikh Ali bin Abu Bakar al-Sakran, Syaikh Abdullah bin Abu Bakar yang diberi julukan al-‘Aidrus. Syaikh Abdurahman al-Saqqaf selalu berta’abbud di sebuah syi’ib pada setiap pertiga terakhir setiap malam. Setiap malam ia membaca Alquran hingga dua kali tamat dan setiap siang hari ia membacanya juga hingga dua kali tamat . Makin lama kesanggupannya tambah meningkat hingga dapat membaca Alquran empat kali tamat di siang hari dan empat kali tamat di malam hari. Ia hampir tak pernah tidur. Menjawab pertanyaan mengenai itu ia berkata, ‘Bagaimana orang dapat tidur jika miring ke kanan melihat surga dan jika miring ke kiri melihat neraka ?. Selama satu bulan beliau beruzlah di syi’ib tempat pusara Nabi Hud, selama sebulan itu ia tidak makan kecuali segenggam (roti) terigu.[7] Demikianlah cara mereka bermujahadah dan juga cara mereka ber-istihlak (mem-fana’-kan diri) di jalan Allah swt. Semuanya itu adalah mengenai hubungan mereka dengan Allah. Adapun mengenai amal perbuatan yang mereka lakukan dengan sesama manusia, para sayyid kaum ‘Alawiyin itu tidak menghitung-hitung resiko pengorbanan jiwa maupun harta dalam menunaikan tugas berdakwah menyebarluaskan agama Islam. Selain pemakaman Zanbal, terdapat pula pemakaman Furait. Dalam kamus bahasa Arab arti Furait adalah gunung kecil. Di tempat tersebut dikuburkan keluarga Bafadhal serta para ulama, auliya’, sholihin yang tak terhitung jumlahnya. Syaikh Abdurahman Assaqqaf bin Muhammad Maula Dawilah berkata : ‘Di tempat itu dikuburkan lebih dari sepuluh ribu wali’. Beberapa ulama kasyaf menyaksikan, sesungguhnya rahmat Allah yang turun pertama kali di dunia ini di pemakaman Furait. Syaikh Abdurahman Assaqqaf, Sayid Abdullah bin Ahmad bin Abi Bakar bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan sebagian ulama di Makkah menceritakan bahwa dibawah tanah Furait terdapat taman dari taman-taman surga. Di pemakaman Furait, mulai ziarah diawali kepada Syaikh Salim bin Fadhal, kemudian Syaikh Fadhal bin Muhammad bin al-Faqih Ahmad, Syaikh Fadhal bin Muhammad, kemudian kepada Syaikh Ahmad ayahya dan ayah serta pamannya, kemudian Syaikh Ibrahim bin Yahya Bafadhal, Syaikh Abu Bakar bin Haj, kemudian kepada Imam al-Qudwah Ali bin Ahmad Bamarwan, al-Arif Billah Umar bin Ali Ba’umar, Imam Ahmad bin Muhammad Bafadhal, Ali bin al-Khatib, Syaikh Abdurahman bin Yahya al-Khatib, Syaikh Ahmad bin Ali al-Khatib, Imam Ahmad bin Muhammad bin Abilhub dan anaknya Said, Imam Saad bin Ali. Pemakaman ketiga yang terkenal di kota Tarim adalah pemakaman Akdar. Di perkuburan Akdar, yang dimakamkan di sana di antaranya para ulama, auliya’ al-arifin dari keluarga Basri, keluarga Jadid, keluarga Alwi, keluarga Bafadhal, keluarga Baharmi, keluarga Bamahsun, keluarga Bamarwan, keluarga Ba’Isa, keluarga Ba’ubaid dan lainnya. [1]Muhammad bin Abubakar al-Syilli, Masra’ al-Rawi, hal. 252. [2] Ibid, hal. 251. Pada kitab al-Ghuror ,halaman 70, tertulis tahun 521 hijriyah. [3]Muhammad bin Ali al-Khirrid., al-Ghuror, hal. 77. [4] Muhammad bin Abubakar al-Syilli.Op Cit, hal. 263. [5] Ibid, hal. 279. [6] Ibid, hal. 283. [7] Idrus Bin Umar al-Habsyi. Iqdu al-Yawaqit al-Jauhariyah, hal. 5. 4. Latief 1 January 2008 4:59 pm # Apakah antum tahu tentang sejarah keluarga Bafadhal di Indonesia? Jazakumullloh khoiron katsiro Abdullatief bin Abubakar bin Husen bin Abubakar bin Ahmad bin Ibrahim Bafadhal afprocessing@adetex.co.id 5. musonnif 21 February 2008 7:05 pm # apakah di antara ikhwan ada yang mengetahui sejarah dan silsilah Jamaluddin yang di makamkan di taluk masjid banjar . konon beliau berasal dari hadramaut. pada awalnya beliau adalah penyebar agaa islam di Filipina, namun kapalnya derdampar di kalimantan. kalau ada yang tahu tolong kirim ke bayud_adlam_313@yahoo.com 6. ali 22 February 2008 9:18 am # Yth Sdr Musonnif, apakah Jamaludidn yang sdr maksud ini bermakam di belakang eks bangunan Masjid Jami Taluk? Di mana banyak makam tua, dengan nisan tonggak-tonggak kayu ulin. o musonnif 10 June 2011 6:59 am # seingat saya makamnya di dekat rumah besar dari kayu ulin. dekat sungai taluk 7. Kamarul Hidayat 2 May 2010 10:51 am # Apakah ada yang mengetahui sejarah dari keturunan Al Habib Muhammad Bin Ali Bin Hasan Bin Yahya Kutai dan nama anak2 beliau? makasih • Popular • Comments • Tags • Al-Hasani Yang Mastur Sekaligus Masyhur • Jalaluddin, Khatib Dayan dan Turbah • Alaydrus Nun Jauh di Pulau • Mereka Yang Hilang dan Menjadi Biasa • Riwayat Assegaf Di Sungai Mesa algembiraBlog.com LoginCreate BlogRandom BlogReport Blog

PERMINTAAN IBLIS

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:قَالَ إِبْلِيسُ لِرَبِّهِ: يَا رَبِّ قَدْ أُهْبِطَ آدَمُ وَقَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ سَيَكُونُ كِتَابٌ وَرُسُلٌ، فَمَا كِتَابُهُمْ وَرُسُلُهُمْ؟ قَالَ: قَالَ رُسُلُهُمْ: الْمَلائِكَةُ وَالنَّبِيُّونَ مِنْهُمْ، وَكُتُبُهُمْ: التَّوْرَاةُ وَالزَّبُورُ وَالإِنجيلُ وَالْفُرْقَانُ، قَالَ: فَمَا كِتَابِي؟ قَالَ: كِتَابُكَ: الْوَشْمُ، وَقُرآنُكَ: الشِّعْرُ، وَرُسُلُكَ: الْكَهَنَةُ، وَطعامُكَ: مَا لا يُذْكَرُ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَشَرابُكَ: كُلُّ مُسْكِرٍ، وَصِدْقُكُ: الْكَذِبُ، وَبيتُكَ: الْحَمَّامُ، وَمصائدُكَ: النِّسَاءُ، وَمُؤَذِّنُكَ: الْمِزْمارُ، وَمَسْجِدُكَ: الأَسْوَاقُ. SERULING (TEROMPET) ADALAH SUARA IBLis حَدَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ Maha Benar Allah dan Rosulullah

PADANG BULAN

** PADANG BULAN ** اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا فِي عِلْمِ اللهِ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِ مُلْكِ اللهِ [Allohumma Sholli wa Sallim 'alaa sayyidinaa wa maulanaa Muhammadin] 2X ['Adada maa fii 'ilmillahi Sholatan daaimatan bidawaami mulkillaahi] 2X [Padang bulan, padange koyo rino. Rembulane sing ngawe-awe] 2X Ngelengake, ojo turu sore. [E... Kene tak critani, kanggo sebo mengko sore] 2X [Lamun wong tuwo, Lamun wong tuwo keliru mimpine Ngalamat bakal, Ngalamat bakal getun mburine] 2X Wong tuwo loro, kundur ing ngarso pengeran [Anak putune, rame rame rebutan warisan] 2X [Wong tuwa loro, ing njero kubur anyandang susah Sebab mirsani, putera puterine ora ngibadah (dho pecah belah)] 2X Kang den arep-arep, yoiku turune rahmat [Jebul kang teka - Jebul kang teka, nambahi fitnah] 2X [Iki dino, ojo lali lungo ngaji Takon marang, Kyai Guru kang pinuji] 2X Enggal siro, ora gampang kebujuk syetan [Insya Alloh, kito menang lan kabegjan] 2X [Jaman kepungkur, ono jaman jaman buntutan Esuk-esuk, rame rame luru ramalan] 2X Gambar kucing, dikira gambar macan [Bengi diputer - bengi diputer, metu wong edan] 2X [Kurang puas kurang puas, luru ramalan Wong ora waras wong ora waras, dadi takonan] 2X Kang ditakoni, ngguyu cekaka’an [Jebul kang takon - jebul kang takon, wis ketularan] 2x اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا فِي عِلْمِ اللهِ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِ مُلْكِ اللهِ ** SHOLLU ‘ALAN NABI MUHAMMAD ** About these ads

IBU KITA KARTINI

IBU KITA KARTINI D:DO 4/4 Andante W.R. Supratman 1 . 2 3 4 / 5. 3 1. / 6 . 1 7. 6 / 5 … I – bu ki – ta Kar – ti – ni , Pu – tri - se- ja ti. I – bu ki – ta Kar – ti – ni , Pen –de – kar Bang-sa, 4 . 6 5 4 / 3. 1. / 2. 4 3 2 / 1 ……. Pu – tri In – do – ne – sia , ha – rum na ma – nya. Pen – de – kar ka – um – nya , un – tuk Mer - de – ka 4 . 3 4 6 / 5 6 5 3 1 3 / 2 3 4 5 /3 … Wahai I – bu ki- ta Kar – ti – ni Pu – tri – yang muli – a , 4 . 3 4 6 / 5 6 5 3 3/ 2 4 7 2 / 1 …. Sungguh besar cita – citanya , ba – gi In – do – ne – sia LELUHUR RADEN AJENG KARTINI MENAK LOMPAT BLAMBANGAN. BERPUTRA: PANGERAN KEDAWUNG BLAMBANGAN. BERPUTRA: LANANG DANGIRAN/KYAI BRONDONG.BERPUTRA: PANGERAN ONGGOJOYO. BERPUTRA: TUMENGGUNG ARIO CONDRO NEGORO 1 (BUPATI SURABAYA).BERPUTRA: ADIPATI ARIO CONDRO NEGORO 2 (BUPATI PATI) .BERPUTRA: ADIPATI ARIO CONDRO NEGORO 3 ( BUPATI KUDUS ). BERPUTRA: PANGERAN ARIO CONDRO NEGORO 4 ( BUPATI DEMAK ).BERPUTRA: RM.AA SOSRO NINGRAT ( BUPATI JEPARA )BER ISTRI DUA: 1.GARWO PADMI( RAA.SOSRO NINGRAT ) BERPUTRA : 1. RA. SULASTRI COKRO HADI SOSRO(selasa kliwon 9 januari 1877). 2. RA. RUKMINI SANTOSO(ahad pahing 4 juli 1880) 3. RA. KARTINAH DIRJO PRAWIRO(ahad legi 3 juni 1883) 2.GARWO AMPIL ( M.A NGASIRAH ) BERPUTRA : 1. RM SLAMET SOSRO NINGRAT (ahad legi 15 juni 1873 ) 2. P.A SOSRO BUSONO (senin legi 11 mei 1874) 3. RM. PANJI SOSRO KARTONO(rabo pahing 10 april 1877) 4. RA.A KARTINI JOYO HADI NINGRAT(senin pahing 21 april 1879) 5. RA.A KARDINAH REKSO NEGORO (selasa pahing 1 maret 1879) 6. RM. SOSRO MULYONO( ahad wage 26 desember 1885) 7. RA. SUMATRI SOSRO HADI KUSUMO (ahad wage maret 1888) 8. RM. SOEROTO (senin kliwon 16 0ktober) Nama panggilan Raden Ayu Kartini Dikenal karena Emansipasi wanita Agama Islam Pasangan R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini[1] adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Ayah Kartini, R.M. Sosroningrat. Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi[2], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Kartini bersama suaminya, R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat (1903). Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda. Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Sekolah Kartini (Kartinischool), 1918. Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

KEUTAMAAN ILMU

Bab 1 Keutamaan Ilmu Dan Ulama. قال النبي صلى الله عليه وسلم لابن مسعود رضي الله عنه ياابن مسعود جلوسك ساعة في مجلس العلم لاتمس قلما ولا تكتب حرفا خير لك من عتق الف رقبة ونظرك الى وجه العالم خير لك من الف فرس تصدقت بها في سبيل الله وسلامك الى العالم خير لك من عبادة الف سنة Nabi SAW Berkata kepada Ibnu Mas’ud RA Wahai Ibdu Mas’ud Dudukmu satu jam di majlis Ilmi tanpa memegang pena tanpa menulis satu hurufpun itu lebih bagimu baik daripada memerdekakan 1000 Budak Dan penglihatanmu terhadap wajah orang Alim itu lebih baik bagimu daripada 1000 kuda yang kamu sedekahkan terhadap Sabilillah Dan salammu kepada orang Alim itu lebih baik daripada ibadah satu tahun. وقال صلى الله عليه وسلم فقيه واحد متورع أشد على الشيطان من الف عابد مجتهد جاهل ورع Dan Nabi SAW berkata : orang faqih / Alim Satu yang Wira’i / Hati-Hati itu lebih berbahaya bagi syetan daripada 1000 orang ahli ibadah yang sungguh-sungguh yang bodoh yang Wira’i. وقال صلى الله عليه وسلم فضل العالم على العابد كفضل القمر ليلة البدر على سائر الكواكب Dan Nabi SAW berkata : Keutamaan Orang Alim mengalahkan orang ahli ibadah bagaikan kutamaan bulan purnama mengalahkan semua bintang-bintang. وقال صلى الله عليه وسلم من انتقل ليتعلم علما غفر الله له قبل ان يخطو Dan Nabi SAW berkata : Barang siapa berpindah (berjalan atau naik kendaraan) untuk mencari ilmu(syari’at) maka Allah mengampuninya dosa-dosa (kecil) yang sudah lewat sebelum melangkahkan kakinya.

Rabu, 10 April 2013

Habib Umar Bin Isma'il Bin Yahya Cirebon

HABIB UMAR BIN ISMAIL BIN YAHYA CIREBON Habib Umar lahir di Arjawinangun pada bulan Rabiu’ul Awwal 1298 H atau 22 Juni 1888. Ayahnya, Syarif Ismail, Adalah Dai berdarah Hadramaut yang menyebarkan Islam di Nusantara. Ibunya asli Arjawinangun, Siti Suniah binti H.Shiddiq. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak: Umar, Qasim, Ibrahim, dan Abdullah. Garis keturunan Habib Umar sampai kepada Nabi Muhammad melalui Sayyidina Husein. Pandidikan agama langsung diperoleh dari ayahnya sendiri, baru kemudian ia mengembara ke berbagai pesantren di Jawa Barat, dari tahun 1913 hingga 1921. Menyaksikan masyarakat Kampung Arjawinangun, Cirebon, tanah kelahiranya tenggelam dalam kebiasaan berjudi dan perbuatan dosa besar lainnya, Habib Umar merasa terpanggil untuk memperbaikinya. Dalam sebuah mimpi, ia bertemu Syarief Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, yang memberinya restu untuk niat baiknya tersebut. Selain itu Syarief Hidayatullah juga mengajarkan hakikat kalimat Syahadat kepadanya. Maka, setiap Malam Jum’at Habib Umar pun Menggelar pengajian di rumahnya. Tapi upaya itu mendapat perlawanan serius dari masyarakat. Mereka mencemooh, menghina, dan mencibir pengajian Habib Umar. Dibawah tekanan masyarakat itu, ia terus berjalan dengan dakwahnya itu. Dan Karena pengajiannya dianggap meresahkan masyarakat, pada gilirannya pemerintah kolonial menangkap Habib Umar dan menjebloskannya ke dalam Penjara. Namun, tiga bulan kemudian ia di bebaskan, berkat perlawanan yang diberikan oleh jama’ahnya hingga jatuh korban di kalangan antek-antek Belanda. Kepalang basah, tahun 1940, Habib Umar bahkan menyediakan rumahnya sebagai markas perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda. Tidak hanya itu, ia juga turun tangan dengan mengajarkan ilmu kanuragan kepada kaum muda. Bulan Agustus 1940 ia ditangkap Belanda lagi danpengajiannya ditutup, Enam bulan kemudian, 20 Februari 1941, ia dibebaskan. Semangat perjuangan melawan kolonialisme semakin membara dalam dada Habib Umar. Mka ia pun banyak mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh agama di seputar Cirebon, seperti Kiai Ahmad Sujak (Bobos), Kiai Abdul Halim (Majalengka), Kiai Syamsuri (Wanantara), Kiai Mustafa (Kanggraksan), Kiai Kriyan (Munjul). Tidak Hanya pada masa penjajahan Belanda, Pada zaman Jepang pun nama Habib Umar melejit lagi sebagai pejuang agama. Ia memperkarakan Undang-Undang yang di keluarkan Jepang yang melarang pengajaran huruf Arab di Masyarakat. UU itu dianggap sebagai alat agar umat islam meninggalkan Al-Quran. Panji-Panji Syahadatain Pada masa kemerdekaan, Tahun 1947, Habib Umar mulai mengibarkan panji-panji Syahadatain. Itu bermula dari pengajian yang dipimpinnya yang semula dikenal sebagai “Pengajian Abah Umar” menjadi “Pengajian Jamaah Asyahadatain”. Ternyata pengajian ini mendapat simpati luas sehingga menyebar ke seluruh Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tahun 1951 lembaga itu mendapat restu dari presiden Soekarno. Tahun 1951, Habib Umar sempat mendirikan Pondok Pesantren Asyahadatain di Panguragan. Namun Selain mengajarkan ilmu agama dan ketrampilan seperti bertani, menjahit, bengkel, koperasi, dan ilmu kanuragan, Habib Umar juga mengharuskan Jamaahnya bertawasul kepada Rasulullah, Malaikat, Ahlul bayt, Wali, setiap selesai shalat fardhu. Menurutnya, tawasul menyebabkan terkabulnya suatu doa. Lebih Jauh lagi, Habib Umar juga mendirikan Tarekat Assyahadatain. Ia Juga sekaligus pemimpin Tarekat Assyahadatain, menulis buku berjudul Awradh Thariqah Al-Syahadatain, Sebagai pedoman Bagi Jamaahnya. Syahadat, menurut Habib Umar, Tidak Cukup dilafadzkan di mulut, tapi maknanya juga harus membias ke dalam jiwa. Dengan persaksian dua kalimat syahadat itu, seseorang akan diampuni atas dosanya, dan terkikis pula akar-akar kemusyrikan dalam dirinya. Karyanya yang lain adalah Awrad (1972), menggunakan Bahasa daerah yang berisi ilmu ahlaq dan tasawuf, aqidah dan pedoman hidup kaum muslimin. Habib Umar menghadapa ke Hadirat Allah pada 13 Rajab 1393 atau 20 Agustus 1973. Semoga Amal Ibadah dan perjuangannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Di Kota Bunga, Malang, Jawa Timur, ada seorang auliya’ yang terkenal karena ketinggian ilmunya. Ia juga hafal ribuan hadits bersama dengan sanad-sanadnya. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawi dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih. Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.” Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani. Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir. Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya. Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz. Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya. Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.” Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M. Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim Tiba di Indonesia tepatnya dikota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351H/1931 M. Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M. Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah. Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah. Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini. Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur. — bersama Sayyidah Al Qomariyah, Muhammad Alwie Shahab, Zainul Wahyudi, dan 41 Tuan Guru K.H. Muhammad Gadung bin Alimul Fadhil Syeikh salman al-Farisi bin Al alimul allamah Qadhi H.Mahmud bin Allimul Fadhil H.Muhammad Yassin yang menikah dengan Asiah binti Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari ,beliau adalah salah satu guru dari abah Guru sekumpul Syeikh Muhammad Zaini bin H.Abdul Ghani ...kewalian beliau sangat terkenal,diantara anak beliau adalah Julak Hannor atau Muhammad noor seorang wali Ma'djuzub dari Tapin Rantau,menurut beberapa riwayat diantara kekeramatan beliau,beliau mampu membagi tubuhnya menjadi beberapa,dan banyak lagi keramat keramat beliau yang lainnya — bersama Ahmad Attawwabien Putratunggalmargasari, Surya Mustika, Fatimah Al-anggawi, dan 34 lainnya. Al-‘Alim al-‘Alamah KH. Badruddin Bin KH. Ahmad Zaini Tunggulirang, Martapura Al-‘Alim al-‘Alamah KH. Badruddin putra KH. Ahmad Zaini putra KH. Abdurrahman dilahirkan di tunggulirang, Martapura pada tanggal 29 Dzulqaidah 1355 H bertepatan pada tanggal 11 Februari 1937 M. Sejak kecil ia hidup ditengah-tengah keluarga muslim yang taat beragama. Pertama-tama ia belajar mengaji kepada ayah dan kakeknya, selanjutnya ia memasuki pendidikan formal di Madrasah “Iqdamul Ulum” dan juga sekolah non-formal di pondok pesantren Darussalam, Martapura. Setelah lulus di kedua sekolah itu iapun meneruskan pendidikannya ke tanah suci mekkah, tepatnya di Madrasah Shaulatiyyah, kurang lebih 2 tahun setengah ia belajar di bumi kelahiran Rasulullah itu. Kemudian ia kembali ke Martapura dan memperdalam ilmu kepada ulama-ulama besar di Martapura diantaranya kepada kakaknya sendiri KH. Husein Qadri, KH. Anang Sya’rani Arif, KH. Muhammad Samman Mulia, KH. Salim Ma’ruf dan beberapa ulama serta habaib di pulau jawa. Nama KH. Badruddin tentu tidak asing lagi bagi orang Kalimantan Selatan. Ia sangat dikenal oleh masyarakat di daerah ini karena di samping dikenal sebagai ulama ia juga dikenal sebagai politikus ternama. KH. Badruddin putra KH. Ahmad Zaini juga tidak berhenti meneruskan perjuangan dan perjalanan hidup yang telahdilakukan oleh kakek, ayah dan saudaranya sebagai pembimbing dan Pembina masyarakat melalui pengajian-pengajian agama, baik di Pondok Pesantren Darussalam, Martapura maupun dikalangan masyarakat umum seperti di mesjid-mesjid, langgar dan pelosok-pelosok kampung. Di bawah kepemimpinannya inilah Yayasan Pondok Pesantren Darussalam mengalami perkembangan yang sangat pesat lebih-lebih dengan dibukanya SMP, SMK, SMR dan STAI Darussalam Martapura. Di bidang Da’wah, di samping sebagai guru dan pimpinan Pondok Pesantren Darussalam, ia juga aktif memberikan Khutbah Jum’at di Mesjid agung al-Karamah, Martapura dan sekaligus sebagai nazir mesjid kebanggaan warga masyarakat Martapura ini. Di bidang pemerintahan KH. Badruddin putra KH. Ahmad Zaini ditunjuk sebagai Penghulu Kampung Jawa dan sungai Paring Martapura pada tahun 1955 dan selanjutnya diangkat sebagai karyawan di Departemen Agama, Kabupaten Banjarpada tahun1960. Tahun 1961 diangkat menjadi anggota DPRD dari Golkar Tingkat II Banjar, pada tahun 1978 dipercaya sebagai anggota MPR RI selama dua periode dan pada tahun 1978 dipercaya sebagai anggota DPA RI juga selama dua periode. Di bidang organisasi, ia juga pernah menduduki jabatan Wakil Ketua Umum Badan Kerjasama Ulama Militer, ketua MUI Kalimantan Selatan, ketua LPTQ Kalimantan Selatan, Ketua Umum Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPP) Kalimantan Selatandi samping sebagai anggota Badan Pertimbangan MUI Pusat dan Rais Suriah PWNU Kalimantan Selatan. Namun kiprahnya dibidang politik tetap saja tak lepas dari upaya memperjuangkan untuk tegak syiar Islam di daerah Kalimantan Selatan. KH. Badruddin putra KH. Ahmad Zaini adalah putra Mufti KH. Ahmad Zaini dan Ibu Hj. Jannah. Sejak remaja dan sampai akhir hayatnya kakak kandung KH. M. Rasyad ini dikenal memiliki pendirian yang teguh, disiplin dan loyalitas yang tinggi baik dalam sikap maupun perbuatannya. Guru Ibad (panggilan akrabnya) juga dikenal sukses dalam mendidik keluarga. Putranya H. Muhammad, Lc. Semasa hidupnya pernah menjadi ketua STAIN Darussalam, Martapura,putranya yang lainnya adalah H. Hasanuddin kini telah mendirikan sebuah pondok pesantrean di Saudakan, Negeri Sabah, Malaysia dari TK sampai Aliyyah yang keberadaannya telah di akui oleh kerajaan negeri tersebut. KH. Badruddin putra KH. Ahmad Zaini juga pernah dianugerahi Satya Lencana Penegak dari Pemerintah Indonesia atas jasanya membantu penumpasan gerombolan PKI di Kalimantan Selatan. KH. Badruddin putra KH. Ahmad Zaini juga orang yang pertama kali membawa dan mengembangkan pembacaan Maulid al-Habsyi (Simthud Durrar) di Kalimantan Selatan dan sekitarnya, yang sampai kini terus diamalkan oleh masyarakat. Akhirnya pada malam Rabu tanggal 27 Jumadil Akhir 1413 H atau bertepatan pada 23 Desember 1992 M, rihnya yang penuh dengan cahaya ilahi berpulang keharibaan Allah SWT dan jasadnya di makamkan di alkah keluarga di Kampung Tunggulirang, Martapura berdampingan dengan kakek, ayah, dan saudaranya. Semoga dalam perjalanan hidup dan pengabdiannya diterima oleh Allah Subhanahu Wa Taala sebagai amal saleh dan dapat menjadi contoh dan tauladan bagi anak-anak cucunya dalam menegakkan agama Islam dan Faham Ahlussunah wal Jama’ah sepanjang masa, Aamiin. — bersama Hana Sabila Binti Achmad, SafiraImuet Imuet Fira, Shipenyayang Ayahdanbunda, dan 28 lainnya.lainnyaFacebook KH.Zakaria bin Tuan Guru KH.Ramli Tuan Guru KH.Zakaria bin Tuan Guru KH.Ramli yang menikah dengan Hj.Hafifah binti Tuan Guru KH.Muhammad Gadung bin Syeikh Salman Al-Farisi,belau adalah cucu pertama dari Tuan Guru KH.Muhammad (salah satu guru dari Abah Guru Sekumpul) dan beliau inilah yang melayani Abah Guru sewaktu beliau mengaji kepada Tuan Guru KH.Muhammad selama kurang lebih 2 tahunan,setelah Abah Guru Sekumpul wafat beliau bercerita kalau beliau sering ditemui oleh Abah Guru Sekumpul,sampai suatu malam beliau bermimpi lagi bertemu dengan Abah Guru dalam mimpinya itu Abah Guru Sekumpul hidup enak di dalam Istana dan banyak berkumpul para guru guru Darussalam,Datu Syeikh Salman al-farisi,Tuan Guru KH.Muhammad kakek beliau dan Muhammad Nor (Julak Hanor),dalam mimpi tersebut Guru Sekumpul berucap kepada Tuan Guru KH.Zakaria " Pabila lagi nyawa (kamu) Zak,di sini rami banar sudah takumpulan guru guru yawa (kamu) ".di jawab oleh Tuan Guru KH.Zakaria "kalau memang Guru yang membawai (mengajak) ulun hakun (mau) haja." .Guru H.Yahya anak beliau yang diceritakan mimpi tersebut menanyakan kenapa ayahnya mau di ajak oleh Abah Guru Sekumpul lalu di jawab beliau karena yang mengajak adalah paguruan maka beliau mau saja,dan selang 3 hari setelah beliau menceritakan mimpi tersebut kepada anak beliau,beliau betul betul menyusul Abah Guru Sekumpul ...subhanallah...beliau wafat malam kamis bulan Sya'ban 1427 H (2006)...semoga Allah SWT mengumpulkan beliau dengan Rasulullah SAW beserta guru guru beliau dan seluruh muslimin dan muslimat yang mencintainya....Aamiiin Ya Robbal alamin...Alfatihah . Bung Hatta dan Kisah Sepatu Bally PADA tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tentu tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu Bally. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi. Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta. Jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sebenarnya sangatlah mudah bagi Bung Hatta untuk memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta. “Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri,” kata Adi Sasono, Ketua Pelaksana Peringatan Satu Abad Bung Hatta. Pendeknya, itulah keteladanan Bung Hatta, apalagi di tengah carut-marut zaman ini, dengan dana bantuan presiden, dana Badan Urusan Logistik, dan lain-lain. Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain. Seandainya bangsa Indonesia dapat meneladani karakter mulia proklamator kemerdekaan ini, seandainya para pemimpin tidak maling, tidak mungkin bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini menjadi bangsa terbelakang, melarat, dan nista karena tradisi berutang dan meminta sedekah dari orang asing — bersama Incu Abah Oi Bonqkar, Achmad Al-banteniy, FatiSAYYID ARIF ABDURRAHIM BASYAIBAN Cerita napak tilas Sayyid Arif Abdurrahim tidak akan lepas dari sang kakak Sayyid Sulaiman bin Abdurrahman Basyaiban, yang makamnya berada di Mojoagung Jombang Jawa Timur. Perjuangan keduanya dalam membabat kawasan pesisir Pulau Jawa, menjadi daerah yang kental dengan nilai-nilai religius menorehkan masa keemasan. Sekitar pertengahan abad ke-16 Masehi adalah gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi ke tanah Jawa melalui jalur laut. Dan salah satu dari mereka adalah Sayid Sulaiman Basyaiban. Basyaiban adalah gelar warga habib keturunan Sayid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadhramaut yang terkenal alim dan sakti. Dan ayahanda Sayid Sulaiman dan Sayid Arif yang bernama Sayid Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayid Abu Bakar Ba Syaiban. Ia putra sulung Sayid Umar bin Muhammad bin Abu Bakar Ba Syaiban. Lahir pada abad ke-16 M di Tarim, Yaman bagian selatan sebuah perkampungan sejuk yang terkenal sebagai gudang para wali dan auliya’ Allah. Ketika dewasa ia merantau ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa. Sayid Abdurrahman memilih tempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin, Demak, bernama Syarifah Khadijah. Seorang putri bangsawan yang masih keturunan Rasulullah dan masih cucu Raden Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Buah dari pernikahan mereka dikaruniai tiga putra, yakni Sayid Sulaiman, Sayid Abdurrahim (Sayid Arif), dan Sayid Abdul Karim. Ketiganya mewarisi keturunan leluhurnya dalam hal berdakwah menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Tempat syiar pertama mereka adalah Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah. Lalu berkelana ke Solo, di sini mereka terkenal kesaktiannya. Hingga suatu ketika seorang Ratu Mataram Solo merasa iri. Di kota inilah mereka berpisah, Sayid Sulaiman memilih pergi ke Surabaya tepatnya di Ampel Denta, sedangkan sang adik memilih untuk menetap. Sayid Sulaiman kemudian berguru pada santri-santri Raden Rahmat (Sunan Ampel). Tak berselang lama, kabar keberadaan Sayid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Ratu Mataram. Lalu sang ratu mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Salah satu utusan adalah Sayid Abdurrahim (Sayid Arif), adik kandungnya sendiri. Sesampainya di Ampel, Sayid Arif sangat terharu bertemu kembali dengan kakak tercinta. Dan akhirnya ia memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram, dan memilih belajar kepada santri-santri Sunan Ampel bersama Sayid Sulaiman. Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri kepada Mbah Sholeh Semendi di Desa Segoropuro, seorang ulama besar asal Banten, Jawa Barat, yang menyebarkan Islam di Pasuruan pada abad ke-17. Lepas dari itu Sayid Sulaiman memilih tinggal di Kanigoro, Pasuruan. Hingga akhirnya mendapat julukan Pangeran Kanigoro dan sempat pula menjadi penasehat Untung Surapati, seorang tokoh terkemuka Pasuruan dan tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara. Melihat kecerdikan dari keduanya, membuat Mbah Soleh tertarik untuk menjadikan menantu keduanya. Namun, Sayid Sulaiman diminta untuk kembali ke Cirebon oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Karena kala itu terjadi pertempuran sengit antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya sendiri Sultan Haji, tepatnya pada 1681-1683. Sedangkan Sayid Arif diminta Mbah Soleh untuk tetap di Pasuruan membantu penyebaran Islam. Dari sinilah mulai terbentuk beberapa sentra besar penyebaran Islam. Seperti berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pondok Pesantren Sidoresmo Surabaya dan Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan Madura. Kini pesantren-pesantren itu masih ada, di bawah pengelolaan yang masih satu garis keturunan dari Sayid Sulaiman dan Sayid Arif. Untuk terus menjaga kemilau fajar penyebaran Islam yang telah dirintis mereka berdua. — bersama Amywan Matrik, Hana Sabila Binti Achmad, Abi'langker Sang'Pecinta Zhuriat'Rasul, dan 29 lainnya. mah Al-anggawi, dan 19 lainnyaBiografi Imam Nawawi Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i Kata ‘an-Nawawi’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau. Beliau dianggap sebagai Syeikh di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqih terkenal pada zamannya. Kelahiran dan Lingkungannya Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan ‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana. Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan ‘al-Qira`ah’. Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syeikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan menase-hati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasehat ini. Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan diantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar-Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur. Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus. Pengalaman Intelektualnya Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat. Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol: Pertama, Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga Menginjak Remaja Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah. Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi. Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan. Kedua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya; ke dua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ke tiga terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’, ke empat terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’, ke lima terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, ke enam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ke tujuh terhadap kitab ‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), ke delapan di dalam ilmu Sharaf, ke sembilan di dalam ilmu Ushul Fiqih, ke sepuluh terkadang ter-hadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab ‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, ke sebelas di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’, ke duabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”. Ketiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis Beliau telah interes (berminat) terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an. Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan-nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam. Diantara karya-karya tulisnya tersebut adalah ‘Syarh Shahih Muslim’, ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab’, ‘Riyadl ash-Shalihin’, ‘ al-Adzkar’, ‘Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat’ ‘al-Arba’in an-Nawawiyyah’, ‘Rawdlah ath-Thalibin’ dan ‘al-Minhaj fi al-Fiqh’. Budi Pekerti dan Sifatnya Para pengarang buku-buku ‘biografi’ (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an-Nawawi merupakan ujung tombak di dalam sikap hidup ‘zuhud’, teladan di dalam sifat wara’ serta tokoh tanpa tanding di dalam ‘menasehati para penguasa dan beramar ma’ruf nahi munkar’. Zuhud Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya. Diantara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup ‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya. Wara’ Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana. Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah. Beliau tidak pernah mau menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok yang sudah beliau percayai diennya.Beliau juga tidak mau menerima sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya. Ketika berada di al-Madrasah ar-Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan fasilitas yang lebih dari itu. Imam Nawawi Menasehati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam.Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh-Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tatar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahwa kebanyakan kebun-kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun-kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengklaim kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, yaitu berupa sertifikat kepemilikan.Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al-Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja. Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh karena itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka dengan menyeletuk, “Sesungguhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka !!”. Menyadari bahwa hanya dengan surat saja tidak mempan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasehatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tentram kembali. Wafat Imam Nawawi Wafatnya Pada tahun 676 H, Imam an-Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawawi, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus. Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para Syeikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke ‘Nawa’. Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al-Qadly, ‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya. Semoga Allah SWT merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Aamiin. — bersama Qolbie Nienk Choierr, Achmad Al-banteniy, Abu Bakar Adeni, dan 33 lainnya. Suka • • Bagikan . Biografi Anas bin Malik RA; Pembantu Rasululah SAW Ibn Umm Salim (Anas bin Malik) Beliau lahir di Yatsrib (Madinah) 8 tahun sebelum Hijriah. Nama lengkapnya Anas bin Malik bin an-Nadhar bin Dhomdhom al-Anshory al-Khazrojy. Biasa dipanggil Abu Hamzah, digelari ‘Khodim ar-Rasul’(Pembantu Rasul). Anas bin Malik seorang mufti, muqri (pembaca), ahli hadits dan pembantu Rasul. Ibunya, Ummu Salim, masuk Islam sementara ayahnya masih berpegang kepada agama dulu. Pendapat lain mengatakan bahwa ibu Anas bin Malik bernama Ghumaisho. Ada juga yang mengatakan Rumaisho. Meskipun masih kecil, ibunya sudah mengajarkan dua kalimah syahadat. Ayahnya, Malik, meminta kepada istrinya agar meninggalkan agama barunya. Hanya saja istri menolak. Suatu hari ayahnya keluar rumah sambil marah-marah. Di jalan ayahnya ketemu dengan musuhnya. Ayahnya terbunuh, sejak itu beliau Anas bin Malik hidup menjadi yatim. Anas Bin Malik Pembantu Rumah Tangga Rasulullah SAW Pada waktu berumur 10 tahun ibunya mendorong agar beliau mengabdi pada Rasulullah. Ibunya berkata, “Ini anakku pandai menulis.” Rasulullah pun menerima permohonan ibunya. Rasulullah berdo’a, “Ya Allah berikan dia (Anas bin Malik) harta dan anak yang banyak. Dan Beri keberkahan yang saya berikan padanya.”(HR.Bukhori Muslim). Beliau; Anas bin Malik pernah berkata, “Saya mengabdi kepada Rasulullah selama sepuluh tahun. Beliau tidak pernah berkata ‘uff’ , tidak pernah mencela apa yang dibuat dan tidak pernah marah.” Beliau bercerita, “Suatu hari Rasulullah menyuruhku untuk suatu keperluan. Saya pun keluar rumah. Dan jalan berjumpa dengan anak-anak sedang bermain. Saya pun ikut bermain bersama mereka. Saya malah tidak memenuhi perintahnya. Selesai bermain dengan mereka, tiba-tiba saya merasa ada orang berdiri dibelakang saya. Setelah saya menoleh, ternyata Rasulullah sambil memagang bajuku. Sambil tersenyum Rasulullah berkata, “Wahai Anas, Apakah kamu sudah kerjakan perintahku?” Saya merasa bersalah. Saya pun menjawab, “Baiklah, saya pergi sekarang.” Mengenai pribadi Anas bin Malik Abu Hurairah berkata, “ Saya belum pernah melihat orang yang menyerupai sholatnya Rasulullah kecuali Ibn Umm Salim (maksudnya Anas bin Malik).” Allah SWT berikan karunia kepada Anas bin Malik berupa panjang umur. Mengenai panjang umurnya itu beliau berkata, “Tidak ada orang yang tersisa (dari sahabat) yang dapat sholat di masjid Qiblatain (dua qiblat) kecuali saya.” Begitu juga beliau; Anas bin Malik dikarunia keturunan banyak sebagaimana Rasulullah do’akan padanya. Semua anaknya hampir mencapai seratus. Kalau mengkhatamkan al-Qur’an, Anas bin Malik mengumpulkan istri dan anaknya kemudian beliau berdo’a. setelah wafatnya Rasulullah, beliau pergi Damaskus. Dari Damaskus beliau pindah ke Basrah. Dari al-Mutsna bin Sa’id diceritakan, ia mendengar bahwa Anas bin Malik selalu berkata, “Hampir setiap malam aku mimpi Rasulullah. Setelah itu beliau menangis.” Selama bersahabat dengan Rasulullah beliau telah meriwayatkan kurang lebih 2287 hadits. Diantara riwayat haditsnya, dari Rasulullah beliau bersabda; “Tidak beriman seseorang dari kalian hingga cinta kepada saudaranya sebagaimana mencintai dirinya.”(HR.Bukhori). “Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya, penyabar dan pemaaf” begitu kata beliau mengenai pribadi Rasulullah. Dari sekian sahabat Rasulullah, Anas bin Malik lah yang paling terakhir wafat. Kurang lebih sepuluh tahun beliau bergaul, bersahabat dan bersenda gurau dengan Rasulullah. Meskipun tidak lama, sejak kecil beliau sudah merindukan kedatangan Rasulullah. Sehingga hari-harinya banyak digunakan untuk bertanya tentang ajaran Islam. tidak heran beliau termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Setelah menjalani hidupnya hampir satu abad, beliau wafat pada tahun 91 Hijriah, berumur 99 tahun. Pada waktu Anas bin Malik sakit, beliau berpesan kepada keluarganya, “Ajarkan/talkin aku kalimat “La ilahaillallah. Muhammadurrasullah.” Beliau pun mengucap kalimat itu hingga ajal menjemputnya. Pada waktu dimandikan, Muhammad bin Sirrin, seorang tabi’in, yang memandikan Anas bin Malik. — bersama Abah Bersholawat Bikamaliha II, Rachmawatie, Shipenyayang Ayahdanbunda, dan 29 lainnya. Kisah Teladan Imam Al-Haitami Disebuah desa terpencil di Jazirah Arab, hidup seorang anak remaja bernama Al-Haitami. Suatu hari ia disuruh guru sekaligus bapaknya untuk meneruskan belajar dengan merantau mencari ilmu. Maka pagi-pagi benar setelah sholat subuh berangkatlah remaja itu. Setelah sehari penuh berjalan melewati gurun pasir, masuk kampung keluar kampung, dan naik turun bukit, sampailah ia disebuah pesantren yang diasuh oleh seorang guru tersohor bernama An-Nawawi . Berikutnya Al-Haitami mulai mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh gurunya. Sering sekali ia dimarahi oleh gurunya karena sangat bebalnya otak alias saking bodohnya. Beberapa bulan kemudian mulai timbul rasa bosan dalam benaknya, karena rasa-rasanya tidak ada satupun ilmu yang diajarkan gurunya yang mampir dalam ingatannya. Ditambah lagi seringnya ia dihukum oleh gurunya berdiri di depan kelas karena kebodohannya dan daya ingatnya yang jelek, membuat dirinya jadi bahan olokan teman-temannya. Rasa jengkel dan malu jadi makanan pokok tiap hari. Tetapi Al-Haitami masih berusaha bertahan dengan sabar untuk tetap belajar dipesantren itu. Setelah beberapa tahun berlalu, dan keadaan masih tetap sama tanpa ada peningkatan sedikitpun, maka remaja kecil bernama Al-Haitami itu memutuskan untuk pulang saja kerumah, dari pada jauh-jauh belajar tak dapat ilmu, lebih baik pulang membantu orang tuanya bertani. Maka pada suatu sore ia menuju ke rumah gurunya untuk mohon pamit. ‘As-salamu ‘alaikum …” ucap Al-Haitami setelah mengetuk pintu. “Wa ‘alaikum salam wa Rohmatullah …” jawab gurunya dari dalam rumah, lalu membuka pintu. “Eh, kamu Al-Haitami, ayo masuk …..” ajak gurunya kemudian sambil memandang muridnya yang dari tadi menunduk. “Ya, Guru ….” jawab Al-Haitami setelah menyalami gurunya dan mencium tangannya. Sambil tetap menunduk, Al-Haitami duduk bersila didepan gurunya. “Ada apa muridku ?” tanya An-Nawawi memecah keheningan. “Begini guru …., tapi sebelumnya saya mohon maaf kepada Guru ….” ucap Al-Haitami sambil terus menunduk. “Ya, ada apa ?” tanya An-Nawawi penuh kelembutan dan kesabaran. “Guru …, aku rasa selama saya belajar disini tak ada satu ilmupun bisa aku dapatkan …” kata Al-Haitami membuka permasalahannya. “Lalu …?” tanya gurunya sambil menatap muridnya yang semakin dalam menunduk dengan tatapan yang lembut. “Saya mau pulang …, dan membantu orang tua saya dirumah, Guru ….” jawab Al-Haitami dengan suara yang makin pelan. “O …, begitu “ kata An-Nawawi dengan sabarnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kapan berangkatnya ?” “Kalau Guru mengijinkan, besok pagi sehabis sholat subuh, Guru …” jawab Al-Haitami mulai agak berseri karena permohonannya sepertinya akan dikabulkan. “Yah, aku ijinkan. Hati-hati dijalan, semoga selamat sampai rumah …” kata gurunya. Maka pada pagi harinya setelah sholat subuh dan setelah berpamitan kepada gurunya dan sahabat-sahabatnya, Al-Haitami berangkat pulang. Sambil berjalan ia selalu ingat akan nasehat gurunya :“Hikmah itu ada dimana-mana, muridku …”, dan mungkin itu adalah satu-satunya pelajaran gurunya yang berhasil menempel erat dalam ingatannya. Al-Haitami Mendapatkan Hikmah Setelah beberapa jam berjalan dibawah sinar matahari yang terik membakar, Al-Haitami lalu beristirahat dibawah sebuah pohon yang cukup besar dan sangat rindang dipinggir sebuah sungai yang sangat jernih airnya. Beberapa saat setelah keringatnya kering, ia lalu membersihkan badannya disungai itu, lalu membuka makanan perbekalannya pemberian sahabat-sahabatnya dipesantren. Ditengah-tengah menikmati makanannya, Al-Haitami dikejutkan oleh suara benda yang jatuh kesungai berulang-ulang. Setelah matanya berkeliling mencari sumber suara tadi, matanya tertumbuk pada seekor katak yang sedang melompat-lompat ingin naik ketepi sungai. Setiap kali lompatannya tidak berhasil sampai diatas katak itu jatuh, ia melompat lagi. Jatuh lagi, melompat lagi, jatuh lagi, melompat lagi. Begitu seterusnya sampai akhirnya ia berhasil melompat keatas. “Hebat sekali usaha katak itu” guman Al-Haitami dalam hati. Setelah rasa letihnya berkurang, Al-Haitami melanjutkan perjalanan. Beberapa jam kemudian, Matahari sudah berada tepat diatasnya. Sinarnya lama kelamaan semakin redup karena tetutup mendung tanda sebentar lagi akan turun hujan. “Wah, aku harus mencari tempat untuk berteduh, dari pada nanti kehujanan” gumannya dalam hati. Dari kejauhan Al-Haitami melihat sebuah gua, maka bergegas ia berlari. Beberapa saat kemudian ia sudah berada dimulut sebuah gua yang cukup besar dan panjang. Sementara diluar hujan sudah mulai turun. Didalam gua itu ada sungai kecil yang airnya sangat jernih. Setelah membersihkan dirinya, lalu ia sholat. Pada saat Al-Haitami khusyuk berdzikir setelah sholat, telinganya menangkap sebuah suara tetesan-tetesan air yang mengenai batu dengan teratur, suaranya sangat jelas dan menggema. Setelah ia teliti ternyata tetesan air itu mengenai batu hitam legam didekat ia duduk. Lama sekali Al-Haitami memperhatikan tetesan air yang mengenai batu itu. Lalu ia perhatikan batu itu, ternyata batu itu adalah batu yang terkenal sangat keras. Beberapa saat kemudian, Al-Haitami baru sadar ternyata batu itu terkikis menjadi cekungan akibat tetesan-tetesan air yang jatuh dari atap gua. “Batu saja yang sangat keras dapat terkikis dan berlubang hanya oleh tetesan air yang sangat kecil yang mengenainya terus menerus …, apalagi otak manusia yang sangat lunak” renungnya lama sekali. “Aku yakin, apabila aku belajar terus menerus dengan penuh keuletan dan kesungguhan pasti aku akan berhasil” kata Al-Haitami dalam hati. Lalu ia ingat akan seekor katak tadi. Ingatnnya menerawang tentang usaha katak yang tak kenal menyerah guna mencapai tujuan. “Katak saja yang tidak dikarunia akal bisa mencapai tujuan dengan usaha kerasnya, apalagi manusia yang diberi kelebihan akal dan hati. Pasti dengan usaha kerasku yang tak kenal menyerah aku dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan oleh guruku” renungnya sendirian. Al-Haitami juga ingat nasehat gurunya, yang ternyata ia telah mendapatkan hikmah-hikmah yang sangat berharga dari makhluk Tuhan yang jauh lebih rendah dibanding dirinya, yaitu dari seekor katak dan batu. Saking asyiknya Al-Haitami larut dalam pikiran dan ingatannya, tak terasa dari tadi matahari telah kembali bersinar terang karena hujan sudah reda. “Yah …, aku harus kembali kepesantren lagi” tekadnya dalam hati penuh semangat. Maka dengan langkah yang sangat tegap dan mantap ia berjalan dengan cepat dan lincah kembali kepesantrennya. Kemudian dengan penuh kesungguhan dan keuletan, akhirnya Al-Haitami menjadi murid yang paling pandai dan cerdas diantara murid-murid An-Nawawi lainnya. Dan karena ia mendapatkan hikmah atau pelajaran dari batu, maka ia diberi julukan “ibnu hajar” yang berarti putra batu. Maka setelah ia tamat dari pesantrennya namanya terkenal dengan Ibnu Hajar Al-Haitami. — bersama Pilot Leha Utuh Hendra, Anna Annisa, Al Faruq Abdillah, dan 34 lainnya. KISAH UWAIS AL-QARNI (PEMUDA YANG BERBAKTI KEPADA IBUNYA) Pada zaman Nabi Muhammad saw, ada seorang pemuda bernama Uwais Al-Qarni. Ia tinggal dinegeri Yaman. Uwais adalah seorang yang terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarniadalah seorang anak yatim. Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali. Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan domba-domba orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia dan ibunya. Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari. Uwais Al-Qarni terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah. Uwais Al-Qarni seringkali melakukan puasa. Bila malam tiba, dia selalu berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan Nabi Muhammad, sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Berita tentang Perang Uhud yang menyebabkan Nabi Muhammad mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya, telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarni. Segera Uwais Al-Qarni mengetok giginya dengan batu hingga patah. Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad saw, sekalipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais Al-Qarni untuk menemui Nabi saw semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Ia rindu mendengar suara Nabi saw, kerinduan karena iman. Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh? Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang wajah nabi Muhammad saw. Akhirnya, kerinduan kepada Nabi saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinyadan mohon ijin kepada ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais Al-Qarni walaupun telah uzur, merasa terharu dengan ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa dengan Nab, segeralah engkau kembali pulang.” Betapa gembiranya hari Uwais Al-Qarni mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas untuk berangkat. Namun, ia tak lupa mnyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju Madinah. UWAIS AL-QARNI Pergi ke Madinah Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarni sampai juga dikota madinah. Segera ia mencari rumah nabi Muhammad saw. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sampbil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al-Qarni menanyakan Nabi saw yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada berada dirumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al-Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah ra, istri Nabi saw. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi saw, tetapi Nabi saw tidak dapat dijumpainya. Dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “engkau harus lekas pulang”. Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi saw. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi saw. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru. Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi saw menanyakan kepada Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi saw dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad saw melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya., “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih ditengah talapak tangannya.” Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali ra dan Umar ra seraya berkata, “suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.” Waktu terus berganti, dan Nabi saw kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khatab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi saw itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa khalifah Umar ra dan sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia ? Rombongan kalifah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kalifah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kalifah yang baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekati kedua sahabat Nabi saw ini dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi saw. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al-Qarni. Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi saw bahwa dia itu adalah penghuni langit. Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah.” Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdulla, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Wajah Uwais Al-Qarni”. Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan doa dan istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “saya lah yang harus meminta doa pada kalian.” Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.” Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.” Kejadian Ketika UWAIS AL-QARNI Wafat Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, disana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya. Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al-Qarni adalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, disitu selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais Al-Qarni ? bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamanmu.” Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar ke mana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni disebabkan permintaan Uwais Al-Qarni sendiri kepada Khalifah Umar ra dan Ali ra, agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw, bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit. — bersama Yuli Irsya Al-rasyidei, Sus Anto, Anna AAl Marhum Al Maghfurlah Habib Husein bin Ali bin Husein Al Aththos (Gg. Buluh Condet – Jakarta Timur ) Beliau yang adalah anak sekaligus khalifah Al Habib Ali bin Husein Alatas (Habib Ali bungur) wafat dlm usia 71 tahun, jenazah disholati pada pukul 12.00 di masjid Al Hawi condet jakarta timur yg di imami oleh Al faqih Al Habib Zain bin ibrahim bin Smith dan di makamkan di pemakaman Habib Salim bin Thoha Al Haddad pasar minggu jakarta selatan. Habib Husein adalah anak bungsu dari sepuluh bersaudara, tiga laki-laki dan tujuh perempuan, anak Habib Ali bin Husein Alatas, atau yang dikenal sebagai Habib Ali bungur. Beliau dikenal dg sebutan Habib Jenderal karena dikenal keras, tegas, dan disiplin. Kata-katanya bak perintah seorang jenderal dlm perang, sehingga dipatuhi lingkungan. Ketika ayahandanya, Habib Ali bungur wafat, beliau sudah berkeluarga dan beranak dua. Beliau menikah pada tahun 1972. Sejak kecil beliau tinggal di Bungus jakarta pusat baru kemudian pindah ke gg.buluh, condet, pada akhir desember 1980, dan baru masuk pada januari 1981. Dikediamannya di gg.buluh setiap malam senin beliau memimpin majelis ta’lim Al Khairat, selain itu beliau juga rajin memenuhi undangan para habib dan muhibbin yg mengadakan berbagai acara keagamaan di indonesia maupun mancanegara. Habib Husein dikaruniai empat anak perempuan, tapi satu sudah meninggal, serta sepuluh cucu. Kini khalifah penerus perjuangan beliau adalah menantunya yaitu Al Habib Mahdi bin Abdurahman bin Syekh alatas. Wafat Jum’at, 27 Mei 2011 kurang lebih pada pukul 16.00 telah berpulang kerahmatullah Al Allamah Al Habib Husein bin Ali alatas gg.buluh condet jakarta selatan — bersama Maz Udinaja, Roy Rizz Q, ZizaTuan Guru Kasyful Anwar Al Banjari Sejarah Singkat Tuan Guru Muhammad Kasyful Anwar Al Banjari dilahirkan di Kampung Melayu pada malam selasa tanggal 4 Rajab 1304 H jam 22.00 malam,dari pasangan H.Ismail bin H. Muhammad Arsyad bin Muhammad Sholeh bin Badruddin bin Kamaluddin dan Hj.Siti binti H.Abdurrahim bin Abu Su’ud bin Badruddin bin Kamaluddin pasangan yang serasi lagi bertaqwa,sejak kecil beliau sudah medapatkan pendidikan di lingkungan keluarga, seperti belajar Al-Qur’an karena pendidikan seperti ini lazim dikalangan masyarakat Banjar pada masa itu, diantara guru gurunya yang juga keluarganya adalah : ~KH.Ismail bin H.Ibrahim bin Muhammad Sholeh bin Khalifah Zainuddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ~Syekh Abdullah Khotib bin H.Muhammad Sholeh bin Khalifah Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Setelah melihat kecerdasannya, kakeknya yaitu H. Muhammad Arsyad dan neneknya Hj. Siti Aisyah mengirimnya ke kota suci sumber ilmu Makkatul Mukarramah untuk meneruskan pelajarannya. Pada tahun 1313 H berangkatlah Beliau beserta seluruh keluarganya ke Tanah Suci Mekkah, sesampainya dinegeri Mekkah ia sangat rajin menuntut ilmu baik kepada ayahnya sendiri maupun kepada ulama lainnya, Beliau belajar bahasa arab kepada H. Amin bin Qadhi Haji Mahmud bin Aisyah binti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari beliau lama menetap di Mekkah, sewaktu dua tahun berada di Mekkah ayah beliau wafat dan dimakamkan di Mekkah dan dimakamkan di Ma’la, saat itu umurnya baru 11 tahun, pada umur 13 tahun ibunya menyusul ayahnya wafat di Mekkah dan dimakamkan di Ma’la sepekuburan dengan bapaknya,setelah itu beliau hanya tinggal bersama kakek dan neneknya yang selalu merawatnya. Diantara guru guru beliau adalah: 1.Syeikh Umar Hamdan al-Mahrus yang bergelar Muhaddist al-Haramain 2.Syeikh Muhammad Yahya al-Yamani 3.syeikh said bin Muhammad al-Yamani 4.Syeikh Sayyid Ahmad bin Syeikh Sayyid Abu Bakar bin Syeikh Sayyid al-Arif Billah sayyid Muhammad Syata 5.Syeikh Sayyid Ahmad bin Hasan al-Aththas penulis kitab Tadzikirunnas 6.Syeikh Muhammad Ali bin Husein al-Maliki bergelar Sibawaihi karena kealimannya 7.Syeikh Umar Ba Junaid Mufti Syafiiyyah 8.Syeikh Muhammad Sholeh bin Muhammad Ba Fadhal 9.Syeikh Muhammad Ahyad al-Bughuri 10.Syeikh Sayyid muhammad Amin al-Kutbi Setelah 17 tahun belajar di Mekkah akhirnya pada bulan Rabiul Awwal Tahun 1330 H ia kembali ke Tanah Air, setelah tiba di Tanah air beliau dikawinkan oleh kakek neneknya dengan seorang perempuan sholehah bernama Halimah binti Ja’far pada bulan Syawwal 1330 H pada usia 26 tahun. Beliau dikaruniai anak 6 rang 4 putra 2 putri, setelah menerapkan ilmu selama 20 tahun di kampung halaman pada tahun 1350/1930 M beliau berangkat lagi keTanah Suci bersama istri dan 2 orang anaknya beserta dua orang keponakannya yaitu Anang Syarani dan Muhammad Syarwani Abdan (Bangil) yang nantinya sangat terkenal di Tanah Suci sebagai Dua Mutiara dari Banjar, keberangkatannya kali ini selain untuk memperdalam ilmu agama juga untuk membimbing anak dan kedua keponakannya. Beliau bermukim selama 3 tahun,pada 17 Syafar 1353 H beliau kembali ke Martapura sedang dua keponakanna tetap tinggal di Tanah Suci meneruskan pendidikannya. Dirumahnya beliau membuka pengajian atas permintaan masyarakat,kemudian pada tahun 1922 M ia tampil memimpin Madrasah Darussalam pada periode ke 3, kepribadian beliau sangat sederhana, tanpa henti beliau mendidik murid muridnya,begitulah kehidupan pribadi seorang ‘alimul jalil ulama yang memegang teguh disiplin ilmu dan kemasyarakatan,ilmu dan amal baginya jalan untuk meningkatkan ketaqwaan, harta tidak boleh memperbudaknya tetapi hartalah yang harus menjadi budaknya untuk menunjang segala amal kita dijalan Allah dan beliau tetap tersenyum walaupun hidup dalam kesederhanaan,bahkan dikatakan masih kekurangan untuk mencukupi keperluannya sehari hari, namun beliau selalu bersikap qanaah (merasa cukup dengan nikmat yang telah diberikan Allah Swt) serta bersikap ikhlas fi sabilillah dalam setiap keaadaan. Akhirnya pada malam senin pukul 9.45 menit tanggal 18 syawwal 1359 H rohnya yang mulia kembali kepada Rabb nya yang Maha Tinggi dengan tenang dan damai pada usia 55 tahun dan dimakamkan di Kampung Melayu Martapura, Semoga Allah SWT membalas segala amal ibadah beliau dan dikumpulkan dengan Rasulullah Saw dan orang orang sholeh sebelum beliau. amiin. Kiranya cukup sampai disini riwayat dari guru kita yang mulia Tuan Guru Muhammad Kasyful Anwar Al-Banjari kalau ada kekurangan alfaqir mohon ampun minta redha sebesar besarnya buat saudara saudaraku semua. Semoga kita barataan dimudahkan dalam beribadah kepadaNya dan bisa mengikuti jejak beliau, berkumpul dengan Rasulullah Saw dan Para Nabi, para Wali Allah dan orang orang sholeh guru guru kita di akhirat nanti. Amiiin Ya Robbal Alamin. — bersama Ezty Eza, Achmad Al-banteniy, SuManaqib Ash-Shanhajy, Sang Empu Kitab Ajurrumiyah Fin Nahwi. Kitab Ajurrumiyah, semua santri pasti mengenalnya dan bahkan telah memepelajarinya. siapakah pengarang kitab yang walaupun kecil tapi sangat ppopuler ini. Beliau adalah Syeikh Abu abdillah Muhammad bin Muhammad bin dawud Ash Shanhaji. Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Daud Ash Shanhanjy. Beliau lebih masyhur disebut dengan Ibnu Ajurrum, menurut pendapat lain dibaca dengan Ajarrum. merupakan seorang ulama terkemuka yang terkenal dengan kitabnya matan Al Ajrumiyah, Ash Shanhaji merupakan nisbah kepada Kabilah Shanhajah di daerah Maghriby. Al Ajurrum merupakan bahasa Barbar yang berarti orang yang meninggalkan kemewahan dan memilih laku sufi (Al Faqir Ash Shufy). Namun Syeikh Muhammad bin Ahmad Al Ahdal, pengarang kitab Al Kawakib Ad duriyah mengatakan bahwa beliau tidak menemukan orang Barbar yang mengetahui arti kata Al Ajurrum, namun beliau menemukan satu kabilah dari suku Barbar yang benama Al Ajurrum. Beliau lahir di kota Fas, Maghriby pada tahun 672H/1273M, pada tahun kelahiran beliau, seorang pakar dalam ilmu nahu, ibnu Malik pengarang kitab Al Fiyah, wafat. Ayah beliau, Muhammad bin Daud adalah seorang ulama di kampung beliau yang memenuhi kehidupan keluarganya dengan berniaga dan menjilid buku-buku. Mulanya Al Ajurrum belajar Ilmu Nahu di Fas, kemudian ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ketika perjalanan ke Kairo, ia menyempatkan diri belajar ilmu Nahu kepada Syeikh Abu Hayyan salah seorang pakar dalam ilmu Nahu dari Andalusia pengarang kitab Al Bahrul Muhith hingga mendapatkan ijazah dari Syeikh Abu Hayyan. Beliau menyusun kitab Matan Al Ajrumiyah pada tahun 719 H/1319 M, sekitar empat tahun sebelum wafatnya. Al Maktum yang sezaman dengannya setelah memuji Ibnu Al Ajurrum didalam kitabnya Tazkirahnya, ia menyebutkan bahwa pada saat ia menulis kitabnya ini Ibnu Ajurrum masih hidup. Ar ra`i dan Al haj menyebutkan bahwa Ibnu Ajurrum menulis kitab Nahunya dihadapan ka`bah. As Shayuthy dalam kitabnya Bughyatul Wu`ah menerangkan bahwa Al Makudy dan Ar Ra`i dan para ulama lainnya mengakui kepakaran beliau dalam bidang nahu selain itu beliau juga seorang yang shaleh dan banyak barakah. Selain kitab Ajurrumiyah, beliau memiliki beberapa karangan lainnya tentang faraidh, sastra dan Tak basah oleh air. Ada satu kisah istimewa yang meyelimuti pengarangan kitab nahu Ajrumioyah tersebut, Syeihk Al Hamidi meriwayatkan setelah menulis kitab Al Ajurrumiyahnya , Ibnu Ajurrum membuang kitabnya tersebut ke laut sambil berkata: ”kalau memang kitab ini kutulis ikhlash karena Allah, niscaya ia tidak akan basah.” Ternyata kitab tersebut kembali kepantai tanpa badah sedikit pun. Dalam riwayat yang lain disebutkan, ketika Ibnu Ajurrum telah rampung menulis dengan menggunakan botol tinta, ia berniat meletakkan kitabnya tersebut di dalam air sambil berkata dalam hati “Ya Allah, jika saja karyaku ini akan bermanfaat jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak akan luntur”. Ternyata dengan kuasa Allah tinta tersebut tidak luntur sedikitpun. Dalam riwayat lain disebutkan ketika merampungkan karya tulisnya ini beliau bermaksud menenggelamkan kitab beliau ini kedalam air yang mengalir. Jika kitab tersebut terbawa arus maka berarti kitab tersebut kurang manfaat sedangkan bila ia tetap tidak terbawa arus maka ia akan tetap dikaji orang dan akan besar manfaatnya. Sambil meletakkan kitab tersebut kedalam air berliau ber ujar : “jurru Miyah, jurru Miyah” (mengalirlah wahai air). Anehnya setelah diletakkan dalam air kitab tersebut tetap bertahan tidak terbawa oleh arus. Subhanallah. Ibnu Ajurrum, dalam ilmu nahu merupakan penganut mazhab Nahu Kufah, beliau menyebutkan kasrah dan penggantinya dengan istilah Khafadh, sedangkan ahli Bashrah menyebutnya dengan istilah jar,Ibnu Ajurrum berpendapat bahwa fiil amr itu dijazamkan. Ini adalah pendapat Mazhab Kufah. Adapun mazhab Bashrah berpendapat bahwa fiil amar itu mabni `ala as sukun. Ia juga menggolongkan kata kaifama termasuk jawazim, sebagaimana pendapat ahli Kufah. Adapun Ahli Basharah berpendapat kaifama bukanlah `amel Jawazem. Selain itu Ibnu Ajurrum juga menggunakan istilah Asmaul Khamsah, yang terdiri dari dzu, fuk, hamu, abu, akhu, sedangkan Ahli Bashrah menyebutnya dengan istilah Asmaus Sittah dengan menamahkan Hanu. Kitab Al AJarrumiyah merupakan pegangan wajib bagi para pemula ilmu nahu, kitab ini merupakan kurikulum wajib dan dihafal oleh para santri-santri di setiap pesantren di Indonesia dan Negara-negara lainnya. Banyak ulama yang menaruh perhatian yang besar tentang kitab ini, sehingga muncullah kitab-kitab yang menjadi pensyarah dan hasyiah dari kitab Ajurrumiyah ini. Diantara syarahnya antara lain: Al Mustaqil bil Mafhum fi Syarh Alfadh Al Ajurrum, karangan Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad Al maliki(w 853 H/1449 M) At Tuhfatus Saniyah bi syarh Al Muqaddimah Al Ajurrumiyah, karya Syeikh Muhammad Muhyiddin Abdul hamid. Al Kharidah Al bahiyah fi i`rabi Al fadh Al Ajurrumiyah karya Al `ujami. Mukhatshar jiddan karya Syeikh sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang kemudian di beri komentar (hasyiah) oleh seorang ulama Indonesia, KH. Muhammad Ma`shum bin Salim As Samarany dengan kitabnya tasywiqul Khalan. Al Kafrawi fi i`rabi alfadhi al Ajurrumiyah. Karya Syeikh Al Kafrawy Al `ismawi kaya Syeikh Al `ismawi Syarah Syeikh Khaled yang kemudian di beri komentar oleh Syeikh Abi An Naja. Syarah Muqaddimah Al Ajurrumiyah karya seorang gembong Wahaby Arab Saudi, Syeikh Ustaimin. Khulasah Syarah Ibnu `ajibah `ala matan Ajurrumiyah Syeikh Abdul Qadir Al Kauhairy. Nur As Sajiyah fi hill Alfadh Ajurrumiyah, karangan Syeikh Ahmad Khatib Syarbaini. Taqrirat Al bahiyyah `ala matan Ajurrumiyah karangan Syeikh Qadhi Muhammad Risyad Al Baity As Saqqaf. Al Futuhat Al Qayyumiyah fi hill wafki ma`any wa mabany matan Ajurrumiyah, karangan Syeikh Muhammad Amin Al harrary. Ad Durar Al bahiyyah fi i`rab Amstilah Ajurrumiyah wa fakk ma`any karangan Syeikh Muhammad Amin Al harrary. Al bakurah Al janiyyah min Quthaf i`rab Ajurrumiyah karya Syeikh Muhammad Amin Al harrary. Syarah Ajurrumiyyah fi ilmi arabiyah karangan Syiekh Ali Abdullah Abdurrahman As Sanhury. Syarah Al Halawy karangan Syeikh Al Halawy. Selain disyarah kitab ini juga pernah di gubah menjadi sebuah nadham oleh Al `Imrithy yang disyarah oleh beberapa ulama lainnya. Ibnu Ajurrum wafat dikota Fas, kota kelahirannya pada hari senin 10 shafar 723 H/2 Maret 1332 M. beliau dimakamkan persis berdampingan dengan makam Syeikh Abbas Ahmad At Tijany, pendiri thariqah At Tijany. Tiadak jauh dari makam beliau juga terdapat makam Al Aqadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdullah Al Ma`arify dan sejumlah tokoh ulama Maroko lainnya. — bersama Incu Abah Oi Bonqkar, Muham'mad Iss'ad Anshori, Qolbie Nienk Choierr, dan 43 lainnya.rynnisa, dan 45 lainnya. MASUK SURGA KARENA ILMU NAHWU As-sibawaih yang memiliki nama asli Amr ibn Abbas adalah salah satu tokoh ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu terutama ilmu tata bahasa Arab yang dikenal dengan nama Nahwu. Beberapa hari setelah meninggalnya ulama yang dikenal sebagai orang yang tubuhnya mengeluarkan aroma buah apel ini, salah seorang sahabat beliau bermimpi bertemu dengannya yang tengah menikmati kemegahan di alamnya. Sang Sahabat melihat Imam Sibawaih sedang memakai pakaian yang sangat mewah dengan hidangan beraneka warna disekitarnya serta dikelilingi oleh beberapa bidadari rupawan di sebuah tempat yang sangat indah mempesona.Sahabat itupun bertanya kepada Imam Sibawaih, gerangan apa yang membuatnya menerima kemulyaan begitu rupa. Imam Sibawaih kemudian menceritakan pengalamannya ketika ditanya oleh malaikat di dalam kubur. Ketika malaikat sudah menanyakan pertanyaan-pertanyaan kubur yang seluruhnya dapat dijawab dengan baik, malaikat bertanya kepadanya : “Tahukah anda, perbuatan apa yang telah membuat anda bisa menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan kami tadi?” “Apakah karena ibadah saya?” Imam Sibawaih mencoba menebak. “Bukan itu!” kata Malaikat. “Apakah karena ilmu saya?” “Bukan itu!” “Apakah karena karangan-karangan saya?” “Bukan!” ”Berbagai jawaban yang diberikan oleh Imam Sibawaih tidak ada yang dibenarkan oleh Malaikat. Hingga akhirnya Imam Sibawaih menyerah karena tidak mengetahui jawaban sebenarnya. “Allah SWT telah menyelamatkan anda sehingga anda dapat menjawab pertanyaan kubur dengan baik adalah karena pendapat anda yang menyatakan bahwa yang paling ma’rifat dari semua isim ma’rifat adalah lafazh jalalah”. Kata Malaikat menerangkan. — bersama Surya Mustika, Muhammad Thariq KAl Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin ‘Umar bin ‘Abdullah (Bin Jindan) Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin ‘Umar bin ‘Abdullah (Bin Jindan) bin Syaikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab 1324. Memulakan pengajiannya di Madrasah al-Khairiyyah, Surabaya sebelum melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah. Berguru dengan ramai ulama. Seorang ahli hadis yang menghafal 70,000 hadis (i.e. ada yang mengatakan ratusan ribu hadis). Beliau juga seorang ahli sejarah yang hebat, sehingga diceritakan pernah beliau menulis surat dengan Ratu Belanda berisikan silsilah raja-raja Belanda dengan tepat. Hal ini amat mengkagumkan Ratu Belanda, lantas surat beliau diberi jawaban dan diberi pujian dan penghargaan, sebab tak disangka oleh Ratu Belanda, seorang ulama Indonesia yang mengetahui silsilahnya dengan tepat. Tetapi tanda penghargaan Ratu Belanda tersebut telah dibuang oleh Habib Salim kerana beliau tidak memerlukan penghargaan.Dalam usaha dakwahnya, beliau telah mendirikan madrasah di Probolinggo serta mendirikan Majlis Ta’lim Fakhriyyah di Jakarta, selain merantau ke berbagai daerah Indonesia untuk tujuan dakwah dan ta’lim. Mempunyai ramai murid antaranya Kiyai Abdullah Syafi`i, Habib Abdullah bin Thoha as-Saqqaf, Kiyai Thohir Rohili, Habib Abdur Rahman al-Attas dan ramai lagi. Habib Salim juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga dipenjarakan oleh Belanda. Di zaman penjajahan Jepun, beliau juga sering dipenjara kerana ucapan-ucapannya yang tegas, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia, beliau juga sering keluar masuk penjara kerana kritikannya yang tajam terhadap kerajaan apalagi dalam hal bersangkutan agama yang sentiasa ditegakkannya dengan lantang. Sifat dan kepribadian luhurnya serta ilmunya yang luas menyebabkan ramai yang berguru kepada beliau, Presiden Soerkano sendiri pernah berguru dengan beliau dan sering dipanggil ke istana oleh Bung Karno. Waktu Perjanjian Renvil ditandatangani, beliau turut naik atas kapal Belanda tersebut bersama pemimpin Indonesia lain. Beliau wafat di Jakarta pada 10 Rabi`ul Awwal dan dimakamkan dengan Masjid al-Hawi, Jakarta……Al-Fatihah. Ratapan 10 Muharram - Fatwa Habib Salim Lantaran Revolusi Syiah Iran yang menumbangkan kerajaan Syiah Pahlavi, maka ada orang kita yang terpengaruh dengan ajaran Syiah. Bahkan ada juga keturunan Saadah Ba ‘Alawi yang terpengaruh kerana termakan dakyah Syiah yang kononnya mengasihi Ahlil Bait. Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan telah menulis sebuah kitab membongkar kesesatan Syiah yang diberinya judul “Ar-Raa`atul Ghoomidhah fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah”. Berhubung dengan bid`ah ratapan pada hari ‘Asyura, Habib Salim menulis, antaranya: • Dan di antara seburuk-buruk adat mereka daripada bid`ah adalah puak Rawaafidh (Syiah) meratap dan menangis setiap tahun pada 10 Muharram hari terbunuhnya al-Husain. Maka ini adalah satu maksiat dari dosa-dosa besar yang mewajibkan azab bagi pelakunya dan tidak sewajarnya bagi orang yang berakal untuk meratap seperti anjing melolong dan menggerak-gerakkan badannya. • Junjungan Rasulullah s.a.w. telah menegah daripada perbuatan sedemikian (yakni meratap) dan Junjungan Rasulullah s.a.w. telah melaknat orang yang meratap. Dan di antara perkara awal yang diminta oleh Junjungan Rasulullah s.a.w. daripada wanita-wanita yang berbaiah adalah supaya mereka meninggalkan perbuatan meratap terhadap si mati, di mana Junjungan s.a.w. bersabda: “Dan janganlah kalian merobek pakaian, mencabut-cabut rambut dan menyeru-nyeru dengan kecelakaan dan kehancuran”. • Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadist daripada Sayyidina Ibnu Mas`ud r.a. bahawa Junjungan s.a.w bersabda: “Bukanlah daripada kalangan kami orang yang memukul dada, mengoyak kain dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (yakni meratap seperti ratapan kaum jahiliyyah).” Maka semua ini adalah perbuatan haram dan pelakunya terkeluar daripada umat Muhammad s.a.w. sebagaimana dinyatakan dalam hadis tadi. • Telah berkata asy-Syarif an-Nashir li Ahlis Sunnah wal Jama`ah ‘Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur al-Hadhrami dalam fatwanya: “Perbuatan menyeru `Ya Husain’ sebagaimana dilakukan di daerah India dan Jawa yang dilakukan pada hari ‘Asyura, sebelum atau selepasnya, adalah bid`ah madzmumah yang sangat-sangat haram dan pelaku-pelakunya dihukumkan fasik dan sesat yang menyerupai kaum Rawaafidh (Syiah) yang dilaknat oleh Allah. Bahwasanya Junjungan Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka dia daripada kalangan mereka dan akan dihimpun bersama mereka pada hari kiamat.” Janganlah tertipu dengan dakwah Syiah. Pelajarilah betul-betul pegangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah dan berpegang teguh dengannya. Katakan tidak kepada selain Ahlus Sunnah wal Jama`ah, katakan tidak kepada Wahhabi, katakan tidak kepada Syiah. Ulama dan Pejuang Kemerdekaan Ulama Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan. Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan – yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak. Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya. Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut. Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi. Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid. Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.” Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, ”Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan.” Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948. Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman – cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman. Kembali Berdakwah Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja. Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah. Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, ”Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai.” Lalu kata pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa — menurut keyakinan Habib — belum mati, masih hidup.” “Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,” jawab Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim. Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh. Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan. “Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim kala itu. Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur. Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata. Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim – dua putra almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan. Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga. ”Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.” — bersama Achmad Al-banteniy, Estika Nurul Aeni, Khodimul Mahdi, dan 45 lainnya.amal, Asier Pengagum X Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Ashfihani (pengarang kitab Taqrib) Beliau lahir pada tahun 433 H jauh sebelum eranya Imam Nawawi maupun Rofi’i bahkan sebelum imam Ghozali. Beliau mendapat karunia umur panjang hingga 160 tahun, namun demikian tak satu anggota badan pun yang mengalami gangguan. Ketika beliau ditanyai karunia yang demikian beliau menjawab: “Aku selalu berusaha menjaga anggota badanku sejak kecil tidak pernah aku gunakan dalam kemaksiatan. Karenanya Alloh menjaganya pada saat aku memasuki usia senja.” Pada tahun 447 menjabat sebagai qodhi di kota Ashfihan. Dengan jabatan nya beliau menebarkan keadilan dan kebenaran ke seluruh pelosok negeri hingga dikenal luas. Kesibukan dan tugasnya sebagai Qodhi tidak melupakan semangat taqorrub dan ibadahnya pada Alloh SWT. Setiap hari sebelum keluar dari rumah beliau melakukan sholat dan membaca Alqur’an. Begitupun dalam melaksanakan tugas dengan teguh berpegang pada kebenaran tanpa khawatir akan celaan dan cercaan orang, tiada mengenal kompromi ketika harus menegakkan kebenaran sekalipun itu harus dibayar dengan mahal dan taruhan jabatan. Keteguhan hati beliau dalam membela kebenaran didukung oleh kelapangan sisi ekonomi. Tentang kekayaan beliau ini ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau memiliki sepuluh orang karyawan yang husus mendapat tugas untuk membagikan zakat dan shodaqohnya pada para mustahiqqin, dimana masing-masing membagikan seribu dua puluh lima dinar. Orang-orang sholeh dan para cendikia mendapat prioritas sehingga mereka merasakan betul kemurahan Abi syuja’. Kekayaannya yang demikian tidak menjadikanya lalai dan hanyut dalam kenikmatan. Kebeningan hatinya selalu mengusik untuk terus berpikir apa makna dari kehidupan dunia yang fana ini? Sampai ahirnya beliau memilih untuk hidup dalam kezuhudan yang jauh dari gemerlap dan indahnya dunia. Ashfihan yang telah banyak memberikan warna baginya beliau tinggalkan dan mengembara menuju kota madinah Almunawwaroh. Di sana beliau mengabdikan hidupnya untuk melayani kebutuhan makam sang idolanya, Rosululloh SAW. Menyapu masjid, membersihkan dinding makam menyalakan lampu dan sebagainya. Semua dijalani dengan penuh rasa puas dan bangga, sehingga pada suatu ketika orang-orang Ashfihan yang telah mengenalnya berziarah dan menyaksikan beliau di sana terperanjat dan menyapa: “wahai qodhi Abi Syuja!” beliau menjawab dengan tersenyum: “ ketahuilah saya bukan lagi Qodhi saya hanyalah seorang tukang sapu makam Rosululloh SAW” Rutinitas sebagai penjaga dan tukang sapu makam beliau lakukan hingga ahir hayat beliau. Layaklah kiranya kalau kemudian salah satu karya beliau menjadi demikian luas dan manfaat hingga hampir-hampir menjadi kitab wajib bagi semua yang ingin mendalami ilmu agama. Nafa’ana Allohu bihi wabi’ulumiha aamiin.. — bersama Muham'mad Iss'ad Anshori, Incu Abah Oi Bonqkar, Estika Nurul Aeni, dan 41 lainnya. Antara amalan disunatkan pada bulan Muharam: ♥-Berpuasa. Maksud Hadist: Barang siapa berpuasa satu hari dalam bulan Muharam pahalanya seumpama berpuasa 30 tahun.Maksud Hadist: Barang siapa yang berpuasa tiga hari dalam bulan Muharam, yaitu hari Kamis, Jum'at dan Sabtu, Allah tulis padanya pahala seperti mana beribadat selama 2 tahun. ♥-Banyakkan amal ibadat seperti sholat sunat, zikir dan sebagainya. ♥-Berdoa akhir tahun pada hari terakhir bulan Zulhijah selepas Asar sebanyak 3X ♥-Berdoa awal tahun pada 1 Muharram selepas Maghrib 3X ♥-Puasa sunat Muharram bermula pada tanggal 1 haribulan hinggalah pada 9 hari bulan (sunat Tausa’ ). ♥-Puasa sunat pada tanggal 10 Muharram ( sunat ‘Asyura ). Empat belas perkara sunat dilakukan pada hari Asyura (10 Muharram): ♥Melapangkan masa/belanja anak isteri. Fadhilatnya - Allah akan melapangkan hidupnya pada tahun ini. ♥Memuliakan fakir miskin. Fadhilatnya - Allah akan melapangkannya dalam kubur nanti. ♥Menahan marah. Fadhilatnya - Di akhirat nanti Allah akan memasukkannya ke dalam golongan yang redha. ♥Menunjukkan orang sesat. Fadhilatnya - Allah akan memenuhkan cahaya iman dalam hatinya. ♥Menyapu/mengusap kepala anak yatim. Fadhilatnya - Allah akan mengurniakan sepohon pokok di syurga bagi tiap-tiap rambut yang disapunya. ♥Bersedekah. Fadhilatnya - Allah akan menjauhkannya daripada neraka sekadar jauh seekor gagak terbang tak berhenti-henti dari kecil sehingga ia mati. Diberi pahala seperti bersedekah kepada semua fakir miskin di dunia ini. ♥Memelihara kehormatan diri. Fadhilatnya - Allah akan mengurniakan hidupnya sentiasa diterangi cahaya keimanan. ♥Mandi Sunat. Fadhilatnya - Tidak sakit (sakit berat) pada tahun itu. Lafaz niat: "Sahaja aku mandi sunat hari Asyura kerana Allah Taala." ♥Bercelak. Fadhilatnya - Tidak akan sakit mata pada tahun itu. ♥Membaca Qulhuwallah hingga akhir 1,000X. Fadhilatnya - Allah akan memandanginya dengan pandangan rahmah di akhirat nanti. ♥Sembahyang sunat empat rakaat. Fadhilatnya - Allah akan mengampunkan dosanya walau telah berlarutan selama 50 tahun melakukannya. Lafaz niat: "Sahaja aku sembahyang sunat hari Asyura empat rakaat kerana Allah Taala." Pada rakaat pertama dan kedua selepas Fatihah dibaca Qulhuwallah 11X. ♥Membaca "has biallahhu wa nik mal wa keel, nikmal maula wa nikmannaseer". Fadhilatnya - Tidak mati pada tahun ini. ♥Menjamu orang berbuka puasa. Fadhilat - Diberi pahala seperti memberi sekalian orang Islam berbuka puasa. ♥Puasa. Niat - "Sahaja aku berpuasa esok hari sunat hari Asyura kerana Allah Taala." Fadhilat - Diberi pahala seribu kali Haji, seribu kali umrah dan seribu kali syahid dan diharamkannya daripada neraka. — bersama Muham'mad Iss'ad Anshori, Zain, Syafari AlfaQir, dan 40 lainnya. Suka • • Bagikan Ibnu Qosim Alghozi ( pengarang kitab Fathul Qorib syarah Taqrib) Nama lengkap beliau adalah Assyaikh Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Qosim Alghozi lahir pada tahun 859 H di kota ghuzah yang menjadi bagian wilayah syam.Beliau mengembara menuntut ilmu di Kairo Mesir tepatnya di jami’ah Al-Azhar dan kemudian mengembangkan ilmu dan mengajar di Al-Azhar hingga bermukim di sana dan melahirka karya-karyanya seperti halnya Syarh fathul qorib. Disini pula beliau wafat pada tahun 918 H. Dari tahun kelahir dan wafatnya kita bisa tahu bahwa beliau hidup setelah masa imam imam Rofi’I dan Nawawi namun sebelum era Ibnu hajar dan Romli. Nafa’ana Allohu bihi wabi’ulumih amin Catatan: Selain Fathul qorib masih banyak syarah-syarah kitab taqrib yang lain. Diantaranya yang banyak dijumpai di lingkungan pesantren adalah: Kifayatul Akhyar karya Imam Taqyuddin Alhishni (….-…), Al-Iqna’ karya Imam Khotib Assyirbini (W: 977 H) Kelebihan kitab taqrib diantaranya 1- kelengkapan isi Dalam bentuknya yang sangat kecil memuat hampir semua kandungan fiqh dari mulai ibadah, mu’amalah, nikah sampai jinayat dan lain sebagainya. Sementara fathul qorib melengkapi kelebihannya dengan memberikan ta’rif pada hampir semua bab dari thoharoh sampai ‘itq mulai dari tinjauan lughot sampai syara’ 2- Paparan manhaj/ metodologi Jarang kita temukan kitab yang memaparkan manhaj seperti yang sering dilakukan Imam Nawawi dalam karya-karyanya. Ada beberapa manhaj yang disebutkan mushonnif dalam menyusun taqrib diantaranya: - sangat simple dan singkat (ghoyatil ikhtishor) - bahasanya sederhana (mudah dipelajari dan dihafal) - banyak pasal-pasal (iktsar taqsimat) - batasan dengan angka (hasril khishol) Dari paparan itu bisa dimaklumi bila kalimat-kalimat dalam kitab tersebut terkadang menggunakan arti yang longgar tidak sebagaimana dalam istilah fiqh. Seperti penyebutan air mutanajjis dengan air najis pada bab pertama, yang kemudian diikuti Ibn Qosim yang menyebuta’yan mutanajjisah yang mestinya a’yan najisah. Pembatasan komponen selalu dilakukan dengan angka mesti terkadang kurang tepat masih ada yang terlewatkan seperti dalam pembahasan sunah-sunah wudhu sehingga biasanya kemudian Ibn Qosim menjelaskan bahwa hal-hal lain masih banyak seperti disebut dalam kitab-kitab yang besar. 3- Tidak terikat pendapat mayoritas Salah satu contoh yang paling menyolok adalah adalah tentang niyyatul khuruj atau niyat keluar dari sholat pada saat salam dikategorikan rukun, mabit mina dan muzdalifah bukan wajibat haji akan tetapi sunah. Yang demikian bisa kita maklumi karena Abi Syuja’ hidup sebelum Nawawi, beliau mengambil dari mutaqoddimin dan ashabil wujuh dimana temuanya dalam hal ini sama dengan imam Rofi’i. Sekali lagi Ibn Qosim punya andil penting dimana kemudian memberikan penjelasan pendapat yang kuat dalam madzhab. — bersama Incu Abah Oi Bonqkar, Cahaya Kelana, MuIbrahim al-Bajuri, Ulama produkif penyebar Akidah Ahlusunnah wal Jama'ah Manhaj Asya'irah ( Sosok ulama pecinta ahli bait nabi SAW ) Bagi kalangan pelajar santri pondok salaf di Indonesia serta mahasiswa yang sedang menimba ilmu di Timur tengah, nama Imam Ibrahim al-Bajuri bukanlah nama yang asing di telinga. Kitab Hasyiyah Tahqiqul Maqom ‘ala Risalati Kifayatil Awwam, kitab Tuhfatul Murid ‘ala Jawharah at-Tauhid serta kitab Hasyiah Al-Bajuri ‘ala matan Abi Syuja’ adalah buah tangan beliau yang sejak dahulu sampai sekarang menjadi referensi utama di kalangan pelajar ilmu agama. Nama lengkap beliau adalah Ibrahim al-Bajuri bin Syaikh Muhammad al-Jizawi bin Ahmad. Beliau diberi gelar dengan Burhanuddin artinya bukti agama, sebuah gelar yang lazim disematkan kepada para Ulama besar dulunya (bahkan hingga sekarang). Beliau dilahirkan pada tahun 1198 H/1783 M di desa Bajur, sebuah desa di Provinsi Al-Manjufiyah, Mesir. Beliau lahir dan tumbuh di keluarga yang memegang teguh Islam sebagai pedoman hidup. Orang tuanya pun terkenal sebagai orang alim dan saleh. Sebab itulah beliau senantiasa dididik dengan ilmu agama. Pada masa kecilnya beliau telah belajar al-qur’an dan memperbaiki kualitas bacaannya dengan bimbingan ayahnya sendiri. Pada tahun 1212 Hijriyah, beliau berangkat ke Al-Azhar dan menimba ilmu disana. Waktu itu umur beliau baru masuk 14 tahun. Namun setahun kemudian (1213 H/1798 M) , tentara penjajah Perancis menduduki Mesir yang membuat Syaikh Ibrahim keluar dari Al-Azhar dan menetap di daerah Giza selama beberapa tahun. Beliau baru kembali lagi ke Al-Azhar pada tahun 1216 H/1801 M setelah tentara Perancis keluar dari Mesir. Guru-guru beliau Selama di Al-Azhar, Syaikh Ibrahim sangat giat dan tekun dalam mengikuti pembelajaran dengan para gurunya. Diantara guru-guru beliau selama belajar di Al-Azhar : 1 - Al-Allamah Syaikh Muhammad al-Amir al-Kabir al-Maliki. Beliau seorang ulama terkenal di Mesir, terutama karena beliau memiliki ketinggian sanad dalam ilmu. Seluruh ulama mesir ketika itu mengambil ijazah dan sanad kepada beliau, bahkan sampai sekarang mata rantai sanad masih tetap kepada beliau. 2 – Al-Allamah Abdullah asy-Syarqawi. Beliau merupakan ulama yang alim dan terkenal di Mesir dan di dunia islam. Karangannya yang banyak membuat nama beliau meroket di seantero dunia. Terlebih lagi beliau mendapat jabatan memimpin al-Azhar dan menjadi Syaikhul Azhar ( kedudukan yang tertinggi di al-Azhar ). 3- Syaikh Daud al-Qal`i, seorang ulama yang bijak dan arif. 4 - Syaikh Muhammad al-Fadhali, ulama al-Azhar yang alim dan sangat mempengaruhi jiwa Syaikh Ibrahim al-Bajuri. 5 - Syaikh al-Hasan al-Quwisni. Beliau adalah seorang ulama yang hebat sehingga di beri tugas untuk menduduki kursi kepemimpinan al-Azhar dan dilantik menjadi Syaikhul azhar pada masanya. Ulama Produktif Sebagai seorang ulama, beliau terkenal sangat produktif menghasilkan karya-karya yang berkualitas. Hal ini tentu saja disebabkan kepintaran dan kecerdasan serta kedalaman ilmu beliau. Diantara karya beliau : 1 - Hasyiyah Ala Risalah Syaikh al-Fadhali. Kitab ini adalah karangan pertama beliau yang dikarang saat beliau baru berusia sekitar 24 tahun. Kitab ini merupakan ulasan dan penjelasan makna “La Ilaha Illa Allah” . 2 - Hasyiyah Tahqiqi al-Maqam `Ala Risalati Kifayati al-`Awam Fima Yajibu Fi Ilmi al-Kalam. Kitab ini selesai dikarang pada tahun 1223 hijriyah. Kitab ini sangat masyhur di kalangan pelajar Santri pondok Salaf di Indonesia. 3 - Fathu al-Qaril al-Majid Syarh Bidayatu al-Murid (1224 H) 4 - Hasyiyah Ala Maulid Musthafa Libni Hajar (1225 H) 5 - Hasyiyah `Ala Mukhtasor as-Sanusi (1225 H) 6 - Hasyiyah `Ala Matni as-Sanusiyah (1227 H) 7 - Tuhfatu al-Murid `Ala Syarhi Jauharatu at-Tauhid Li al-Laqqani (1234 H). Kitab ini merupakan diktat wajib untuk mata kuliah ilmu tauhid di Universitas Al-Azhar. 8 - Tuhfatu al-Khairiyah `Ala al-Fawaidu asy-Syansyuriyah Syarah al-Manzhumati ar-Rahabiyyah Fi al-Mawarits (1236 H) 9 - Ad-Duraru al-Hisan `Ala Fathi ar-Rahman Fima Yahshilu Bihi al-Islam Wa al-Iman (1238 H) 10 - Hasyiyah `Ala Syarhi Ibni al-Qasim al-Ghazzi `Ala Matni asy-Syuja`i (1258 H). Kitab ini sangat masyhur di kalangan pelajar Fiqh Syafi’i. Sampai hari ini, kitab Hasyiyah Bajuri ini masih menjadi mata pelajaran wajib di Majelis Talaqi Masjid Al-Azhar Asy-Syarif. Kitab ini juga dipelajari di Pondok Salaf di Indonesia. 11 - Dan lain-lainnya. Kebanyakan kitab beliau banyak mengenai masalah Akidah. Beliau termasuk salah seorang ulama yang giat dalam menyebarkan Akidah Ahlusunnah wal Jama’ah sesuai manhaj Imam Abu Hasan Al-Asy’ari ( Asya’iroh ), sesuai dengan Manhaj yang dipertahankan Al-Azhar Asy-Syarif hingga saat ini. Selain masalah akidah, beliau juga mempunyai banyak karangan di lintas disiplin ilmu seperti Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, dan lain-lain. Diangkat menjadi Syaikhul al-Azhar Ketinggian dan kedalaman ilmu beliau mengantarkan beliau menjadi salah seorang tenaga pendidik di Al-Azhar. Beliau yang sangat terkenal tekun dan ikhlas dalam mengajar dan mendidik, akhirnya diangkat menjadi Syaikh Al-Azhar, posisi paling tinggi dan prestisius di lembaga Al-Azhar. Beliau diangkat pada tahun 1263 H menggantikan Syaikh Ahmad Abdul Jawwad Ad-Daumi Asy-Syafi’i. Beliau memangku amanah tersebut hingga akhirnya Wafatnya Syaikh Ibrahim al-Bajuri Beliau berpulang ke Rahmatullah dengan tenang dan Ridha pada Hari Kamis, 28 Dzulqa’dah 1276 H/19 Juli 1860 M. Beribu pelayat hadir untuk ikut menyolatkan beliau. Beliau dishalatkan di Masjid Al-Azhar Asy-Syarif dan dikuburkan di kawasan Qurafah Al-Kubra.a — bersama Cheng Chei Reepiet, Muhammad Thariq Kamal, Princess Hally Raksye WaRahat, dan 41 lainnyaham'mad Iss'ad AnshoriKHASIAT SURAT AL-FATIHAH Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang bermaksud: "Membaca Fatihah Al-Quran pahalanya seperti sepertiga Al-Quran" Juga Nabi Muhammad SAW bersabda: "Fatihah itu pembukaan maksud bagi orang-orang mukmin." Siapa membaca surah Al-Fatihah dalam keadaan berwudhu sebanyak 70 kali setiap hari selama tujuh hari lalu ditiupkan pada air yang suci lalu diminum maka ia akan memperolehi ilmu dan hikmah serta hatinya dibersihkan dari fikiran rusak. Diantara khasiat Fatihah ialah siapa yang membaca 'Al-Fatihah' diwaktu hendak tidur, Surah 'Al-Ikhlas' sebanyak 3 kali dan Mu'awwidzatain maka ia akan aman dari segala hal selain ajal. Dan siapa berhajat (berkeinginan sesuatu) kepada Allah s.w.t.maka olehnya dibaca surah Al-Fatihah sebanyak 41 kali diantara sembahyang sunat Subuh dan sembahyang fardu Subuh sampai 40 hari (tidak Lebih) kemudian memohon kepada Allah s.w.t. maka Insyaallah ia penuhi keperluan hidupnya. * Barangsiapa membaca Fatihah berserta Bismillah diantara sunat Subuh dan fardu Subuh dengan Istiqomah maka kalau ia inginkan pangkat terkabullah ia dan kalau ia fakir maka akan kaya serta jika ia punya hutang maka mampu membayarnya dan kalau ia sakit maka akan sembuh serta kalau ia punya anak maka anaknya itu menjadi anak yang soleh, berkat surah Al-Fatihah. * Barangsiapa mengamalkan bacaan Al-Fatihah sebanyak 20kali setiap selesai sembahyang fardu lima waktu maka Allah s.w.t. luaskan rezekinya, baiki akhlaknya, mudahkan urusannya, hilangkan keperihatinannya dan kesusahannya, anugerahkan apa yang ia angan-angankan, dapatkan berbagai berkat dan kemuliaan, jadikan ia berwibawa, berpangkat luhur, berpenghidupan baik dan ia pula anak-anaknya terlindung dari kemudharatan dan kerosakan serta dianugerahkan kebahagiaan dan sebagainya. * Barangsiapa mengamalkan bacaan Al-Fatihah sebanyak 125 kali selesai sembahyang Subuh maka ia peroleh maksudnya dan ia ketemukan apa yang dicari-cari serta sebaiknya ia panjatkan doa yang bermaksud: "Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dengan kebenaran Surah Al-Fatihah dan rahasianya, supaya dimudahkan bagiku semua urusanku, sama ada urusan dunia atau urusan akirat, supaya dimakbulkan permohonanku dan ditunaikan hajatku..........." * Barangsiapa mengamalkan bacaan Al-Fatihah diwaktu sahur (tengah malam) sebanyak 41 kali maka Allah s.w.t.bukakan pintu rezekinya dan Dia mudahkan urusannya tanpa kepayahan dan kesulitan. Selesai bacaan Al-Fatihah tersebut dan sebaiknya berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dengan kebenaran surah Al-Fatihah dan rahasianya, supaya Engkau bukakan bagiku pintu-pintu rahmatMu, karunia-Mu dan rezeki-Mu. Dan Engkau mudahkan setiap urusanku, murahkanlah bagiku rezekiMu yang banyak lagi berkat tanpa kekurangan dan tanpa susah payah, sesungguhnya Engkau berkuasa atas setiap sesuatu. Aku mohon kepada-Mu dengan kebenaran surah Al-Fatihah dan rahsianya, berikan apa yang kau hajati........" Diriwayatkan dari Syeikh Muhyiddin Ibnul Arabi didalam kitab 'Qaddasallaahusirrahu': "Siapa yang punya maksud maka sebaiknya ia membaca surat Al-Fatihah sebanyak 40 kali sehabis sembahyang Maghrib dan sunatnya, selesai itu ia ajukan permohonan hajatnya kepada Allah SWT" * Surat Al-Fatihah boleh mengobati penyakit mata, sakit gigi, sakit perut dan lain-lainnya dengan dibacakan sebanyak 41 kali. * Ikhtiar mengobati penyakit : Baca Surah Al-Fatihah sebanyak 40 kali pada tempat berisi air, lalu air itu diusap-usapkan pada kedua belah tangan, kedua belah kaki, muka, kepala dan seluruh badan,llu diminum, Insyaallah menjadi sembuh. * Kalau Surah Al-Fatihah itu ditulis dengan huruf-huruf terpisah lalu dileburkan dengan air suci dan diminumkan kepada sisakit, maka dengan iradah Allah s.w.t. ia akan sembuh. * Ikhtiar menghilangkan sifat pelupa: Tulislah surat Al-Fatihah dengan huruf Arab pada tempat putih dan suci lalu dihapuskan dengan air dan diberi minum pada orang yang pelupa, maka ia akan hilang sifat pelupanya dengan izin Allah s.w.t. * Mengobati sakit disebabkan oleh sengatan kala: Ambil sebuah tempat bersih lalu diisi air dan sedikit garam lalu dibacakan padanya Surah Al-Fatihah sebanyak 7 kali lalu diberi minum pada orang yang tersengat kala itu, Insyaallah ia akan sembuh. * Mengobati sakit gigi dan lain-lain: Untuk dirinya sendiri = letakkan jari pada tempat yang sakit lalu membaca Al-Fatihah dan berdoa sebanyak 7 kali: "Ya Allah, hilangkan daripada keburukan dan kekejian yang aku dapati dengan doa Nabi-Mu yang jujur (al- Amin) dan tetap disisi-Mu". * Mengobati penyakit gigi orang lain: selesai membaca Al-Fatihah maka berdoa 7 kali: "Ya Allah, hilangkan daripada orang ini keburukan dan kekejian yang aku dapati dengan doa Nabi-Mu yang jujur (al- Amin) dan tetap disisi-Mu". * Adapun faedah dan khasiat dari Surah Al-Fatihah ialah menyembuhkan penyakit mata yang kabur (rabun) Sabda Nabi Muhammad s.a.w." "Barangsiapa yang ingin menyembuhkan kelemahan pandangannya (kabur/rabun) maka hendaklah dilakukan: * Memandang bulan pada awal bulan, jika tidak kelihatan atau terhalang oleh awan dan lain-lain hal, lakukan pada malam kedua, juga tidak dapat, coba pada malam ketiga atau begitu seterusnya hingga nampak kelihatan bulan itu. * Apabila telah kelihatan, hendaklah ia menyapukan tangan kanannya kemata dengan membaca Al-Fatihah sebanyak 10 kali. * Sesudah itu mengucapkan pula sebanyak 7 kali doa ini: "Al-Fatihah itu menjadi obat tiap-tiap penyakit dengan rahmat Mu ya Tuhan yang pengasih penyayang." * Lalu mengucapkan "Yaa Rabbi" sebanyak 5 kali. * Terakhir mengucapkan pula doa ini sebanyak 1 kali: "Ya Allah sembuhkanlah, Engkaulah yang menyembuhkan, Ya Allah sehatkanlah, Engkaulah yang menyehatkan". Moga bermanfa’at bagi al’faqier sendiri dan bagi temen’ yg membaca.. ttd Sayyid Ghuard’s — bersama Zainul Wahyudi, Sus Anto, Anna Annisa, dan Al-Imam Al-Allamah Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi ( Shohibul Maulid Simtudduror ) Al-Imam Al-Allamah Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi dilahirkan pada hari Juma’at 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota di negeri Hadhramaut. Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya; As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang salihah yang amat bijaksana. Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu, beliau diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu. Selanjutnya, beliau melaksanakan tugas-tugas suci yang dipercayakan padanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia. Untuk menampung mereka, dibangunnya Masjid “Riyadh” di kota Seiwun (Hadhramaut), pondok-pondok dan asrama-asrama yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi keperluan mereka, termasuk soal makan-minum, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang dan tenteram, bebas dari segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari. Bimbingan dan asuhan beliau seperti ini telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicitakannya, kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan sahaja di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya – di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia. Di tempat-tempat itu, mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan penyiaran agama, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan-pertemuan keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang luas sekali. Beliau meninggal dunia di kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H dan meninggalkan beberapa orang putera yang telah memperoleh pendidikan sebaik-baiknya dari beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau dalam berdakwah dan menyiarkan agama. Di antara putera-putera beliau yang dikenal di Indonesia ialah puteranya yang bongsu; Al-Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, pendiri Masjid “Riyadh” di kota Solo (Surakarta). Dia dikenal sebagai peribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan-santun, serta ramah-tamah terhadap siapa pun terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian dan pertemuan-pertemuan keagamaan. Beliau meninggal dunia di kota Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1373 H dan dimakamkan di kota Surakarta. Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat dengan para ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-kawan serta murid-murid beliau, yang semuanya itu merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah yang tiada habisnya. Dan di antara karangan beliau yang sangat terkenal dan dibaca pada berbagai kesempatan di mana-mana, termasuk di kota-kota di Indonesia, ialah risalah kecil ini yang berisi kisah Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan diberinya judul “Simtud Duror Fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat dan Riwayat Hidupnya). Dipetik dari: Untaian Mutiara – Terjemahan Simtud Duror oleh Hb Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi. — bersama Ovan Mapia Faceboox, Fathimah EL-Helwa, Ririn Fitriani Az-Zahara II, dan 41 lainnya.41 lainnya., dan 41 lainnya. Al Habib Abu Bakar bin Thoha bin Yahya ( Panembahan Tejo Jati Kusumo ) Geritan Karang Anyar Pekalongan Beliau berasal dari daerah gorot bagian wilayah tarim hadramaut, dibawah asuhan ayahandanya beliau menimpa ilmu-ilmu agama dan kemudian berguru pada ulama’ lain di daerahnya, termasuk salah satu gurunya adalah Qutbul Irsyad wa Ghoutsul Bilad Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad. Setelah mendapatkan pembekalan ilmu agama yang cukup beliau mengikuti tradisi para salafnya berdakwah ke berbagai daerah menyebarkan agama dan syari’at Allah SWT. Mulai dari India, Malaysia, Pasai, dan menetap cukup lama di daerah Angsana Kalimantan Selatan untuk selanjutnya masuk kepulau Jawa melalui Surabaya dan kemudian menetap di Mataram (sekitar Jogjakarta) untuk beberapa lama. Dalam masa beliau singgah di Mataram ini banyak peran-peran dan jasa yang beliau berikan pada kerajaan Mataram terutama dalam mengatasi konflik pada masa sultan kurat I sehingga beliau mendapat gelar dari kerajaan sebagai Panembahan Tejo Jati Kusumo dan diantara jasa beliau adalah menentukan batas pemisah keraton Jogjakarta dengan keraton Kertosuro. Mukim di Geritan Mengakhiri lawatan dakwah panjang yang telah beliau lakukan beliau akhirnya memilih Pekalongan sebagai tempat pengembaraan yang terakhir . dari kota Pekalongan itu beliau memilih wilayah karang anyar yang lokasinya berada diantara Kajen dan Wono pringgo, tepatnya di desa Geritan. Nama Gertian itu sendiri menurut sebagian riwayat/versi berasal dari nama tempat kelahiran beliau gorot (قارة) yang kemudian mengikuti dialek masyarakat Pekalongan menjadi Geritan dan sebagian riwayat lagi kayu geritan, kayu yang mengeluarkan suara. Entah kebenarannya wallahu a’lam. Sebagian orang-orang dekat beliau di Mataram juga mengikuti jejak dakwah beliau membantu dan menetap hingga wafat di makamkan di Geritan seperti senopati Pematang dan qodhi Mataram yang makamnya berada di dalam kubah. Di Geritan ini beliau mendirikan padepokan atau pesantren mengajarkan ilmu syari’at juga ilmu pertanian dan ilmu kelautan kepada para santri yang datangdari berbagai daerah. Silsilah nasab beliau Beliau adalah Al Arif Billah Al ‘Alim Al ‘Allamah Al Bahr Al Fahamah Al Habib Abu Bakar bin Thoha bin Muhammad bin Syaikh bin Ahmad bin Yahya bin Hasan Al Ahmar bin Ali Al ‘Inar bin Alwi bin Muhammad Mauladdawilaih bin Ali bin Alwi bin Muhammad Faqihil Muqoddam bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Kholi’ qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad An Naqib bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali Bin Abi Tholib dan bin Fathimah Azzahro’ binti Rosulillah SAW. Jasa-jasa beliau Disamping perannya yang nyata dalam perkembangan islam ditanah Jawa khususnya di Pekalongan ada peran beliau yang tidak kalah penting adalah meredakan konflik berkepanjangan dalam kerajaan Mataram dimana kedatangan beliau telah di isyarohkan oleh Al Habib Abdurrohman bin Muhammad bin Abdulloh Al ‘Idrus kepada Hamengkubuwono I sebagai jawaban riyadloh yang beliau lakukan di gunung kemuning. Riyadloh Hamengkubuwono tiada lain mengharap petunjuk menyelesaikan konflik dalam istana dan beliau Al Habib Abdurrohman Al ‘Idrus menyampaikan bahwa yang akan menyelesaikan konflik tersebut adalah Al Habib Abu Bakar bin Yahya karenanya sulthan tidak perlu khawatir, karena beliau akan datang. Betul apa yang disampaikan, tak berapa lama Al Habib Abu Bakar datang dan menyelesaikan konflik dengan membagi kerajaan menjadi dua, pembagian itu sendiri dilakukan dengan cara unik, beliau membawa sebuah kendi berisi air dan naik diatas sajadah sekonyong - konyong sajadah itu terbang, beliau mengikuti perjalanan sajadah sambil mengucurkan air dari kendi, tempat-tempat kucuran air tersebut membentuk aliran yang kemudian dikenal dengan kali wedi sekaligus menjadi pembatas dua wilayah kerajaan. Al Habib Abdurrohman Al Idrus sendiri didalam istana bertindak sebagai mufti kerajaan yang saran dan nasihatnya selalu diperhitungkan. Dari perannya beliau mendapat gelar pangeran besar, sementara Al Habib Abu Bakar di anugerahi gelar pangeran tejo jati kusumo atau panembahan tejo jati kusumo. — bersama Asier Pengagum X Altunay, Zain, Dunn Kendal, dan 42 lainnya.